KETUA KPU RI, Juri Ardiantoro, berkunjung ke Bolmong, Jumat, 4 November
2016. Acara utama lawatannya adalah Raker dan Konsolidasi Penyelenggaraan
Pilkada Bolmong 2017 yang dihelat di Balai Pertemuan Umum Yadika, Kopandakan
II, Kecamatan Lolayan. Hadirinpun bersesak, termasuk para pejabat daerah dan
Cabup-Cawabup yang berkompetisi.
Raker dan konsolidasi yang dituanrumahi KPU
Bolmong itu semestinya biasa belaka. Yang jelas, itu acara resmi. Persiapan
penyelenggaraannya tentu serius, termasuk tetek-bengek hingga hal-hal terkecil.
Di Mongondow, mintahang menyambut
Ramadhan saja dilaksanakan dengan sungguh-sungguh mengerahkan sumber daya dan
energi, apalagi raker dan konsolidasi yang mengundang ribuan orang.
Yang saya ikuti dari pemberitaan dan
laporan pandangan mata mereka yang hadir, helatan KPU Bolmong itu sukses jaya.
Para komisioner dan jajarannya harus mendapat tepuk-tangan, bahkan jika perlu
dilengkapi cipika-cipiki. Jika mereka
mampu mempertahankan kinerja kinclong,
tak perlu segan-segan diusulkan dan didukung kembali untuk masa bakti periode
berikut.
Tapi, tunggu dulu, ada ketidaksempurnaan
yang sangat mengganggu yang tampaknya luput—atau sengaja diluputkan—di tengah
gebyar raker dan konsolidasi itu. Padahal pemandangannya mencolok di depan
mata: baliho yang dipajang di Gedung Yadika. Barangkali karena paras Ardiantoro
yang cukup ganteng mendominasi, hingga yang melihat silap bahwa terdapat dua
kesalahan genting yang dicantum: (1) Sapaan bahasa Mongondow, Dega’ Niondon; dan (2) Kata
‘’mengembang’’ di dalam kalimat ‘’Semoga sukses dalam mengembang amanah
Demokrasi Kesatuan Republik Indonesia’’.
Ihwal baliho keliru sebenarnya bukan kabar
baru di Indonesia. Seingat saya, pada 2011, sebuah baliho di Tangerang Selatan,
Banten, pernah bikin geger sebab kesalahan fatal pembuatnya. Baliho yang jadi
pokok soal itu memuat gambar Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri,
dan lambang partai dengan tulisan besar: ‘’Selamat Menunaikan Ibadah Puasa 1 Syawal
1432 H’’. Siapapun pemeluk Islam tahu, puasa dimulai pada 1 Ramadhan dan 1
Syawal adalah Idul Fitri.
Heboh-heboh sejenis bertebaran di internet.
Pembaca, Googling sendiri dan temukan bagaimana kesalahan (tak termaafkan)
penempatan keliru satu kata yang mengubah pengertian seluruh kalimat ke arah
sebaliknya. ‘’Jauhi Narkoba! Hide Drug!’’ yang ditemukan di salah satu baliho
Pemda bekerja sama dengan Polres, pasti berarti, ‘’Jangan dekat-dekat dengan
Narkoba. Sembunyikanlah Narkoba.’’ Ini kampanye atau tips and trick?
Beberapa kesalahan di baliho (atau spaduk),
bahkan bisa ‘’bikin gila’’ mereka yang mengerti. ‘’Free Wife’’ harus diartikan
apa kecuali ‘’Istri Gratis’’; bahasa Inggris belepotan seperti ‘’Welcom Turist,
We Spik Inglish’’ ditujukan untuk pelancong dari negara mana; dan gado-gado
semacam ‘’Sopan Santun Ciri Orang Berilmu, Bookish People Characteristic
Manner’’ yang harus dimaknai bagaimana?
Baliho dan spanduk seperti itu bukan hanya
menguji kecerdasan, tapi juga mempertebal iman. Melihat dan membacanya membuat
kita mendoakan semoga yang membuat dalam keadaan sehat wal’afiat. Dengan
bertawakal kita terhindar dari membentur-benturkan jidat di tembok dan melolong
mirip serigala birahi melihat sinar purnama.
Mendoakan KPU Bolmong pula yang saya
lakukan ketika membaca Dega’ Niondon
di baliho raker dan konsolidasi itu. Mengenai ucapan selamat datang yang umum
digunakan, terutama di baliho, spanduk, aneka materi komunikasi Pemda
kabupaten/kota di BMR ini, dengan keterbatasan saya dalam penguasaan bahasa
Mongondow, memang sudah lama menjadi tanda tanya besar di benak. Apa memang
frasa ini akurat dijadikan kalimat penyambut tamu yang kita undang atau yang
kita tahu pasti akan datang berkunjung?
Barangkali penempatannya di baliho KPU
Bolmong sudah tepat, sama sahihnya dengan tradisi yang dibudayakan di kalangan
pemerintahan di BMR. Namun, bagaimana dengan sifat dega’ yang sehari-hari digunakan sebagai kata bantu bermakna tak
pasti. Coba letakkan niondon berdiri
sendiri; kemudian padankan menjadi dega’ niondon;
lalu balik menjadi niondon dega’.
Niondon
sebagai kata yang diucapkan tanpa padanan lain
berarti ‘’so ada ‘’, ‘’sudah tiba’’, dan sejenisnya. Dega’ niondon, bagi pengguna bahasa Mongondow yang fasih, digunakan
untuk menyatakan ‘’so ada katu‘’ atau ‘’ternyata sudah ada’’; tanpa diduga
sebelumnya. Sedang niondon dega’
menegaskan (dengan sopan) ‘’so ada’’, ‘’sudah tiba’’, dan sejenisnya.
Untuk menguji tesis itu, bagaimana kalau
kita cermati penggunaan dega’ sehari-hari dalam konteks yang lain. Misalnya, dega’ ikolom, dega’ sia, dega’ sapi atau
dega’ dimbolu’, di mana dega’ jelas menunjukkan ketidakpastian.
Kita lanjutkan dengan membalik menjadi ikolom
dega’, sia dega’, sapi dega’, atau dimbole
dega’, tampaklah bahwa makna frasanya tetap mengandung ketidakpastian
tetapi lebih tegas.
Demi menghindari kebingungan (atau
barangkali hanya saya yang linglung), mohon kesediaan para tetua dan pengguna
fasih bahasa Mongondow menegaskan yang mana yang sebaiknya digunakan. Cukup niondon, dega’ niondon, atau niondon dega’? Ini demi menghindari
tafsir keliru tamu yang justru diundang dan ditunggu-tunggu, ternyata
kehadirannya justru mengejutkan.
Selesai dengan dega’, kita usut kata ’’mengembang’’. Melihat konteksnya, saya
menduga kata yang seharusnya adalah ‘’mengemban’’ yang berarti ‘’melaksanakan
(tugas, cita-cita, kewajiban, dan lain sebagainya)’’, hingga kalimat lengkapnya
menjadi ‘’Semoga sukses dalam melaksanakan amanah Demokrasi Kesatuan Republik
Indonesia.’’
Akan halnya ‘’mengembang’’, di KKBI kata
ini berasal dari ‘’kembang’’ yang diartikan: (1) buka lebar, bentang; dan (2)
bunga. Kalau pengertian pertama yang dirujuk, maka ‘’mengembang’’ berarti ‘’membuka
lebar’’ atau ‘’membentang’’. Sedang jika pengertian kedua yang digunakan, maka
‘’mengembang’’ tak lain dan bukan (1) menjadi sebagai kembang (bunga); dan (2)
meletakkan bunga di kubur. Pengertian kedua, poin 2, ini benar-benar mendirikan
bulu kuduk kalau dibaca dalam kalimat utuh baliho KPU Bolmong: ‘’Semoga sukses
dalam meletakkan bunga di kubur amanah Demokrasi Kesatuan Republik Indonesia.’’
Apa maksud KPU Bolmong? Pilkada Bolmong
2017 adalah kubur amanah Demokrasi Kesatuan Republik Indonesia? Dan kedatangan
Ardiantoro dalam raker dan konsolidasi pesta demokrasi ini adalah untuk menabur
bunga di kuburannya?
Masak iya kalimatnya adalah ‘’Semoga sukses
dalam membuka lebar amanah Demokrasi Kesatuan Republik Indonesia’’; ‘’Semoga
sukses dalam membentang amanah Demokrasi Kesatuan Republik Indonesia’’; atau ‘’Semoga
sukses dalam menjadi bunga amanah Demokrasi Kesatuan Republik Indonesia’’?
Wahai para komisioner KPU Bolmong, mohon
sisihkan anggaran untuk beli KKBI atau KUBI. Tolong baca-bacalah kitab yang
jadi kompas bahasa Indonesia ini. Sebab terserah nasib kalau cuma Anda berlima
dan jajaran KPU Bolmong yang tersesat, tapi ‘’menyumpahi’’ seorang Ketua KPU RI
menjadi penabur bunga di di kubur amanah Demokrasi Kesatuan Republik Indonesia,
benar-benar tindakan yang tak bisa ditolerir. Kalian semua mestinya harus dibawa
ke hadapan DKPP dan disidang dalam tempo sesingkat-singkatnya dan
secermat-cermatnya.
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Cabup: Calon
Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DKPP: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu; H: Hijriah; KBBI: Kamus Besar bahasa Indonesia; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KUBI:
Kamus Umum Bahasa Indonesia; PDIP:
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pemda:
Pemerintah Daerah; Pilkada:
Pemilihan Kepala Daerah; Polres:
Kepolisian Resor; RI: Republik
Indonesia; dan Raker: Rapat Kerja.