NASIHAT sederhana, amat sederhana, saya terima bertahun lampau yang lalu
tertanam bagai paku menembus papan di ingatan. Padahal, sang pemberi nasihat,
seorang tentara yang kemudian masuk ke sektor bisnis, jadi eksekutif perusahaan
papan atas (salah satu yang terbesar di dunia untuk sektornya), cuma
mengatakan, ‘’Jika kamu ingin jadi pintar, maka bergaulah dengan para orang
pintar. Jika ingin kaya, berkaumlah dengan mereka yang kaya.’’
Hingga hari ini saya masih berhubungan baik
dengan lelaki tua itu, seorang asing yang memutuskan memilih Indonesia sebagai
negeri hari tua tenangnya. Hampir setiap ada kesempatan saya menyambangi
rumahnya, sarapan atau makan siang bersama, menonton ikan-ikan koi
peliharaannya di kolam halaman belakang, dan merentang bual-bual dari
politik-ekonomi global hingga fluktuasi harga jambu klutuk di Pasar Ciluar
Bogor.
Saya selalu mengingat ajarannya sembari
dengan berani memasuki ruang sosial orang-orang pintar. Masya Allah, bergaul
dengan mereka memang membuat otak berkilau. Percakapan yang remeh-temehpun
terasa bernas. Bahkan lelucon dan humor-humor mereka benar-benar jadi makanan
rohani. Bukan sekadar terbahak-bahak sebab mempergunjingkan isi rok mini atau
sialnya orang yang terpeleset kulit pisang.
Nasihat itu mengantar saya bersosialisasi,
membangun pertemanan dengan para eksekutif dan orang berpunya. Dari mereka saya
belajar tentang kerja keras, kesungguhan melakukan sesuatu, juga berbagi—sebab
yang berpunya mudah punya keluangan berbagi lebih dari sekadar doa dan kalimat,
‘’Sabar jo neh.’’ Dari nasihat
kecil—yang tak semegah congor motivator Mario Teguh yang sedang apes karena kebohongan publik—itu, saya
memilih berkomunitas dengan orang-orang baik, melampas ilmu, kebiasaan, dan
kebisaan manusia yang beradab dan punya adab.
Maka, tatkala melihat, mendengar, dan
mengalami merajalelanya kebodohan (ditunjang kesombongan dan kekeraskepalaan)
di Mongondow hari-hari terakhir ini, saya ingin menukil kembali nasihat itu.
Barangkali ada gunanya buat oknum wartawan seperti Audy Kerap, Oktavianus
Singal, atau bahkan komisioner KPU Bolmong, Deandels Sombowadile.
Deandels Sombowadile? Ya, dan karena saya
punya bukti-bukti, mudah-mudahan penyebutan namanya bukan kesilapan, terlebih
dugaan pencemaran nama baik. Tapi kebodohan dalam urusan apa? Ini dia:
penggunaan ‘’mengembang’’ di baliho Raker dan Konsolidasi Penyelenggaraan
Pilkada Bolmong 2017 yang jadi isu di tulisan Tabur Bunga KPU Bolmong untuk
Kubur Amanah Demokrasi Kesatuan RI yang diunggah di blog ini,
Sabtu, 5 November 2016.
Rupanya, ‘’mengembang’’ yang keliru itu
sudah dipersoalkan oleh beberapa jurnalis yang bergabung dalam forum bual-bual,
Crew Tuanggoy, di mana Deandels juga turut
berhimpun. Bukannya bersegera mencari kamus, berkonsultasi pada yang paham
urusan bahasa, dalam forum Deandels berkilah semangat ‘’mengembang’’ (atau
justru keseluruhan kalimat ‘’Semoga sukses dalam mengembang amanah Demokrasi
Kesatuan Republik Indonesia’’?) ada di Mars Pemilu. Bahwa yang dicantumkan
dalam baliho, termasuk ketololan diletakkannya kata itu, disadur dari web KPU RI. Sudah bodoh, bebal, mencatut
pula dengan tak tahu malunya.
Peneliti dari Perludem, Catherine Natalia,
pernah menulis artikel Sejarah Mars Pemilu Tanpa “Pilkada”
yang antaranya dipublikasi KPU
Kabupaten Kepulauan Meranti (http://kpu-merantikab.go.id/2015/05/sejarah-mars-pemilu-tanpa-pilkada-oleh-catherine-natalia.php),
mengungkap sejak 1955 hingga 2014 setidaknya tercatat ada empat mars/jingle Pemilu. Di antara semua mars/jingle itu, hanya yang digunakan di
zaman Orba yang mengandung kata ‘’emban’’, lengkapnya di frasa: ‘’Pengemban
Ampera yang setia.’’ Di luar itu,
eksplisit dan impisit, saya tidak menemukan ‘’pengemban’’ atau ‘’mengemban’’,
apalagi semangat ‘’membuka lebar’’, ‘’membentang’’, ‘’menjadikan bunga’’, pula
‘’menabur bunga di kubur’’ di mars/jingle Pemilu. Deandels jelas
mengarang-ngarang.
Di situs
KPU RI, ketika ditelusuri, hanya terdapat satu entry yang berkaitan
dengan kata mengembang, yaitu Laporan Hasil Penelitian/Survey Pengaruh Money
Politic Terhadap Daya Pilih Masyarakat di Kabupaten Tabalong yang ditulis Ismail, SE., MM (http://www.kpu.go.id/koleksigambar/Tabalong_Kalsel_money_politic.pdf). Itupun, setelah
dicermati, kalimat di mana kata ‘’mengembang’’ tercantum, ‘’Bawaslu lebih
jeli lagi dan perspektif serta konsisten dalam mengembang tugasnya sebagai
pengawas, sehingga Politik Uang ini tidak menjadi pilihan sebagai sarana
terpilihnya suatu kandidat baik pemilihan tingkat desa, kabupaten, provinsi,
maupun nasional.’’, tampaknya hanya dipahami oleh sang penulis seorang.
‘’Mengembang’’ di kalimat ini salah ketik, kelebihan vitamin ‘’g’’, dan keseluruhan
rangkaian kata-katanya lebih gampang dimaknai sebagai paparan omong kosong
ketimbang karya ilmiah.
Selain
pengarang yang buruk, Deandels juga pendusta yang payah. Kemana pikirannya
ketika mencatut mars/jingle Pemilu dan membawa-bawa web KPU RI
sebagai alasan membenarkan kebodohan berjamaah KPU Bolmong yang komisionernya
bekerja kolektif dan kolegial? Memangnya orang-orang yang melihat baliho itu
sama terbelakang dan percaya begitu saja pada ocehan yang nilainya setara
kentut, sekalipun itu datang dari seorang komisioner KPU?
Saya
mulai meragukan kompetensi para komisioner KPU Bolmong, yang semestinya diisi
orang-orang yang kredibiltasnya dapat dipertanggungjawabkan. Kinerja mereka
belakang ini seperti produk orang linglung sebab mamang biji balacai.
Termasuk dalam pemilihan maskot Pilkada Bolmong 2017, tuanggoy, yang
entah dihasilkan dari pertimbangan apa, sayembara kapan, rembukan dengan siapa,
atau mungkin dipetik dari pohon nantu entah di mana.
Dalam
bahasa Mongondow tuanggoy adalah penggambaran (bukan penamaan, sekalipun
kerap kemudian jadi nama untuk Maleo) unggas (tepatnya burung) yang berfisik
kecil dengan telur besar. Setelah bertelur, tuanggoy akan meninggalkan
telurnya, membiarkan ditetas oleh alam, dan menyerahkan nasib sang piyik pada
takdirnya sendiri. Kelakuan tuanggoy yang dalam adab manusia digolongkan
cela itu melahirkan umpama ‘’tumon tuanggoy’’ yang berarti ‘’nirtanggung
jawab’’.
Setiap
maskot punya filosofi dan membawa pesan substansial dari ‘’sesuatu’’ yang
diwakilinya. Dengan memahami filosofi tuanggoy dalam peradaban
Mongondow, umum yang awam seperti saya akhirnya menyimpulkan, barangkali sudah
waktunya KPU Bolmong, para komisioner dan jajarannya, tidak lagi mengurusi
kepentingan publik. Kita serahkan saja perkara memelihara unggas semacam ayam,
bebek, atau puyuh, dan mari berharap hasilnya bakal hore. Tentu kalau mereka telah
menyembuhkan diri dari rajalela kebodohan, bebal, catut, dan sudah belajar tahu
malu.
Yang
menguatirkan, selain ‘’mengembang’’ dan tuanggoy, daftar tragedi bodoh
dan bebal KPU Bolmong kelihatannya bakal bertambah dengan abal-abalnya penanganan
salah satu aspek penting tahapan Pilkada: verifikasi administrasi
Cabup-Cawabup. Info selintas yang saya terima menyebut, jika bukti-bukti yang
ditemukan Panwaslu Bolmong sudah lengkap dan terkonfirmasi dibuka ke hadapanpublik,
arah Pilkada 2017 bakal berubah drastis.
Saya
sungguh menunggu apakah info itu bakal terbukti kebenarannya atau tidak.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; Cabup:
Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil
Bupati; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Panwaslu: Panitia Pengawas Pemilu; Pemilu: Pemilihan Umum; Perludem: Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi; Pilkada: Pemilihan Kepala
Daerah; dan RI: Republik Indonesia.