Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, December 25, 2018

Para Lintah Itu Mungkin Brutus dan Badut

HARI itu, 15 Maret 44 SM, Konsul Julius Caesar tiba di Gedung Senat Romawi. Diktator yang berkuasa Oktober 49 SM – Maret 44 SM, yang meluaskan kekuasaan Republik Romawi—antaranya—lewat ekspedisi militer ke Asia dan penaklukan Galia (Perancis saat ini), tak menduga sesi yang dia hadiri ternyata jadi akhir hidupnya.

Para sejarawan, salah satunya Plutarch, yang mencatat kudeta terhadap Caesar, memapar, di tengah perdebatan tiba-tiba salah seorang senator, Casca, merogoh pisau dan akan menusuk lehernya. Caesar berhasil berbalik, memegang tangan dan membentak Casca. Namun, dia patah daya karena para senator yang sudah berkonspirasi kemudian beramai-ramai menggebuk dia.

Konon, sekitar 60 orang terlibat ambil bagian dalam konspirasi menghabisi Caesar. Salah satunya bahkan ‘’teman baiknya’’ (yang dispekulasikan pula diperlakukan tak beda dengan putra sendiri oleh Caesar), Marcus Junius Brutus. Alkisah, sesaat sebelum tumbang (bagian ini masih menjadi perdebatan tak berkesudahan di kalangan sejarawan dan akademisi) dengan 23 luka tusukan, Caesar sempat berkata pada Brutus, ‘’Kai su, Teknon?’’ Kau juga, Nak?

Di tangan penyair, penulis naskah, dan aktor Inggris, William Shakespeare (1564-1616), pernyataan Caesar itu dipopulerkan dalam frasa Latin, ‘’Et tu, Brute?’’  Kau juga, Brutus? Drama terkenal Shakespeare, The Tragedi of Julius Caesar(judul awalnya The Tragedie of Iulius Caesar yang diduga ditulis pada 1599), menggambarkan, usai melontarkan perkataan itu pada Brutus, Ceasar roboh dan tewas. Di usia 55 tahun.

Keterlibatan Brutus dalam konspirasi pembunuhan Caesar jadi mitos yang diabadikan lewat persepsi ‘’seperti Brutus’’, ‘’kelakuan Brutus’’, atau‘’dasar Brutus’’. Diidentifikasi sebagai Brutus adalah stempel buruk. Penghianat, tukang telikung, dan segala yang cemar juga jahat di punggung kekuasaan.

Tapi ‘’Brutus’’, sebagaimana badut, memang hampir (kalau tidak mutlak) selalu ada di sekitar para penguasa dan kekuasaan (utamanya politik). Kadang-kadang dua identifikasi ini berada di sosok yang sama: sudah badut, Brutus pula.

Di Mongondow, setidaknya dalam 25 tahun terakhir, setiap rezim politik dan birokrasi selalu punya (para) Brutus dan badutnya sendiri. Memangnya kejatuhan dinasti Moha-Siahaan (faktanya dua tokoh utamanya, mantan Bupati Marlina Moha-Siahaan dan putranya, mantan anggota DPR RI, Aditya Moha, kini sedang menjalani hukuman pidana), sedikit-banyak tidak turut dikontribusikan oleh para Brutus dan badut di sekitar saat mereka berkuasa?

Orang-orang yang bersaksi dalam persidangan pidana Marlina Moha-Siahaan a.k.a Bunda Butet, adalah mereka yang berada amat dekat selama dia menduduki kursi Bupati Bolmong. Mereka yang di keseharian memanen berkah dan manfaat, sembari memainkan aneka peran: mulai dari pelayan, pembisik, penghibur, bahkan mungkin menyediakan shoulder to cry on. Sedemikian pula, apakah kita dengan naïf menerima begitu saja, bahwa tangkap tangan KPK terhadap Aditya Moha karena terlibat suap-menyuap hakim semata karena sadapan komunikasi telepon? Orang banyak mungkin meluputkan bahwa selalu ada informasi awal yang dikantongi penegak hukum sebelum mereka menggali lebih dalam satu atau lebih dugaan tindak pidana. Informasi yang sungguh rahasia ini, tentu tidak bakal datang dari orang atau pihak jauh yang biasanya cuma sekadar menduga-duga dan berspekulasi.

Maka untuk mereka, para tokoh, yang sedang berkuasa (tak peduli itu kekuasaan politik, birokrasi, ekonomi, atau sekadar persepsi), waspadalah terhadap orang-orang sekitar dan dekat di keseharian. Nasihat para orang tua bijak-bestari, ‘’Dalam laut bisa diduga, dalam hati siapa tahu?’’ Tidak ada salahnya dengan hati-hati melakukan pengecekan, mencermati kembali rekam-jejak orang-orang yang dipilih dan diberi kepercayaan jadi pendamping: sekadar sopir, ajudan, aspri, bahkan hingga tukang pel di kediaman resmi. Mereka semua toh punya mata, kuping, dan mulut; yang pikirannya belum tentu sejalan dengan perilaku yang ditunjukkan.

Tentang waspada, setiap tokoh yang berhati-hati semestinya pintar membaca tanda-tanda awal. Apalagi di Mongondow khususnya, sepengalaman saya selama ini, para Brutus dan badut biasanya mampu menempel selengket-lengketnya, ibarat lintah yang menyatu dengan kulit dan hanya bisa dienyahkan dengan air tembakau. Inang yang ditempeli kerap tak sadar hingga sang lintah sudah menggembung, kekenyangan, dan jatuh dengan sendirinya ketika selesai menyedot manfaat maksimal.

Lintah-lintah di sekitar kekuasaan juga sangat ilutif. Bukan hanya mengidentikkan diri dengan inang yang ditempeli. Kadang-kandang, demi meraup manfaat sebanyak-banyaknya, mereka kerap bereaksi lebih frontal dan tampak heroik ketika merasa inangnya terganggu. Kritik dan kritisi—yang tentu saja blak-blakkan dan sarkas—saya terhadap Wawali KK di dua unggahan terakhir di blog ini, sekali lagi membuktikan, keberadaan para Brutus dan badut di Mongondow, khususnya KK, bukan sekadar prasangka belaka.

Dunia yang telah tanpa batas dan seketika karena teknologi digital, juga sifat alamiah kaum ‘’pencari muka’’ yang mudah bereaksi tanpa pikir, menyebabkan dengan mudah kita mengetahui lalu lintas reaksi orang dari (setidaknya) unggahan di medsos. Lihat saja, hanya beberapa saat setelah publikasi kritik dan kritisi kepada Wawali KK 2018-2023, beberapa lintah yang dekat (atau merasa dekat dan penting), berkicau di medsos. Sayangnya, kebanyakan dengan cara pengecut: cuma menyerempet-nyerempet dan menyindir-nyindir.

Sudah lintah, pengecut pula. Dibanding beberapa tokoh yang sudah jadi mantan penguasa politik dan birokrasi di Mongondow, Wawali KK saat ini lumayan sial: orang-orang (yang masih berada) di sekitar dia tidak semilitan—katakanlah—barisan yang ada di seputaran mantan Bupati, Marlina Moha-Siahaan, atau mantan Walikota KK, Djelantik Mokodompit, yang harus diakui lebih berani, bermartabat, dan terang-terangan membela patron mereka.

Lucunya, jika bukan ironis, beberapa lintah berkicau yang menyindir-nyindir saya di medsos dulunya tak lain orang-orang yang juga menempel di sekitar Marlina atau Djelantik. Ketika dua orang ini jadi mantan dan peta kekuasaan berubah, para lintah berkicau ini terlempar paria. Mirip ronin, bahkan anak anjing, yang ditendang dari kawanan. 

Sekarang: tanyakan pada mereka, siapa yang telah dengan baik hati dan sukarela memberikan (atau membantu memperoleh) kesempatan kedua, mungkin pula ketiga dan keempat? Siapa atau kelompok mana yang memungut mereka dari tong sampah kekuasaan politik-birokrasi, memberikan perlindungan, dan bahkan membantu agar belanga dan tempayan airnya tidak kering-kerotang? Saya pastikan, setidaknya--walau hanya sebiji kerikil--ada sumbangsih saya atau orang-orang yang disinisi sebagai ‘’antek-antek saya’’ yang turut berkontribusi melapangkan jalan nafas mereka.

Manusia memang sering lebih tak beradab dibanding hewan piaraan. Pepatah tua Amerika bilang, ‘’don't bite the hand that feed you.’’ Dipercayai, anjing yang kapasitas otaknya amat sangat terbatas, paham betul dengan ujar-ujar ini. Akan halnya manusia, sejarah panjang peradaban membuktikan, ketika syawat kepentingan sudah terujung, tangan yang memberi makan pun bukan hanya digigit, tapi bisa jadi dikunyah hingga putus.

Itu sebabnya, kendati saya jengkel terhadap Wawali KK yang kelakuan terakhirnya sebagai tokoh dan pejabat publik, di ruang publik, sungguh menyedihkan; saya tetap menyedekahkan nasihat: sebelum melihat mereka yang jauh dari jangkauan, periksa kembali sesiapa saja yang ada sekitar Anda. Brutus selalu datang dengan senyum, puja-puji, dan loyalitas, sebelum menikamkan pisau ke jantung. Dan badut yang tampaknya menghibur bisa jadi cuma setan dengan seringai dan layanan menina-bobo, sebelum ikut serta memuntir leher Anda.

Akan halnya para lintah yang sekarang menempeli Wawali KK dan secara publik berkicau-kicau seolah pahlawan pembela tuannya, terkhusus lagi yang berstatus ASN, saya sedekahkan peringatan: periksa diri terlebih dahulu sebelum memulai perang (politik) di ruang publik. Tolong cek dengkul apakah cukup kuat atau tidak. Sebab pada waktunya, jika saya harus menebas kaki Anda-anda, dengan segala cara dan secukup daya, akan saya lakukan dengan senyum lebar. 

Bersedekah selalu melegakan hati. Selamat menyambut Tahun Baru 2019.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
a.k.a: Also Known As; ASN:Aparatur Sipil Negara; Aspri: Asisten Pribadi; Bolmong:Bolaang Mongondow; DPR:Dewan Perwakilan Rakyat; KK:Kota Kotamobagu; Medsos:Media Sosial; RI:Republik Indonesia; SM:Sebelum Masehi; dan Wawali:wakil Walikota.

Sunday, December 23, 2018

Wawali atau Bolai Inogoi-an in Tambor?

KESOMBONGAN, kata penulis yang juga penyair dan pendidik, Balroop Singh, adalah ‘’perlengkapan untuk mereka yang lemah’’. Lengkapnya, nukilan dari penulis Allow Yourself To Be A Better Person (2016) ini adalah, ‘’Arrogance is the armour of the weak. They are always at war to hide their real self.’’

Ganti kata ‘’kesombongan’’ (arrogance) dari kalimat milik Balroop dengan ‘’ketololan’’ (stupidity atau idiocy), Anda akan menemukan pemaknaan yang tak berbeda. Dan memang, jika bukan kembar siam, sombong dan tolol biasanya selalu beriringan penuh akrab dan mesra.

Tapi saya tak hendak membicarakan Balroop. Saya hanya langsung teringat pada penulis yang kini bermukim di San Ramon California ini, ketika ditelepon dan mendapat ‘’kisah lengkap’’ aksi ala preman leput Wawali KK di halaman Mapolres Kotamobagu, Jumat, 21 Desember 2018. Tentu pula amat tak pantas membandingkan Balroop dan Wawali KK. Balroop menggunakan otak dan rasa, sedang Wawali KK saya tidak yakin entah sedang pakai apa.

Namun, seorang pejabat publik yang berlaku seenaknya hanya pantas ditanggapi dengan cara yang—sebaiknya—lebih dari apa yang sudah diperbuat. Republik ini, khususnya KK, bukan milik nenek moyangnya seorang. Terlebih pejabat publik sesungguhnya adalah pencapaian posisi yang sepenuhnya atas kerelaaan (dan kasih sayang) orang banyak.

Kata informasi yang disampaikan dengan hati-hati ke saya; berita—utamanya online—, salah satunya Ini Kronologi Insiden Antara Wakil Walikota Kotamobagu dan Karyawan Jasa Raharja (http://totabuan.co/2018/12/ini-kronologi-insiden-antara-wakil-walikota-kotamobagu-dan-karyawan-jasa-raharja/); dan juga percakapan telepon saya dengan ‘’korban’’, Muhamad Gunawan Londa, semuanya bermula dari papasan di tengah kepadatan orang. Pagi itu, orang dan kendaraan memang bersesakan di sekitar dan di halaman Mapolres yang sedianya menggelar Apel Siaga Operasi Lilin Samrat 2018.

Sial sedang menyertai langkah Gunawan Londa. Dia yang tengah bersigegas, beradu jalan dengan Wawali dan rombongan yang terburu-buru, lalu Wawali no’i pintud. Versi seragam yang diaminkan adalah: kaki Gunawan Londa dan Wawali sama-sama berada di tempat yang salah di tengah kesempitan. Wawali nyaris roboh—pembaca, Anda tak perlu membayangkan seperti tong air plastik biru yang nyaris tumbang, sebab peristiwanya cuma ‘’nyaris’’.

Yang tak dinyana, ketidaksengajaan di tengah keriuhan dan massa yang berjejal itu ternyata jadi bencana untuk Gunawan Londa. Wawali, pejabat publik yang praktis jadi ‘’orang nomor dua’’ se-KK, kalap seperti kuda nil yang teritorinya diganggu. Cerita sekata dari orang-orang yang belakangan bertutur: kerah Gunawan dijambak, diangkat hingga tinjunya menabrak jakung, disertai kemarahan meledak. Sedemikian hingga—kurang-lebih—menyebur pula kalimat, ‘’Ngana nyanda kanal pa kita? Kita mo cari pa ngana biar sampe dimana!’’

Gunawan Londa, di foto yang saya lihat di hari kejadian, sedang mengenakan uniform institusi tempatnya bekerja. Akan halnya Wawali, hadir di Mapolres Kotamobagu dalam kapasitas sebagai pejabat publik, di acara publik. Keduanya sama dan setara: sedang bertugas sebagai pelayan publik. Bedanya, kelakuan Wawali (yang membuat saya masygul) dapat diibaratkan hanya setingkat dengan monyet yang baru dapat mainan; sedang Gunawan Londa terpaksa bersikap sebagaimana khas pekerja/karyawan/staf level menengah-bawah: segan membela haknya kendati 100% berada di posisi yang benar.

Pejabat publik, orang nomor dua se-Kota, saat melaksanakan tugas, di tengah orang banyak, lalu menjambak kerah baju seseorang yang dianggap (tak sengaja) bersalah dan melontarkan aneka sampah, juga ancaman? Adab dan akhlak macam apa ini?

Sejak kecil, sebagai orang Mongondow yang lahir dan tumbuh di Mongondow, saya kerap mendengar frasa ‘’na’ bolai inogoi-an in tambor’’.  Kalimat pendek ini, oleh mereka yang tahu persis kelakuan para monyet, pasti dengan segera dimahfumi. Berikan drum pada seekor monyet, yang akan dia lakukan (secara berurutan): memukul dan membuat kebisingan hingga puas hati, mengencingi, merobek-robek kulit dan menghancurkan drum, lalu sesudahnya petantang-petenteng seolah baru manaklukkan dunia.

Dengan peristiwa di Mapolres Kotamobagu itu Wawali KK langsung menyelesaikan dua tingkat tahapan bolai bo tambor: semena-mena dengan kekuasaannya dan mengencingi harga dirinya sebagai pejabat publik. Seingat dan sepengetahuan saya, dalam sejarah Mongondow yang kini telah dibagi menjadi empat kabupaten dan satu kota, Wawali KK 2018-2023 adalah pejabat pertama yang patut diduga dan dicatat sebagai tokoh publik (berdasar standar etika dan norma umum) dengan otak dan kelakuan hanya setara bolai. Di derajat tertentu bahkan preman leput pun tampaknya masih lebih baik dan bermutu.

Peristiwa Gunawan Londa versus Wawali KK itu kian memalukan karena para pengiring Wawali (yang jumlahnya biasanya lebih dari 2-3 orang) kelihatannya juga sekadar kelompok hula-hula yang gampang tersirep. Tidak ada antisipasi, tidak pula crisis management and recovery. Kejadiannya dianggap sebagai kelakuan heroik seorang pemimpin yang pantas saja diperbuat, kendati penyebabnya adalah hal paling sepele sejagad. Dengan orang sekitar yang berkualitas babon, saya membayangkan, jika yang ter-pintud oleh Wawali hanya sekadar batu, boleh jadi yang dicari adalah kontraktor penyedia batu di halaman Mapolres, atau lebih buruk lagi tukang taman yang dianggap gagal mengurusi sang batu kapiran itu.

Dengan memahami hukum alam (buku yang menjelaskan ihwal ini berjejal di perpustakaan), saya juga tak heran dengan kelakuan para pengiring hula-hula di sekitar Wawali. Bukankah monyet memang hanya berkawanan dengan monyet? Makluk yang sedikit lebih tinggi tingkatannya, biasanya jika tidak geli dengan monyet, pasti memilih cara lain: menjadikan bagian dari santapan lezat. Tonton saluran televisi National Geographic atau Wild Life, dan lihat bagaimana monyet jadi kudapan gorila. Atau, di beberapa kelompok masyarakat—di Asia dan Afrika—, monyet jelas masuk daftar masakan yang dianggap makyusdan bermanfaat. 

Lingkaran keruntuhan adab dan akhlak yang dicontohkan Wawali KK itu kian lengkap setelah saya membaca tautan yang dikirimkan beberapa orang pada Sabtu malam, 22 Desember 2018. Di berita yang diunggah situs Bolmongnews, lengkap dengan foto Wawali dan Gunawan Londa tersenyum cerah pada dunia, Wawali dan Muhamad Londa Damai (https://bolmongnews.com/2018/12/22/wawali-dan-muhamad-londa-damai/), digambarkan keduanya telah menyelesaikan silang-selisih dengan anjangsana korban ke Rudis Walikota. Menurut berita ini, pertemuan itu disaksikan Kadis Budpar dan dan Sekretaris Dinas Perdagangan Kotamobagu.

Rezim pelayan publik 2018-2023 di KK sempurna sudah. Ada Wawali dengan keajaiban otak dan laku ibarat bolai, orang sekitar (para hula-hula) yang gesit menempelkan lidah di (maaf sangat) bokong atasan, dan warga masyarakat yang tak sadar (kalau bukan tidak punya keberanian) mempertahankan harga diri. 

Agar tak ada syak, apalagi duga-duga saya sedang memperkeruh situasi, penjelasannya adalah: ketika menelepon Gunawan Londa (semata-mata karena peristiwa yang dia alami adalah kejadian publik—saya juga masih waras untuk memilah mana yang pantas jadi perhatian dan yang tidak), saya menyampaikan simpati dan empati, juga dukungan dia wajib menjaga harga diri dan marwah (minimal) keluarganya—anak-istri yang muka dicoreng oleh penghinaan Wawali terhadap kepala keluarga mereka. Langkah terbaik yang patut diambil adalah memaafkan, tetapi harus tetap ada upaya hukum. Namun, jikapun akhirnya menggunakan pertimbangan kemanusiaan, ke-Mongondow-an, dan kekeluargaan, maka yang mesti menemui Gunawan Lonada adalah Wawali; bukan sebaliknya.

Saya bahkan menggunakan bahasa Mongondow, bahwa sekalipun kediaman Gunawan Londa hanya ‘’bambu dinaungi daun kelapa’’, dia pantas mendapatkan kehormatannya didatangi Wawali untuk satu kata saja: maaf. Sebab, di Mongondow, de’-emanbi’  lolaki aka dia’ kon harga diri.Permintaan maaf Wawali di tempat dan waktu yang tepat adalah pengembalian harga diri yang diinjak dengan sengaja di depan publik.

Laki-laki tanpa harga diri, kata para tua dan bijak Mongondow, tonga bi’ tobatu’ in batol-nea. Dengan alasan apapun, ketika Gunawan Londa berpasrah menyambangi Rudis Wawali demi rekonsiliasi, pemaafan, pemahfuman, atau apapun namanya, dia hanya menegaskan bahwa yang berpangkat lebih tinggi selalu benar. Di kelompok monyet, memang demikian. Tapi bagi manusia yang beradab, punya etika, norma, adat, dan tradisi, kehidupan macam apa yang sedang dijalani jika laku kita hanya setingkat monyet? Sudah begitu, bo tonga’ doman tobatu’ in batol-nea?

Sebab itu, saya ingin menutup tulisan ini dengan harapan tinggi: semoga saya dan orang-orang terdekat, termasuk para karib, di Mongondow—terkhusus lagi di KK—dijauhkan dari pikiran, perbuatan, dan bahkan sekadar berkelompok dengan para monyet. Walau para monyet itu dipimpin monyet bermahkota emas dengan barisan hula-hula yang mencengangkan.*** 

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Budpar:Kebudayaan dan Pariwisata; ITE:Informasi dan Transaksi Elektronik; KK:Kota Kotamobagu; Mapolres:Markas Kepolisian Resort; Rudis:Rumah Dinas; UU:Undang-undang; dan Wawali:Wakil Walikota.

Sunday, September 30, 2018

Menghormati Tai Sapi? Blum Stau!

Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup; dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia.
(Ali bin Abi Thalib, 599-611 M)

SELASA, 25 September 2018, sama dengan hari biasa lainnya. Saya bangun subuh, menyeret badan yang sedang diterjang flu dan batuk (barangkali gara-garatravelingterus-menerus dalam beberapa pekan terakhir), menyeduh kopi, dan bersiap berangkat ke kantor. Hari biasa dengan pagi cerah yang menandakan matahari bakal terik hingga petang.

Langit yang cerah membuat hari gembira. Itu sebabnya saya riang-riang belaka menjawab telepon yang masuk—sembari menikmati tol Sentul-Jakarta yang mulai dipadati rayapan mobil—, yang menanyakan apakah saya akan hadir di pelantikan Walikota-Wawali KK 2018-2023. Tentu tidak, bukan hanya karena saya sedang tidak berada di Sulut, tetapi juga sebab banyak alasan ‘’memalukan’’ yang terpaksa mesti saya akui.

Pertama(dan terutama), saya tidak mendapat undangan. Jangankan dalam bentuk surat yang biasanya dihiasi gambar garuda; sekadar SMS atau WA basa-basi pun (yang pasti tidak saya harapkan dari TB atau NK) sama sekali tak ada. Dua, yang sangat terkait dengan poin pertama, memangnya siapa saya? Bukan ketua parpol; bukan pemuka masyarakat; tidak pula masuk kategori tokoh agama, adat, atau aktivis; lalu mengapa mesti berharap diundang? Dan ketiga, saya memang tidak punya jasa atau ‘’saham’’ terhadap terpilihnya Walikota-Wawali KK 2018-2023, kecuali sebagai penonton.

Bahwa, misalnya ada dugaan saya berada di balik beberapa orang yang menjadi tokoh kunci tim pemenangan TB-NK (yang sukses terpilih dan dilantik sebagai Walikota-Wawali KK), juga mengada-ada belaka. Yang benar, Ketua Tim Pemenangan, Syarif Mokodongan, pernah sekadar sambil lalu bertanya, apa pendapat saya jika dia mendukung TB-NK. Tentu respons saya ketika itu adalah mendukung 100%. Mau bagaimana lagi, tidak saya dukung 1.000% pun dia tetap akan menyokong dan bekerja keras untuk pasangan ini. Syarif orang merdeka yang berhak atas kemerdekaannya, termasuk merdeka mendukung atau tidak mendukung calon Walikota-Wawali.

Demikian pula sosok lain, Ismail Dahab, yang menjadi ‘’kembar siam’’ Syarif, yang mulanya enggan dengan macam-macam alasan yang sifatnya sangat personal. Kepada Ismail, saya hanya mencandai, otak rasionalnya sudah tercemar ego melankolis. Apa-apa pakai baper, padahal sebagai aktivis yang bertahun-tahun berada di pusaran politik praktis (mulai dari tukang sigi hingga pengatur strategi dan operator kandidat di kompetisi politik), dia mestinya khatam: perasaan adalah faktor ke 113 yang diperhitungan dalam politik.

Setelah ber-ha ha-he he dengan beberapa penelepon, juga membalas sejumlah WA dengan kegembiraan yang sama, saya menenggelamkan diri dalam kepadatan lalu lintas dengan membayangkan Syarif Mokodongan dan Ismail Dahab hadir dengan setelan rapih di pelantikan Walikota-Wawali KK 2018-2023. Mereka berdua tentu saja duduk di kursi paling depan dengan senyum paling lebar yang dimiliki—dalam bayangan saya, gigi mereka mungkin perlu sering-sering dibilas karena senyum yang tak putus-putus selalu membuat gigi kering-kerotang. 

Kerja politik siang-malam yang dilakukan Syarif, Ismail, dan sejumlah orang (termasuk mereka yang kerap saya sebut ‘’adik-adik’’), jelas sangat melelahkan. Lahir-bathin. Menguras tenaga, juga emosi. Apalagi yang dihadapi bukan hanya kandidat dan tim lawan, tetapi juga kebodohan, kengawuran, sok tahu, dan macam-macam yang bikin ‘’hati lelah’’ di internal tim.

Lelah-luluh-lantak Syarif, Ismail, dan tim yang mendukung TB-NK terbayar dengan kemenangan. Saya tahu persis bagaimana sukacitanya mereka, yang bahkan masih tetap bersiaga, waspada, dan bekerja, jauh setelah hari pencoblosan selesai. Kandidat lawan, Jadi-Jo, kendati sudah terbukti kalah, masih tetap melakukan perlawanan. 

Bayangan indah itu yang menjelang siang mendorong saya menelepon Syarif, berbual-bual menanyakan bagaimana suasana pelantikan, sambil tak lupa mengucapkan selamat. Sungguh saya terkejut karena dengan nada datar Syarif menginformasikan bahwa pasangan TB-NK sama sekali tidak mengundang dia. Kalau pun ada undangan di tangannya, itu datang dari Pemkot yang ditujukan ke Ketua Nasdem KK (kebetulan Syarif-lah sang ketua dimaksud). 

Barangkali Syarif cuma sedang memprovokasi saya. Karenanya saya kemudian menelepon Ismail, yang setelah berkali-kali akhirnya tersambung dan menyahut dengan suara masih terdengar setengah memeluk bantal. Dia baru bangun tidur dan memang setengah harian bermalas-malasan karena tidak punya agenda keluar rumah. Termasuk agenda menghadiri pelantikan Walikota-Wawali KK, sebab, katanya sambil terbahak-bahak, ‘’Saya tidak tahu dan memang tidak diundang.’’

Walau lebih sering jauh dari Sulut dan KK beberapa waktu setelah Pilwako selesai dan pemenangnya diumumkan, saya tetap mendapat info lengkap ada ketidaksepahaman kecil antara Syarif dan Wawali terpilih. Masalah sepele tentu tak perlu didramatisir, apalagi misalnya antara Wawali terpilih dan Syarif, yang hubungannya lebih dari sekadar perkawanan. Yang paling gampang, lepaskan seluruh titledan embel-embel, panggil Syarif, dudukkan, marahi (jikapun dia memang melakukan kekeliruan) dan urusan selesai. 

Pemimpin yang sebenarnya adalah promotor kebijaksanaan dan solusi; kakak yang baik adalah pengusung akal sehat. Lagipula, manusia mana yang tidak terpeleset (bahkan terperosok) dalam kekeliruan? 

Sayangnya, sesuatu yang ‘’mendadak wah’’ memang kerap mengguncang yang tidak siap, bahkan seketika bisa mencerabut seseorang dari akar. Kekuasaan—jabatan dan (juga) uang, sepasang godaan yang selalu tak bisa dipisahkan—tampaknya tetap valid sebagai penguji. Dalam kasus Syarif—dan Ismail—, saya kira, mereka menjadi korban kenaifan prasangka bahwa seseorang yang diantar ke gerbang kekuasaan tetaplah dia yang dikenal sejak berpuluh tahun. Barangkali pula, sebagai dua orang yang kini total memasuki politik praktis, Syarif dan Ismail telah siap menerima perubahan yang paling menyakitkan sekalipun. Sayalah mungkin yang akhirnya tersadar dan menolak ‘’ketidakhormatan’’ tetap harus dibalas dengan ‘’kehormatan’’.

Buat saya, ‘’tak dianggapnya’’ Syarif dan Ismail saat pelantikan Walikota-Wawali KK 2018-2023, tak beda dengan memperlakukan mereka berdua dengan sangat tidak terhormat. Apapun kekhilafan dan kekeliruan yang mereka lakukan, sebesar gunung sekalipun, semestinya mereka lebih dari pantas tetap didudukkan dengan wajah tegak. Terlebih alasan utama bersedianya mereka bekerja (politik) untuk TB-NK (sudah saatnya saya membeber ini) bukanlah karena TB, melainkan semata dan sesungguhnya karena NK.

Dengan apa yang terjadi sebelum, pada saat, dan setelah pelantikan TB-NK sebagai Walikota-Wawali KK, saya (yang tentu, sekali lagi, bukan siapa-siapa) belajar satu lagi peringatan yang disampaikan kerabat, sahabat, dan menantu Nabi Muhammad SAW, Alih bin Abi Thalib, bahwa: ‘’Jika ingin menguji karakter seseorang, hormati dia. Jika dia memiliki karakter yang bagus, dia akan lebih menghormati dirimu. Namun jika dia memiliki karakter buruk, dia akan merasa dirinya paling baik dari semuanya.’’

Hari ini, jikapun seluruh KK, Sulut, bahkan seisi bumi, menghormati orang yang saya maksudkan dalam tulisan ini; barangkali karena yang dilihat adalah labelyang sedang disandang. Saya sendiri cukup puas dengan memandang dia tak lebih baik dari seonggok tai sapi. Hanya orang tak waras yang bersedia menghormati tai sapi. Dan saya kira saya masih sangat waras.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Baper:Bawa Perasaan; Jadi-Jo:Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag; KK:Kota Kotamobagu; Nasdem:Nasional Demokrat; NK:Nayodo Kurniawan; Parpol:Partai Politik; Pemkot:Pemerintah Kota; SMS:Short MessageSulut:Sulawesi Utara; TB:Tatong Bara; WA:WhatsApp; dan Wawali:Wakil Walikota.

Sunday, July 1, 2018

Kemonyetan Massal Orang-orang Kalah

APAPUN dan bagaimanapun, kalah memang menyakitkan. Bikin galau, sesak dada, kurang tidur, bahkan bisa-bisa menaikkan tensi, gula darah, dan kolesterol. Tidak sedikit pula orang kalah yang tampaknya potensial berakhir sebagai pengidap gangguan jiwa.

Hari-hari ini, setelah pencoblosan Pilwako KK 2018, Rabu, 27 Juni 2018, yang disusul quick countdan real count, gegar kekalahan itu dipertontonkan tanpa malu-malu oleh pendukung dan simpatisan pasangan Jadi-Jo. Penghinaan, celaan, cacian, fitnah, dan provokasi bertaburan—terutama di media sosial. Saking patah hatinya karena Cawali-Cawawali yang didukung tumbang, mereka lupa baru saja susah payah menabung amalan di Ramadahan dan bermaaf-maafan di Idul Fitri 1439 H.

Adab macam apa yang ditulis, misalnya, oleh Achmadi Manangin, ‘’TBNK-Tuyul Baru Naik Kertas/Pake tuyul ba coblos sampe tatambah dorang pe suara, dengan TPS yang tatambah itu TPS Mangkubi’’? Apa dia punya bukti yang jadi dasar tuduhan? Atau, otak yang diberi makan sekolahan mana yang memproduksi model provokasi seperti yang didisiarkan Berlian Binol, yang seolah-olah pintar dengan membandingkan jumlah WP di Kecamatan Kota Barat dan Kecamatan Kota Selatan; dengan perolehan suara TB-NK dan Jadi-Jo; yang tidak menggunakan hak pilih; dan yang suaranya rusak.

Substansinya, Berlian yang menulis bahwa ada 8.400 WP di Kotamobagu Barat dan 2.994 WP di Kotamobagu Selatan yang tidak menggunakan haknya atau suara rusak, sedang memprovokasi dan mendorong orang banyak mengkongklusi ada yang main curang dalam kontestasi ini. Siapa itu? Tunjuk hidung saja supaya urusan ini segera diselesaikan setegas-tegasnya. Memangnya kurang transparan apa Pilwako dilaksanakan? Begitu transparannya hingga publik bahkan leluasa mendedah bagaimana pendukung Jadi-Jo kalap menyita sedekah untuk dhuafa menjelang Idul Fitri lalu, dengan tuduhan keikhlasan beramal itu adalah money politic.

Terhadap monyet-monyet seperti Achmadi Manangin dan Berlian Binol (mohon dicatat: saya menulis dua orang ini sebagai monyet supaya mereka melaporkan saya ke polisi dan mari kita menguji keampuhan UU IT. Apakah UU ini tokcermenjerat idiot seperti dua orang ini atau tidak), saya ingin menceritakan kesaksian pribadi. Satu pagi menjelang siang, dua hari sebelum Idul Fitri (kami sekeluarga memang berusaha selalu berlebaran di KK), saya menyaksikan langsung ada pemberian ‘’amplop uang buka puasa’’ yang dilakukan ‘’orangnya Jadi-Jo’’. Di depan kepala dan mata saya. Bukan sekadar anggota tim sukses, tapi saya pastikan sang pemberi adalah kerabat sangat dekat salah satu di antara pasangan calon ini.

Dari fakta itu, saya menyarankan pada pendukung Jadi-Jo yang masih berhalusinasi Pilwako KK belum berakhir: bila ingin menuduh lawan panuan, periksa dulu jangan-jangan Anda sendiri ternyata kudisan, bisulan, dan bahkan korengan. 

Akan halnya penyitaan sedekah yang terjadi di Kelurahan Mogolaing, belakangan saya tahu persis duduk-soalnya. Apalagi kejadiannya berlangsung hanya beberapa (ratus) meter dari rumah Ayah-Ibu saya. Dan sungguh memalukan. Terlebih orang-orang yang terlibat saya kenal betul. Mereka umumnya orang-orang tua yang semestinya menjadi tokoh panutan, yang sayangnya ternyata cuma berlangit pikir dan adab kelas dhuafa.

Apakah politik praktis Pilwako yang hanya marak dalam hitungan bulan begitu mustahak pentingnya hingga membuat manusia rela menurunkan derajatnya setara monyet? Yang isi kepalanya hanya dijejali dengan satu kredo: ‘’pokoknya kita harus menang!’’

Tapi memang, kearifan lama selalu banyak benarnya: monyet hanya berkumpul dan berkaum dengan sesama monyet. Sebaliknya, singa dan harimau juga hanya berkawanan dengan sesama singa dan harimau. Sialnya, bahkan sudah jelas monyetpun, masih terang-terangan dan tanpa malu-malu tak henti meyakinkan orang banyak, bahwa: kami memang monyet. Silahkan ditertawai betapa dungunya kami ini!

Yang membuat saya tak habis pikir, banyak dari anggota gerombolan monyet itu secara formal makan bangku sekolah. Terdidik di tingkatan yang cukup tinggi. Ada yang mencap diri ustadz, dokter, aktivis, mengaku-ngaku wartawan, bahkan tokoh adat dan panutan sosial-kemasyarakatan. Maka itu, saya kira, bila kita serius ingin tahu apa penyebab ‘’kemonyetan massal’’ ini, diperlukan kerumitan riset ilmiah dan waktu yang panjang hingga terungkap tuntas asal-muasalnya.

Alih-alih jengkel, setiap kali mendapat capturelalu lintas unggahan di media sosial, terutama dari kaum pendukung Jadi-Jo yang belum move on, saya tak urung terbahak-bahak. Sudah tepat sekitar 55% warga KK yang menggunakan hak pilih memberikan suara ke TB-NK. Setidaknya pasangan ini dan tim di belakang mereka. lebih-kurang, masih bisa mengontrol laku dan tindak pendukung mereka, terutama di media sosial. Walau, di Mongondow, harus diakui batas antara baterek(loleke) dan menghina hanya setipis rambut. Tafsirnya sangat tergantung volume otak dan skala kecerdasan yang ada di dalamnya.

Di akhir kontestasi Pilwako KK 2018, yang akan dikukuhkan adalah Walikota-Wawali yang memimpin seluruh masyarakat. Pemimpin yang sebenar-benar pemimpin, minimal, mampu memberikan contoh normatif dan menggendalikan yang dipimpin. Jika para pendukung saja berkelakuan seperti monyet gila, tanpa mampu dikontrol oleh patron mereka, simpulan yang paling masuk akal: siapapun yang dipatronkan itu, dia jauh dari layak dipilih sebagai lokomotif umum.

Demokrasi, kata orang-orang pintar (termasuk yang ditulis Youval Noah Harari di publikasi best seller-nya, Sapiens: A Brief History of Humankind, 2011), sebagaimana adab sosial, adalah salah satu proses pencapaian sejarah kecerdasan manusia. Dalam demokrasi, mengakui kekalahan mencerminkan seberapa jauh evolusi memparipurnakan adab dan kecerdasan para pelakunya. Melihat ulah dan tingkah (terutama) pendukung Jadi-Jo saat ini, termasuk ‘’yang diarahkan’’ oleh patron mereka, tidak diharamkan bila kita menyederhanakan penilaian dengan: kasihan, mereka hanya orang-orang bodoh yang evolusinya mandeg, yang dengan gagah perkasa tunjung bodok.

Demi rasa kasihan dan atas nama persaudaraan di seantero Mongondow, saya kira sudah waktunya (khususnya) para pendukung dan simpatisan TB-NK berhenti bereaksi terhadap segala yang lalu-lalang di publik KK dan media—utamanya—sosial. Ingat saja, salah satu tontonan yang tak lekang digerus zaman adalah topeng monyet. Apa salahnya satu-dua minggu ini dinikmati saja, dengan khimat dan penuh apresiasi, gelaran topeng monyet orang-orang kalah yang kedunguan dan energi mencak-mencaknya masih berlimpah?

Toh, di pertunjukan topeng monyet pun ada waktunya sang monyet kelelahan, pawang bosan, dan penonton akhirnya habis selera.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Cawali:Calon Walikota; Cawawali:Calon Wakil Walikota; H:Hijriah; ITE:Informasi dan Transaksi Elektronik;Jadi-Jo: Jainuddin Damopoli-Suharjo Makalalag; KK:Kota Kotamobagu; Pilwako:Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); TB-NK:Tatong Bara-Nayodo Kurniawan; TPS:Tempat Pemungutan Suara; UU:Undang-undang; Wawali:Wakil Walikota; dan WP:Wajib Pilih.

Saturday, June 30, 2018

Pak (dan Bu) Tua, Sudahlah….

SEJAK mula Pilwako KK 2018 adalah kompetisi antar generasi. Antara guru dan murid. Dalam artian sesungguhnya.

Tak banyak yang mungkin awas. Tapi coba perhatikan, Walikota petahana yang terpilih kembali di Pilwako Rabu, 27 Juni 2018, Tatong Bara, dan pesaingnya, Jainuddin Damopolii, persis adalah murid dan guru. Ketika Tatong masih menempuh pendidikan SMA, seingat saya Jainuddin sudah sukses sebagai Bapak Guru. Di saat Tatong baru berkenalan dengan parpol dan politik praktis, Jainuddin telah melambung sebagai ketua parpol dan politikus lokal (skala Bomong) yang diperhitungkan.

Calon Wawali pasangan Tatong, Nayodo Kurniawan, adalah generasi yang lebih muda lagi. Dibanding Suharjo Makalalag yang jadi tandem Jainuddin, dia persis adalah anak murid. Seingat saya, di awal kepulangannya dari luar negeri (tanpa menyelesaikan studi doktornya) dan berkarir di Pemkab Bolmong (induk), adik-adik di generasi Nayodo masih menyebut Suharjo sebagai ‘’Pak Guru Ajo’’. 

Peririsan kesamaan antara Nayodo dan Suharjo adalah, keduanya cukup berminat terhadap ‘’politik’’. Nayodo bermain di tingkat ‘’politik praktis tinggi’’ dengan jadi aktivis LSM, lalu penyelenggara ‘’pertandingan politik’’ sebagai komisioner KPU; Seharjo lewat tendensi jabatan eksekutif politik dengan meniupkan keinginan jadi calon bupati/cabup, yang kesampaian tatkala digandeng sebagai calon Wawali KK 2018-2023 oleh Jainuddin.

Di belakang dua pasang kandidat itu, tokoh-tokoh utama yang jadi ‘’dalang’’ dan penggerak mesin dukungan, bahkan lebih kontras lagi. Tim pemenangan TB-NK dipimpin oleh Ketua Nasdem KK, Sarif Mokodongan, yang suka atau tidak lebih tepat disebut ‘’cucu politik’’ dibanding Syachrial Damopolii sebagai komandan tim di belakang Jadi-Jo. 

Saya masih menyaksikan bagaimana Sarif dan adik-adik seangkatannya belajar memahami apa itu politik di awal masuk PT, sembari terkagum-kagum pada Ketua DPRD Sulut, Syachrial Damopolii, yang di waktu itu dianggap (bersama Djelantik Mokodompit) sebagai politikus kelas kakap. Di era itu, mengagumi Syachrial yang berpolitik dengan liat—juga nakal dan sesekali konyol, yang akhirnya membawa dia masuk bui akibat kasus MBH—, adalah keniscayaan. 

Diakui atau tidak, di zaman kejayaannya, Syachrial pernah memercikkan rasa bangga buat orang Mongondow, setiap kali membicarakan peta politik Sulut. Mendapat basa-basi ‘’ini kader saya’’ dari Syachrial, misalnya, sudah membuat anak bawang politik asal Mongondow merasa tak beda dengan cintanya disambut oleh artis sinetron favorit yang setengah mampus digila-gilai.

Hanya kurang dari 15 tahun setelah masa gemilang Syachrial dan generasinya, di Pilwako KK (dan sesungguhnya juga Pilkada Bolmong 2017 lalu) anak murid dan cucu politik para tetua yang tampaknya belum puas bersilat siasat itu, mengingatkan para pendahulunya terhadap kebajikan lama: setiap era punya tokohnya sendiri, setiap tokoh punya eranya sendiri. Politik Mongondow, khususnya KK, telah berubah radikal. Pengalaman, ilmu, dan praktek politik tua yang dahulu ampuh mengatraksi konstituen, kian tak laku di era digital ini—yang bahkan mesti terseok-seok dikejar sekalipun oleh mereka yang sangat melek ilmu pengetahuan dan teknologi.

Politik, buat generasi Syachrial dan Jainuddin—yang tentu saya kenal sangat baik—, lebih dimaknai dan dipraktekkan sebagai seni. Ilmunya diramu dari temuan dan pengalaman, entah di PG, PAN, Puskud, atau Muhammadiyah. Di lain pihak, generasi politikus Mongondow yang lebih baru, sekalipun politik tetap sebagai seni, dilakukan lebih terstruktur dan ‘’scientific’’. Sarif Mokodongan misalnya, belajar berorganisasi dari KPMIBM, naik ke Institut Bakid in Totabuan, lalu parpol. Atau Ismail Dahab yang menjadi tandem Sarif di tim TB-NK, adalah aktivis PMII sejak duduk di bangku PT dan bahkan tercatat sebagai salah satu biang eksponen 98 dari Sulut.

Generasi Sarif dan Ismail adalah juga orang-orang muda yang masak mendiskusikan (dan mempraktekkan) politik dengan rujukan yang lebih text book

Saya tidak bermaksud menyatakan politikus dari zaman Syachrial dan Jainuddin tidak mengakrabi literatur. Tapi faktanya, jika mendadak berada di tengah salah satu pertemuan politik dari dua generasi ini, mudah membedakan kita berada di era yang mana: yang berpolitik praktis dengan konvensional; atau yang lebih segar dan advantage.

Politik praktis dari era lama yang mudah diduga dan—maaf saja—telah dengan saksama dipelajari oleh generasi yang lebih baru, membuat langkah-langkah para politikus akidan ba’ai itu mudah diduga. Lihat saja bagaimana pencalonan Jadi-Jo diwarnai janji-janji tidak masuk akal, manipulasi KTP (sebagai calon independen mereka memang harus mengumpulkan dukungan disertai KTP), tekanan massa, kampanye brutal, pawai, dan bahkan intimidasi terang-terangan. Semuanya adalah gaya lama yang kian kehilangan pelanggan di pasar politik yang lebih terbuka dan cerdas.

Contohnya, siapa lagi yang mau membeli model serang-menyerang di media sosial yang dipraktekkan tim dan pendukung Jadi-Jo, kecuali sekelompok orang kurang kerjaan yang sehari-hari hanya menongkrongi gadget? Terlebih materi yang disemburkan ke publik--maaf saja--sungguh kampungan, cenderung hoax, kekanak-kanakan, dan terang menunjukkan kreatornya berotak udang. Contoh model dukungan terhadap Jadi-Jo yang bikin publik muak dan kepingin muntah adalah yang biasa disiar dan disebarkan oleh Denny Mokodompit (sayangnya, walau menyebalkan, dia adalah karib dan saudara yang tetap saya hormati di luar urusan politik praktis ala anak TK-nya).

Siapa pula yang bakal bersimpati bila hasil perhitungan, baik quick countmaupun real count,menunjukkan TB-NK unggul hampir 10% dari Jadi-Jo; lalu pendukung Jadi-Jo masih pawai keliling kota berilusi mereka adalah pemenang? Kalau ada derajat celaan yang lebih tinggi dari dungu, saya benar-benar ini menggunakan kata itu untuk situasi yang terjadi sekitar pukul 23.00 Wita, Rabu, 27 Juni 2018, hingga pukul 02.00 Wita, Kamis, 28 Juni 2018, di KK.

Hanya politikus yang tutup-mata-telingga mendekap masa lalu dan dungu yang tidak membuka pikiran, bahwa politik praktis modern harus benar-benar direncanakan, dikelola, dan akhirnya diukur dengan indikator-indikator yang rigit. Tidakkah Syachrial dan Jainuddin yang sudah makan asam garam politik menyadari, bahwa pilihan terhadap Syarif Mokodongan sebagai ketua tim TB-NK bukanlah kebetulan atau dicomot begitu saja dari pagar Balai Kota. Atau perjudian bodoh sekadar coba-coba siapa tahu beruntung.

Menempatkan Sarif dan timnya (yang 100% anak muda, berusia muda) melawan Syachrial dan timnya (konon tak lain para pendekar politik tak hanya KK tapi BMR), sesungguhnya membawa pesan amat penting: Melawan anak murid dan cucu politik saja kalian yang tua-tua sudah kewalahan, apalagi dengan generasi yang sedikit di atas mereka.

Itu sebabnya, saya tersinggung ketika ada yang menelepon dan mengirim WA mengucapkan selamat ke saya atas terpilihnya TB-NK. Ada apa ini? Apakah itu artinya menuduh saya sebagai master mind  di balik sukses TB-NK dan timnya? Atau niat terang-terangan mengecilkan kerja keras Sarif Mokodongan, Ismail Dahab, dan sangat banyak nama lain yang beberapa bulan terakhir menggerakkan orang banyak agar bersedia mempercayai TB-NK memimpin KK lima tahun mendatang?

Sekadar saya duduk diskusi sembari melahap tude bakar bersama Sarif, Ismail, dan timnya, lalu dianggap sebagai pengarahan ide, strategi, dan petunjuk teknis memenangkan TB-NK, pasti keluar dari kepala konspiratif yang dicemari cacingan. 

Jikapun ada yang lebih dari pantas mendapat ucapan di luar TB-NK dan timnya, saya pastikan apresiasi itu mesti dilimpahkan pada Bupati Bolmong, Yasti Soepredjo-Mokoagow. Dialah yang sehari-hari, di luar TB-NK, yang sungguh-sungguh mendukung dan menyemangati tim yang dipimpin Sarif. Dan, dengan keyakinan penuh saya bisa menyatakan, Yasti melakukan itu dengan kesadaran: politik adalah transformasi sehat dari generasi ke generasi yang disiapkan dengan cara yang sepenuhnya saling asah-asih-asuh.

Kalau generasi tua politik Mongondow silap lupa terhadap asah-asih-asuh ini, tak usah heran bila hari ini dan di masa datang mereka tak bakal ‘’greeng’’ berkompetisi melawan kaum politikus muda dari generasi yang lebih baru. Dan karena tak greeng lagi, sudahlah. Pak (dan Bu) Tua, istirahat saja. Berkebun, main dengan cucu, atau i’tikaf di mesjid adalah aktivitas yang lebih maslahat ketimbang menguncang publik dengan ilusi dan dusta memalukan. 

Memangnya tidak memalukan meng-encourage massa beriaan (dengan pawai dan konvoi pula) seolah-olah jadi pemenang, padahal nyatanya kekalahan baru saja menggodam kepala?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BMR:Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:Bolaang Mongondow; Cabup:Calon Bupati; Cawabup:Calon Wakil Bupati;DPRD:Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: Jadi-Jo:Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag; KK:Kota Kotamobagu; KPMIBM:Keluarga Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow; KPU:Komisi Pemilihan Umum; KTP:Kartu Tanda Penduduk; LSM:Lembaga Swadaya Masyarakat; MBH:Manado Beach Hotel; Nasdem:Nasional Demokrat; PAN:Partai Amanat Nasional; Parpol:Partai Politik; Pemkab:Pemerintah Kabupaten; PG:Partai Golkar; Pilwako:Pemilihan Walikota (dan Wawali); PMII:Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia; Puskud:Pusat Koperasi Unit Desa; PT:Perguruan Tinggi; SMA:Sekolah Menengah Atas; Sulut:Sulawesi Utara; TB-NK:Tatong Bara-Nayodo Kurniawan; TK:Taman Kanak-kanak; Wawali:Wakil Walikota; dan Wita:Waktu Indonesia Tengah.

Wednesday, February 21, 2018

KPU KK dan Centang-perenang Warung Kopi

APA penyebab sepakbola Indonesia—negeri dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa—selalu gagal punya 11 orang yang pintar mengola sebiji bola dan bikin gol? Ini bukan pertanyaan sinis atau retorik. Tidak pula membandingkan dengan timpang antara jeruk nipis dan kelapa, misalnya jika Timnas Indonesia disanding dengan Timnas Islandia yang sukses berlaga (nanti) di Piala Dunia 2018.

Islandia, negeri yang masuk jajaran negara-negara Skandinavia, berdasar statistik 2016 hanya berpenduduk 334.252 jiwa. Sepakbolanya? Umumnya klub amatir yang para pesepakbolanya bermain sebagai hobi belaka. Bahkan pekerjaan utama pelatih yang membawa negeri ini ke Piala Dunia 2018, Heimir Hallgrimsson, adalah dokter gigi. Di luar kesibukannya mengebor dan mencabut gigi, Hallgrimsson mengatur menejemen, strategi, dan taktik Timnas Islandia supaya efektif mengocek bola dan menjebol gawang lawan. Mereka sukses, berjaya, mengejutkan dunia.

Pasti ada nyinyir dan berkilah, ‘’Jangan bandingkan Islandia dan Indonesia. Islandia itu negara makmur. Kita?’’ Baiklah. Bagaimana dengan timnas Panama, negara berpenduduk hampir 4 juta jiwa (perkiraan 2015) di Amerika Tengah yang babak-belur intrik dalam negeri dan korupsi? Atau Nigeria, negara di Afrika Barat yang berpenduduk hampir 200 juta jiwa, yang kerap diguncang konflik tetapi tetap mampu punya timnas yang diperhitungan di Piala Dunia?

Bila dicermati—demikian pula pendapat dan bual-bual para pengamat—, keberhasilan negara-negara ‘’di luar perhitungan’’ seperti Islandia dan Panama punya timnas sepakbola handal, tak lepas dari manajemen, keseriusan, dan (yang terpenting) kesungguhan serta kekeras-hatian profesional semua pihak yang terlibat. Organisasinya mengurus sepakbola bukan dengan otak dan praktek politik. Wasitnya tidak memposisikan diri sebagai pemain ke-12 salah satu tim. Pelatih dan pemainnya fokus pada sepakbola, bukan intrik, apalagi jual beli gol dan pengaturan pertandingan. Masyarakat dan (khusus) penontonnya, memang berkeinginan melihat olah bola, bukan tawuran dan pengerusakan.

Intinya, apapun dinamika dan gejolak (politik-ekonomi-sosial, bahkan keamanan) yang terjadi, sepakbola tak perlu dicemari dengan aspek-aspek non sepakbola. Dengan begitu, peluang memiliki 11 orang di lapangan yang benar-benar mendedikasikan seluruh tenaga dan pikirannya membobol gawang lawan, menjadi optimal dan optimum.

Apa relevansi sepakbola, timnas Islandia, Piala Dunia, dan KPU KK—yang menjadi tajuk tulisan ini? Tidak ada! Kecuali bahwa ada persinggungan fungsi dan peran yang disebut ‘’penyelengara (organisator) dan wasit’’ dalam laga bola dengan KPU sebagai ‘’penyelenggara dan wasit’’ dalam perhelatan politik, lebih khusus lagi dalam konteks Pilwako KK 2018, yang semaraknya kebetulan bersamaan dengan Piala Dunia 2018.

KPU KK adalah penyelenggara sekaligus wasit dalam pelaksanaan Pilwako 2018. Dengan sejumlah tuntutan, setidaknya jujur, terbuka, tertata-laksana, transparan, akuntabel, dan profesional. Aspek-aspek ini menempatkan para komisioner dan perangkat KPU (tidak hanya di KK) harus bersikap dan bertindak bagai malaikat. Dingin, lurus, tegas, dan tak pandang bulu. Tidak boleh tergoda hanya karena tekanan, sentimen tertentu, apalagi fulus dan janji-janji politik.

Dengan segala kelemahan dan kekurangannya, rekam-jejak KPU KK menunjukkan, lembaga ini dan orang-orangnya pernah menunjukkan kinerja sangat terpuji. Di bawah kepemimpinan Nayodo Koerniawan (yang mundur sebagai Ketua pada 2017 lalu dan mencalonkan diri sebagai Wawali KK 2018-2023 berpasangan dengan Tatong Bara), pada 2014 KPU KK diakui sebagai KPU terbaik se-Sulut dan KPU berintegritas Tingkat Nasional untuk kategori kabupaten/kota.

Itu kinerja mengkilap yang dulu. Bagaimana kini, terutama yang kita saksikan sejak tahapan Pilwako KK dimulai beberapa waktu lalu? Menurut hemat saya, di Pilwako 2018 ini KPU KK tak beda dengan warung kopi yang dijalankan dengan moto ‘’hear nothing, see nothing, say nothing’’ lengkap dengan logo tiga monyet yang masing-masing menutup telinga, mata, dan mulut. Sekadar untuk diketahui, tiga frasa bahasa Inggris ini pernah populer sebagai judul album yang dirilis grup punk Inggris, Discharge, pada 1982.

Maaf saja. Saya tidak sedang mengkampanyekan salah satu dari dua pasang calon Walikota-Wawali KK 2018-2023, Tatong Bara-Nayodo Koerniawan atau Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag. Siapapun yang duduk memimpin KK setelah Pilwako 27 Juni 2018, adalah pilihan seluruh masyarakat. Soalnya adalah, bagaimana Pilwako diselenggarakan dengan sebaik dan sebenar-benarnya?

Sebaik dan sebenar-benarnya tentu menuntut jajaran KPU KK bukan berlagak seperti tiga monyet yang menutup telinga, mata, dan mulut, sembari tetap menyajikan kopi serta camilan dan mengutip duit. Yang tak peduli kopinya diseduh dari air comberan, yang camilannya penuh belatung, sementara para pengunjung warung kopi saling jambak dan baku pukul.

Menutup telinga, mata, dan mulut dari calon independen yang mengganti pasangan tiga hari sebelum pendaftaran, sungguhnya menunjukkan ada yang tak punya otak di antara kita. Sedemikian pula dengan ketak-pedulian bahwa di mana-mana orang (bahkan termasuk PPK dan PPS) mengakui ada penyalahgunaan KTP dan manipulasi tanda tangan dukungan. Ini kerja penyelenggara dan wasit macam apa?

Yang nyata dan telanjang seperti itu saja diabaikan oleh KPU KK, apalagi yang lebih sedikit menukik dan substansial. Misalnya soal surat pengunduran diri calon yang berstatus ASN, yang kebetulan pernah tersandung pidana dan sudah diperintahkan dipecat oleh BKN. Aturan mana yang akan dipakai? Yang dikeluarkan KPU, sekadar hasil konsultasi antara KPU KK dan KPU Provinsi dan Pusat, atau UU dan turunannya yang mengikat ASN?

Manakah yang dirujuk KPU KK, sebagai penyelenggara dan wasit Pilkwako, dalam isu itu? Tidak perlu menjadi ahli hukum atau administrasi negara untuk mengkongklusi bahwa ASN yang mengajukan pengunduran diri (dengan hormat), sementara dia dalam proses pemecatan, jelas tidak memenuhi syarat. Lain soal kalau yang diajukan adalah surat keterangan dalam proses pemecatan.

Tapi, memang apa yang diharapkan dari warung kopi bermoto ‘’hear nothing, see nothing, say nothing’’ dengan logo tiga monyet yang menutup telinga, mata, dan mulut; kecuali situasi centang-perenang tak karuan. Itu pula yang membuat saya tak heran jika KPU KK mesti menghadapi gugatan para calon di Pilwako 2018 seperti yang dipublikasi kroniktotabuan.com, Selasa, 20 Februari 2018, TBNK dan JaDi-Jo Gugat KPU ke Panwaslu, Ini Permintaan Mereka (https://kroniktotabuan.com/2018/02/20/tbnk-dan-jadi-jo-gugat-kpu-ke-panwaslu-ini-permintaan-mereka/) atau totabuan.co, Dua Pasangan Calon di PIlkada Kota Kotamobagu Saling Gugat (http://totabuan.co/2018/02/dua-pasangan-calon-di-pilkada-kota-kotamobagu-saling-gugat/), juga di hari yang sama.

Saling gugat itu tampaknya baru pemanasan. Dengan KPU KK yang ’hear nothing, see nothing, say nothing’’ sembari hanya bersandar pada putusan dan petunjuk KPU provinsi dan pusat, saya menyiapkan diri menerima, bahwa: Seperti sepakbola Indonesia, bukan tak mungkin pada akhirnya bakal terbukti KPU KK tak lebih dari bagian tim sukses salah satu pasangan calon.

Petanda yang kasat mata adalah fakta yang sulit diperdebatkan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:


ASN: Aparatur Sipil Negara; BKN: Badan Kepegawaian Nasional; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KTP: Kartu Tanda Penduduk; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); PPK: Panitia Pemungutan Kecamatan; PPS: Panitia Pemungutan Suara; Sulut: Sulawesi Utara; Timnas: Tim Nasional; UU: Undang-undang; dan Wawali: Wakil Walikota.

Tuesday, January 9, 2018

Para Pembual di Sekitar Kita

SENIN selepas magrib, 1 Januari 2018, saya menemani anak-anak yang ingin menonton The Greatest Showman di Premier XXI Mantos. Di bioskop, karena cukup lama menunggu pertunjukan dimulai, kami sekeluarga akhirnya reriungan di lounge.

Meja yang kami tempati berada di tengah, di apit dua meja depan-belakang di sisi jendela dengan pemandangan Teluk Manado dan julangan Manado Tua di kejauhan. Makan dan minuman dipesan dan segera anak-anak tenggelam dengan gadget mereka. Kids zaman now memang bukang gampang, kendati di sekitar suara percakapan berdentang-dentang, terutama dari meja yang tepat berbelakangan dengan anak bungsu saya.

Samar-samar (lagipula untuk apa menguping) saya mendengar enam orang yang menyesaki satu meja itu mempercakapkan sesuatu dengan menyebut-nyebut ‘’Bupati Bolmong’’, ‘’Walikota KK’’, dan ‘’Bupati Boltim’’, lengkap dengan nama depan mereka (Yasti, Tatong, dan Sehan—tanpa didahului ‘’Ibu’’ atau ‘’Bapak’’). Kendati cukup kenal dengan ketiga tokoh publik di BMR itu, saya tak ambil pusing dengan apapun yang terdengar di area publik. Menguping pembicaraan orang, buat saya, tak beda dengan mencopet dompet di angkutan umum.

Tapi, rupanya anak bungsu saya, yang kelihatannya asyik memainkan telepon selularnya, mendengar jelas apa yang dipercakapkan (apalagi dia hanya dipisahkan oleh sandaran kursi dengan majelis yang tengah bercakap). Sebab, setelah beberapa jenak, sambil cengegesan dia mengatakan (dengan menggunakan bahasa Inggris), ‘’Mereka mempercakapkan proyek yang katanya sudah dibicarakan dengan Tante Yasti dan Tante Tatong disaksikan oleh Om Sehan.’’

Apa yang disampaikan anak bungsu saya itu, membuat saya melotot dan mengingatkan dia, bahwa menguping percakapan orang bukan hanya tidak sopan, tetapi sesuatu yang tercela. Tapi dia kemudian mendebat, bahwa orang yang menyampaikan pernyataan itu bicara dengan volume tinggi. ‘’Sekalipun saya tidak ingin menguping, tetap saja terdengar jelas.’’

Anak bungsu saya, yang masih duduk di bangku SMA, barangkali hanya bocah umumnya yang tak ambil pusing dengan politik, kekuasaan, apalagi proyek-proyekan. Namun, mendengarkan (dengan tanpa sengaja) percakapan enam orang yang riuh-reda itu, tak urung dia terkekeh dan menyimpulkan, ‘’Orang yang menyatakan sudah bicara dengan Bupati Bolmong, Walikota KK, dan Bupati Boltim soal proyek itu, pasti cuma membual.’’

Menurut dia, yang memang kerap saya ajak sejak masih duduk di bangku SD bertemu tokoh-tokoh seperti Bupati Yasti, Walikota Tatong, atau Bupati Sehan Lanjar, omongan yang didengar itu tak lebih dari jual kecap ala calo pada bohir yang gampang diakali. ‘’Memangnya Tante Yasti, Tante Tatong, dan Om Eyang segampang itu dijual-jual? ’’ Begitu simpulannya.

Saya, setelah mencermati sosok dan wajah orang-orang itu, juga berakhir pada simpulan yang sama. Saya tak berani mengklaim sangat dekat dengan tiga elit BMR itu. Tapi saya kira tidak mengada-ada bila saya mengaku cukup tahu ketiganya dan lingkaran pergaulannya. Dalam hubungan intensif dengan Bupati Boltim, setidaknya dalam enam-tujuh tahun terakhir; serta Bupati Yasti dan Walikota Tatong yang telah berwindu-windu; sejujurnya saya belum pernah melihat enam orang itu di sekitar mereka.

Maka yang paling masuk akal: orang yang tervokal hari itu tak lain hanya pembual; calo kebablasan; atau sekadar orang yang kenal Bupati Yasti, Walikota Tatong, dan Bupati Sehan, lalu coba-coba memanfaatkan nama mereka untuk sesuatu keuntungan. Orang-orang sejenis ini, di isu dan kasus berbeda, mudah ditemui di sekitar elit politik yang memegang kekuasaan (politik dan eksekutif).

Di lain pihak, kalaupun benar orang tersebut  sudah melakukan pertemuan dengan Bupati Yasti dan Walikota Tatong, disaksikan oleh Bupati Sehan, untuk urusan ‘’membereskan proyek’’, mempercakapkan di tempat umum dengan suara keras adalah sikap haram jadah. Dia terang-terangan mengumumkan betapa gampang tiga elit BMR itu diatur-atur, tak lebih dari boneka yang mudah ditertawai di belakang punggung mereka. Bualan, fiksi atau fakta, sungguh virus berbahaya.

Selain urusan proyek yang didanai APBD, yang memang berada di bawah kewenangan Bupati/Walikota, para ‘’pembual pengaku-ngaku’’ itu biasanya sangat aktif beroperasi ketika ada rencana perubahan dan mutasi jabatan. Saya pribadi punya pengalaman beberapa waktu terakhir tatkala isu mutasi jabatan di lingkungan Pemkab Bolmong menjadi wacana hangat. Tiba-tiba telepon saya rajin dihubungi oleh mereka yang bahkan bukan ASN, menyampaikan basa-basi penuh puja-puji, mengangkat-angkat bahwa saya dekat dengan Bupati Yasti, lalu menitipkan nama yang pantas menjabat di posisi-posisi penting.

Waduh! Ini saatnya bagi saya mengklarifikasi banyak duga-duga, bisik-bisik, dan bualan. Pertama, saya pribadi (dan keluarga) diterima baik di lingkungan Bupati Yasti dan keluarga besarnya. Namun sebatas itu. Tidak lebih dan tidak kurang, terlebih dalam soal politik, wewenang, tanggung jawab, dan kebijakannya sebagai Bupati. Tidaklah mungkin saya, yang bukan staf khusus dan sejenisnya; aktivis partai; apalagi penasihat, melanggar kepatutan dengan mencampuri ketatalaksanaan birokrasi yang ingin dia (dan jajarannya) tegakkan di Bolmong.

Kedua, hubungan pribadi dengan Bupati Yasti—demikian juga dengan elit lainnya--yang sudah terjalin bertahun-tahun adalah pertemanan yang saling respek dan menghargai. Kami tahu persis ‘’mana urusan di laut, mana urusan di darat’’, yang keduanya tak boleh dicampur aduk. Dalam hubungan pribadi yang ‘’tahu diri’’ dan ‘’tahu tempat’’ ini, jika ada diskusi, percakapan, atau tukar pikiran di antara kami, sebatas hal-hal yang bersifat normatif.

Dan ketiga, saya sangat menghormati para elit dan pemimpin di BMR. Rasa hormat itu saya ekspresikan dengan sedapat mungkin mendudukkan mereka di posisi sebagaimana mestinya. Dugaan, bisik-bisikan, dan bualan bahwa orang biasa seperti saya mampu mempengaruhi Bupati Yasti, Walikota Tatong, Bupati Sehan, Bupati Herson Mayulu (Bolsel), apalagi Bupati Depri Pontoh (Bolmut), jelas menghina kewarasan mereka dan akal sehat saya. Memangnya mereka sebegitu bodoh dan naïfnya hingga kebijakan dan putusannya gampang saja dipengaruhi?

Jadi, wahai orang-orang yang berakal sehat, berhentilah percaya pada para pembual yang ujung-ujungnya cuma mempraktekkan modus penipuan. Lihatlah mutasi yang dilaksanakan oleh Bupati Yasti, Jumat, 5 Januari 2018, lalu, dan nilai sendiri: adakah di antara perubahan—promosi dan degradasi—yang dia lakukan dapat diindikasi terpengaruh oleh pihak di luar mereka yang memang berwenang dan bertanggung jawab? Menurut hemat saya, sejauh ini (terlebih karena perubahan kabinet Yasti Soepredjo Mokoagow-Yanny Tuuk ditransparansi jauh-jauh hari) yang tampak dan dipraktekkan adalah pendekatan meritokrasi yang mengedepankan profesionalisme birokrasi dan kompetensi ASN.

Bahkan, bila dicermati lebih jauh, Bupati Yasti dan jajarannya melakukan terobosan dibanding daerah lain di BMR. Sebelum mutasi dilaksanakan, Bupati menginstruksi agar kendis ditarik dari seluruh ASN. Hasilnya, setelah mutasi tidak ada isu kendis yang susah payah—hingga bertahun-tahun—dialihkan karena ditahan dan enggan dikembalikan oleh birokrat yang sebenarnya tak berhak lagi karena pindah jabatan (struktural).

Pengalaman mutasi jabatan di Pemkab Bolmong itu dan ‘’kupingan tanpa sengaja’’ bualan di lounge Premiere XXI Mantos mengkongklusi: suka atau tidak, di sekitar kita memang banyak pembual yang doyan menjual-jual kedekatan dengan para elit politik dan pemerintahan. Percayalah, motif mereka hanya satu: penipuan demi keuntungan pribadi.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Kendis: Kendaraan Dinas; KK: Kota Kotamobagu; dan SMA: Sekolah Menengah Atas.