BINGKISAN
menjelang Idul Fitri 1434 yang diterima 12 pejabat eselon III dan IV Pemerintah
Kota Kotamobagu (Pemkot KK), Jumat (2 Agustus 2013), boleh kita maknai sebagai
ujian kesabaran Ramadhan. Entah apa musababnya, mereka mendadak dicopot dari
jabatannya dan ‘’diparkir’’ sebagai tenaga pembantu. Setidaknya demikian yang
saya baca di situs totabuan.co, 12 Birokrat di Pemkot Kotamobagu Non-job
(http://totabuan.co/2013/08/02/12-birokrat-di-pemkot-kotamobagu-non-job/).
Kita boleh ber-syak, pencopotan 12 birokrat itu tak jauh
dari ekses pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) KK, Senin (24 Juni
2013), yang menjungkalkan petahana, Djelantik Mokodompit (DjM). Sudah jadi
pengetahuan umum, sejak gegar Pilwako dimulai, pegawai negeri sipil (PNS) di KK
memang dipaksa memihak DjM, yang dipastikan lewat sensus ke setiap Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (SKPD). Sensus ini demi memetakan siapa yang kuning (DjM),
Biru (Tatong Bara –TB), dan abu-abu (mereka yang tidak terang-terangan
menyatakan afiliasi politiknya).
Apapun alasan pencopotan 12 birokrat itu, tak perlu
dipersoalkan lagi. Sekali pun penggantian jabatan tersebut dilakukan di saat
secara terbuka DjM sudah memaklumatkan pengundurannya sebagai Walikota demi
menyasar target politik baru: calon legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) KK di pemilihan pmum (Pemilu) 2014. Menghadapi ulah dan tingkah DjM yang
tidak tahu malu, tidak tahu diri, dan tidak tahu etika, kita mesti bersyukur:
Mayoritas warga KK sudah mengucapkan selamat jalan buat dia.
Sebaliknya, masyarakat KK juga mesti mulai mewaspadai gejala
yang sama yang kini mulai ditunjukkan Walikota-Wakil Walikota (Wawali)
2013-2018 yang bakal dilantik September mendatang. Sinyal buruk itu, entah
sadar atau tidak, telah dilontarkan Wawali terpilih, Jainudin Damopolii (JD),
sebagaimana yang dipublikasi totabuannews.com,
Jumat (2 Agustus 2013), Jainuddin:
Kabinet TB-JaDi Sesuai Amal Masing-masing (http://totabuanews.com/2013/08/02/jainuddin-kabinet-tb-jadi-sesuai-amal-masing-masing/).
Rupanya JD sudah menganggap dirinya ‘’Tuhan’’ yang berhak
menakar urusan amal orang per orang (bila hal-ihwal amal ini ditafsir dari sisi
religiusitas). Tampaknya pula PNS di KK harus mendefinisikan kembali posisi
mereka, bahwa di luar kinerja dan kemampuan, faktor amal menjadi penentu
dipakai atau tidak seorang birokrat di bawah pemerintahan TB-JD. Kemanakah
profesionalisme yang menjadi nafas utama seorang birokrat diletakkan di dalam
manajemen amal ala JD ini? Dan sesungguhnya apa yang disebut sebagai ‘’amal’’
itu?
Warga KK, khususnya kalangan birokrasi, patut bercuriga
bahwa amal dalam definisi JD adalah kontribusi PNS dalam proses terpilihnya
TB-JD sebagai Walikota-Wawali KK 2013-2018. Bila benar demikian rumusannya, apa
beda antara DjM dan JD? Bahkan hanya dengan mempertanyakan konteks pernyataan itu
(yang semoga tidak salah dikutip oleh totabuannews.com),
dapat disimpulkan keduanya sama-sama musang berbulu domba. Yang membedakan,
satu musang yang telah terbukti sakit jiwa dan yang lain baru menunjukkan
gejala terganggu.
Pemimpin atau pejabat publik yang sadar terhadap
tanggungjawab, wewenang, dan tugas yang diembannya, semestinya berhati-hati
dengan setiap kata yang dilontarkan ke hadapan orang banyak. Sebab
pernyataan-pernyataan itu tidak hanya mencerminkan apa yang dipikirkan, tetapi
juga merefleksikan perbuatan dan tindakan yang sudah dan diniatkan untuk
dilakukan di masa datang.
Menimbang penetapan seorang birokrat dengan timbangan amal
adalah ancaman terang-terangan yang mengandung niat buruk. Karena hanya JD yang
tahu apa definisi amal yang dia maksud, tidak mengunjungi Walikota-Wawali
terpilih di Lebaran nanti boleh dianggap sebagai amalan buruk. Mungkin pula
lalai menyambangi mereka berdua dan mengucapkan selamat di hari H Pilwako,
boleh jadi menunjukkan ketidak-beramalan seorang PNS di KK.
Saya tak akan berbantah
bahwa dalam mengambil keputusan, termasuk berkaitan dengan hajat hidup orang
banyak, seorang pemimpin tidak terbebas dari subyektivitas. Tetapi sungguh
keliru bila subyektivitas, semisal perkara amal yang tak jelas juntrungan
definisinya itu, menjadi faktor penting yang mengalahkan takaran-takaran
profesionalisme dan kompetensi seseorang. Tidak ada yang salah seorang birokrat
beramal mendukung DjM selama proses Pilwako, sepanjang itu dilakukan di luar
jam kerja, tidak dengan menggunakan fasilitas dinas, atau dengan menyalahgunakan
jabatan.
Imbisillah pemimpin atau pejabat publik yang meletakkan
subyektivitas (yang entah dipungut dari bawah pohon apa) sebagai penakar
terdepan memilih orang-orang yang akan bekerja bersama-sama dia. Tetapi, di
sisi lain, saya juga tidak heran terhadap kian anehnya keajaiban perilaku para
pemimpin dan kalangan pemerintahan di Mongondow belakangan ini.
Manajemen amal yang sudah diisyaratkan JD, masih kita tunggu
bakal berwujud seperti apa. Beda dengan manajemen tangis yang hasilnya adalah
karut-marutnya roda pemerintahan di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong)
Induk. Manajemen tangis? Apa pula ini?
Pembaca, kalau dua pertanyaan itu melintas di benak, artinya
Anda tidak peka dan awas memperhatikan sekitar. Bukan rahasia lagi, mudah bagi
seorang birokrat di Bolmong Induk, yang paling brengsek, tukang tilep, tak
kompeten, dan jauh dari profesional, mendapatkan jabatan dengan trik sederhana:
Di posisi kepepet karena terancam dicopot atau sedang di-non-job-kan, menghadaplah pada Bupati Salihi Mokodongan dan
tumpahkan tangis sesedih-sedihnya. Saya jamin si birokrat bakal aman
lahir-bathin.
Yang seharusnya non-job
ternyata dipromosi, yang terancam dicopot justru bakal mendapat jabatan yang
lebih basah dan syur. Tidak percaya? Tunggu saja apa yang bakal terjadi di
dua-tiga bulan mendatang.
Untunglah model manajemen kepemimpinan dan pemerintahan
imbisil itu belum menjadi praktek umum di Mongondow. Dapat dibayangkan betapa
mengerikannya menjadi PNS di wilayah ini bila lima pasang Bupati, Wakil Bupati
(Wabup), Walikota, dan Wawali beramai-ramai menggunakan pikiran ayam tetelo
dalam mengelola daerah yang dia pimpin.
Alangkah tak sehatnya pikiran dan jantung para birokrat di Bolaang
Mongondow Timur (Boltim) bila nasib mereka ditentukan asyik-tidaknya kelakuan
yang bersangkutan, mengikuti cara berpikir dan laku Bupati Sehan Lanjar.
Demikian pula, bagaimana jadinya andai Bupati Bolaang Mongondow Selatan
(Bolsel), Herson Mayulu, menjadikan bentuk kopiah dan baju koko sebagai salah
satu aspek penting penilaian penempatan PNS di jajaran pemerintahannya. Atau,
cerewet atau tidaknya seorang birokrat menjadi indikator dia layak dipromosi
atau non-job di Bolaang Mongondow
Utara (Bolmut), karena Bupati Depri Pontoh dikenal hemat kata dan irit gaya.
Kalau sampai demikian adanya, begitu provinsi yang kini
dicita-citakan berdiri di wilayah Mongondow, kita namai saja Provinsi
Cenge-cenge’. Setelah itu, beramai-ramailah kita semua memilih kodok dan
biawak sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur (Wagub)-nya.***