Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, August 29, 2013

Ha ha ha..., Kamu Ketahuan!


MENTERI Dalam Negeri, Gemawan Fauzi, bereaksi keras terhadap lolosnya sejumlah Kepala Daerah aktif di Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Adalah Rakyat Merdeka Online, Rabu (28 Agustus 2013), yang mempublikasi pernyataan Mendagri dengan tajuk Kecolongan, Mendagri Tegaskan Kembali Kepala Daerah Masuk DCT Harus Mundur (http://politik.rmol.co/read/2013/08/28/123436/Kecolongan,-Mendagri-Tegaskan-Kembali-Kepala-Daerah-Masuk-DCT-Harus-Mundur-).

Berita yang menyebutkan Kepala Daerah aktif yang masuk DCT dan melanggar Undang-Undang (UU) No 8/2012 dan PP No 18/2013 itu dikutip dari situs Sekretariat Kabinet (Setkab) RI (http://www.setgab.go.id/). Sedang oknum-oknum yang dimaksud antara lain Walikota Tangerang, Wahidin Halim, yang masuk DCT Partai Demokrat (PD) dari Daerah Pemilihan (Dapil) Banten III; Bupati Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, Johanes Samping Aoh, tercatat di DPT Partai Amanat Nasional (PAN) Dapil NTT I; serta Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit, dalam DCT Partai Golkar (PG) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) KK. 



Tak lama berselang, Rakyat Merdeka Online mengunggah berita lanjutan yang menukil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KP) Pusat, Husni Kamil Manik, KPU Tegaskan Kepala Daerah yang Masuk DCT Sudah Mundur dari Jabatannya (http://politik.rmol.co/read/2013/08/28/123467/KPU-Tegaskan-Kepala-Daerah-Yang-Masuk-DCT-Sudah-Mundur-Dari-Jabatannya-). Pernyataan Ketua KPU ini menggelikan karena jelas-jelas membantah Mendagri yang dari sistem pemerintahan Indonesia pasti lebih tahu sah atau tidaknya pengunduran diri seorang Kepala Daerah. Mendagri adalah pejabat berwenang dalam urusan ini, sebagaimana yang dinyatakan dalam UU dan turunannya.

Mengabaikan pernyataan Mendagri menunjukkan KPU alpa pada ‘’pekerjaan rumah’’-nya, yaitu verifikasi administrasi bakal Caleg yang mutlak dilakukan agar seseorang akhirnya tercantum di DCT.

Sudahkah semua informasi terkait dibeber? Belum, sebab Minggu (25 Agustus 2013) Rakyat Merdeka Online sebenarnya juga mempublikasi berita Wahidin Halim Tak Bisa Tarik Kembali Namanya dari DCT (http://politik.rmol.co/read/2013/08/25/123130/Wahidin-Halim-Tak-Bisa-Tarik-Kembali-Namanya-dari-DCT-). Ringkasnya, Walikota Tanggerang ini bagai tokoh dalam kisah Lebai Malang, ke hulu tak sampai, ke hilir tak genap. Dia hampir pasti kehilangan kursi Walikota sekaligus terancam disingkirkan dari DCT. PD sebagai partai asalnya sudah mencopot Walidin Halim dari jabatan Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Tanggerang. Bahkan, oleh Ketua Majelis Tinggi PD, Marzuki Alie, disindir, ‘’ Dia harus belajar bagaimana berdemokrasi yang baik.’’

Dengan membeber semua informasi itu, kian jelaslah duduk soal tercatatnya nama Walikota KK, Djelantik Mokodompit (DjM), di DCT Pemilu 2014. Artinya, pernyataannya sebagaimana yang dikutip Beritamanado.Com (Puji KPU, Djelantik Sindir PAN, http://beritamanado.com/berita-utama/puji-kpu-djelantik-sindir-pan/204769/), Rabu (28 Agustus 2013), bahwa keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah sesuai aturan, cuma igauan politikus tidak tahu diri. Yang, seperti kata Marzuki Alie, perlu belajar lagi apa dan bagaimana berdemokrasi. Juga, khusus untuk DjM, etika politik.

***

Sejak mula sepak-terjang DjM agar terdaftar sebagai calon legislatif (Caleg) Pemilu 2014 memang sudah bau pesing. Cipratan pesing ini mencemari sekitar dan menyeret sejumlah banyak pihak ikut rusak, baik karena memang sengaja terlibat kongkalingkong, maupun yang sekadar terkena getah karena berada di tempat yang benar, di waktu yang salah.

Siapa-siapakah mereka yang sekarang ditempeli pesing politik DjM itu?

Pertama, KPU KK hingga KPU Pusat. Sebagai institusi independen penyelenggara Pemilu, KPU berwenang sepenuhnya, termasuk meloloskan atau tidak seorang calon peserta di Pemilu 2014. Namun, seindependen-independennya KPU, mereka mesti tunduk pada UU dan turunannya. Bukan saja UU Pemilu, melainkan UU lain yang terkait, sebagai satu-kesatuan yang ditafsir dan dipraktekkan secara konsisten demi kepatuhan hukum dan ketata-laksanaan penyelengaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dari fakta-fakta yang saya himpun, hingga menjelang penetapan DCT, KPU KK dan KPU Provinsi Sulut sudah mengkonklusi pencalonan DjM tidak memenuhi syarat, terutama yang terkait dengan UU No 8/2012, PP No 18/2013, serta Peraturan KPU (PKPU) No 7/2013 dan PKPU No 13/2013. Maka kemudian KPU KK dan KPU Sulut berkonsultasi ke KPU Pusat, yang ajaibnya meloloskan DjM di DCT 2013.

Sekali pun turut terkena getah, menurut hemat saya, KPU KK dan KPU Sulut terbebas dari nista. Apapun kajian dan pertimbangan yang sudah dibuat, bila KPU Pusat sebagai institusi induk menyatakan sebaliknya, harus dipatuhi. Kalau pun kemudian ditemukan dan dibuktikan terjadi pelanggaran hukum dari putusan itu dan ada yang mesti diberi sanksi, tanggungjawabnya sepenuhnya sudah di tangan KPU Pusat.

Tersebab itulah saya tak segan mencaci manuver sejumlah elit Sulut asal Mongondow yang sedang menikam punggung Ketua KPU KK, Nayodo Kurniawan. Sungguh mengagetkan mengetahui mereka bahkan memberi instruksi agar Nayodo dijegal di fit and proper test pencalonannya (kembali) sebagai anggota KPU KK. Ini elit macam apa? Mereka boleh punya jabatan tinggi tetapi sama tidak punya etika dan pura-pura buta aturan. Pada dasarnya setali tiga uang dengan DjM. Akal sehatnya ditekuk tanpa daya oleh ambisi dan sentimen pribadi.

Kedua, mundur dalam konteks Kepala Daerah mencalonkan diri sebagai Caleg Pemilu 2014 harus mengikuti UU dan turunannya secara lengkap. Hanya dengan surat pengunduran diri, tanpa persetujuan atasan langsung, mengandung (minimal) cacat administrasi. Mendagri sudah mengungkap cacat itu, yang mengingat dipublikasi pertama kali oleh situs Sekretariat Kabinet, menunjukkan bahwa isunya sudah menjadi perhatian otoritas tertinggi pemerintahan di negeri ini.

Dan ketiga, dengan mencermati proses pencalonan DjM dan collateral damage yang diakibatkan, kita dapat menyimpulkan hanya DjM dan pendukungnya, Ketua DPR KK, dan KPU Pusat yang menafsir bahwa dia absah masuk DCT Pemilu 2014. Tafsir ini berbeda dengan kandungan UU dan turunannya, juga praktek umum ketata-negaraannya di negeri ini.

Itu sebabnya benarlah langkah PAN KK menggugat tercatatnya DjM di DPT Pemilu 2014. Tindakan ini bukan ‘’gila urusan’’, karena salah satu fungsi hakiki partai politik (Parpol) adalah pembelajaran dan penegakan etika politik dan bernegara. Bila tak ada sesiapa pun yang menyoal keputusan KPU, justru menunjukkan kesadaran politik (dan hukum) warga Mongondow benar-benar di tingkat kronis dan tak tertolong lagi.

Walau, kita juga harus tetap menghormati ikhtiar yang dilakukan DjM, terlepas dari itu etis atau tidak, benar atau salah, ideologis atau sekadar nafsu dan keserakahan berkuasa. Penghormatan itu termasuk meng-aminkan kicauan Raski Mokodompit di Beritamanado.Com, Sabtu (24 Agustus 2013), Raski: Bagi, Papa, Politik Adalah Nafasnya (http://beritamanado.com/totabuan/raski-bagi-papa-politik-adalah-nafasnya/203777/). Toh kita boleh pulau meracau dengan mempertanyakan, ‘’Nafas atau nafsu?’’ Dan apakah bila tak punya peran dan kedudukan politik lalu DjM tidak bernafas lagi? Bagi saya, kalau itu baik bagi kemaslahatan orang banyak, mengapa tidak?***