Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, December 23, 2018

Wawali atau Bolai Inogoi-an in Tambor?

KESOMBONGAN, kata penulis yang juga penyair dan pendidik, Balroop Singh, adalah ‘’perlengkapan untuk mereka yang lemah’’. Lengkapnya, nukilan dari penulis Allow Yourself To Be A Better Person (2016) ini adalah, ‘’Arrogance is the armour of the weak. They are always at war to hide their real self.’’

Ganti kata ‘’kesombongan’’ (arrogance) dari kalimat milik Balroop dengan ‘’ketololan’’ (stupidity atau idiocy), Anda akan menemukan pemaknaan yang tak berbeda. Dan memang, jika bukan kembar siam, sombong dan tolol biasanya selalu beriringan penuh akrab dan mesra.

Tapi saya tak hendak membicarakan Balroop. Saya hanya langsung teringat pada penulis yang kini bermukim di San Ramon California ini, ketika ditelepon dan mendapat ‘’kisah lengkap’’ aksi ala preman leput Wawali KK di halaman Mapolres Kotamobagu, Jumat, 21 Desember 2018. Tentu pula amat tak pantas membandingkan Balroop dan Wawali KK. Balroop menggunakan otak dan rasa, sedang Wawali KK saya tidak yakin entah sedang pakai apa.

Namun, seorang pejabat publik yang berlaku seenaknya hanya pantas ditanggapi dengan cara yang—sebaiknya—lebih dari apa yang sudah diperbuat. Republik ini, khususnya KK, bukan milik nenek moyangnya seorang. Terlebih pejabat publik sesungguhnya adalah pencapaian posisi yang sepenuhnya atas kerelaaan (dan kasih sayang) orang banyak.

Kata informasi yang disampaikan dengan hati-hati ke saya; berita—utamanya online—, salah satunya Ini Kronologi Insiden Antara Wakil Walikota Kotamobagu dan Karyawan Jasa Raharja (http://totabuan.co/2018/12/ini-kronologi-insiden-antara-wakil-walikota-kotamobagu-dan-karyawan-jasa-raharja/); dan juga percakapan telepon saya dengan ‘’korban’’, Muhamad Gunawan Londa, semuanya bermula dari papasan di tengah kepadatan orang. Pagi itu, orang dan kendaraan memang bersesakan di sekitar dan di halaman Mapolres yang sedianya menggelar Apel Siaga Operasi Lilin Samrat 2018.

Sial sedang menyertai langkah Gunawan Londa. Dia yang tengah bersigegas, beradu jalan dengan Wawali dan rombongan yang terburu-buru, lalu Wawali no’i pintud. Versi seragam yang diaminkan adalah: kaki Gunawan Londa dan Wawali sama-sama berada di tempat yang salah di tengah kesempitan. Wawali nyaris roboh—pembaca, Anda tak perlu membayangkan seperti tong air plastik biru yang nyaris tumbang, sebab peristiwanya cuma ‘’nyaris’’.

Yang tak dinyana, ketidaksengajaan di tengah keriuhan dan massa yang berjejal itu ternyata jadi bencana untuk Gunawan Londa. Wawali, pejabat publik yang praktis jadi ‘’orang nomor dua’’ se-KK, kalap seperti kuda nil yang teritorinya diganggu. Cerita sekata dari orang-orang yang belakangan bertutur: kerah Gunawan dijambak, diangkat hingga tinjunya menabrak jakung, disertai kemarahan meledak. Sedemikian hingga—kurang-lebih—menyebur pula kalimat, ‘’Ngana nyanda kanal pa kita? Kita mo cari pa ngana biar sampe dimana!’’

Gunawan Londa, di foto yang saya lihat di hari kejadian, sedang mengenakan uniform institusi tempatnya bekerja. Akan halnya Wawali, hadir di Mapolres Kotamobagu dalam kapasitas sebagai pejabat publik, di acara publik. Keduanya sama dan setara: sedang bertugas sebagai pelayan publik. Bedanya, kelakuan Wawali (yang membuat saya masygul) dapat diibaratkan hanya setingkat dengan monyet yang baru dapat mainan; sedang Gunawan Londa terpaksa bersikap sebagaimana khas pekerja/karyawan/staf level menengah-bawah: segan membela haknya kendati 100% berada di posisi yang benar.

Pejabat publik, orang nomor dua se-Kota, saat melaksanakan tugas, di tengah orang banyak, lalu menjambak kerah baju seseorang yang dianggap (tak sengaja) bersalah dan melontarkan aneka sampah, juga ancaman? Adab dan akhlak macam apa ini?

Sejak kecil, sebagai orang Mongondow yang lahir dan tumbuh di Mongondow, saya kerap mendengar frasa ‘’na’ bolai inogoi-an in tambor’’.  Kalimat pendek ini, oleh mereka yang tahu persis kelakuan para monyet, pasti dengan segera dimahfumi. Berikan drum pada seekor monyet, yang akan dia lakukan (secara berurutan): memukul dan membuat kebisingan hingga puas hati, mengencingi, merobek-robek kulit dan menghancurkan drum, lalu sesudahnya petantang-petenteng seolah baru manaklukkan dunia.

Dengan peristiwa di Mapolres Kotamobagu itu Wawali KK langsung menyelesaikan dua tingkat tahapan bolai bo tambor: semena-mena dengan kekuasaannya dan mengencingi harga dirinya sebagai pejabat publik. Seingat dan sepengetahuan saya, dalam sejarah Mongondow yang kini telah dibagi menjadi empat kabupaten dan satu kota, Wawali KK 2018-2023 adalah pejabat pertama yang patut diduga dan dicatat sebagai tokoh publik (berdasar standar etika dan norma umum) dengan otak dan kelakuan hanya setara bolai. Di derajat tertentu bahkan preman leput pun tampaknya masih lebih baik dan bermutu.

Peristiwa Gunawan Londa versus Wawali KK itu kian memalukan karena para pengiring Wawali (yang jumlahnya biasanya lebih dari 2-3 orang) kelihatannya juga sekadar kelompok hula-hula yang gampang tersirep. Tidak ada antisipasi, tidak pula crisis management and recovery. Kejadiannya dianggap sebagai kelakuan heroik seorang pemimpin yang pantas saja diperbuat, kendati penyebabnya adalah hal paling sepele sejagad. Dengan orang sekitar yang berkualitas babon, saya membayangkan, jika yang ter-pintud oleh Wawali hanya sekadar batu, boleh jadi yang dicari adalah kontraktor penyedia batu di halaman Mapolres, atau lebih buruk lagi tukang taman yang dianggap gagal mengurusi sang batu kapiran itu.

Dengan memahami hukum alam (buku yang menjelaskan ihwal ini berjejal di perpustakaan), saya juga tak heran dengan kelakuan para pengiring hula-hula di sekitar Wawali. Bukankah monyet memang hanya berkawanan dengan monyet? Makluk yang sedikit lebih tinggi tingkatannya, biasanya jika tidak geli dengan monyet, pasti memilih cara lain: menjadikan bagian dari santapan lezat. Tonton saluran televisi National Geographic atau Wild Life, dan lihat bagaimana monyet jadi kudapan gorila. Atau, di beberapa kelompok masyarakat—di Asia dan Afrika—, monyet jelas masuk daftar masakan yang dianggap makyusdan bermanfaat. 

Lingkaran keruntuhan adab dan akhlak yang dicontohkan Wawali KK itu kian lengkap setelah saya membaca tautan yang dikirimkan beberapa orang pada Sabtu malam, 22 Desember 2018. Di berita yang diunggah situs Bolmongnews, lengkap dengan foto Wawali dan Gunawan Londa tersenyum cerah pada dunia, Wawali dan Muhamad Londa Damai (https://bolmongnews.com/2018/12/22/wawali-dan-muhamad-londa-damai/), digambarkan keduanya telah menyelesaikan silang-selisih dengan anjangsana korban ke Rudis Walikota. Menurut berita ini, pertemuan itu disaksikan Kadis Budpar dan dan Sekretaris Dinas Perdagangan Kotamobagu.

Rezim pelayan publik 2018-2023 di KK sempurna sudah. Ada Wawali dengan keajaiban otak dan laku ibarat bolai, orang sekitar (para hula-hula) yang gesit menempelkan lidah di (maaf sangat) bokong atasan, dan warga masyarakat yang tak sadar (kalau bukan tidak punya keberanian) mempertahankan harga diri. 

Agar tak ada syak, apalagi duga-duga saya sedang memperkeruh situasi, penjelasannya adalah: ketika menelepon Gunawan Londa (semata-mata karena peristiwa yang dia alami adalah kejadian publik—saya juga masih waras untuk memilah mana yang pantas jadi perhatian dan yang tidak), saya menyampaikan simpati dan empati, juga dukungan dia wajib menjaga harga diri dan marwah (minimal) keluarganya—anak-istri yang muka dicoreng oleh penghinaan Wawali terhadap kepala keluarga mereka. Langkah terbaik yang patut diambil adalah memaafkan, tetapi harus tetap ada upaya hukum. Namun, jikapun akhirnya menggunakan pertimbangan kemanusiaan, ke-Mongondow-an, dan kekeluargaan, maka yang mesti menemui Gunawan Lonada adalah Wawali; bukan sebaliknya.

Saya bahkan menggunakan bahasa Mongondow, bahwa sekalipun kediaman Gunawan Londa hanya ‘’bambu dinaungi daun kelapa’’, dia pantas mendapatkan kehormatannya didatangi Wawali untuk satu kata saja: maaf. Sebab, di Mongondow, de’-emanbi’  lolaki aka dia’ kon harga diri.Permintaan maaf Wawali di tempat dan waktu yang tepat adalah pengembalian harga diri yang diinjak dengan sengaja di depan publik.

Laki-laki tanpa harga diri, kata para tua dan bijak Mongondow, tonga bi’ tobatu’ in batol-nea. Dengan alasan apapun, ketika Gunawan Londa berpasrah menyambangi Rudis Wawali demi rekonsiliasi, pemaafan, pemahfuman, atau apapun namanya, dia hanya menegaskan bahwa yang berpangkat lebih tinggi selalu benar. Di kelompok monyet, memang demikian. Tapi bagi manusia yang beradab, punya etika, norma, adat, dan tradisi, kehidupan macam apa yang sedang dijalani jika laku kita hanya setingkat monyet? Sudah begitu, bo tonga’ doman tobatu’ in batol-nea?

Sebab itu, saya ingin menutup tulisan ini dengan harapan tinggi: semoga saya dan orang-orang terdekat, termasuk para karib, di Mongondow—terkhusus lagi di KK—dijauhkan dari pikiran, perbuatan, dan bahkan sekadar berkelompok dengan para monyet. Walau para monyet itu dipimpin monyet bermahkota emas dengan barisan hula-hula yang mencengangkan.*** 

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Budpar:Kebudayaan dan Pariwisata; ITE:Informasi dan Transaksi Elektronik; KK:Kota Kotamobagu; Mapolres:Markas Kepolisian Resort; Rudis:Rumah Dinas; UU:Undang-undang; dan Wawali:Wakil Walikota.