Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, August 29, 2013

DjM, Ketua DPR KK, dan Persekongkolan Jahat Itu


DATA-DATA itu tiba Kamis siang (29 Agustus 2013) seusai saya menerima telepon dari seorang kawan politikus yang konsern dengan huru-hara politik ciptaan Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit (DjM). Kawan yang saya kenal baik sejak masa remaja ini mengaku penasaran, apa mantra sakti yang dipunyai DjM hingga dia mampu menerobos kemustahilan yang dipagari Undang-Undang (UU) dan turunannya, lalu akhirnya tercatat di Daftar calon Tetap (DCT) Pemilihan Umum (Pemilu 2013).

Karena alasan-alasan hukum hingga etika politik nyaris sudah saya tumpahkan di blog ini, percakapan akhirnya melantur ke urusan duga-duga, bahwa bacaan mujarab di negeri ini biasanya disertai sesajen. Bentuknya mulai dari ayam putih berparuh dan berkaki merah (atau ayam hitam legam dari kepala hingga ujung kaki) hingga ratusan dolar Amerika Serikat (AS) seperti persembahan yang kini menjerat Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan gas (SKK Migas), Rudi Rubiandini, ke sel Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Duga-duga yang keterlaluan mudah tergelincir jadi fitnah, sesuatu yang saya jauhi dengan hati-hati dan serius. Maka bual-bual dan tukar-menukar cerita pun diakhiri dengan kesepahaman, biarkan hukum dan mekanisme sesuai aturan menyelesaikan silang-selisih sah-tidaknya DjM tercatat di DCT Pemilu 2014 sebagai calon legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) KK dari Partai Golkar (PG) untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Kotamobagu Barat.

Lalu tibalah data-data itu, yang menunjukkan bahwa lolosnya DjM di DCT adalah manipulasi yang sangat mudah dibuktikan, yang saya yakin bahkan dapat menyeret Ketua DPR KK, Rustam Siahaan, ke balik jeruji besi. Berdasar data yang tiba di tangan saya, Ketua DPR setidaknya dapat dijerat baik oleh Badan Kehormatan DPR KK karena melakukan pelanggaran etika berat dan polisi karena berkonspirasi jahat, bersekongkol melakukan penipuan.

Pembaca, dokumen utama berkaitan dengan pengunduran diri DjM dari jabatan Walikota KK yang dijadikan dasar pen-Caleg-annya adalah Surat Ketua DPR KK (atas nama DPR) No 100/DPR-KK/251/VII/2013, tertanggal 30 Juli 2013, Perihal Keterangan Proses Usulan Pemberhentian Walikota Kotamobagu. Percayakah Anda bahwa surat ini menyebutkan, ‘’... maka DPRD Kota Kotamobagu telah melakukan Rapat Paripurna pada tanggal 30 Juli 2013, dengan agenda penyampaian pengunduran diri Walikota Kotamobagu dan telah diterima untuk selanjutnya ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku.’’

Aha! Dengan segala hormat, Ketua DPR KK ternyata pembohong besar. Pertama, Rapat Paripurna DPR KK pada 30 Juli 2013 tidaklah mengagendakan penyampaian pengunduran diri Walikota Kotamobagu, melainkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Walikota dan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pemekaran Desa Pontodon Timur. Surat pengunduran diri DjM sebagai Walikota, No  034/W-KK/VI/2013, tertanggal 26 Juni 2013, Perihal Pengunduran Diri Dari Jabatan Walikota Kotamobagu, hanya dibacakan oleh Sekretaris Dewan (Sekwan) sebagai bagian dari surat-surat yang diterima DPR KK dan akan ditindak-lanjuti.

Badan Kehormatan DPR KK semestinya segera memeriksa dan mencopot Ketua DPR, yang dalam surat yang dia keluarkan eksplisit berbohong atas nama lembaga. Di satu sisi, siapa pun yang hadir, terutama sesama anggota dewan yang terhormat dan pejabat pemerintah Kota (Pemkot), berhak melaporkan Ketua DPR ke pihak berwajib karena berkonspirasi dan memanfaatkan jabatannya untuk menipu. Rapat Paripurna DPR bukanlah kegiatan main-main. Agendanya sudah ditetapkan jauh-jauh hari, demikian pula dengan pihak-pihak yang diundang.

Kedua, dan ini yang lebih gawat lagi, surat pengunduran diri yang disampaikan DjM ke DPR KK tidaklah diterima 26 Juni 2013, melainkan 26 Juli 2013. Kita patut menduga bahwa surat tersebut diberi tanggal mundur, dipas-paskan dengan batas waktu minimal satu bulan bagi Kepala Daerah yang menjadi bakal Caleg di Pemilu 2014 untuk mengundurkan diri sesuai dengan ketentuan UU dan turunannya.

Memanipulasi dokumen negara punya konsekwensi hukum yang tidak main-main. Membuktikannya tidak sulit. Dapat ditelusuri dari penomoran resmi di Pemkot KK, serta yang terpenting: Tanda terima di Sekretariat Dewan (Setwan).

Dari fakta-fakta di atas, tahulah kita bahwa DjM, Ketua DPR, dan bahkan boleh jadi Sekwan (kecuali dia mampu menunjukkan bukti yang menunjukkan ketidak-terlibatannya) potensial dijerat tindak-pidana manipulasi dan pemalsuan dokumen negara. Kejahatan yang mereka lakukan bukan hanya menodai proses demokrasi di KK, tetapi juga melukai warga kota ini, termasuk kader-kader PG yang selama ini berkoar-koar akan patuh pada hukum, mekanisme, dan aturan.

Saya tidak bermaksud mencari gara-gara dengan PG KK, tetapi baik DjM maupun Ketua DPR, sama-sama berasal dari partai ini. Dan sebagai Walikota sekaligus Ketua PG KK, DjM lebih superior dibanding Ketua DPR, yang terpaksa mesti turut serta sebelum akal sehatnya memberi peringatan ada bahaya yang menanti di belakang hari.

Di lain pihak, dengan kian terbukanya permainan di balik lolosnya DjM di DCT Pemilu 2014, saya melihat kasus ini bukan lagi sekadar kesilapan KPU yang mungkin kurang informasi, longgar dalam tafsir UU dan turunannya, atau karena mencoba mengakomodasi hak konstitusional seorang politikus. Apa yang terjadi adalah skandal hasil konsporasi jahat yang sayangnya dilakukan dengan bodoh dan serampangan. Hanya diperlukan sedikit ketelitian dan kesabaran, tahulah kita di mana jerat yang menggantung oknum-oknum yang terlibat disematkan.

Tidak keliru bila sejak awal saya berkeyakinan DjM semestinya tidak lolos DCT Pemilu 2014. Setelah lolos pun saya bersikukuh ada yang keliru dan tak masuk akal. Kini dengan data-data terbaru (lengkap dengan dokumen-dokumen sahih), level kepercayaan saya makin tinggi, bahwa setelah keberatan dan gugatan di Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) KK dan Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu), serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) usai, skandal ini harus diusut sebagai persekongkolan jahat para kriminal.

Mengapa kita harus bertoleransi dengan kejahatan di depan mata, yang jelas-jelas menista bukan hanya kewarasan dan harga diri warga KK? Terlebih ulah lancung itu dilakukan oleh mereka yang seharusnya menjadi contoh dan panutan?***

Ha ha ha..., Kamu Ketahuan!


MENTERI Dalam Negeri, Gemawan Fauzi, bereaksi keras terhadap lolosnya sejumlah Kepala Daerah aktif di Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Adalah Rakyat Merdeka Online, Rabu (28 Agustus 2013), yang mempublikasi pernyataan Mendagri dengan tajuk Kecolongan, Mendagri Tegaskan Kembali Kepala Daerah Masuk DCT Harus Mundur (http://politik.rmol.co/read/2013/08/28/123436/Kecolongan,-Mendagri-Tegaskan-Kembali-Kepala-Daerah-Masuk-DCT-Harus-Mundur-).

Berita yang menyebutkan Kepala Daerah aktif yang masuk DCT dan melanggar Undang-Undang (UU) No 8/2012 dan PP No 18/2013 itu dikutip dari situs Sekretariat Kabinet (Setkab) RI (http://www.setgab.go.id/). Sedang oknum-oknum yang dimaksud antara lain Walikota Tangerang, Wahidin Halim, yang masuk DCT Partai Demokrat (PD) dari Daerah Pemilihan (Dapil) Banten III; Bupati Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, Johanes Samping Aoh, tercatat di DPT Partai Amanat Nasional (PAN) Dapil NTT I; serta Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit, dalam DCT Partai Golkar (PG) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) KK. 



Tak lama berselang, Rakyat Merdeka Online mengunggah berita lanjutan yang menukil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KP) Pusat, Husni Kamil Manik, KPU Tegaskan Kepala Daerah yang Masuk DCT Sudah Mundur dari Jabatannya (http://politik.rmol.co/read/2013/08/28/123467/KPU-Tegaskan-Kepala-Daerah-Yang-Masuk-DCT-Sudah-Mundur-Dari-Jabatannya-). Pernyataan Ketua KPU ini menggelikan karena jelas-jelas membantah Mendagri yang dari sistem pemerintahan Indonesia pasti lebih tahu sah atau tidaknya pengunduran diri seorang Kepala Daerah. Mendagri adalah pejabat berwenang dalam urusan ini, sebagaimana yang dinyatakan dalam UU dan turunannya.

Mengabaikan pernyataan Mendagri menunjukkan KPU alpa pada ‘’pekerjaan rumah’’-nya, yaitu verifikasi administrasi bakal Caleg yang mutlak dilakukan agar seseorang akhirnya tercantum di DCT.

Sudahkah semua informasi terkait dibeber? Belum, sebab Minggu (25 Agustus 2013) Rakyat Merdeka Online sebenarnya juga mempublikasi berita Wahidin Halim Tak Bisa Tarik Kembali Namanya dari DCT (http://politik.rmol.co/read/2013/08/25/123130/Wahidin-Halim-Tak-Bisa-Tarik-Kembali-Namanya-dari-DCT-). Ringkasnya, Walikota Tanggerang ini bagai tokoh dalam kisah Lebai Malang, ke hulu tak sampai, ke hilir tak genap. Dia hampir pasti kehilangan kursi Walikota sekaligus terancam disingkirkan dari DCT. PD sebagai partai asalnya sudah mencopot Walidin Halim dari jabatan Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Tanggerang. Bahkan, oleh Ketua Majelis Tinggi PD, Marzuki Alie, disindir, ‘’ Dia harus belajar bagaimana berdemokrasi yang baik.’’

Dengan membeber semua informasi itu, kian jelaslah duduk soal tercatatnya nama Walikota KK, Djelantik Mokodompit (DjM), di DCT Pemilu 2014. Artinya, pernyataannya sebagaimana yang dikutip Beritamanado.Com (Puji KPU, Djelantik Sindir PAN, http://beritamanado.com/berita-utama/puji-kpu-djelantik-sindir-pan/204769/), Rabu (28 Agustus 2013), bahwa keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah sesuai aturan, cuma igauan politikus tidak tahu diri. Yang, seperti kata Marzuki Alie, perlu belajar lagi apa dan bagaimana berdemokrasi. Juga, khusus untuk DjM, etika politik.

***

Sejak mula sepak-terjang DjM agar terdaftar sebagai calon legislatif (Caleg) Pemilu 2014 memang sudah bau pesing. Cipratan pesing ini mencemari sekitar dan menyeret sejumlah banyak pihak ikut rusak, baik karena memang sengaja terlibat kongkalingkong, maupun yang sekadar terkena getah karena berada di tempat yang benar, di waktu yang salah.

Siapa-siapakah mereka yang sekarang ditempeli pesing politik DjM itu?

Pertama, KPU KK hingga KPU Pusat. Sebagai institusi independen penyelenggara Pemilu, KPU berwenang sepenuhnya, termasuk meloloskan atau tidak seorang calon peserta di Pemilu 2014. Namun, seindependen-independennya KPU, mereka mesti tunduk pada UU dan turunannya. Bukan saja UU Pemilu, melainkan UU lain yang terkait, sebagai satu-kesatuan yang ditafsir dan dipraktekkan secara konsisten demi kepatuhan hukum dan ketata-laksanaan penyelengaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dari fakta-fakta yang saya himpun, hingga menjelang penetapan DCT, KPU KK dan KPU Provinsi Sulut sudah mengkonklusi pencalonan DjM tidak memenuhi syarat, terutama yang terkait dengan UU No 8/2012, PP No 18/2013, serta Peraturan KPU (PKPU) No 7/2013 dan PKPU No 13/2013. Maka kemudian KPU KK dan KPU Sulut berkonsultasi ke KPU Pusat, yang ajaibnya meloloskan DjM di DCT 2013.

Sekali pun turut terkena getah, menurut hemat saya, KPU KK dan KPU Sulut terbebas dari nista. Apapun kajian dan pertimbangan yang sudah dibuat, bila KPU Pusat sebagai institusi induk menyatakan sebaliknya, harus dipatuhi. Kalau pun kemudian ditemukan dan dibuktikan terjadi pelanggaran hukum dari putusan itu dan ada yang mesti diberi sanksi, tanggungjawabnya sepenuhnya sudah di tangan KPU Pusat.

Tersebab itulah saya tak segan mencaci manuver sejumlah elit Sulut asal Mongondow yang sedang menikam punggung Ketua KPU KK, Nayodo Kurniawan. Sungguh mengagetkan mengetahui mereka bahkan memberi instruksi agar Nayodo dijegal di fit and proper test pencalonannya (kembali) sebagai anggota KPU KK. Ini elit macam apa? Mereka boleh punya jabatan tinggi tetapi sama tidak punya etika dan pura-pura buta aturan. Pada dasarnya setali tiga uang dengan DjM. Akal sehatnya ditekuk tanpa daya oleh ambisi dan sentimen pribadi.

Kedua, mundur dalam konteks Kepala Daerah mencalonkan diri sebagai Caleg Pemilu 2014 harus mengikuti UU dan turunannya secara lengkap. Hanya dengan surat pengunduran diri, tanpa persetujuan atasan langsung, mengandung (minimal) cacat administrasi. Mendagri sudah mengungkap cacat itu, yang mengingat dipublikasi pertama kali oleh situs Sekretariat Kabinet, menunjukkan bahwa isunya sudah menjadi perhatian otoritas tertinggi pemerintahan di negeri ini.

Dan ketiga, dengan mencermati proses pencalonan DjM dan collateral damage yang diakibatkan, kita dapat menyimpulkan hanya DjM dan pendukungnya, Ketua DPR KK, dan KPU Pusat yang menafsir bahwa dia absah masuk DCT Pemilu 2014. Tafsir ini berbeda dengan kandungan UU dan turunannya, juga praktek umum ketata-negaraannya di negeri ini.

Itu sebabnya benarlah langkah PAN KK menggugat tercatatnya DjM di DPT Pemilu 2014. Tindakan ini bukan ‘’gila urusan’’, karena salah satu fungsi hakiki partai politik (Parpol) adalah pembelajaran dan penegakan etika politik dan bernegara. Bila tak ada sesiapa pun yang menyoal keputusan KPU, justru menunjukkan kesadaran politik (dan hukum) warga Mongondow benar-benar di tingkat kronis dan tak tertolong lagi.

Walau, kita juga harus tetap menghormati ikhtiar yang dilakukan DjM, terlepas dari itu etis atau tidak, benar atau salah, ideologis atau sekadar nafsu dan keserakahan berkuasa. Penghormatan itu termasuk meng-aminkan kicauan Raski Mokodompit di Beritamanado.Com, Sabtu (24 Agustus 2013), Raski: Bagi, Papa, Politik Adalah Nafasnya (http://beritamanado.com/totabuan/raski-bagi-papa-politik-adalah-nafasnya/203777/). Toh kita boleh pulau meracau dengan mempertanyakan, ‘’Nafas atau nafsu?’’ Dan apakah bila tak punya peran dan kedudukan politik lalu DjM tidak bernafas lagi? Bagi saya, kalau itu baik bagi kemaslahatan orang banyak, mengapa tidak?*** 

Sunday, August 25, 2013

DCT Pemilu 2014 KK: Tafsir Hantu untuk Tuyul? (2)


PERTAMA, untuk memahami posisi Walikota dan Ketua DPR KK, kita mesti mengacu pada UU No 32 Tahun 2004, tertanggal 15 Oktober 2004, Tentang Pemerintahan Daerah, UU No 8 Tahun 2005 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, dan yang terakhir UU No 8 Tahun 2008, tertanggal  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548); dan UU No 12 Tahun 2008, tertanggal 28 April 2008, Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Dari serentengan UU tersebut tak terbantahkan bahwa Pemerintahan Daerah terdiri atas Kepala Daerah dan DPR. Tegas pula ada hak dan kewajiban kedua pihak, khususnya DPR yang dapat mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah. Dengan kata lain, DPR berhak mengusulkan seorang Kepala daerah diberhentikan; tetapi sesuai dengan UU pula, keputusan akhir tidak di tangan DPR. ‘’Memutuskan untuk mengusulkan’’ dan ‘’memutuskan keputusan terhadap putusan yang diusulkan’’ adalah dua pengertian yang sama sekali berbeda.

Bahkan, UU dengan tegas menyatakan, usulan pemberhentian Kepala Daerah oleh DPR karena pelanggaran hukum atau karena Kepala Daerah tidak lagi mampu menjalankan tugasnya, harus disetujui oleh Mahkamah Agung (MA). Tanpa persetujuan MA, pemberhentian itu tidak sah.

Kedua, dalam konteks Surat Keterangan dari Ketua DPR KK yang dikantongi DjM sebagai syarat pencalonan legislatif di Pemilu 2014, apakah sejalan dengan UU yang menyatakan bahwa DPR terdiri dari ‘’Pimpinan” dan seterusnya. Benar Ketua DPR adalah representasi DPR itu sendiri, tetapi karena kepemimpinan DPR kolektif, absahkah bila tanda-tangannya tunggal? Bagaimana kalau dua Wakil Ketua DPR KK berpendapat lain? Bukankah sesuai UU, sebagai bagian dari ‘’unsur pimpinan DPR’’ mereka semestinya berhak pula mengeluarkan surat yang berbeda.

Ketiga, dengan mengesampingkan UU dan turunannya yang memusingkan dan dapat diperdebatkan tanpa henti itu, praktek umum ketata-negaraannya yang diketahui, dipahami, dan dimahfumi orang banyak yang awam, contohnya adalah: Bila seorang Walikota, Wawali, Bupati, atau Wakil Bupati (Wabup) terlibat dalam kampanye politik (lebih sederhana lagi keluar daerah), maka harus seizin Gubernur atau pejabat yang ditunjuk. Demikian pula, Gubernur harus atas izin Presiden atau pejabat yang ditunjuk (lazimnya Mendagri).

Di mana posisi Ketua DPR (dan DPR Provinsi dan Kabupaten/Kota) dalam konteks tersebut? Apakah dia berwenang memberikan izin bila Gubernur atau Mendagri tidak mengeluarkan izin keterlibatan seorang Kepala Daerah dalam kampanye politik? Kalau UU dan turunannya ditafsir semena-mena, parsial, dan dicocok-cocokkan dengan kompromi politik, serta dipraktekkan bertolak belakang satu dengan yang lain (padahal dia berada dalam satu kesatuan UU yang sama), negara macam apa sesungguhnya yang sedang kita mukimi ini?

Keempat, dari sejumlah informasi yang saya dapatkan, keputusan KPU mengabsahkan tercatatnya DjM di DCT Pemilu 2014, karena menghormati hak konstitusional warga negara untuk mencalonkan dan dicalonkan, sesuai UUD 1945. Kalau semata hak ini yang dikedepankan, dengan mengesampingkan turunan UUD, mulai dari UU Pemerintah Daerah, UU Pemilu, dan seterusnya, jelas ini tafsir hantu atas kedudukan tuyul.

Tafsir KPU itu dapat kita perluas dengan menyakini, karena UUD 1945 menjamin hak semua warga negara untuk mendapatkan pendidikan, maka siapa pun boleh datang ke Universitas Sam Rutulangi dan berkuliah di salah satu fakultas yang dia sukai, sepanjang punya ijazah SMA dan mendapat surat keterangan dari Ketua DPR.

Bagian manakah yang tidak jelas dari Pasal 9, Ayat (1) dan (2) PKPU No 7/2013? Ayat  (1) menyatakan: ‘’Pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud Pasal 4 huruf k dibuktikan dengan surat keputusan pemberhentian yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atas permohonan pengunduran diri kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas, dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain.’’

Sedang Ayat (2) menyebutkan, ‘’Dalam hal surat keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum diterbitkan, pengunduran diri bakal calon yang bersangkutan dibuktikan dengan surat keterangan yang ditandatangani oleh atasan langsung bakal calon yang menerangkan telah memberikan persetujuan pengunduran diri bakal calon yang bersangkutan dan menyatakan akan memproses lebih lanjut sampai diterbitkannya keputusan pemberhentian oleh pejabat yang berwenang.’’

Pejabat berwenang yang dimaksud di Ayat (1) jelas bukanlah DPR KK. Sejak kapan Ketua DPR berhak mensahkan pemberhentian seorang Kepala Daerah? Di UU dan turunannya yang manakah? Pun, Ayat (2) yang eksplisit menyebutkan atasan langsung yang menerangkan telah memberikan persetujuan pengunduran diri bakal calon (Kepala Daerah yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR), sudah pasti yang dimaksud bukanlah Ketua DPR. Terhitung kapan dan di UU mana serta turunannya disebutkan bahwa atasan Kepala Daerah adalah Ketua DPR?

Benar bahwa PKPU No 7/2013 telah diubah dengan PKPU No 13/ 2013, di mana Pasal 19 menyatakan: ‘’Surat pencalonan (Model B) dan daftar bakal calon (Model BA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3), disertai dengan dokumen persyaratan masing- masing bakal calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yang dibuktikan dengan:’’, lebih khusus butir i yang menyebutkan: Surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali bagi: 1. kepala daerah, wakil kepala daerah, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada BUMN dan/atau BUMD serta pengurus pada badan lainnya yang anggarannya bersumber dari keuangan negara (Model BB-4); dan seterusnya.
Harap dicatat, PKPU No 13/2013 ini tidak mengubah atau meniadakan Pasal 9 PKPU No 7/2013 yang secara tegas mengatur bahwa pengunduran diri Kepala Daerah harus seizin atasan langsung. Lebih penting lagi, derajat PKPU lebih rendah dari PP dan UU, termasuk UU Pemerintahan Daerah. Meloloskan DjM dengan hanya berpegang pada Surat Keterangan Ketua DPR KK serta (patut diduga) butir i, Pasal 19 PKPU No 13/2013, sudah menunjukkan ada yang keliru dan bau tak sedap dari putusan ini.
Dilontarkan ke tong sampah mana klausal verifikasi yang harus dilakukan KPU, terutama KPU KK, berkaitan dengan keabsahan DjM sebagai bakal calon legislatif Pemilu 2014? Benar dia memasukkan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali, tak diperdebatkan ada Surat Keterangan dari Ketua DPR KK. Yang jadi pertanyaan: Apakah surat-surat itu sah berdasarkan hukum? Pembaca, dengan membaca UU dan turunannya serta praktek umum pemerintahan dan ketata-negaraan, Anda boleh menilai sendiri sah-tidaknya dokumen tersebut.
Maka, menurut saya, dalam kasus DjM, KPU memang sedang menguji kredibilitasnya sendiri. Sebab itu, siapa pun yang keberatan (dirugikan langsung atau tidak), termasuk Partai Amanat Nasional (PAN) KK yang sudah terbuka bereaksi, demi kepastian hukum di negeri ini, patut menggugat keputusan tersebut. Dari melaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu); PTUN; MK; hingga memperkarakan Ketua DPR KK karena mengeluarkan dokumen yang di luar kewenangannya, yang  selain melanggara etika DPR, juga masuk dalam ranah tindak pidana.***

DCT Pemilu 2014 KK: Tafsir Hantu untuk Tuyul? (1)



WALIKOTA Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit (DjM), akhirnya tercantum di Daftar Calon Tetap Pemilihan Umum (DCT Pemilu) 2004, untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) KK. Keputusan pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) KK, Kamis (22 Agustus 2013) ini segera mengundang pro dan kontra. Gegar politik ‘’babak kesekian’’ sekali lagi menguncang Kotamobagu.

Sebetulnya saya malas membahas lagi ihwal-soal DjM. Bukan karena dia berbeda dengan umumnya politikus, lebih khusus orang Mongondow, yang paham etika dan tahu diri. Bagi saya, abnormalitas DjM sudah melampaui akal sehat yang paling liar, terlebih dengan motif yang sama tidak masuk akalnya. Difinisi gila dalam pengertahuan umum (khususnya gila jabatan), yang dia idap, tampaknya mesti dipertimbangkan kembali dengan saksama dalam memahami, menakar, dan mengkonklusi sepak-terjangnya politiknya.

Di sisi lain, dengan memahami tafsir hukum di Indonesia yang mudah dibengkok-bengkok dan dipatah-patahkan, sekali pun kaget dengan keputusan KPU KK (tentu sebagai institusi yang telah melakukan konsultasi dan telaah berjenjang hingga KPU Pusat), saya tidak terlampau heran. Menurut hemat saya, KPU –terutama KPU Pusat sebagai penentu paling akhir— kali ini melakukan kekeliruan. Mereka menafsir undang-undanga (UU) dan turunannya (yang memang dapat diperdebatkan panjang-pendek dan akhirnya menciptakan lingkaran setan) secara parsial; di saat bersamaan melupakan praktek umum dan subtansi ketata-negaraan.

Pendapat saya ini tentu akan membuat para cerdik-cendekia dan pakar hukum mengerutkan jidat. Memangnya saya punya kompetensi apa dalam urusan tafsir-menafsir hukum?

Begini, pembaca, untuk memudahkan saya akan mengurutkan argumen mengapa DjM seharusnya tidak memenuhi syarat lolos dalam DCT Pemilu 2014.

Pertama, jenjang hukum di Indonesia mendudukkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai panutan hukum tertinggi, menyusul UU, Peratutan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah (PP), dan seterusnya. UUD 1945 menyatakan bahwa hak warga negara untuk memilih dan dipilih. Ini hak konsitusional yang hakiki dan melekat pada warga negara, siapa pun dia, termasuk DjM.

Berkenaan dengan Pemilu, UU terakhir yang mengatur adalah UU No 8 Tahun 2012, tertanggal 12 Mei 2012, tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam konteks pencalonan DPR, pasal yang pertama harus dirujuk adalah Pasal 12, huruf k, bahwa calon anggota DPR, DPR Daerah, dan DPD: ‘’mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.’’
Berdasar UU No 8/2012, dikeluarkanlah PP No 18 Tahun 2013, tertanggal 1 Maret 2013, Tentang Tata Cara Pengunduran Diri Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, dan Pegawai Negeri yang Akan Menjadi Bakal Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, Serta Pejabat Negara Dalam Kampanye Pemilu. Pasal-pasal yang membahasa tata cara Walikota dan pengunduran dirinya bila mencalonkan sebagai anggota DPR atau DPD ada di Pasal 2 (ayat 1 dan 2) dan Pasal 3 (ayat 1 dan 2). Ringkasnya, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang mengajukan diri sebagai calon anggota DPR/DPD harus mengundurkan diri. Langkah ini harus dilakukan satu (1) bulan sebelum batas akhir pengajuan bakal calon dan ditujukan kepada pejabat berwenang.
Di lain pihak, KPU sebagai penyelenggara Pemilu juga menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 7 Tahun 2013, tertanggal 9 Maret 2013, Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. PKPU ini disempurnakan lagi dengan PKPU No 13 Tahun 2013, tertanggal 3 April 2013, Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 07 Tahun 2013 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 4 PKPU No 7/2013 tak berbeda dengan Pasal 12, huruf k, UU No 8/2012. Namun di PKPU No 7/2013 dipertegas lagi dengan Pasal 9, ayat (1) hingga (4). Secara eksplisit pasal ini menyatakan: Kepala daerah yang mengajukan pengunduran diri harus dibuktikan dengan surat keputusan pemberhentian yang disahkan oleh pejabat berwenang. Apabila surat tersebut belum diterbitkan, maka pengunduran dari bakal calon dibuktikan dengan surat keterangan yang ditandatangani oleh atasan langsung.
Kutipan UU, PP, dan PKPU itu mulai memusingkan kepala? Benar belaka, apalagi kalau kemudian kita masukkan pula turunan-turunan lanjutannya, termasuk (bila ada) Surat Edaran KPU berkaitan dengan isu ini.

Kedua, namun di mana sebenarnya titik silang-selisih absah-tidaknya DjM lolos DCT Pemilu 2014? Saya tetap berkeyakinan, dari seluruh dokumen yang mensyaratkan pencalonan seorang bakal calon peserta Pemilu sudah dia penuhi, kecuali satu: Dokumen yang terkait dengan pengunduran dirinya sebagai Walikota KK, baik surat keputusan pemberhentian maupun surat keterangan yang ditanda-tangani atasan langsung. Lebih khusus lagi, siapa yang dimaksud dengan atasan langsung ini?

Ketiga, sudah menjadi fakta dan pengetahuan umum bahwa dokumen pengunduran diri DjM sebagai Walikota KK ke KPU hanya dengan Surat Keterangan dari Ketua DPR KK. Surat ini, kurang lebih, menerangkan bahwa yang bersangkutan sudah mengajukan pengunduran diri. Dan bahwa pengunduran diri itu sudah diterima oleh DPR KK dan selanjutnya akan diproses sesuai dengan ketentuan dan mekanismenya.

Sesuaikah dokumen itu sebagaimana yang disyaratkan oleh UU dan turunannya? Apakah Ketua DPR KK adalah pejabat yang berwenang, yang keterangannya sah sesusai UU Pemilu, PP dan PKPU terkait? Serta, yang tak boleh dilupakan UU dan turunannya yang lain yang berkaitan dengan Pejabat Negara.

Pembaca, di titik ini kita memasuki area tafsir hukum, yang –sebagaimana saya diungkapkan di atas--, menjadi wewenang para cerdik-cendekia, pakar, dan penegak hukum. Dalam soal pemerintahan dan ketata-negaraan, arena yang tepat adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau Mahkamah Konsitusi (MK). Tetapi sebelum upaya formal itu dilakukan, sama sekali tak terlarang atau dilarang bila kita mempertanyakan tafsir yang terkait dengan lolosnya DjM di DCT Pemilu 2014, dengan menggunakan dasar yang sama, UU Pemilu dan turunannya serta UU lain dan turunannya.***