Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, August 3, 2013

Kepemimpinan Amal, Kepemimpinan Tangis, dan Lain-lain


BINGKISAN menjelang Idul Fitri 1434 yang diterima 12 pejabat eselon III dan IV Pemerintah Kota Kotamobagu (Pemkot KK), Jumat (2 Agustus 2013), boleh kita maknai sebagai ujian kesabaran Ramadhan. Entah apa musababnya, mereka mendadak dicopot dari jabatannya dan ‘’diparkir’’ sebagai tenaga pembantu. Setidaknya demikian yang saya baca di situs totabuan.co, 12 Birokrat di Pemkot Kotamobagu Non-job (http://totabuan.co/2013/08/02/12-birokrat-di-pemkot-kotamobagu-non-job/).

Kita boleh ber-syak, pencopotan 12 birokrat itu tak jauh dari ekses pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) KK, Senin (24 Juni 2013), yang menjungkalkan petahana, Djelantik Mokodompit (DjM). Sudah jadi pengetahuan umum, sejak gegar Pilwako dimulai, pegawai negeri sipil (PNS) di KK memang dipaksa memihak DjM, yang dipastikan lewat sensus ke setiap Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD). Sensus ini demi memetakan siapa yang kuning (DjM), Biru (Tatong Bara –TB), dan abu-abu (mereka yang tidak terang-terangan menyatakan afiliasi politiknya).

Apapun alasan pencopotan 12 birokrat itu, tak perlu dipersoalkan lagi. Sekali pun penggantian jabatan tersebut dilakukan di saat secara terbuka DjM sudah memaklumatkan pengundurannya sebagai Walikota demi menyasar target politik baru: calon legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) KK di pemilihan pmum (Pemilu) 2014. Menghadapi ulah dan tingkah DjM yang tidak tahu malu, tidak tahu diri, dan tidak tahu etika, kita mesti bersyukur: Mayoritas warga KK sudah mengucapkan selamat jalan buat dia.

Sebaliknya, masyarakat KK juga mesti mulai mewaspadai gejala yang sama yang kini mulai ditunjukkan Walikota-Wakil Walikota (Wawali) 2013-2018 yang bakal dilantik September mendatang. Sinyal buruk itu, entah sadar atau tidak, telah dilontarkan Wawali terpilih, Jainudin Damopolii (JD), sebagaimana yang dipublikasi totabuannews.com, Jumat (2 Agustus 2013), Jainuddin: Kabinet TB-JaDi Sesuai Amal Masing-masing (http://totabuanews.com/2013/08/02/jainuddin-kabinet-tb-jadi-sesuai-amal-masing-masing/).

Rupanya JD sudah menganggap dirinya ‘’Tuhan’’ yang berhak menakar urusan amal orang per orang (bila hal-ihwal amal ini ditafsir dari sisi religiusitas). Tampaknya pula PNS di KK harus mendefinisikan kembali posisi mereka, bahwa di luar kinerja dan kemampuan, faktor amal menjadi penentu dipakai atau tidak seorang birokrat di bawah pemerintahan TB-JD. Kemanakah profesionalisme yang menjadi nafas utama seorang birokrat diletakkan di dalam manajemen amal ala JD ini? Dan sesungguhnya apa yang disebut sebagai ‘’amal’’ itu?

Warga KK, khususnya kalangan birokrasi, patut bercuriga bahwa amal dalam definisi JD adalah kontribusi PNS dalam proses terpilihnya TB-JD sebagai Walikota-Wawali KK 2013-2018. Bila benar demikian rumusannya, apa beda antara DjM dan JD? Bahkan hanya dengan mempertanyakan konteks pernyataan itu (yang semoga tidak salah dikutip oleh totabuannews.com), dapat disimpulkan keduanya sama-sama musang berbulu domba. Yang membedakan, satu musang yang telah terbukti sakit jiwa dan yang lain baru menunjukkan gejala terganggu.

Pemimpin atau pejabat publik yang sadar terhadap tanggungjawab, wewenang, dan tugas yang diembannya, semestinya berhati-hati dengan setiap kata yang dilontarkan ke hadapan orang banyak. Sebab pernyataan-pernyataan itu tidak hanya mencerminkan apa yang dipikirkan, tetapi juga merefleksikan perbuatan dan tindakan yang sudah dan diniatkan untuk dilakukan di masa datang.

Menimbang penetapan seorang birokrat dengan timbangan amal adalah ancaman terang-terangan yang mengandung niat buruk. Karena hanya JD yang tahu apa definisi amal yang dia maksud, tidak mengunjungi Walikota-Wawali terpilih di Lebaran nanti boleh dianggap sebagai amalan buruk. Mungkin pula lalai menyambangi mereka berdua dan mengucapkan selamat di hari H Pilwako, boleh jadi menunjukkan ketidak-beramalan seorang PNS di KK.

 Saya tak akan berbantah bahwa dalam mengambil keputusan, termasuk berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, seorang pemimpin tidak terbebas dari subyektivitas. Tetapi sungguh keliru bila subyektivitas, semisal perkara amal yang tak jelas juntrungan definisinya itu, menjadi faktor penting yang mengalahkan takaran-takaran profesionalisme dan kompetensi seseorang. Tidak ada yang salah seorang birokrat beramal mendukung DjM selama proses Pilwako, sepanjang itu dilakukan di luar jam kerja, tidak dengan menggunakan fasilitas dinas, atau dengan menyalahgunakan jabatan.

Imbisillah pemimpin atau pejabat publik yang meletakkan subyektivitas (yang entah dipungut dari bawah pohon apa) sebagai penakar terdepan memilih orang-orang yang akan bekerja bersama-sama dia. Tetapi, di sisi lain, saya juga tidak heran terhadap kian anehnya keajaiban perilaku para pemimpin dan kalangan pemerintahan di Mongondow belakangan ini.

Manajemen amal yang sudah diisyaratkan JD, masih kita tunggu bakal berwujud seperti apa. Beda dengan manajemen tangis yang hasilnya adalah karut-marutnya roda pemerintahan di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk. Manajemen tangis? Apa pula ini?

Pembaca, kalau dua pertanyaan itu melintas di benak, artinya Anda tidak peka dan awas memperhatikan sekitar. Bukan rahasia lagi, mudah bagi seorang birokrat di Bolmong Induk, yang paling brengsek, tukang tilep, tak kompeten, dan jauh dari profesional, mendapatkan jabatan dengan trik sederhana: Di posisi kepepet karena terancam dicopot atau sedang di-non-job-kan, menghadaplah pada Bupati Salihi Mokodongan dan tumpahkan tangis sesedih-sedihnya. Saya jamin si birokrat bakal aman lahir-bathin.

Yang seharusnya non-job ternyata dipromosi, yang terancam dicopot justru bakal mendapat jabatan yang lebih basah dan syur. Tidak percaya? Tunggu saja apa yang bakal terjadi di dua-tiga bulan mendatang.

Untunglah model manajemen kepemimpinan dan pemerintahan imbisil itu belum menjadi praktek umum di Mongondow. Dapat dibayangkan betapa mengerikannya menjadi PNS di wilayah ini bila lima pasang Bupati, Wakil Bupati (Wabup), Walikota, dan Wawali beramai-ramai menggunakan pikiran ayam tetelo dalam mengelola daerah yang dia pimpin.

Alangkah tak sehatnya pikiran dan jantung para birokrat di Bolaang Mongondow Timur (Boltim) bila nasib mereka ditentukan asyik-tidaknya kelakuan yang bersangkutan, mengikuti cara berpikir dan laku Bupati Sehan Lanjar. Demikian pula, bagaimana jadinya andai Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu, menjadikan bentuk kopiah dan baju koko sebagai salah satu aspek penting penilaian penempatan PNS di jajaran pemerintahannya. Atau, cerewet atau tidaknya seorang birokrat menjadi indikator dia layak dipromosi atau non-job di Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), karena Bupati Depri Pontoh dikenal hemat kata dan irit gaya.

Kalau sampai demikian adanya, begitu provinsi yang kini dicita-citakan berdiri di wilayah Mongondow, kita namai saja Provinsi Cenge-cenge’. Setelah itu, beramai-ramailah kita semua memilih kodok dan biawak sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur (Wagub)-nya.***