MENTERI Dalam
Negeri, Gemawan Fauzi, bereaksi keras terhadap lolosnya sejumlah Kepala Daerah
aktif di Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Adalah Rakyat Merdeka Online, Rabu (28 Agustus
2013), yang mempublikasi pernyataan Mendagri dengan tajuk Kecolongan, Mendagri Tegaskan Kembali Kepala Daerah Masuk DCT Harus
Mundur (http://politik.rmol.co/read/2013/08/28/123436/Kecolongan,-Mendagri-Tegaskan-Kembali-Kepala-Daerah-Masuk-DCT-Harus-Mundur-).
Berita yang
menyebutkan Kepala Daerah aktif yang masuk DCT dan melanggar Undang-Undang (UU)
No 8/2012 dan PP No 18/2013 itu dikutip dari situs Sekretariat Kabinet (Setkab)
RI (http://www.setgab.go.id/). Sedang oknum-oknum yang dimaksud antara lain Walikota Tangerang,
Wahidin Halim, yang masuk DCT Partai Demokrat (PD) dari Daerah Pemilihan
(Dapil) Banten III; Bupati Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, Johanes Samping Aoh,
tercatat di DPT Partai Amanat Nasional (PAN) Dapil NTT I; serta Walikota Kota Kotamobagu
(KK), Djelantik Mokodompit, dalam DCT Partai Golkar (PG) Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) KK.
Tak lama
berselang, Rakyat Merdeka Online
mengunggah berita lanjutan yang menukil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KP) Pusat,
Husni Kamil Manik, KPU Tegaskan Kepala
Daerah yang Masuk DCT Sudah Mundur dari Jabatannya (http://politik.rmol.co/read/2013/08/28/123467/KPU-Tegaskan-Kepala-Daerah-Yang-Masuk-DCT-Sudah-Mundur-Dari-Jabatannya-).
Pernyataan Ketua KPU ini menggelikan karena jelas-jelas membantah Mendagri yang
dari sistem pemerintahan Indonesia pasti lebih tahu sah atau tidaknya
pengunduran diri seorang Kepala Daerah. Mendagri adalah pejabat berwenang dalam
urusan ini, sebagaimana yang dinyatakan dalam UU dan turunannya.
Mengabaikan
pernyataan Mendagri menunjukkan KPU alpa pada ‘’pekerjaan rumah’’-nya, yaitu
verifikasi administrasi bakal Caleg yang mutlak dilakukan agar seseorang
akhirnya tercantum di DCT.
Sudahkah semua
informasi terkait dibeber? Belum, sebab Minggu (25 Agustus 2013) Rakyat Merdeka Online sebenarnya juga
mempublikasi berita Wahidin Halim Tak
Bisa Tarik Kembali Namanya dari DCT (http://politik.rmol.co/read/2013/08/25/123130/Wahidin-Halim-Tak-Bisa-Tarik-Kembali-Namanya-dari-DCT-).
Ringkasnya, Walikota Tanggerang ini bagai tokoh dalam kisah Lebai Malang, ke
hulu tak sampai, ke hilir tak genap. Dia hampir pasti kehilangan kursi Walikota
sekaligus terancam disingkirkan dari DCT. PD sebagai partai asalnya sudah
mencopot Walidin Halim dari jabatan Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD)
Tanggerang. Bahkan, oleh Ketua Majelis Tinggi PD, Marzuki Alie, disindir, ‘’
Dia harus belajar bagaimana berdemokrasi yang baik.’’
Dengan membeber
semua informasi itu, kian jelaslah duduk soal tercatatnya nama Walikota KK,
Djelantik Mokodompit (DjM), di DCT Pemilu 2014. Artinya, pernyataannya
sebagaimana yang dikutip Beritamanado.Com
(Puji KPU, Djelantik Sindir PAN, http://beritamanado.com/berita-utama/puji-kpu-djelantik-sindir-pan/204769/), Rabu (28 Agustus 2013), bahwa keputusan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah sesuai aturan, cuma igauan politikus tidak
tahu diri. Yang, seperti kata Marzuki Alie, perlu belajar lagi apa dan bagaimana
berdemokrasi. Juga, khusus untuk DjM, etika politik.
***
Sejak mula
sepak-terjang DjM agar terdaftar sebagai calon legislatif (Caleg) Pemilu 2014
memang sudah bau pesing. Cipratan pesing ini mencemari sekitar dan menyeret
sejumlah banyak pihak ikut rusak, baik karena memang sengaja terlibat
kongkalingkong, maupun yang sekadar terkena getah karena berada di tempat yang
benar, di waktu yang salah.
Siapa-siapakah mereka
yang sekarang ditempeli pesing politik DjM itu?
Pertama, KPU KK hingga KPU Pusat. Sebagai institusi independen penyelenggara
Pemilu, KPU berwenang sepenuhnya, termasuk meloloskan atau tidak seorang calon
peserta di Pemilu 2014. Namun, seindependen-independennya KPU, mereka mesti
tunduk pada UU dan turunannya. Bukan saja UU Pemilu, melainkan UU lain yang
terkait, sebagai satu-kesatuan yang ditafsir dan dipraktekkan secara konsisten
demi kepatuhan hukum dan ketata-laksanaan penyelengaraan kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Dari fakta-fakta
yang saya himpun, hingga menjelang penetapan DCT, KPU KK dan KPU Provinsi Sulut
sudah mengkonklusi pencalonan DjM tidak memenuhi syarat, terutama yang terkait
dengan UU No 8/2012, PP No 18/2013, serta Peraturan KPU (PKPU) No 7/2013 dan
PKPU No 13/2013. Maka kemudian KPU KK dan KPU Sulut berkonsultasi ke KPU Pusat,
yang ajaibnya meloloskan DjM di DCT 2013.
Sekali pun turut
terkena getah, menurut hemat saya, KPU KK dan KPU Sulut terbebas dari nista.
Apapun kajian dan pertimbangan yang sudah dibuat, bila KPU Pusat sebagai
institusi induk menyatakan sebaliknya, harus dipatuhi. Kalau pun kemudian
ditemukan dan dibuktikan terjadi pelanggaran hukum dari putusan itu dan ada
yang mesti diberi sanksi, tanggungjawabnya sepenuhnya sudah di tangan KPU
Pusat.
Tersebab itulah
saya tak segan mencaci manuver sejumlah elit Sulut asal Mongondow yang sedang
menikam punggung Ketua KPU KK, Nayodo Kurniawan. Sungguh mengagetkan mengetahui
mereka bahkan memberi instruksi agar Nayodo dijegal di fit and proper test pencalonannya (kembali) sebagai anggota KPU KK.
Ini elit macam apa? Mereka boleh punya jabatan tinggi tetapi sama tidak punya
etika dan pura-pura buta aturan. Pada dasarnya setali tiga uang dengan DjM.
Akal sehatnya ditekuk tanpa daya oleh ambisi dan sentimen pribadi.
Kedua, mundur dalam konteks Kepala Daerah mencalonkan diri sebagai Caleg
Pemilu 2014 harus mengikuti UU dan turunannya secara lengkap. Hanya dengan
surat pengunduran diri, tanpa persetujuan atasan langsung, mengandung (minimal)
cacat administrasi. Mendagri sudah mengungkap cacat itu, yang mengingat
dipublikasi pertama kali oleh situs Sekretariat Kabinet, menunjukkan bahwa
isunya sudah menjadi perhatian otoritas tertinggi pemerintahan di negeri ini.
Dan ketiga, dengan mencermati proses
pencalonan DjM dan collateral damage yang
diakibatkan, kita dapat menyimpulkan hanya DjM dan pendukungnya, Ketua DPR KK,
dan KPU Pusat yang menafsir bahwa dia absah masuk DCT Pemilu 2014. Tafsir ini
berbeda dengan kandungan UU dan turunannya, juga praktek umum ketata-negaraannya
di negeri ini.
Itu sebabnya
benarlah langkah PAN KK menggugat tercatatnya DjM di DPT Pemilu 2014. Tindakan
ini bukan ‘’gila urusan’’, karena salah satu fungsi hakiki partai politik
(Parpol) adalah pembelajaran dan penegakan etika politik dan bernegara. Bila
tak ada sesiapa pun yang menyoal keputusan KPU, justru menunjukkan kesadaran
politik (dan hukum) warga Mongondow benar-benar di tingkat kronis dan tak
tertolong lagi.
Walau, kita juga
harus tetap menghormati ikhtiar yang dilakukan DjM, terlepas dari itu etis atau
tidak, benar atau salah, ideologis atau sekadar nafsu dan keserakahan berkuasa.
Penghormatan itu termasuk meng-aminkan kicauan Raski Mokodompit di Beritamanado.Com, Sabtu (24 Agustus
2013), Raski: Bagi, Papa, Politik Adalah
Nafasnya (http://beritamanado.com/totabuan/raski-bagi-papa-politik-adalah-nafasnya/203777/).
Toh kita boleh pulau meracau dengan
mempertanyakan, ‘’Nafas atau nafsu?’’ Dan apakah bila tak punya peran dan
kedudukan politik lalu DjM tidak bernafas lagi? Bagi saya, kalau itu baik bagi
kemaslahatan orang banyak, mengapa tidak?***