MITOS bukan hanya
sesuatu yang kita tahu, mungkin percayai, dan waspadai, yang datang dari masa
lalu. Di zaman ketika gerhana matahari patut diduga terjadi akibat naga raksasa
menelan matahari. Agar sang naga kurang kerjaan itu melepeh lagi sumber cahaya
Galaksi Bima Sakti ini sebelum dia benar-benar berakhir dalam perutnya,
penduduk bumi mesti beramai-ramai menciptakan bising.
Hingga di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), kepercayaan
itu saya hadapi dengan kaki yang berdiri di dua kutub berbeda. Yang satu di
atas pengetahuan ilmiah modern, bahwa gerhana matahari terjadi karena di saat
yang sama bulan tepat berada di antara matahari dan bumi. Menyelipnya si bulan
ini menjadikan untuk beberapa jenak cahaya matahari terhalang. Bumi diselimuti
gelap. Sedangka kaki yang satu lagi, dengan bodohnya, diseret turut di keriuhan
memukul lesung, dandang, dan sebagainya, seolah dengan demikian matahari dapat
diselamat dengan sehat wal afiat.
Namun mitos yang paling banyak saya temui di keseharian
adalah kepercayaan yang berkaitan dengan kesaktian horoskop atawa ramalan
bintang. Bagi yang meng-amini ramalan jenis ini, jangan buru-buru naik darah.
Anda boleh tetap mempercayai ‘’peruntungan –atau kesialan-- minggu ini’’ yang
biasanya banyak ditemui di edisi akhir pekan koran-koran di seantero negeri
ini. Saya sendiri memilih netral. Kalau ramalan bintang saya bilang akan ada
peruntungan, saya sambut dengan syukur. Bila yang ditulis si tukang ramal
ternyata buruk dan cuma membuat was-was, saya menghibur diri dengan segera
mencampakkan koran yang memuat ke tong sampah.
Lagipula, kalau tukang-tukang ramal horoskop itu benar-benar
manjur, mengapa mereka tidak mampu meramalkan peruntungannya sendiri? Tentu ada
satu-dua pengecualian, misalnya di akhir bulan rata-rata horoskop (tak peduli
itu jenis bintang apa) menuliskan: “Kedamaian dan keberuntungan ada di depan
mata.’’ Tentu saja, orang bodoh pun tahu, akhir bulan umumnya adalah saat
gajian. Dan kantong yang terisi selalu membawa kedamaian dan keberuntungan.
Seorang kawan dekat dari masa perguruan tinggi (PT) pernah
tergila-gila dengan horoskop. Dia bukan pembaca koran, tetapi di akhir pekan
selalu khusyuk menyimak kolom ‘’Ramalan Bintang’’. Muasalnya, entah karena yang
meramal memang sakti atau kebetulan belaka, di satu periode waktu beberapa hal
yang dituliskan horoskopnya berkesesuaian dengan yang dia alami.
Dia bertemu dengan gadis cantik dan kemudian jadi pacarnya
di pekan sewaktu ‘’Ramalan Bintang’’ menuliskan: ‘’Anda akan bertemu dengan
dara manis yang mungkin menjadi belahan jiwa.’’Dia mendapat hampir semua nilai
A dari mata kuliah yang dikontrak sewaktu horoskopnya bilang: ‘’kebahagiaan
mewarnai hari-hari Anda di pekan ini.’’
Kawan itu baru berhenti mempercayai mitos yang jadi payung
otak warasnya tatkala diramalkan ‘’Bergembiralah karena ada kabar manis dari
kekasih hati.’’ Di pekan itu pacarnya mengirimkan surat memutuskan hubungan
mereka. Bila wajah bodoh laki-laki yang patah hati dianggap ekspresi
kegembiraan, ramalan bintang itu tepat adanya. Deritanya belum berhenti, sebab
horoskop sialan itu masih menjanjikan, ‘’Badai yang menerpa segera berlalu dan
langit secerah pagi.’’ Dua hari kemudian dompet dan isinya raib dikuntil
pencopet di Pasar 45.
Saya sendiri, sejujurnya, karena pengalaman kawan dekat itu,
pernah kebat-kebit dan sempat percaya terhadap ramalan bintang. Satu ketika
horoskop saya mengingatkan, ‘’Di hari ulang tahun sebaiknya Anda menghindari
perjalanan jauh. Bahaya mengintai di mana-mana.’’ Tak pelak saat ber-HUT saya
mengurung diri di dalam kamar kost. Dibingungkan oleh teror perjalanan jauh.
Apakah dari Kampus Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) ke Pasar 45 tergolong
jauh atau dekat? Dan yang didefinisikan sebagai perjalanan itu apakah jalan
kaki, naik sepeda motor, atau menumpang oplet?
Untunglah mempercayai mitos yang tak jelas alasan
rasionalnya tak bertahan lama di batok kepala saya. Untuk apa, misalnya,
memenatkan kepala bergembira atau gundah karena ada seseorang yang mengatakan
mereka yang lahir tanggal 13 dibayang-bayangi kesialan. Saya lahir tanggal 13
dan Alhamdulillah mengalami kesialan
kalau teledor, mengabaikan nasehat, atau memang sengaja mencari masalah.
Sebab itu saya hanya terbahak-bahak mendengar
spekulasi-spekulasi yang ‘’memitoskan’’ 24 sebagai angka sial bagi Walikota Kota Kotamobagu (KK),
Djelantik Mokodompit (DjM). Entah siapa yang mulai mengkreasi dan menyebarkan
mitos ini, yang jelas alasannya: DjM kalah di pemilihan Walikota-Wakil Walikota
(Wawali) KK pada 24 Juni 2013. Gugatannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) ditolak pada
Rabu, 24 Juli 2013. Dan pelantikan Walikota-Wakil Walikota (Wawali) terpilih
akan dilaksanakan pada Selasa, 24 September 2013.
Bila 24 adalah ‘’angka horor’’ untuk DjM, bagaimana dengan
Agustus 2013. Yang mengejutkan, ternyata Sabtu, 24 Agustus 2013, sudah
dinujumkan pula sebagai bukan hari keberuntungan DjM. ‘’Katanya’’ (kata
spekulatif ini terpaksa saya gunakan lagi), di hari itu DjM akan melihat
namanya tidak tercantum di Daftar Calon Tetap (DCT) Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) KK untuk Pemilu 2014 mendatang.
Ah, apakah terpentalnya DjM dari ‘’mimpi terakhirnya di
panggung politik KK’’ itu adalah ramalan atau kepastian hasil akhir dari proses
yang memang muskil dia penuhi? Menurut saya, dengan memahami hukum dan aturan
formal di negeri ini, sekali pun dengan alasan politik adalah sesuatu yang
memungkin kemustahilan menjadi nyata, bakal masuknya DjM ke DCT DPR KK di
Pemilu 2014 pastilah cuma keyakinan orang yang sedang mabuk berat.
Di sisi lain, bagaimana andai urut-urutan 24 Juni, 24 Juli,
24 Agustus, dan 24 September itu ternyata benar menjadi ‘’saat horor’’ untuk
DjM. Celakanya, setelah September masih ada Oktober, November, dan Desember.
Apa yang bakal dia alami di tanggal 24 di tiga bulan sisa 2013 ini?
Kabar baiknya, mitos adalah mitos. Saya yakin DjM sehat,
bugar, bahagia, dan tetap bersemangat di 24 Oktober, 24 November, dan 24
Desember 2013. Bila pun boleh meramal, saya memastikan saat itu dia bukan lagi Walikota, serta tidak pula
menjadi calon legislatif (Caleg) DPR KK.***