KEASYIKAN saya melahap Trust Me, I'm Lying: Confessions of a Media Manipulator (Ryan
Holiday, 2013) sembari menunggu rapat urusan pekerjaan dimulai, Rabu (2
November 2016), diusik BBM dari seorang kawan. Pesan yang masuk merujuk tautan
sebuah berita, http://www.bmrpost.com/2016/11/musa-warga-bmr-ditipu-olly-dondokambey/,
disusul komentar pendek, ''Parah!''
Tautan
situs (katanya berita) bmrpost.com
itu baru saya baca Kamis pagi (3 November 2016). Segera saya sepakat dengan
komentar kawan yang mem-BBM berita bertajuk Musa:
Warga BMR ‘Ditipu’ Olly Dondokambey itu. Bahkan, saya ingin menambahkan
dengan: ''Memang parah separah-parahnya parah! Sumber beritanya dungu,
penulisnya si pandir yang mengantongi identitas wartawan.'' Tulisan itu bukan
berita. Tak memenuhi syarat minimal sebagaimana dituntut Kode Etik Jurnalistik
dan Pedoman Penyiaran Media Siber. Yang disiarkan bmrpost.com itu cuma cara paling bodoh memfitnah dan menghina
Gubernur Sulut, Olly Dondokambey.
Ketika
melongok redaksi situs tersebut, sekadar ingin tahu ''Octav'' yang tercantum
sebagai penulis ''katanya'' berita itu,
saya terbelalak menemukan Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi adalah
Oktavianus Singal. Patut diduga ''Octav'' adalah Oktavianus Singal sendiri.
Selain melebarkan mata, saya juga melebarkan bibir melihat bagian paling bawa
redaksi tercantum badan hukum bmrpost.com
adalah PT Suara Bolmong Perkasa dengan mengantongi SK Menteri Hukum dan HAM RI
serta Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Lho, apa urusannya BPN dengan badan hukum sebuah
situs berita? Kalau kepingin melawak, kenapa tidak sekalian cantumkan nomor
akte kelahiran, ijazah SD, SMP, SMA, KTP, dan SIM semua orang yang terlibat di
PT Suara Bolmong Perkasa. Bila perlu, demi kelengkapan data, tambahkan juga
berat badan, golongan darah, alamat rumah, serta jumlah istri dan anak.
Mari kita
mulai telisikan dengan menyoroti pemilihan sumber beritanya. Sumber yang
digunakan tunggal. Seseorang yang dituliskan sebagai ''tokoh pemuda BMR'' bernama
Didi Musa. Dari foto yang menyertai tulisan, saya menduga yang disebut ''Musa''
adalah sosok berambut panjang diwarnai tembaga, sebentuk dan sewarna surai kuda
yang lama tak digunting.
Setiap
media pemberitaan punya kriteria sendiri dalam menentukan sumber yang
digunakan. Tetapi umumnya kriteria paling dasar setidaknya mencakup tiga aspek:
(1) Layak dipercaya; (2) Pihak berwenang; dan (3) Kompeten. Siapa Musa yang
tokoh pemuda BMR ini? Mengapa dia layak disemati gelar ''tokoh''? Kalaupun dia
tidak berwenang, maka apa kompetensinya?
Pernyataan
yang mengutip Musa , ''Kami warga BMR
‘ditipu’ Olly Dondokambey. Dalam hal ini, pembohongan tentang peraturan
penjabat bubati. Buktinya jabatan sementara Bupati atau Walikota bisa dijabat
oleh satu orang dalam waktu yang tidak bersamaan dan di daerah yang berbeda.
Palandung sebelumnya menjabat sebagai Pjs Walikota Bitung. Kemudian sekarang
dilantik lagi menjadi Pjs Bupati Sangihe'', tidaklah main-main gawatnya.
Dari pengetahuan dan kompetensi mana si Musa ini mengambil simpulan? Juga,
warga BMR mana yang dia klaim 'ditipu' oleh Gubernur Sulut.
Sudah
lama saya memang tidak bermukim permanen di BMR, khususnya di tempat saya lahir
dan tumbuh, di Kelurahan Mogolaing, Kota Kotamobagu. Tapi, seminim-minimnya
pengetahuan saya tentang aktivitas kepemudaan di Mongondow, saya masih punya
informasi cukup siapa-siapa yang layak disebut ''tokoh pemuda''; atau yang
sekadar pok-pok yang merasa ''tokoh''
karena sudah pidato berapi-api di depan 20 orang pengunjuk rasa atau sekelompok
pemuda kurang kerjaan yang berbual-bual di warung kopi.
Pok-pok bersurai tembaga yang dikutip bmrpost.com sudah pasti cuma meracau.
Dia tentu tidak tahu dan harus mendesak dikasih tahu, bahwa yang mengeluarkan
SK menunjuk pejabat (atau penjabat) Bupati/Walikota adalah Mendagri. Pelantikan
Jhon Heit Palandung sebagai Penjabat Walikota Bitung pada Senin, 22 Februari
2016, oleh Gubernur Sulut, dilakukan berdasar SK Mendagri No. 131.71-168.
Demikian pula pelantikannya sebagai Penjabat Bupati Sagihe pada Rabu, 2
November 2016, dilakukan atas perintah SK Mendagri No. 131.71-999.
Jadi, di
manakah letak kesalahan Gubernur Sulut, Olly Dondokambey, yang sesuai dengan UU
dan turunannya adalah ''perpanjangan tangan Pemerintah Pusat''? Sama dengan,
dalam kaitan penunjukkan Penjabat Bupati Bolmong beberapa waktu lalu, di
manakah penipuan yang dilakukan Gubernur Sulut ini? Bukankah ketika itu
Dondokambey hanya merujuk pada surat yang dikeluarkan Mendagri?
Sudah
nir-pengetahuan struktur, fungsi, dan adminsitrasi pemerintahan; tidak
kompeten; sang Musa yang dikutip rupanya juga sangat nekad mempertunjukkan sok
tahunya. Celakanya, (yang katanya) wartawan juga sama gobloknya. Tidak
melakukan check dan recheck, abai pada konfirmasi (seorang
Gubernur dituduh menipu bukanlah perkara sepele), ditulis pula dengan tanda
baca yang, (meminjam frasa Buruh Kata--pengelola http://buruhkata.blogspot.co.id) ya Tuhan, minta ampun kelirunya.
Belajar
menulis berita dari kusu-kusu mana inisial
''Octav'' itu hingga meletakkan dua tanda petik tunggal di kata ''ditipu''
('ditipu'). Pikirannya tentu belum sampai pada pelajaran, bahwa tanda petik
tunggal ('...') dipakai untuk: (1) Mengapit petikan yang terdapat di dalam
petikan lain; (2) Mengapit makna kata atau ungkapan; dan Mengapit makna, kata
atau ungkapan bahasa daerah atau bahasa asing. Untuk berita Musa: Warga BMR ‘Ditipu’ Olly Dondokambey, dapat
disimpulkan tanda petik tunggal yang digunakan adalah penegasan terhadap
kejadian penipuan oleh Gubernur Sulut.
Tapi,
memang begitulah umumnya (yang katanya) wartawan di BMR. Sekadar ''tunjung
jago'' tanpa bekal cukup pengetahuan, bahwa setiap profesi menuntut syarat dan
pra syarat minimal untuk para pengkhimatnya. Bahkan sekadar pengiseng yang
mencoba-coba profesi corat-coret dinding WC atau tembok leput, dituntut minimal punya pengetahuan bahasa, tanda-tanda baca,
dan kompetensi terhadap maknanya.
Saya
ingin menutup tulisan ini dengan menceritakan kisah yang patut membuat jerih
para wartawan.
Satu hari
di beberapa tahun lampau, seorang (katanya) wartawan, Henry Peuru (lengkapnya:
Ir Henry John C.H. Peuru), yang mengelola Tabloid Jejak, menemui saya. Kami bertembung di sebuah kedai kopi di Plasa
Semanggi dan dia langsung mencurahkan apa niatan yang dibawa. Singkatnya, Henry
berkonsultasi dan meminta dukungan sebab dia tengah berseteru di pengadilan
dengan Gubernur Sulut (saat itu), SH Sarundajang. Gugatan yang dilayangkan
Gubernur berkaitan dengan isi Tabloid Jejak
yang dianggap memfitnah dan mencemarkan nama baiknya.
Populernya
kasus Hendry Paeuru vs Gubernur Sulut membuat saya tak asing dengan muasal
silang-selisih di antara mereka. Sebelumnya, saya juga sudah menyimak habis isi
tabloid yang jadi pangkal perkara. Itu sebabnya, saya cuma punya nasihat
pendek: ''Temui Gubernur, minta maaf, dan bermohon supaya masalahnya
diselesaikan secara kekeluargaan.''
Henry,
yang saya kenal sejak zaman mahasiswa, memang punya kepala sekeras nikel.
Dengan berbagai alasan dan argumen, dia berkeyakinan tak bersalah. Bahkan dia
justru bersikukuh jadi korban kelaliman seorang Gubernur.
Pembaca,
Anda bisa menggunakan Google menelusuri kasus wartawan vs Gubernur Sulut itu
dan menemukan, Henry Peuru akhirnya diputus bersalah dengan hukuman pidana
penjara tiga tahun enam bulan serta denda sebanyak Rp 50 juta atau diganti
dengan kurungan tiga bulan penjara. Pada Selasa, 25 November 2014, Kejati Sulut
mengeksekusi putusan pengadilan dengan menjebloskan Henry ke bui.
Peristiwa
itu terjadi ketika media massa masih berada di puncak gairah bebas tekanan
rezim Orba. Tatkala umum masih melihat dan mengapresiasi profesi wartawan
dengan penuh takzim dan takut. Yang hanya mereka yang punya pengetahuan dan
keyakinan penuh, seperti SH Sarundajang (kini salah satu anggota Dewan Pers)
yang berani berhadap-hadapan dengan wartawan.
Kini, di
era yang lebih bebas, di mana publik tahu persis wartawan bukanlah profesi
kebal hukum dan sumber berita boleh pula masuk sel, cuma soal waktu berita
seperti Musa: Warga BMR ‘Ditipu’ Olly
Dondokambey tiba di tangan Gubernur Sulut. Berdoa sajalah, wahai si Musa
bersurai tembaga dan (katanya) wartawan berinisial Octav, semoga tatkala saat
itu tiba Olly Dondokambey sedang senang hatinya dan kalian berdua bebas dari
konsekwensi hukum.***
Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BBM: BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang
Mongondow Raya; BPN: Badan Pertanahan Nasional; HAM: Hak Asasi
Manusia; Kejati: Kejaksaan Tinggi; KTP: Kartu Tanda Penduduk; Mendagri:
Menteri Dalam Negeri; Orba: Orde Baru; PT: Perseroan Terbatas; RI:
Republik Indonesia; SD: Sekolah Dasar; SIM: Surat Izin Mengemudi;
SK: Surat Keputusan; SMA: Sekolah Menengah Atas; SMP:
Sekolah Menengah Pertama; dan Sulut: Sulawesi Utara.