Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, December 25, 2018

Para Lintah Itu Mungkin Brutus dan Badut

HARI itu, 15 Maret 44 SM, Konsul Julius Caesar tiba di Gedung Senat Romawi. Diktator yang berkuasa Oktober 49 SM – Maret 44 SM, yang meluaskan kekuasaan Republik Romawi—antaranya—lewat ekspedisi militer ke Asia dan penaklukan Galia (Perancis saat ini), tak menduga sesi yang dia hadiri ternyata jadi akhir hidupnya.

Para sejarawan, salah satunya Plutarch, yang mencatat kudeta terhadap Caesar, memapar, di tengah perdebatan tiba-tiba salah seorang senator, Casca, merogoh pisau dan akan menusuk lehernya. Caesar berhasil berbalik, memegang tangan dan membentak Casca. Namun, dia patah daya karena para senator yang sudah berkonspirasi kemudian beramai-ramai menggebuk dia.

Konon, sekitar 60 orang terlibat ambil bagian dalam konspirasi menghabisi Caesar. Salah satunya bahkan ‘’teman baiknya’’ (yang dispekulasikan pula diperlakukan tak beda dengan putra sendiri oleh Caesar), Marcus Junius Brutus. Alkisah, sesaat sebelum tumbang (bagian ini masih menjadi perdebatan tak berkesudahan di kalangan sejarawan dan akademisi) dengan 23 luka tusukan, Caesar sempat berkata pada Brutus, ‘’Kai su, Teknon?’’ Kau juga, Nak?

Di tangan penyair, penulis naskah, dan aktor Inggris, William Shakespeare (1564-1616), pernyataan Caesar itu dipopulerkan dalam frasa Latin, ‘’Et tu, Brute?’’  Kau juga, Brutus? Drama terkenal Shakespeare, The Tragedi of Julius Caesar(judul awalnya The Tragedie of Iulius Caesar yang diduga ditulis pada 1599), menggambarkan, usai melontarkan perkataan itu pada Brutus, Ceasar roboh dan tewas. Di usia 55 tahun.

Keterlibatan Brutus dalam konspirasi pembunuhan Caesar jadi mitos yang diabadikan lewat persepsi ‘’seperti Brutus’’, ‘’kelakuan Brutus’’, atau‘’dasar Brutus’’. Diidentifikasi sebagai Brutus adalah stempel buruk. Penghianat, tukang telikung, dan segala yang cemar juga jahat di punggung kekuasaan.

Tapi ‘’Brutus’’, sebagaimana badut, memang hampir (kalau tidak mutlak) selalu ada di sekitar para penguasa dan kekuasaan (utamanya politik). Kadang-kadang dua identifikasi ini berada di sosok yang sama: sudah badut, Brutus pula.

Di Mongondow, setidaknya dalam 25 tahun terakhir, setiap rezim politik dan birokrasi selalu punya (para) Brutus dan badutnya sendiri. Memangnya kejatuhan dinasti Moha-Siahaan (faktanya dua tokoh utamanya, mantan Bupati Marlina Moha-Siahaan dan putranya, mantan anggota DPR RI, Aditya Moha, kini sedang menjalani hukuman pidana), sedikit-banyak tidak turut dikontribusikan oleh para Brutus dan badut di sekitar saat mereka berkuasa?

Orang-orang yang bersaksi dalam persidangan pidana Marlina Moha-Siahaan a.k.a Bunda Butet, adalah mereka yang berada amat dekat selama dia menduduki kursi Bupati Bolmong. Mereka yang di keseharian memanen berkah dan manfaat, sembari memainkan aneka peran: mulai dari pelayan, pembisik, penghibur, bahkan mungkin menyediakan shoulder to cry on. Sedemikian pula, apakah kita dengan naïf menerima begitu saja, bahwa tangkap tangan KPK terhadap Aditya Moha karena terlibat suap-menyuap hakim semata karena sadapan komunikasi telepon? Orang banyak mungkin meluputkan bahwa selalu ada informasi awal yang dikantongi penegak hukum sebelum mereka menggali lebih dalam satu atau lebih dugaan tindak pidana. Informasi yang sungguh rahasia ini, tentu tidak bakal datang dari orang atau pihak jauh yang biasanya cuma sekadar menduga-duga dan berspekulasi.

Maka untuk mereka, para tokoh, yang sedang berkuasa (tak peduli itu kekuasaan politik, birokrasi, ekonomi, atau sekadar persepsi), waspadalah terhadap orang-orang sekitar dan dekat di keseharian. Nasihat para orang tua bijak-bestari, ‘’Dalam laut bisa diduga, dalam hati siapa tahu?’’ Tidak ada salahnya dengan hati-hati melakukan pengecekan, mencermati kembali rekam-jejak orang-orang yang dipilih dan diberi kepercayaan jadi pendamping: sekadar sopir, ajudan, aspri, bahkan hingga tukang pel di kediaman resmi. Mereka semua toh punya mata, kuping, dan mulut; yang pikirannya belum tentu sejalan dengan perilaku yang ditunjukkan.

Tentang waspada, setiap tokoh yang berhati-hati semestinya pintar membaca tanda-tanda awal. Apalagi di Mongondow khususnya, sepengalaman saya selama ini, para Brutus dan badut biasanya mampu menempel selengket-lengketnya, ibarat lintah yang menyatu dengan kulit dan hanya bisa dienyahkan dengan air tembakau. Inang yang ditempeli kerap tak sadar hingga sang lintah sudah menggembung, kekenyangan, dan jatuh dengan sendirinya ketika selesai menyedot manfaat maksimal.

Lintah-lintah di sekitar kekuasaan juga sangat ilutif. Bukan hanya mengidentikkan diri dengan inang yang ditempeli. Kadang-kandang, demi meraup manfaat sebanyak-banyaknya, mereka kerap bereaksi lebih frontal dan tampak heroik ketika merasa inangnya terganggu. Kritik dan kritisi—yang tentu saja blak-blakkan dan sarkas—saya terhadap Wawali KK di dua unggahan terakhir di blog ini, sekali lagi membuktikan, keberadaan para Brutus dan badut di Mongondow, khususnya KK, bukan sekadar prasangka belaka.

Dunia yang telah tanpa batas dan seketika karena teknologi digital, juga sifat alamiah kaum ‘’pencari muka’’ yang mudah bereaksi tanpa pikir, menyebabkan dengan mudah kita mengetahui lalu lintas reaksi orang dari (setidaknya) unggahan di medsos. Lihat saja, hanya beberapa saat setelah publikasi kritik dan kritisi kepada Wawali KK 2018-2023, beberapa lintah yang dekat (atau merasa dekat dan penting), berkicau di medsos. Sayangnya, kebanyakan dengan cara pengecut: cuma menyerempet-nyerempet dan menyindir-nyindir.

Sudah lintah, pengecut pula. Dibanding beberapa tokoh yang sudah jadi mantan penguasa politik dan birokrasi di Mongondow, Wawali KK saat ini lumayan sial: orang-orang (yang masih berada) di sekitar dia tidak semilitan—katakanlah—barisan yang ada di seputaran mantan Bupati, Marlina Moha-Siahaan, atau mantan Walikota KK, Djelantik Mokodompit, yang harus diakui lebih berani, bermartabat, dan terang-terangan membela patron mereka.

Lucunya, jika bukan ironis, beberapa lintah berkicau yang menyindir-nyindir saya di medsos dulunya tak lain orang-orang yang juga menempel di sekitar Marlina atau Djelantik. Ketika dua orang ini jadi mantan dan peta kekuasaan berubah, para lintah berkicau ini terlempar paria. Mirip ronin, bahkan anak anjing, yang ditendang dari kawanan. 

Sekarang: tanyakan pada mereka, siapa yang telah dengan baik hati dan sukarela memberikan (atau membantu memperoleh) kesempatan kedua, mungkin pula ketiga dan keempat? Siapa atau kelompok mana yang memungut mereka dari tong sampah kekuasaan politik-birokrasi, memberikan perlindungan, dan bahkan membantu agar belanga dan tempayan airnya tidak kering-kerotang? Saya pastikan, setidaknya--walau hanya sebiji kerikil--ada sumbangsih saya atau orang-orang yang disinisi sebagai ‘’antek-antek saya’’ yang turut berkontribusi melapangkan jalan nafas mereka.

Manusia memang sering lebih tak beradab dibanding hewan piaraan. Pepatah tua Amerika bilang, ‘’don't bite the hand that feed you.’’ Dipercayai, anjing yang kapasitas otaknya amat sangat terbatas, paham betul dengan ujar-ujar ini. Akan halnya manusia, sejarah panjang peradaban membuktikan, ketika syawat kepentingan sudah terujung, tangan yang memberi makan pun bukan hanya digigit, tapi bisa jadi dikunyah hingga putus.

Itu sebabnya, kendati saya jengkel terhadap Wawali KK yang kelakuan terakhirnya sebagai tokoh dan pejabat publik, di ruang publik, sungguh menyedihkan; saya tetap menyedekahkan nasihat: sebelum melihat mereka yang jauh dari jangkauan, periksa kembali sesiapa saja yang ada sekitar Anda. Brutus selalu datang dengan senyum, puja-puji, dan loyalitas, sebelum menikamkan pisau ke jantung. Dan badut yang tampaknya menghibur bisa jadi cuma setan dengan seringai dan layanan menina-bobo, sebelum ikut serta memuntir leher Anda.

Akan halnya para lintah yang sekarang menempeli Wawali KK dan secara publik berkicau-kicau seolah pahlawan pembela tuannya, terkhusus lagi yang berstatus ASN, saya sedekahkan peringatan: periksa diri terlebih dahulu sebelum memulai perang (politik) di ruang publik. Tolong cek dengkul apakah cukup kuat atau tidak. Sebab pada waktunya, jika saya harus menebas kaki Anda-anda, dengan segala cara dan secukup daya, akan saya lakukan dengan senyum lebar. 

Bersedekah selalu melegakan hati. Selamat menyambut Tahun Baru 2019.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
a.k.a: Also Known As; ASN:Aparatur Sipil Negara; Aspri: Asisten Pribadi; Bolmong:Bolaang Mongondow; DPR:Dewan Perwakilan Rakyat; KK:Kota Kotamobagu; Medsos:Media Sosial; RI:Republik Indonesia; SM:Sebelum Masehi; dan Wawali:wakil Walikota.