Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, June 30, 2011

Doa untuk Elvira Mokoginta

HATI saya serasa meleleh seperti malam yang turun dengan cepat. Di luar deru lalu-lalang kendaraan terdengar nyaring, tapi udara bagai digantungi senyap yang sungguh.

Saya menggigil dengan hati teraduk-aduk saat membaca serangkaian berita dugaan pemerkosaan, pembunuhan, lalu pembakaran terhadap bocah perempuan, Elvira Mokoginta (11 tahun), yang ditayang situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com/), Rabu (29 Juni 2011). Hanya ada dua kata yang seketika tercetus di benak: biadab dan terkutuk!

Elvira, anak kelima dari enam bersaudara yang lahir dari pasangan Aleng Mokoginta dan Suriati Modeong, pasti hanya kanak-kanak dengan mimpi, ingin, dan dunia sendiri; sembari memahami demi family survival dia mesti melakukan sesuatu untuk ayah-ibu dan saudara-saudaranya. Sayang membayangkan di saat anak-anak seusianya dari kalangan mapan asik bermain masak-memasak, boneka-bonekaan, gadget terbaru, berkeliling mall dan wahana hiburan modern, atau mematut teve, dia menelusuri jalanan Desa Paret, Kotabunan (Bolaang Mongondow Timur) dan sekitarnya, menjajakan kue sembari tak kehilangan dunia masa kecil.

Dengan kegembiraan anak-anak seusianya, Sabtu (26 Juni 2011) Elvira Mokoginta meninggalkan rumah orangtuanya, mengusung kue yang dijajakan dari rumah ke rumah, bahkan hingga ke kampung tetangga. Lalu dia menghilang…. Kabar yang simpang-siur datang menyatakan dia terakhir terlihat bersepeda motor bersama seorang laki-laki. Tatkala ditemukan di perkebunan Soyowan, Ratatotok (Minahasa Tenggara), Elvira sudah pralaya dengan kondisi jasad yang mematahkan hati siapa pun yang masih punya rasa.

Di situs Harian Manado Post (http://www.manadopost.co.id/), Kamis (30 Juni 2011), bermenit-menit saya menatap foto bocah berparas ayu dan ringkih ini dengan dada yang luka digenangi kepedihan. Lahir, jodoh dan mati adalah rahasia Yang Maha Kuasa, tetapi tetap saja sulit bahkan sekadar membayangkan anak perempuan yang rela dan sepenuh hati ikut meringankan beban orangtuanya ini akhirnya menanggung nasib seperti yang dia alami.

Ada setimentil personal yang mendera-mendera, tersebab saya lahir dari keluarga besar dengan hanya ada dua perempuan di dalam rumah: Ibu dan adik bungsu. Namun di tengah keluarga pula kami, sebarisan laki-laki yang semaunya bukanlah anak-anak manis sejak usia belia, lebih dari sekadar belajar memperlakukan perempuan (siapa pun dia) dengan penuh hormat dan sayang.

Sembari menjalani hari-hari di bawah disiplin dan kecerewetan Ibu, juga belakangan sifat yang sama tampaknya sukses diwarisi adik bungsu, kami meresapi kisah perempuan-perempuan Mongondow luar biasa, termasuk mitologi Inde’ Dou’ yang perkasa dari wilayah Kotabunan.

Di Mongondow perempuan bukanlah sekadar pelengkap. Di saat etnis dan komunitas lain di negeri ini masih bersikutat dengan isu-isu gender dan emansipasi, sejak masa kanak saya menyaksikan dan mengalami betapa perempuan didudukkan di posisi terhormat. Mereka bukan hanya sejajar dengan kaum lelaki, tetapi dalam banyak keluarga ibu atau saudara perempuan adalah ‘’Jenderal Besar’’ (dengan ‘’J’’ dan ‘’B’’). ‘’Bobai bi’ mongompig ko’i natong.’’

Kesejajaran dan tuntutan dijunjungnya perempuan dalam khasanah Mongondow yang paling sederhana diekspresikan di upacara pernikahan. Hanya di Mongongondow-lah salah satu harta yang biasanya disediakan mempelai lelaki (yang mampu) adalah pitou. Di masa kini kian banyak tafsir terhadap penyertaan pitou dalam mas kawin, tapi interpretasi favorit saya adalah: kalau seorang suami berani macam-macam terhadap perempuan yang dia minta menjadi istri, maka di titik yang tak tertahankan dan terkompromikan, si perempuan berhak menuntut, termasuk dengan menggunakan pitou.

Barangkali hanya di Mongondow pula dikenal budaya mogama’, yang substansinya bukan membawa anak perempuan keluar dari rumah keluarga setelah resmi menjadi seorang istri. Mogama’ adalah simbol penghormatan terhadap perempuan, yang tidak hanya diminta direlakan oleh keluarganya, tetapi juga keikhlasannya menjadi bagian dari anggota keluarga suami. Pernikahan Mongondow tanpa mogama’, sesederhana apa pun pelaksanaannya, seperti menyantap goroho goreng tanpa dabu-dabu.

Kita Pantas Marah

Sukar menggambarkan, sembari menyimak berita-berita tentang Elvira Mokoginta, apakah saya berpasrah meneteskan airmata atau mengasah parang dan turut dalam rombongan orang-orang yang tengah mendidih oleh amarah. Andai tak berpikir kita hidup di negara hukum dengan adab-adab yang mengatur perilaku manusia agar tak tergelincir menjadi segerombolan buduk, saya serta-merta bersetuju terhadap hukuman primitif: nyawa dibayar nyawa.

Dua orang laki-laki bertarung hingga salah seorang tumbang berlumur darah masih dapat dipahami sebagai tindakan bela diri, mempertahankan pendapat dan sikap, atau mungkin kekalapan sesama ‘’penaik darah’’. Tapi memperkosa seorang anak berusia 11 tahun, membunuh, dan bahkan mencoba menghilangkan jasadnya dengan membakar, tak mungkin bisa kita terima sekali pun di tengah masyarakat yang baru belajar arti beradab.

Kita semua, tak hanya orang Mongondow atau yang ada di Mongondow, lebih dari amat sangat pantas murka terhadap musibah yang menimpah Elvira Mokoginta dan keluarganya. Tanpa berpasrah, mari kita serahkan ke tangan hukum dan menuntut agar keadilan ditegakkan. Hukuman mati mungkin pantas ditimpahkan pada pelaku, tetapi biarkan itu dijatuhkan oleh hakim tanpa tekanan kemarahan massa, melainkan sebab para pengadil memang punya nurani.

Di saat yang sama saya pribadi menghatur mohon pada Yang Maha Esa, semoga Dia melapangan sorga untuk Elvira Mokoginta, bocah 11 tahun yang tak pernah saya kenal secara pribadi. Anak perempuan yang mengingatkan saya di tengah pikuk modernisasi ini betapa ada nilai-nilai luhur di Mongondow yang perlahan mungkin kian kita pinggirkan.

Saya sungguh berdoa semoga kepergiannya memberi arti dan kesadaran pada kita semua, orang Mongondow.***

Wednesday, June 29, 2011

Pemimpin atau Cuma Biduan Paksa?

MENYEMPIT di sudut salah satu bangunan agar tak diguyur hujan yang mendadak tercurah, saya menonton orang-orang berlarian di Plaza Dam, depan Meseum Madema Tussauds Amsterdam. Jumat (24 Juni 2011) yang basah, saya mengigil karena dingin dan lapar. Sudah begitu, celakanya yang terbayang-bayang di kepala adalah katang binango’an.

Baru beberapa waktu lalu saya menyantap kepiting dimasak dengan santan (dibumbui aneka rempah dan cabe) saat berada di Mongondow, tepatnya di Restoran Tanjung, Kotabunan. Harus diakui, di antara banyak kekayaan kuliner Mongondow, salah satu yang paling menggoda adalah katang binango’an. Bahwa jenis sajian ini berpotensi menaikkan tekanan darah, asam urat, atau apalah, nanti kita urus belakangan.

Saya sedang menimbang-nimbang merebos hujan, menyeberangan ke arah Damstraat dimana berjejer aneka tempat makan (salah satunya restoran Argentina yang menyajikan makanan lumayan lezat), ketika pesan pendek itu masuk. Yang tiba adalah kabar dari kampung di Kotamobagu yang dimulai dengan: ‘’Ironi hari ini….’’

Lanjutan kabar itu adalah cerita bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Kotamobagu dan seluruh jajaran Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) diundang menghadiri kegiatan olah raga dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara. Nah, kata sanga kabar, hal pertama yang dilakukan setelah acara olah raga dalam bentuk jalan sehat adalah: Walikota Kota Kotamobagu (KK) diundang menyanyikan beberapa lagu.

Lagu yang dinyanyikan Walikota pun bisa ditebak pasti berbau ‘’pesan sponsor’’. Tentu bukan tentang HUT Bhayangkara, melainkan ‘’curahan hati’’ dan sindir-sindiran terkait dinamika politik terkini KK yang mulai memanas (padahal pemilihan Walikota-Wakil Walikota –Wawali—baru 2013 mendatang), lebih khusus lagi rivalitasnya dengan Wawali.

Dendang selesai, Walikota segera melaksanakan tugas protokoler sebagaimana yang umum dijalani tokoh politik atau birokrasi teras di Mongondow: menarik door prize untuk hadiah yang disediakan panitia. Usai tak-tek-tok undian, Walikota KK langsung cabut meninggalkan arena.

Saya terbahak-bahak membaca pesan pendek itu. Tak peduli beberapa pasang spontan menatap saya dengan kening berkerut. E, stau lei. Nyanda ada yang kanal ini.

Sudah lama saya mendengar, di mana-mana --tak hanya di hajatan pernikahan-- seperti telah menjadi salah satu protokol tetap (Protap), Kepala Daerah, Kepala SKPD, atau tokoh penting di Mongondow harus tampil bernyanyi. Kalau kemudian lagunya itu-itu juga dari satu event ke event yang lain, dengan suara dan olah vokal yang sepertinya cuma pas mengusir burung di sawah, orang banyak harap memaklumi.

Jangan pula tidak memberikan kesempatan bernyanyi pada para tokoh tertentu bila mereka diundang hadir di hajatan, sebab itu dapat dianggap pelanggaran kesopanan dan tak menghargai martabat yang bersangkutan. Dengan kata lain, boleh tidak pidato (toh pidato pun isinya juga ngalor-ngidul tidak karuan), tapi haram hukumnya kalau alpa diundang menyanyi.

Begitu pentingnya menyanyi sebagai ekspresi eksistensi seorang pejabat publik, politisi, atau birokrasi di Mongondow, hingga lama-kelamaan saya membiasakan diri tak berkomentar setiap kali pulang berlebaran di Kotamobagu. Musababnya, hampir di setiap kediaman pejabat atau politisi yang saya datangi untuk silahturrahmi, pasti tersedia organ dan microphone. Setelah ritual salaman, peluk-pelukkan, maaf-maafkan, biasanya tamu dipersilahkan mencicip hidangan. Setelah itu, ini dia: sabet microphone, pilih lagu dan action!

Mengingat saya sama sekali tak bisa menyanyi, sedapat mungkin saya berusaha memaklumi tradisi yang berkembang pesat itu dan berupaya keras turut menikmati. Di banyak kesempatan saya akui gagal menjadi penikmat yang baik. Selain pilihan lagunya umumnya bukan tergolong selera saya, suara si penyanyi pun bukannya menghibur tapi justru membangkitkan kemarahan.

Artis yang Digaji Negara

Apa yang seharusnya dilakukan seorang politikus, Bupati, Walikota, Gubernur, atau bahkan Presiden ketika dia berkesempatan tampil di depan orang banyak? Kita bisa berdebat panjang-pendek, tetapi yang paling utama adalah menyampaikan gagasan, pikiran, dan gambaran yang ada di kepalanya, agar terkomunikasi dengan publik.

Di pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau Pemilihan Presiden-Wakil Presiden (Pilpres), rakyat tidak sedang menonton kompetisi nyanyi atau pidato. Mereka semestinya melakukan seleksi terhadap seseorang yang menjadi tokoh di depan, mengajak orang banyak meletakkan ide-ide besar kemudian mewujudkan sebagai sesuatu yang hidup dan dinikmati bersama.

Kesadaran bahwa ketika seseorang diamanati orang banyak sebagai pemimpin –karenanya dia harus pula bersikap dan laku sebagai pemimpin—di Mongondow, tampaknya mesti selalu diingat-ingatkan. Menjijikkan betul melihat seorang Bupati atau Walikota yang diberi kesempatan bicara di depan masyarakatnya justru tidak berlaku sebagai pemimpin, melainkan sekadar remaja puber yang curhat kesana-kemari, menyindir ini-itu, atau justru bergaya bak penyanyi populer menghibur penggemar dan penggilanya.

Kemana pikiran, ide-ide, dan arahan yang menunjukkan bahwa secara kualitatif orang banyak tidak salah memilih? Curhat, sindir-sindiran atau menyanyi boleh saja, tapi ditakar secukupnya dan seperlunya. Di luar itu, lebih baik tak usah jadi Bupati atau Walikota. Beralih sajalah mengelolah bisnis salon atau karaoke. Pasti tak ada seorang pun (terutama saya yang gemar mengejek dan mencaci ketololan) yang berkeberatan.

Kalau kebisaan Bupati atau Walikota hanya menyanyi, tak bedanya dengan kita semua merelakan uang negara digunakan menggaji artis amatir.

Lagipula orang di Mongondow pasti muak bila Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu; Bupati Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Hamdan Datunsolang; atau Bupati Bolmong Induk, Salihi Mokodongan, juga ikut-ikutan jadi biduan paksa. Bisa-bisa Provinsi Bolaang Mongondow Raya yang dicita-citakan, justru terwujud dalam bentuk ‘’Provinsi Biduan Mongondow’’.

Mengapa saya tak menyinggung Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar? Aha, kalau urusan menyanyi dan Eyang (sapaan akrabnya), saya mesti mengakui: suara dan oleh vokalnya lebih dari lumayan. Lagipula untuk pidato (walau pun isinya mungkin kerap berbeda dengan apa yang dilakukan), Eyang  juga tergolong ‘’oke banget’’.***

Surat untuk Pembaca: Maafkan Saya….

ARTIKEL terakhir yang diunggah di blog ini adalah pada Rabu, 22 Juni 2011 (Walikota KK dan Selamat HUT untuk Dirinya Sendiri). Saya menulis artikel itu dalam perjalanan dari Amsterdam ke Den Haag sembari menjagakan mata dari siksaan kantuk.

Bersigegas ke stasiun mengejar kereta subuh di bawah guyuran hujan dan angin dingin akhir musim semi membuat di mana pun berada saya selalu merindukan Tanah Air. Omong kosong bila ada yang mengatakan hidup di negeri maju seperti di Eropa Barat, di mana hampir segalanya tertata, tertib, dan berbudaya, lebih indah dari dunia ketiga yang tropis, panas, penuh keringat, tak disiplin dan kacau-balau.

Seorang kawan dari Kotamobagu yang menelepon beberapa hari sebelumnya, saat saya yang sedang kedinginan dan terburu-buru mau menghadiri satu pertemuan di Munich, spontan berkomentar, ‘’Oh, di luar negri, dang. Pe sadap skali kang….’’ Aimak, kawan ini tak tahu bahwa satu-satunya kenikmatan ke luar negeri adalah menjadi turis untuk sepekan-dua pekan. Kalau setiap bulan pindah dari satu negara ke negara lain, terutama di akhir musim gugur, musim dingin, atau awal dan akhir musim semi, bagi makluk tropis seperti saya yang terasa adalah tak beda dengan hukuman.

Belum lagi bila penerbangan yang ditempuh tergolong jarak jauh, setidaknya lebih dari 12 jam non stop (atau bahkan hampir 30 jam seperti Jakarta-Lima –ibukota Peru). Tiba di tempat tujuan dijemput jet lag, pulang ke rumah (di Jakarta atau Manado) disambut rasa yang sama. Bahkan duduk manis di pesawat, tidur-tiduran, menonton film, mendengar musik, makan dan minum (dan sesekali ke kamar kecil) pun bisa berakhir sebagai siksaan.

Dan perjalanan jauh, berpindah-pindah dengan jadwal kerja yang padat, sungguh mengguras energi. Itu pula yang mengherankan saya setiap kali membaca anggota DPR atau pejabat tinggi yang studi banding (utamanya) keluar negeri dan masih berkesempatan belanja serta ber-entertainment sepuas-puasnya. Mereka pergi studi banding, lengkap dengan membaca dan menelisik apa yang akan dipelajari, atau berwisata dengan alasan yang seolah-olah cerdas?

Bahkan sekadar berwisata pun orang-orang penting di negeri ini (atau khusus di Mongondow yang kian doyan berbondong ke Singapura) semestinya bisa memetik pelajaran penting. Katakanlah bagaimana kota-kota yang baik menata kawasan pemukiman, ekonomi, penyangga, serta yang dicadangkan untuk pengembangan jangka panjang. Atau yang lebih sepele, bagaimana menyediakan tempat bagi pejalan kaki, menanam pohon dan menata fasilitas umum hingga orang betah berada di ruang terbuka.

Pepohonan tidaklah mudah tumbuh di kawasan-kawasan tertentu di luar sana, namun di hampir semua kota (termasuk kota sangat kecil) penduduknya punya kesadaran menanam sesuatu. Salah satu perbedaan paling menggelikan adalah melihat jendela apartemen (nama Indonesianya adalah ‘’rumah susun’’, tapi jarang digunakan sebab kurang keren kecuali untuk kelas menengah-bawah) di negeri ini yang dihiasi jemuran, sementara di luar dipenuhi bunga (alamiah) aneka warna.

Kalau ada yang mengatakan saya gegar dan berkiblat ke negara-negara maju, maka pergilah ke Afrika, di mana di banyak kotanya jalanan kiri-kanan diteduhi pepohonan sepelukan dua orang dewasa. Tayangan televisi yang meracuni kita dengan gurun pasir atau sabana yang dipenuhi rumput dan sesekali sepokok pohon raksasa, bukanlah Afrika yang utuh. Menelusuri jalanan di kota seperti Acra (Ghana) atau Lome (Togo) kita perlu ekstra waspada agar tidak dikucuri tai burung atau kelelawar yang hidup di rindangan pepohonan.

Apa susahnya membuat kota-kota di Mongondow diteduhi pepohonan? Sungguh memalukan alasan Kota Kotamobagu (KK) gagal meraih Adipura karena salah satu aspek, penghijauan kota, mendapat nilai sangat rendah. Padahal di seantero Mongondow pohon apa saja (kecuali pohon duit), sangat mudah tumbuh.

Barangkali karena kebanyakan kita, terutama para pemimpin yang menduduki posisi elit politik dan birokarasi, terbiasa berpikir sempit dan demi keuntungan pribadi. Soal apa yang akan diwarisi anak cucu, cuma sampai ke rumah besar (yang saking besarnya hingga sulit dirawat), mobil, dan harga-benda artifisial lainnya. Bukan tentang gagasan dan ide menjadi lebih baik dari satu generasi ke generasi berikut.

Maafkan Saya

Tapi kali ini bukan soal bagaimana kita belajar dari komunitas yang minimal sudah menunjukkan keberhasilan menata kota mereka dengan baik, menghormati manusia pemukimnya dan lingkungan yang mendukung. Yang ingin saya tulisakan adalah permintaan maaf pada para penikmat blog ini yang selama lebih sepekan kecewa (mungkin pula jengkel) karena tak ada tulisan baru yang diunggah.

Permintaan maaf ini terlebih pada 117 pengakses yang telah meluangkan waktunya memilih ‘’pembaharuan setiap hari’’ di survei yang hasilnya masih terpampang hingga artikel ini ditulis. Survei itu tidaklah main-main dan karenanya saya harus bertanggungjawab memenuhi harapan yang sudah dimintakan pendapat pada para pembaca.

Demikian pula terhadap mereka yang meluangkan waktu mengirimkan tulisan memperkaya blog ini. Saya tidak bersengaja belum memampang, tapi karena memang selama dua pekan terakhir jadwal kerja benar-benar padat dan melelahkan.

Maka, walau tak ada yang menangih (barangkali pula ini hanya ‘’ke-ge-er-an’’ dan perasaan bahwa banyak orang yang menunggu pembaharuan blog ini), saya ingin menegaskan: Maafkan saya. Walau barangkali tak banyak yang sesungguhnya secara rutin mengakses blog ini, membaca dan memperhatikan isinya, komitmen terus-menerus memperbaharui dan berbagi pikiran, gagasan, ide, atau sekadar repeten orang yang jengkel terhadap satu isu, sedapatnya akan saya tegakkan.***

Wednesday, June 22, 2011

Walikota KK dan Selamat HUT untuk Dirinya Sendiri

WALIKOTA Kota Kotamobagu (KK) rupanya berulang tahun ke 57 hari ini (Rabu, 22 Juni 2011). Secara tak sengaja saya tahu dari dua iklan yang dimuat di halaman 4 dan 5 Harian Manado Post, masing-masing oleh Sekretariat Pemerintah Kota (Pemkot) serta Jajaran Pemerintah dan Masyarakat KK.

Mengucapkan dan menyelamati seseorang yang berulang tahun adalah wujud silahturrahmi. Yang menerima ucapan –terlebih dibarengi doa selalu dalam lindungan-Nya, sehat-sejahtera, rezeki berlimpah dan panjang umur— pasti sangat bahagia. Sebaliknya yang menghaturkan juga girang karena menunjukkan ingat dan pedulinya.

Tak salah kalau saya turut pula menyampaikan selamat ulang tahun pada Djelantik Mokodompit, sebagai Walikota maupun pribadi.

Yang jadi masalah, konteks ucapan yang disampaikan Sekretariat Pemkot serta Jajaran Pemerintah dan Masyarakat KK adalah pengumuman atau ucapan? Kalau pengumuman, apa urusannya HUT Walikota dengan kepentingan orang banyak. Kalau ucapan, iklan itu dipasang atas biaya siapa? Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari pos Sekretariat Pemkot, Sekretaris Kota (Sekkot), atau operasional Walikota-Wakil Walikota (Wawali)?

Saya yakin sejumlah orang segera mengerutkan kening tak senang membaca pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu; bahkan boleh jadi merepet dan menganggap saya dengan sengaja mencari-cari celah mengkritik Pemkot KK, lebih khusus Walikota. Atau yang terburuk, makin tidak menyukai apa yang saya tulis karena dianggap sebagai bentuk sentimen pribadi dan black campaign terhadap Djelantik Mokodompit.

Sekali Lagi: Kepentingan Umum

Pembaca, di blog ini saya pernah menulis kritik terhadap Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, yang merayakan HUT pernikahannya bersama dengan acara resmi Pemerintah Kabupaten (Pemkab). Tak berapa lama setelah tulisan diunggah (Eyang, So Lupa Itu Janji), Bupati Boltim yang selalu saya sapa akrab dengan Eyang,  menelepon dan kami bahkan bertemu serta memperbincangkan masalahnya selama berjam-jam.

Eyang menerima kritik saya sebagai koreksi yang mengingatkan dia agar tak mencampur-adukkan kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Bahwa ada ruang pribadi yang menjadi hak seorang Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri, atau bahkan Presiden yang mesti dihormati; tetapi jangan lupa pada hak orang banyak yang harus direspek oleh para pemimpin. Mencampur-adukkan keduanya, terlebih dengan menggunakan APBD atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), jelas melanggaran –minimal—terhadap hak orang banyak.

Hak itulah yang saya pertanyakan terkait iklan ucapan selamat HUT pada Walikota KK. Melihat format dan kandungannya, tentu iklan itu tidak dirogoh dari kantong pribadi-pribadi yang namanya dicantumkan. Saya hampir yakin (sebaliknya saya berharap keliru dalam soal ini) bahwa iklan itu dibiayai anggaran APBD KK.

Bila benar anggarannya diambil dari APBD, ini menjadi bukti kesekian kali betapa tidak pekanya elit politik dan birokrasi di Mongondow umumnya dan KK khususnya terhadap etika dan profesionalisme pelayanan publik. Lebih jauh lagi, membiayai iklan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan publik boleh kita golongan sebagai tindak korupsi.

Pun kalau ucapan selamat HUT Walikota pantas diiklankan dengan biaya APBD, maka hal yang sama wajib pula dilakukan untuk Wawali, Sekkot, Ketua serta Wakil-Wakil Ketua DPR, Kepala-Kepala SKPD, dan siapa saja yang dapat dianggap ‘’orang penting’’ di KK (lalu kita ganti saja rugas pokok dan fungsi Pemkot KK menjadi perusahaan advertising). Kecuali kalau Pemkot dan masyarakat memang bersepakat satu-satunya dan yang terpenting di KK hanya Walikota.

Persepakatan itu sebaiknya dituangkan dalam bentuk Perda agar masyarakat tidak lagi bertanya-tanya saat menemukan ada iklan ucapan selamat HUT pernikahan Walikota, ucapan selamat berumroh, selamat menerima gelar doktor honoris causa, atau cuma sekadar ucapan syukur karena Walikota bangun pagi tak kurang apa pun. Demikian pula supaya Walikota tidak menyelamati dirinya sendiri. Khusus iklan kedua yang datang dari Jajaran Pemkot dan Masyarakat KK, konseptornya barangkali lupa Walikota adalah bagian terintegrasi dan tak bisa dipisahkan dari ‘’jajaran’’ itu. Dengan kata lain, seperti sedang berdiri di depan cermin, hari ini Walikota KK sukses mengucapkan selamat HUT untuk dirinya sendiri.

Lain soal kalau iklan itu dipasang dengan biaya yang dikumpulkan secara pribadi oleh orang-orang yang namanya dicantumkan (untuk iklan di halaman 4) serta Sekkot  dan Wawali KK di iklan yang dipublikasi di halaman 5. Pembiayaan pribadi ini mengindikasikan pula dua hal penting hubungan antara atasan dan bawahan.

Pertama, jajaran Sekretariat Pemkot KK loyal, menaruh hormat dan respek, serta sungguh-sungguh mencintai Djelantik Mokodompit sebagai atasan dan pribadi. Kedua, dapat diterjemahkan telah membaik dan harmonisnya hubungan antara Walikota dan Wawali yang selama ini diketahui retak dan berantakan ke mana-mana. Bukankah hanya orang-orang yang punya hubungan pribadi sangat baik yang saling mengucapkan selamat ulang tahun?

Memang tak tertutup kemungkinan ada aspek terpaksa atau politis mengucapkan selamat pada politikus, terlebih kalau dia sejenis orang gila hormat dan sanjungan. Berkaca dari perkembangan Mongondow terkini, tak dapat dipungkiri terpaksa dan politis galib dipraktekkan sekadar agar kursi dan pantat bawahan jauh dari bara dan tendangan.

Kembali pada topik yang sedang dibahas, dengan mengindahkan aspek kedua di atas, selain selamat HUT untuk Djelantik Mokodompit, saya ingin pula memberikan dua jempol terhadap harmonisnya hubungan antara dia sebagai Walikota dan Wawali Tatong Bara. Konon katanya HUT selalu membawa berkah, sebagaimana setiap bayi yang lahir adalah rahmat. Seingat saya ada kata-kata bijak yang mengatakan, ‘’Setiap bayi yang lahir membawa pesan dari Tuhan, bahwa Dia masih mempercayai manusia.’’

Masak iya  membaiknya hubungan dua tokoh utama politik dan pemerintahan di KK itu ditanggapi dengan sinisme main-main anak baru gede (ABG). Sangat tak sopan momen baik di hari bagus dikomentari, misalnya, dengan: ‘’Eit, so baku bae dorang dang!’’ Walau saya tak bisa menyingkirkan senyum membayangkan Wawali mengucapkan selamat HUT pada Walikota sembari mendoakan semua baik-baik saja, termasuk hubungan profesional dan pribadi antara mereka sebagai pasangan pimpinan di KK.***

Saturday, June 18, 2011

Tafsir Bengkok Penafsir Sepotong-Sepotong

SENIN, 13 Juni 2011, saya menerima email berisi tulisan M untuk Bupati Lapadengan! dari Fahri Damopolii. Tak lama kemudian dia menelepon, mengkonfirmasi apakah email itu tiba dengan selamat, tak kurang satu apa pun, dan dapatkah diunggah di blog ini?

Jawaban saya, tulisannya akan dibaca, kalau perlu diedit, setelah itu baru dipublikasi. Ini prosedur standar yang saya tetapkan untuk menjamin artikel-artikel yang diunggah (minimal) sejalan dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, logis, dan enak dibaca.

Namun bagi siapa saja yang berniat menyumbang tulisan, mohon mengerti cepat-lambatnya pengunggahan sangat tergantung waktu luang saya. Mengelolah blog ini semata kesenangan di antara banyak pekerjaan yang dihadapi. Tampaknya karena Fahri Damopolii ingin tulisannya segera disaji, satu hari kemudian dia menyusulkan info: artikelnya sudah dikirim ke Harian Radar Totabuan.

Harian yang terbit di Kotamobagu itu kemudian menurunkan M untuk Bupati Lapadengan! di halaman Opini, Kamis (16 Juni 2011). Saya mengetahui dimuatnya artikel itu sesaat setelah menghidupkan telepon setelah penerbangan panjang dari Jakarta ke Eropa. Pesan pendek yang saya terima dari seseorang juga mengatakan, ‘’Tulisan itu cukup menggusarkan Penjabat Bupati Bolmong.’’

Menafsir-Nafsir Tafsir

Saya memaklumi kalau benar Penjabat Bupati Gun Lapadengan gusar. Sebagai orang yang dua tulisannya dirujuk Fahri Damopolii (Pada Satu Santap Siang dengan Bupati Gun Lapadengan, Kamis, 14 Mei 2011 dan Terapi Kejut Penjabat Bupati Bolmong, Rabu, 8 Juni 2011), saya berkewajiban meluruskan pemelintiran dan penafsiran ‘’pesan yang dikandung’’ artikel yang dia gunakan sebagai dasar mengkritik Penjabat Bupati.

Setelah berulang kali mencermati artikel Fahri Damopolii, catatan saya: Pertama, yang ingin dia kritik Pejabat Bupati Gun Lapadengan atau kelakuan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang bertingkah barbar, yang ‘’katanya’’ membangunkan seorang Kepala Bagian (Kabag) pada sekitar pukul 06.30 pagi? Apa tak salah diskripsi waktu yang dia cantumkan? Hebat betul dedikasi Satpol PP yang sepagi itu sudah masuk kantor dan melaksanakan tugas. Luar biasa malasnya pula Kabag kita yang terhormat itu, sebab pukul 06.30 pagi dia masih terlelap.

Ada sejumlah hal yang tak logis dari pembuka tulisan Fahri Damopolii. Dia tak menjelaskan apakah peristiwa ‘’pembangunan’’ itu pada hari kerja atau bukan. Apakah pula si Kabag semalaman begadang mengerjakan urusan kantor atau masih mimpi ketika matahari terbit sebab malamnya keasikan main domino hingga larut. Tak pula diungkap lebih jauh kepentingan pemanggilan yang dilakukan Penjabat Bupati, yang siapa tahu sungguh penting semisal menyangkut hidup-mati seseorang. Informasi lain Kabag mematikan telepon dan karenanya Penjabat Bupati (atau ajudan) tak bisa mengontak langsung, sengaja pula diabaikan.

Simpulan saja, sejak awal tulisan itu dipelintir bukan sebagai informasi bahwa ada Satpol PP di Bolmong yang kurang ajar yang harus ditegur dan dihukum oleh Penjabat Bupati; tapi Penjabat Bupati brengsek karena punya bawahan Satpol PP yang tak punya otak. Satu hal, artikel itu dengan lugas menginformasikan bahwa ada Kabag di Pemkab Bolmong yang pemalas dan bahkan masih memeluk guling di saat sebagian besar pegawai negeri sipil (PNS) sudah bersiap ke kantor.

Dua, tulisan saya yang dirujuk berisi apresiasi atas kebijakan yang diambil Penjabat Bupati Gun Lapangan dalam menata birokrasi di Bolmong, secepat yang dapat dia lakukan. Adakah yang keliru dari penataan itu? Bahwa kemudian patut dicurigai kebijakan yang dia ambil bermuatan motif pribadi, apa buktinya?

Tulisan saya yang dirujuk, yang pertama berisi informasi kebijakan apa yang akan diambil Penjabat Bupati dan atas dasar apa. Tulisan kedua adalah pandangan dan penafsiran saya terhadap khususnya penataan pejabat dan jabatannya di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolmong. Dua-duanya normatif dan sudah jadi pengetahuan umum karena hampir setiap hari dieksplorasi oleh media-media yang terbit di Manado dan Kotamobagu.

Menurut saya Fahri Damopolii yang menulis dia tahu persis siapa Gun Lapadengan, dengan sengaja memelintir, menafsir, dan mengaburkan-ngaburkan substansi tulisan saya, seolah tindakan Penjabat Bupati ini hanya didasarkan pada makang puji dan sok jago.  Siapa Gun Lapadengan, bagaimana rekam jejaknya, dan apa yang bisa membuktikan dugaan-dugaan miring yang dilontarkan terhadap kebijakannya?

Mengambil, menafsir, dan merujuk tulisan saya sepotong-sepotong sebagai pembenar apa yang sudah dikemas dan ingin disampaikan, adalah sikap yang jauh dari terpuji.

Kalau pun Fahri Damopolii mengetahui persis siapa dan apa yang sudah dilakukan Penjabat Bupati Bolmong di masa lalu dan kini, yang motifnya ‘’busuk’’ dan ‘’amis’’, maka tuliskan. Duga-duga, spekulasi, dan seolah-olah ada rahasia besar sebagai kartu truf yang hanya dia, Gun Lapadengan dan Tuhan yang tahu, adalah jenis politicking yang memualkan.

Ketiga, mudah membaca bahwa M untuk Bupati Lapadengan! ditulis dengan alasan sejenis sakit hati. Sebagai Penjabat Bupati yang masa berkuasanya terbatas, Gun Lapadengan memang harus bergegas menata aspek-aspek umum yang ada di depan matanya. Penguasaan kendaraan dinas oleh para pejabat, jabatan yang mengabaikan golongan dan kepangkatan, pengelolaan keuangan daerah, hingga pemindahan Ibukota Kabupaten ke Lolak yang terkatung-katung, tak bisa terus dibiarkan sebagaimana adanya.

Bukan soal panjang-pendek kesempatan seseorang menduduki posisi dengan tanggungjawab besar, tetapi seberapa serius dia membuktikan kekuasaan yang diamanatkan tegak sesuai proporsinya. Berkaitan dengan Penjabat Bupati Gun Lapadengan, kalau pun kebijakan itu dihubung-hubungan dengan sejarah dan rekam jejaknya sebagai seorang birokrat, penghakimannya dilakukan dengan adil dan komprehensif.

Tak dapat dielakkan, saya terpaksa menyimpulkan Fahri Damopolii dengan sengaja telah mencurangi Gun Lapadengan. Dia juga terlampau pengecut mengkritisi hal-hal yang lebih penting dan jelas-jelas bengkok seperti yang dipraktekkan Walikota Kota Kotamobagu (KK). Tafsir saya, itu mungkin karena mereka sama-sama mengurus Korps Alumni Makasar Indonesia Bolmong Raya.***

Friday, June 17, 2011

13 Syarat Walikota-Wawali KK 2013-2018 (III)

Tujuh: Komunikatif. Mengajari (terutama) politisi berkomunikasi sama dengan menabur garam ke air laut. Sudah menjadi pengetahuan umum modal dasar seorang politisi adalah kemampuan berkomunikasi, lepas dari apakah yang dinyatakan dapat dipegang atau tidak; benar atau salah; pun bohong atau jujur.

Namun kemampuan komunikasi saja tak cukup bila tak disertai dengan kandungan yang komunikatif. Sebagai rakyat kita kerap disuguhi monolog ngalor-ngidul berjam-jam dari para pemimpin, tanpa kita tahu apa substansi yang ingin disampaikan. Di Mongondow ‘’teater kata-kata’’ ini paling gampang dicermati dari pidato Bupati atau Walikota di pesta pernikahan dan sejenisnya, yang bukan hanya berpanjang-panjang tapi bahkan berisi ‘’curhat’’ dan keluhan tak penting. Sedemikian lamanya hingga membuat tuan rumah dan undangan sengsara disandera haus dan lapar.

Komunikatif juga tak melulu urusan bicara. Kebijakan yang diambil seorang Walikota semestinya juga dimengerti secara utuh oleh warganya. Merumuskan apa yang akan disampaikan dan cara menyampaikannya menuntut lebih dari sekadar kepintaran mengolah kata.

Delapan: Terbuka dan rendah hati. Agar seorang pemimpin komunikatif, dia harus terbuka dan bersedia berendah hati terhadap masukan, koreksi, kritik, bahkan celaan. Repotnya, makin tinggi posisi seseorang di tengah komunitasnya, harus diakui kian sulit berlaku terbuka, apalagi bila memang ada yang mesti disembunyikan rapat-rapat. Di lain pihak, juga berat bersikap rendah hati karena kesehariannya memang pongah.

Katakanlah calon-calon kandidat Walikota-Wawali KK 2013 yang bakal bermunculan tergolong sosok-sosok sombong dan pongah (orang-orang cerdas dan berprestasi secara alamiah mengandung bibit tinggi hati), saya kira masyarakat masih bisa menoleransi sepanjang mereka mampu mempraktekkan keterbukaan. Sebab sebaliknya calon pemimpin yang rendah hati tapi tak terbuka terhadap masukan, koreksi atau kritik, adalah oteriterian dalam bentuk sangat halus.

Isu Pasar Serasi adalah salah satu contoh bagaimana Walikota KK saat ini mempraktekkan kepemimpinan tertutup yang semau-maunya saja. Dalam isu ini, sekali lagi bukan keinginan memperbaiki infrastruktur ekonomi kota dan para pelakunya (para pedagang kelas menengah-bawah) yang saya kritik, melainkan caranya yang tanpa rencana matang, terburu-buru dan mengundang syak.

Sudah begitu, konsern yang datang dari segala penjuru dengan sengaja diabaikan, seolah kebijakan yang telah ditetapkan adalah firman Yang Maha Kuasa.

Sembilan: Mengedepankan kepentingan umum. Ironi yang ditemui masyarakat sehari-hari di negeri ini adalah klaim dari para pemimpin, bahwa apa yang mereka lakukan demi kepentingan umum semata. Mari kita lihat fakta paling sederhana. Mana yang lebih penting untuk warga KK: Renovasi rumah jabatan Walikota atau melengapi fasilitas umum di pasar tradisional yang dibangun di Kelurahan Genggulang dan Poyowa Kecil?

Rumah jabatan Walikota menunjukkan gengsi sebuah kota dan pemimpin serta rakyatnya. Tapi fasilitas umum yang tersedia dan dikelola dengan baik adalah harga diri seluruh penghuni kota, termasuk Walikotanya. Mengabaikan harga diri demi gengsi jelas bukan pilihan yang tepat dari masyarakat yang sadar kewajiban dan haknya.

Contoh kecil lain dari gagalnya para pemimpinan di tingkat Bupati dan Walikota mengdepankan kepentingan umum adalah kebiasaan menggunakan kendaraan pembuka jalan dan pengawal (para bocah menyebutnya ‘’ngiung-ngiung’’); walau hanya untuk pergi-pulang dari rumah ke kantor. Dengan ‘’ngiung-ngiung’’ orang banyak sedang bekerja menggerakkan ekonomi dipaksa mengalah demi kenyamanan para pemimpin, sekali pun belakangan kita mengetahui macet yang ditimbulkan ternyata hanya karena Walikota terburu-buru harus hadir di doa selamatan kerabatnya.

Sepuluh: Berkesediaan bekerjasama. Nah, aspek ini sudah terbukti amat sangat penting dijadikan catatan, utamanya terkait hubungan kerjasama antara Walikota, Wawali, Sekretaris Kota (Sekkot) dan jajaran di bawahnya. Warga KK tentu khatam mengetahui dampak hubungan buruk Walikota Djelantik Mokodompit dan Wawali Tatong Bara: tak ada kerjasama dan sinergi di antara keduanya.

Yang terjadi kemudian, pemerintahan di KK dijalankan tanpa kebijakan utuh dan sinkron yang ditegakkan bersama-sama oleh Walikota dan Wawali. Dengan menyesal kita harus menuding, Walikotalah yang tentu paling bertanggungjawab terhadap kondisi tersebut. Masak iya Wawali berulah kalau Walikota melibatkan dia dalam segala hal yang menjadi tanggungjawab mereka sebagai pasangan yang dipilih dan diamanati masyarakat KK.

Sebelas: Penghormatan terhadap bawahan. Masing-masing hanya ada Walikota-Wawali dengan ribuan birokrat yang jadi bawahan. Normatif dan alamiah bila bawahan kemudian memberikan penghormatan terhadap atasan. Sebaliknya wajib bagi atasan memberikan perhormatan setimpal terhadap mereka yang berada di bawahnya. Ini sebuah hukum timbal-balik sederhana.

Tidak perlu mencari-cari contoh rumit. Menginstruksikan bawahan menghadiri perayaan pesta HUT cucu Walikota, menyambut Piagam Adipura, bahkan perayaan Isra’ Mi’raj dengan mengisi daftar hadir di tempat, dapat menjadi contoh sederhana bentuk ketidak-pengohormatan atasan terhadap bawahan.

Misal lain yang lebih kasar adalah di saat seluruh jajaran pegawai negeri sipil (PNS) KK siap melaksanakan apel pagi, Walikota dengan mobil dinas melintas membelah barisan, berhenti dan turun tepat di tengah hidung jajaran bawahannya. Saya kira kelakuan seperti itu bukan hanya tidak mengormati bawahan, tapi bentuk pelecehan yang menyakitkan hati. Untunglah saya bukan PNS KK yang masih jerih menyambit atasan tak berotak dengan sepatu.

Dua Belas: Mampu menahan diri. Salah satu tantangan terbesar setiap pemimpin adalah menahan diri tidak terjerembab menyalahgunakan kekuasan (abuse of power). Amatan saya, setidaknya dalam 10 tahun terakhir bentuk penyalahgunaan kekuasaan paling umum di Mongondow adalah pembiaran (atau bahkan dengan sengaja didorong) kerabat dan sedulur elit politik atau birokrasi turut mengatur hajat hidup orang banyak.

Yang paling mencolok tender proyek-proyek yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang bukan diatur Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) berwenang, tapi anak, istri, adik, bahkan oknum yang sekadar keluarga dekat Walikota atau Bupati. Bisik-bisik sangat berkuasanya ‘’09’’ terhadap pengalokasian proyek di KK ke kontraktor-kontraktor tertentu (dengan sejumlah ‘’fee’’) saya yakin bukanlah sekadar rumor tak bertanggungjawab.

Pemimpin yang tidak mampu menahan diri hanya membuktikan ‘’dari sononya’’ memang rakus. Sosok seperti itukah yang ingin dipilih masyarakat KK di 2013?

Tiga Belas: Berpolitik bukan satu-satunya tujuan. Meraih kursi Walikota-Wawali adalah salah satu puncak proses dan praktek politik seorang politikus (atau mereka yang beralih menjadi politikus). Setelah itu, mereka yang terpilih selayaknya tidak terus-menerus menjadikan politik  (apalagi politicking) sebagai satu-satu cara dan tujuan.

Meletakkan berbagai aspek pembangunan kota di atas dasar politis, hasilnya adalah capaian-capaian yang bersifat jangka pendek. Terlebih kebanyakan politikus kita benar-benar menganut ‘’dalam politik kawan bisa menjadi lawan, tergantung pada kepentingannya’’. Kawan seiring-sejalan hari ini, boleh jadi besok adalah bebuyutan yang harus dilawan habis-habisan. Termasuk ide, kebijakan dan capaian yang sebelumnya digagas dan diimplementasi bersama.***

13 Syarat Walikota-Wawali KK 2013-2018 (II)

Tiga: Berpengetahuan komprehensif dan tegas dalam tindakan. Tidak diperlukan seorang professor atau doktor jenius untuk jadi calon kandidat Walikota-Wawali KK. Cukup seseorang dengan pengetahuan yang komprehensif (utamanya terhadap aspek menejerial) dan ketegasan bersikap.

Sebagai pengelola sebuah sistem kompleks dengan sumber daya relatif lengkap, Walikota-Wawali berperan sebagai pengatur yang tahu kepada siapa-siapa mereka menyerahkan wewenang mengurusi setiap aspek yang dibutuhkan KK dan warganya. Contohnya naifnya adalah: percayakan urusan Pekerjaan Umum (PU) pada insinyur sipil atau kepentingan tata pemerintahan pada sarjana ilmu pemerintahan; berikan target dan ukuran-ukuran capaiannya; lalu terapkan reward and punishment terhadap keberhasilan dan kegagalan.

Sepanjang Walikota-Wawali menjalankan pendekatan itu dengan tegas dan konsisten, saya berkeyakinan tahun demi tahun warga KK dengan mudah bisa menakar telah berada di level mana kotanya dalam cetak biru cita-cita bersama. Tidak seperti saat ini di mana indikator keberhasilan pembangunan seolah-olah pada berapa penghargaan (atau bahkan rekor Museum Rekor Indonesia --MURI) yang diraih Walikota-Wawali selama mereka berkuasa.

Empat: Rasional dan sadar diri. Pengalaman membuktikan sebelum seorang politikus menduduki jabatan publik, biasanya dia mampu mempertimbangan sesuatu dengan komprehensif. Tindakannya juga hati-hati dan masuk akal. Pendeknya, satu kata cukup mewakil: rasional.

Sejalan dengan itu, dia juga tidak menempatkan diri sebagai ‘’pusat dunia’’. Segala-galanya tidak berdasarkan ‘’saya’’, tetapi ‘’kita’’ atau ‘’kami’’. Bahasa yang digunakan ini secara eksplisit menunjukkan tingkat kesadaran menempatkan posisinya di tengah orang banyak.

Berbanding terbalik, berdasar pengalaman pula, rasionalitas dan kesadaran diri itu dengan cepat menguap tatkala posisi yang didambakan sudah berhasil direngkuh. Keputusan-keputusan yang diambil tidak agi berdasarkan pertimbangan matang dengan mengkaji semua aspek, melainkan karena ‘’saya menginginkan’’. Repotnya, keinginan itu tidak diberangi kecukupan pengetahuan. Akibatnya dia menjadi semata keinginan yang ditingkat implementasi memunculkan mudarat beranak-anak pinak. Atau setidaknya memicu gejolak yang berkelindang kesana-kemari.

Pemindahan Pasar Serasi adalah salah satu contoh ‘’karena saya menginginkan’’, yang diputuskan tanpa melibatkan pertimbangan komprehensif dan jangka panjang. Sangatlah tidak masuk akal memaksakan pemindahan para pedagang sementara areal relokasi belum memenuhi syarat minimal. Itu sebabnya dalam isu relokasi ini saya berulang kali mengkritik (bahkan dengan amat sangat pedas), bahwa kegigihan Walikota KK, Djelantik Mokodompit, mewujudkan kebijakannya itu tak lebih dari cerminkan ketidak-sadardirian.

Lima: Bertanggungjawab. Terkait dengan aspek keempat, seorang pemimpin yang irasional dan tak sadar diri biasanya juga berkecenderungan suka cuci-tangan. Kalau kebijakannya, yang kemudian dijalankan bawahan membuahkan hasil positif; maka dia akan menepuk dada. Sebaliknya bila terjadi kekeliruan, apalagi skandal, yang harus bertanggungjawab dan jadi kambing hitam adalah para bawahan.

Skandal penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) KK 2009 adalah bukti bagaimana tanggungjawab Walikota-Wawali KK patut dipertanyakan dengan serius (juga upaya pihak berwenang mengungkap kasusnya). Sepengetahuan saya mereka yang patut diduga terlibat dalam skandal sudah diperiksa, bahkan ada yang konon telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka umumnya adalah birokrat yang jadi pelaksana teknis rekrutmen CPNS. Akan halnya Walikota KK sebagai penanggungjawab, justru ‘’pura-pura gila’’. Jangan bertanggungjawab, janji yang dia nyatakan di mana-mana (dimuat pula oleh media) seolah tak pernah dilakukan.

Sesumbar Walikota Djelantik Mokodompit yang akan mundur bila tidak seluruh CPNS yang dinyatakan lulus mengantongi SK, memang omong kosong belaka. Kalau pertanggungjawaban terhadap janji yang dinyatakan terbuka itu diingkari, jangan harap warga KK bisa menuntut tanggungjawab lebih berat lagi.

Untuk isu CPNS KK, secara pribadi saya mendorong warga kota terus menuntut pertanggungjawaban Walikota, utamanya pada janji mundur dari jabatannya. Selain untuk memberi pelajaran agar pemimpin KK di masa mampu memelihara mulut, juga agar harga diri Djelantik Mokodompit dapat dipelihara secara kolektif.  Tidak mundurnya dia dari jabatan Walikota KK setelah terbukti apa yang dijanjikan gagal, cuma menjadi konfirmasi bahwa rumor ‘’sedang di Tanah Suci ba dusta, apalagi cuma di Mongondow’’, bukan bisik-bisik belaka.

Enam: Sederhana dan membumi. Bukan sekali-dua saya bertemu Walikota Bitung, Hanny Sondakh, di Bandara Seokarno-Hatta sedang berjalan sendiri. Tanpa ajudan ,apalagi segerombolan pengawal dan dayang-dayang. Sudah begitu dia sama sekali tak tampak sebagai pejabat tinggi. Tetap sederhana sebagaimana yang dikenal warga Bitung semasa dia hanya sebagai pengusaha sukses pengolahan hasil perikanan.

Kesan Hanny Sondakh sebagai pemimpin membumi kian kuat ketika mendengar kisah, satu ketika terjadi kecelakaan di depan kediaman Walikota Bitung, Saat itu, Walikota Hanny Sondakh hanya dengan celana pendek dan t-shirt kebetulan melihat nahas tersebut. Tanpa peduli dia adalah pejabat publik nomor satu, Hanny Sondakh berlari ke tengah jalan, mengurusi orang-orang yang tertimpa kemalangan itu.

Elit politik lain yang saya kenal, yang juga tak kehilangan bumi tempat berpijak adalah Wawali Kota Manado, Harley Mangindaan. Ai –demikian saya menyapanya—tetap seperti yang saya kenal sejak semasa ayahnya, EE Mangindaan, menjadi Gubernur Sulut. Sebelum menjadi Wawali, Ai senang bersepeda, menelusuri banyak tempat di Manado. Setelah menjadi Wawali, dia masih akrab dengan sepeda. Bedanya, kini terlalu banyak ‘’pengawal’’ yang ikut (ini pula salah satu kritik saya), yang membuat fleksibilitas dan kedekatannya dengan orang banyak menjadi berjarak.

Walikota dan Wawali KK 2013 dan seterusnya mungkin bisa bercermin dari perilaku yang ditunjukkan Walikota Bitung, Wawali Kota Manado, dan (satu lagi) Wabup Boltim, Medi Lensun (yang juga tetap punya bumi di bawah telapak kakinya). Pemimpin di era mondern bukanlah Maharaja yang dimitoskan sebagai keturunan dewa. Bahkan sudah bersikap dan berbuat sebaik mungkin masih dikritik dan dicemooh, apalagi kalau bersikap pongah dan seolah hidup di awan-awan.***

13 Syarat Walikota-Wawali KK 2013-2018 (I)

KENDATI kepemimpinan Walikota-Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit-Tatong Bara, baru berakhir 2013 mendatang, isu suksesi sudah memanas. Bukan hanya di tingkat percakapan warung kopi, tapi bahkan resmi di kalangan partai politik (Parpol).

Salah satu adalah pernyataan Ketua Dewan Pengurus Wilayah Partai Amanat Nasional PAN Sulawesi Utara (DPW PAN Sulut) yang juga Wawali KK, Tatong Bara, yang dipublikasi Radar Totabuan, Jumat 11 Juni 2011 (Tatong Belum Pasti Diusung PAN). Bahwa PAN sebagai partai yang memiliki peluang mengusung calon Walikota-Wawali KK di 2013 akan menggunakan mekanisme ketat dalam menentukan kandidatnya, termasuk dengan survei terhadap keinginan konstituen.

Saya mendukung dikedepankannya isu suksesi kepemimpinan di KK jauh-jauh hari. Juga bersepakat dengan PAN yang menyiapkan kandidat sedini mungkin hingga mereka yang terpilih adalah para tokoh terseleksi. Bukan sekadar politikus yang pemburu kedudukan dan uang atau petualang yang mencoba-coba peruntungan dan popularitas.

Memaknai suksesi kepemimpinan daerah dan pemilihan langsung sebagai pendidikan politik, dengan menjadikan isunya konsern seluruh elemen masyarakat, warga KK juga dapat lebih berhati-hati terhadap pencitraan sesaat yang umum dilakukan kandidat Walikota-Wawali. Pengalaman mutakhir di mana-mana membuktikan, pencitraan yang dilakukan masif dan terencana kerap hanya kilap sesaat. Setelah sang kandidat terpilih orang banyak kembali tersadar: pisang susu muda tetaplah pisang susu muda, kendati tampak telah matang karena diperam.

Kepemimpinan Walikota-Wawali KK 2008-2013 menjadi bukti bagaimana ampuhnya pencitraan sebagai alat manipulasi. Tentu masih segar di ingatan warga KK bagaimana Walikota Djelantik Mokodompit mati-matian menampilkan diri sebagai sosok religius, memahami KK dan warganya secara komprehensif, bijaksana, dapat dipercaya, berpengalaman, sederhana, peduli, terbuka, serta merakyat, demi menarik simpati konstituen. Setelah terpilih, di hari-hari ini ketika kebijakan dan tingkahnya kian konyol, masihkah ada kesan positif yang tersisa dari masa kampanye itu?

Warga KK ibarat telah memilih kucing dalam karung. Hanya mendengar ngeongnya sesaat, menjatuhkan pilihan, lalu terpaksa lima tahun terpiuh-piuh mengikuti sepak-terjang boneka kucing. Yang dibeli kucing, yang didapat boneka.

Bahkan keledai pun sesungguhnya tak pernah terperosok kedua kali di lobang yang sama. Agar warga KK tidak terantuk batu yang itu-itu juga saat memilih pemimpinnya nanti, adalah bijaksana isu ini dikedepankan sejak dini. Tentu bukan dengan menyebut nama, melainkan kriteria pemimpin yang dibutuhkan sebuah kota semacam KK.

Tantangan yang dihadapi KK --kota yang tersuruk di lembah Bolaang Mongondow, luasnya tergolong kecil, dan praktis hanya hidup dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) karena tanpa komoditas dan jasa andalan-- memerlukan pemimpin dengan kriteria ketat. Menurut hemat saya, setidaknya warga kota ini perlu mengindahkan 13 aspek utama sebagai bekal memilih pemimpin di 2013 mendatang. Kriteria itu adalah:

Satu: Visioner. Walikota-Wawali KK tidak hanya mampu memikirkan kota ini ke mana dan menjadi seperti apa lima, 10, atau 25 tahun mendatang. Mereka selayaknya menetapkan jarak jangkau pembangunan kota ini (minimal) 100 tahun ke depan (atau empat generasi berikut). Kalau sekadar memindahkan Pasar Serasi, apalagi tanpa cetak biru kota yang terintegrasi, tak usah bicara visi.

Seorang pemimpin visioner tidak bicara tentang mimpi, melainkan cita-cita berkesinambungan dan terukur. Kalau dia membayangkan KK kelak mewujud menjadi kota bisnis dan jasa, maka yang dilakukan adalah memilih prioritas-prioritas utama serta ikutannya, lalu menetapkan berapa lama dan dengan sumber daya seperti apa,setiap aspek itu bakal dicapai. Di saat yang sama, berlandas kesadaran bahwa Walikota-Wawali hanya maksimal berkesempatan memimpin KK selama 10 tahun, ditata pula transfer sejarah dan pengetahuan terhadap model kota ideal yang dicita-citakan.

Maka warga KK tidaklah menelan angan-angan, tetapi sesuatu tentang kotanya yang dibangun atas kesadaran kolektif dan terencana. Yang bukan sulap-sulapan tetapi proses panjang yang melibatkan semua pihak dengan Walikota-Wawali (siapa pun mereka dan penggantinya) sebagai inspirator dan konduktor.

Dua: Integritas dan rekam jejak. Seperti apa calon pemimpin yang akan dipilih warga KK? Seseorang yang dapat dipegang kata-katanya, yang mengatakan A sebagai A, atau sejenis pembohong yang mudah berubah dari A menjadi Z? Tidaklah sulit menakar setiap orang, baik yang saat ini berstatus incumbent atau yang akan mencalonkan diri, sebagai pemimpin KK 2013 –dan setelah itu. Dengan membuka seluruh rekam jejaknya, minimal di bidang yang digeluti, kita bisa menghindari salah pilih yang disesali selama lima tahun berikut.

Harus diakui tak gampang membedakan rampok yang bertobat atau rampok yang pura-pura bertobat. Namun di kota sekecil KK seharusnya tidak sulit bagi warganya memanggil kembali ingatan, paling tidak dalam 15 tahun terakhir, tehadap mereka yang ‘’mengklaim’’ berniat mendedikasikan pengabdian melayani orang banyak di kursi Walikota-Wawali.

Peran media, institusi masyarakat sipil, bahkan orang per orang yang peduli menjadi penting sebagai referensi integritas seorang calon. Terutama media (dan institusi masyarakat sipil) selayaknya bertanggungjawab mempublikasi hitam-putih rekam jejak para calon kandidat, yang secara tegas dipisahkan dari informasi-informasi bersifat pencitraan dan iklan.

Kita tak perlu segan mempertanyakan integritas seorang politikus, pengusaha atau birokrat yang mencalonkan diri sebagai kandidat Walikota-Wawali. Buat para calon kandidat pembeberan rekam jejaknya adalah risiko, sedang bagi konstituen mengetahui luar-dalam pilihannya menjadi ekspresi tanggungjawab terhadap kepentingannya dan kotanya ke depan.***

Solulokui Banjir Bolsel, Satu Pagi di Schiphol

HUJAN deras mengguyur Bandara Internasional Schiphol, Amsterdam, Kamis subuh (16 Juni 2011) ketika KLM yang saya tumpangi dari Jakarta mendekati landasan pacu. Bulan bulat di langit yang terang (pukul 05.00 pagi di langit Eropa sudah seperti pukul 08.00 pagi di Kotamobagu) tampak pucat.

Amsterdam –terutama di sekitar Schiphol-- selalu indah dipandang dari udara. Sungai, kanal, dan kolam-kolam berpadu lanskap hijau diselingi kumpulan pemukiman. Sejak isu pemanasan global menjadi salah satu topik hangat, setiap kali ke Eropa dan landing di Schiphol, saya tak bisa menyembunyikan pikiran kagum terhadap kedisiplinan dan perencanaan Kota Amsterdam.

Dibangun di bawah permukaan air laut, kota ini mampu menata aliran air dengan kanal dan dam yang juga difungsikan untuk berbagai kepentingan, termasuk pra sarana transportasi. Bisa dibayangkan bila kota ini lengah mengelola air yang datang dari mana-mana. Pasti hanya butuh waktu sekejap membuat Amsterdan dilahap gulungan banjir.

Di 2010 lalu, pada satu kesempatan akhir pekan usai konferensi selama lima hari yang melelahkan, saya menelusuri Kota Amsterdam dengan perahu, pindah dari satu kanal ke kanal yang lain. Mengunjungi satu meseum ke meseum lain yang lucunya hampir seluruhnya terletak di tepi kanal. Di akhir pengelanahan saya menyimpulkan: Belanda memang terbaik dan mumpuni sebagai rujukan bagaimana manusia di sebuah wilayah hidup akrab dengan air.

Sesungguhnya bukan hanya Amsterdam (atau Belanda) yang penataan saluran airnya mengundang kagum. Beberapa kota lain di Eropa Barat, katakanlah di Belgia, Perancis, atau Denmark, juga membangun kanal dan dam sebagai pengendali aliran air. Hasilnya adalah keindahan multi fungsi.

Begitu piawainya Eropa (lebih khusus Belanda) mengelola air hingga di masa kuliah di Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi (FT Unsrat), saya ingat setiap kali membicarakan aspek-aspek yang berkaitan dengan ‘’sipil basah’’, yang dirujuk adalah Belanda. Belakangan saya (yang alhamdulillah) berkesempatan mengunjungi banyak negara di Asia, menemukan pendekatan sama juga dilakukan di negara semisal Taiwan atau Korea Selatan (Korsel).

Di Taiwan, di tengah Kota Kaohsiung (kota kedua terbesar setelah Taipei) melintas The Love River yang kiri-kanannya ditembok mirip kanal di Belanda. Selama berada di kota ini, setiap petang saya menelusuri tepian sungai, menonton orang-orang yang berbondong memancing. Pemandangan yang kurang-lebih sama saya temui di Seoul, Korsel. Kota Seoul yang dibelah Sungai Han (yang mengalir dari Cina), selain gigih mengurusi hutan, juga menata sepanjang sungai ini mirip yang dilakukan di Kaohsiung.

Berbeda dengan Sungai Ciliwung di Jakarta (serta beberapa sungai di kota-kota besar Indonesia, termasuk Kuala Jengki yang membela Kota Manado dan bermuara di Teluk Manado) yang jangankan jadi tempat memancing, warnanya yang coklat kotor dan penuh sampah, seketika mengindikasikan cara kita mengelola air dan sumber dayanya di Indonesia.

Saya bukanlah sejenis orang yang snob dan mengagun-agungkan ‘’luar negeri’’. Sebagai ‘’anak orang susah’’ yang lahir dan dibesarkan di Mongondow, hingga saat ini mimpi-mimpi saya tak jauh dari urusan kebun dan sawah. Melalang buana ke seantero belahan dunia hanyalah kesempatan yang datang karena tuntutan profesional. Selebihnya, orang kampung tetaplah orang kampung.

Banjir Lagi, Banjir Lagi

Hujan masih terus menderas saat saya menelusuri koridor Schiphol, jalan kaki dari kedatangan internasional ke keberangkatan domestik, mengejar KLM 1791 yang akan membawa saya ke Munich. Di ruang tunggu, sembari menunggu boarding, saya berselancar, membuka situs-situs berita terutama yang mewartakan perkembangan Mongondow terkini.

Berita yang dilansir Harian Manado Post, Kamis (16 Juni 2011), Puluhan Rumah Hanyut: Bolsel Diterjang Banjir dan Longsor, sungguh menghenyakkan. Saya membaca dengan keprihatinan membayangkan derita saudara-saudara kita di Bolsel yang beberapa waktu terakhir ini (sejak musim penghujan tiba) tak putus dirudung banjir dan longsor.

Akibat hujan deras wilayah Pinolosian direndam banjir setinggi lutut orang dewasa. Walau warga yang bermukim di pesisir pantai dan tepi sungai sudah mengungsi, tak urung luapan air menghanyutkan 21 rumah serta jembatan di Desa Milagodaa dan Desa Sogitia.

Tak adanya korban jiwa patut disyukuri (di masa datang bencana apa pun semoga tak merengut korban jiwa di Mongondow). Namun kerugian yang mesti ditanggung saya yakin tidaklah kecil. Bagi warga dengan kondisi ekonomi pas-pasan, kehilangan tempat tinggal bukan beban ringan. Demikian pula dengan rusaknya sarana dan pra sarana umum, pasti sangat berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan warga di Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel).

Pasti ada yang salah dari cara kita mengelola keseimbangan alam di Mongondow. Banjir dan longsor yang terus-menerus mendera bukanlah kejadian yang umum, setidaknya 10 tahun lampau. Kalau pun dulu ada banjir atau longsor yang terjadi, biasanya tidak terjadi kawasan-kawasan dengan populasi penduduk cukup padat. Kini banjir dan longsor tak lagi ketahuan waktu dan tempatnya. Sudah pula sangat berdampak terhadap kepentingan warga Mongondow umumnya. Putusanya jembatan penghubung dengan wilayah Gorontalo atau tak bisa dilewatinya jalur Kotamobagu-Inobonto, misalnya, jelas adalah perkara serius.

Sembari berjalan menuju pesawat yang membawa ke Munich, saya mengingat-ingat kembali beberapa tulisan tentang banjir dan longsor yang sudah diunggah di blog ini. Rasanya saya belum pernah menyarankan Bupati atau Walikota dan jajarannya di Mongondow untuk studi banding (sejujurnya saya tergolong anti studi banding yang dilakukan DPR atau birokrat karena sebenarnya cuma wisata yang dikemas seolah-olah untuk kepentingan memerik pelajaran dan kearifan), belajar mengelola lingkungan di tempat-tempat yang terbukti berhasil melakukan dengan baik. Kali ini saya menyarankan, khususnya Bupati Bolsel, Herson Mayulu, dan jajarannya minimal bermuhibah ke Korsel.

Di Korsel jajaran Pemerintah Kabupaten paling tidak bisa belajar mengelola hutan yang kini di Bolsel terancam berbagai aksi ilegal. Harapannya, setelah itu dari tempat lain (mungkin Taiwan atau bahkan Belanda) dapat pula dipelajari bagaimana mengurus pesisir pantai dan sungai, hingga di masa mendatang banjir dan longsor mampu diminimalisir.

Saya berharap Bupati Bolsel mempertimbangkan saran itu. Studi banding tak perlu diharamkan sepanjang manfaatnya ditetapkan sebagai niat dan obyektif utama.***

Tuesday, June 14, 2011

Sekkab Bolsel: Selamat dengan 14 Macam Kembang

SEKRETARIS Kabupaten (Sekkab) Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Gunawan Lombu, dilantik Senin (13 Juni 2011). Akhirnya definitif jua dia, setelah memangku jabatan ini sebagai Pelaksana sejak kabupaten ini berdiri sebagai daerah otonom baru, lepas dari Kabupaten Bolmong Induk.

Andai tak kunjung didefinitifkan sebagai Sekkab, Lombu bakal mengakhiri karir birokrasi cukup hingga ‘’Pelaksana Sekkab’’ dan ‘’Pelaksana Harian Bupati’’. Mulai menduduki jabatannya di bawah Penjabat Bupati Arudji M, kemudian AR Mokoginta, Pelaksana Harian Bupati, dan kembali Pelaksana Sekkab bersama Bupati-Wakil Bupati (Wabup) Herson Mayulu-Samir Badu, jabatan ‘’pelaksana’’ ini patut dicatat sebagai rekor.

Kebijaksanaan Bupati Herson Mayulu mengusulkan Lombu sebagai Sekkab definitif, menurut saya menunjukkan kualitas kematangannya sebagai politikus. Di saat bersamaan kita mesti pula mengakui Lombu adalah sosok pekerja yang ‘’tak banyak bicara’’ dan rendah hati. Sewaktu bertemu saat diundang Pemkab Bolsel bicara tentang tulis-menulis dan jurnalistik beberapa waktu lalu, saya menemukan Lombu yang tak banyak berubah, sebagaimana dia yang saya kenal dari masa remaja.

Sungguh saya ikut gembira membaca pelantikan Sekkab Bolsel itu, yang diwarnai prosesi mandi air kembang tujuh rupa, di sejumlah media terbitan Selasa, 14 Juni 2011. Harian Manado Post menulis Dari Pelantikan Sekkab Definitif: Lombu Disirami Tujuh Macam Kembang; sedang Harian Radar Totabuan selain memajang upacara itu sebagai foto utama halaman 1 terbitan, juga merilis advertorial Dikukuhkan Sebagai Sekda Bolsel: Drs Hi Gunawan Lombu Mandi Kembang.

Membaca tajuk koran-koran itu tak urung garasi rumah di Manibang, Manado, yang menjadi areal reriungan beberapa kerabat dan sahabat sesama orang Mongondow (setiap kali saya ada di Sulawesi Utara –Sulut), segera dipenuhi aneka komentar dan tawa. Bukan sinisme, apalagi ejekan, tapi karena seorang sepupu spontan menyanyikan sepotong syair lagu dangdut ‘’…. mandi kembang tengah malam….’’

Prosesi mandi kembang tujuh macam di pelantikan Sekkab Bolsel, menurut hemat saya sebenarnya bukanlah hal aneh. Praktek formal dan informal birokrasi di Mongondow mengenal aneka upacara tambahan saat seseorang dilantik menduduki jabatan tertentu. Ada yang ‘’diadatkan’’ dengan tradisi Mongondow, dilengkapi gelar berbahasa Mongondow; ada pula yang selain mengucapkan sumpah dan janji jabatan, wajib di-bai’at untuk menegaskan loyalitas pada patronnya.

Mintahang yang menjadi salah satu tradisi syukur terhadap rahmat (pun upaya memohon) pada Yang Maha Kuasa, tampaknya tidak cukup keren mewakili ekspresi para politisi dan birokrat di Mongondow. Dia tak pula bisa dikemas spektakuler agar layak ditampilkan di media massa. Tentu Bupati-Wabup, Sekkab, atau Kepala SKPD bakal dicibir ‘’so talalu’’ kalau meng-advertorial-kan mintahang pelantikannya; kecuali bila acara itu dihadiri pejabat negara sekelas Presiden, Wapres, atau Menteri.

Kontradiktif

Di konteks kekinian, terutama di kalangan Mongondow berusia muda, mandi kembang tujuh rupa yang dijalani Sekkab Bolsel memang mengandung humor faktual. Bukan semata karena syair dangdut itu, tapi tersebab tradisi ini sudah diketahui publik dilakukan terhadap aspek-aspek khusus di banyak komunitas masyarakat negeri ini.

Anak gadis yang dianggap sudah melampaui kematangan usia namun belum juga menemukan jodoh, diupacarakan dengan ‘’mandi kembang tujuh rupa’’ agar segera ditambat calon suami. Seseorang yang ‘’dianggap’’ terus-menerus terantuk sial, dilepaskan dari nasib buruk lewat ‘’air kembang tujuh macam.’’ Saktinya pengaruh kembang tujuh jenis ini konon bahkan dilakoni pula oleh para dukun dan tukang santet yang sedang menjalani ritual kedigdayaan.

Sinetron dan film-film (terutama horor) suka memasukkan adegan dukun dan pasien yang ujung-ujungnya menyinggung ritual mandi kembang (tentang berapa rupa kembang yang disyaratkan, tergantung selera dan kreativitas penulis skenario). Pokoknya, mandi kembang tujuh macam dikenal dalam berbagai tradisi di Indonesia. Hanya di pelantikan Sekkab Bolsel, yang tidak dijelaskan di media adalah: Niat atau pesan apa yang dikandung di prosesi tambahan itu?

Apakah mandi kembang itu adalah wujud syukur dan doa Bupati serta jajaran Pemkab Bolsel terhadap dilantiknya Gunawan Lombu? Tapi kalau syukur, kenapa mesti kembang tujuh rupa? Lebih baik sapi tujuh ekor yang dimasak dan dijadikan menu mintahang. Sangat tidak sopan kalau lebih jauh saya lancang menanyakan apakah mandi kembang Sekkab Bolsel untuk menolak bala, apalagi minta jodoh atau persiapan praktek perdukunan.

Agar tak memicu spekulasi dan tanda-tanya, Pemkab Bolsel perlu menjelaskan alasan dan niat yang terkandung dari mandi kembang itu. Apalagi kalau itu bagian dari upaya membumikan kembali tradisi dan adat yang dikenal oleh masyarakat setempat.

Sembari menanti pembeberan kearifan apa yang dikandung prosesi yang dijalani Gunawan Lombu, tak ada salahnya saya mengingatkan Bupati Herson Mayulu dan jajarannya terhadap salah satu visi besar pembangunan Bolsel: religiusitas. Bolsel bukanlah kabupaten yang pemerintahannya dijalankan berdasar syariat Islam, walau dengan penduduk mayoritas Islam (termasuk Bupati, Wabup dan Sekkab juga menganut Islam). Di manakan prosesi mandi kembang itu ditautkan dalam syariat Islam, yang saya yakin menjadi salah satu nadi utama visi religius itu?

Lain soal kalau religiusitas yang dimaksud memasukkan pula animisme yang dianut nenek-moyang Mongondow sebelum era agama menjamah wilayah ini. Kalau memperhitungkan animisme sebagai anutan, mandi kembang tujuh rupa jelas kurang lengkap; sebab dilakukan di bawah naungan tenda, bukan di samping batu besar, di lindungan rindang pohon raksasa, lengkap dengan kemenyan dan dukun renta berjenggot panjang dan putih.

Agar lebih afdol saya menyumbang 14 jenis kembang, termasuk kandasuli merah dan putih.***

Saturday, June 11, 2011

Adipura, Narsisme dan Manipulasi

JUMAT menjelang sore, 10 Juni 2011, saya menerima telepon dari seorang tokoh senior Mongondow. Begitu tersambung, saya langsung mendengar tawanya yang mendera-derai.

‘’Saya dengar Anda sedang menulis artikel tentang Boki Kolano, ya?’’ katanya di sela-sela tawa, lalu disambung, ‘’juga tulisan tentang Piagam Adipura yang diterima Kota Kotamobagu?’’

Mulanya saya tidak tahu kemana arah pertanyaan yang dia ajukan itu. Tapi setelah beberapa jenak, otak saya ‘’klik’’ dan turut pula terbahak-bahak. Untuk pertanyaan pertama, jawabannya: rezim pemerintah di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) yang sudah berakhir sedapat mungkin tidak saya kritisi lagi. Kalau pun ada tulisan berkenaan dengan itu, tampaknya hanya menjadi catatan kaki yang saya simpan sebagai pengetahuan saja.

Terhadap pertanyaan kedua, saya membenarkan. Apalagi sejak subuh, sebelum pukul 06.00 waktu Kota Kotamobagu (KK), saya menerima sejumlah pesan pendek dan BlackBerry Messenger (BBM) yang isinya menyoal penyambutan Piagam Adipura oleh Walikota KK dan jajarannya. Begitu matahari merekah, pegawai negeri sipil (PNS) dikerahkan ke gerbang batas kota, diambil tanda kehadirannya, demi Piagam Adipura.

Pesta Apa, Untuk Siapa?

Mempercakapkan Adipura yang mati-matian dikejar Walikota KK dan jajarannya, teringat saya pemberitaan Harian Manado Post, Selasa (7 Juni 2011), Drainase Buruk Gagalkan Adipura. Mengutip Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU), Sande Dodo, berita itu menuliskan KK gagal meraih Piala Adipura gagal mendapatkan nilai maksimal akibat buruknya penataan saluran pembuangan dan pohon peneduh.

Sande Dodo adalah salah seorang kakak kelas saya di Fakultas Teknik (FT) Sipil, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado. Selama masa kuliah saya mengenal dia sebagai sosok santun, jujur, tak banyak mulut, dan disukai karena ketekunannya. Hingga hari ini saya menaruh respek terhadap dia. Apa yang dia akui adalah kenyataan yang mati-matian tak diindahkan kebanyakan politisi dan birokrat di Bolmong, yang sudah pula melelahkan saya ingatkan berulang kali (termasuk di blog ini).

Maka tidak masuk akal sama sekali ketika KK menerima Piagam Adipura lalu Walikota dan jajarannya menggelar penyambutan (dengan melibatkan aktor utama para PNS), konvoi memacetkan sebagian besar wilayah KK, seolah telah meraih satu prestasi luar biasa (bahkan Piala Adipura sekali pun semestinya tidak perlu diarak, sebab apanya yang hebat? Memaslahatkan sebuah kabupaten atau kota memang menjadi kewajiban pemerintah). Menurut pendapat saya, Walikota KK dan jajarannya yang ikut pesta pora Piagam Adipura hanya berilusi, bahkan beramai-ramai meng-amin-kan penipuan terhadap warga KK.

Adipura hanya mengenal piala sebagai penghargaan terhadap capaian satu kota melakukan penataan wilayah agar memenuhi syarat minimal bagi keseimbangan lingkungan. Informasi yang saya terima mengatakan, ada tiga gradasi dari hasil penilaian terhadap penghargaan ini.

Pertama, peserta yang tidak mendapat piala atau piagam karena dinyatakan gugur dalam penilaian. Digugurkannya kepesertaan itu sebab ada salah satu atau lebih aspek dalam penilaian yang sama sekali tidak dapat dipenuhi. Kedua, peserta yang mendapatkan piagam karena memenuhi semua kriteria penilaian, namun hasil yang dicapai jauh dari standar. Ketiga, semua kriteria penilaian telah memenuhi standar dianugerahi Piala Adipura.

Mungkin tidak tepat, tapi Piagam Adipura itu tak beda dengan piagam yang diterima peserta pelatihan semisal kader pembibit padi unggul. Semua peserta yang ikut, mengisi daftar hadir, mendengarkan materi yang disampaikan, mengisi lembar evaluasi, mendapat selembar kertas bertulis ''piagam''. Sedang yang berhasil menyelesaikan lembar jawaban di atas standar nilai khusus, mendapat hadiah yang dari aspek prestige dianggap bernilai lebih tinggi.

Berapa usia KK sebagai satu kota, terhitung sejak dia didirikan? Masak kita patut bangga puluhan tahun kota ini berdiri dan masih gagal juga mewujudkan sosoknya sebagai satu tempat yang memenuhi syarat minimal keseimbangan lingkungan? Sudah begitu, kegagalan itu dipestakan seolah-olah gagal adalah prestasi yang pantas disyukuri. Terlebih yang dikerahkan adalah PNS, yang semestinya lebih baik diberdayakan waktu kerjanya semaksimal mungkin.

Saya memaklumi bahwa utamanya Walikota KK memang telah membuta-tuli dan menebalkan muka terhadap aneka kritik yang ditujukan, tapi di saat yang sama secara sadar melakukan penipuan terhadap orang banyak, benar-benar perilaku keterlaluan. Dengan meluaskan sedikit perspektif, selain narsis dan manipulatif, warga KK juga bisa menilai Walikota dan jajarannya memang tidak tahu kemana kota ini akan dibawa. Memacetkan kota dengan konvoi, menyita waktu produktif PNS dan warga, sama artinya dengan mengganggu perekonomian kota kecil seperti KK. Satu hari dibakar dan dibuang percuma demi kebanggaan ilutif.

Kontras dengan pernyataan-pernyataan Walikota yang seolah-olah gigih membawa KK menjadi salah satu kota dengan perekonomian yang ditumbuhkan dengan baik. Tapi sudahlah, mempercayai Walikota KK yang terbukti sangat senang mendengarkan dan menikmati kata-katanya sendiri (sementara kebanyakan orang sudah sampai taraf muak), cuma memicu penyakit hati.

Sama seperti kebiasaannya memestakan sesuatu, mulai dari sekadar ulang tahun, serah-terima SK CPNS (yang dibiayai dengan duit CPNS yang mati-matian dirogoh kiri-kanan), termasuk merayakan kegagalannya meraih Piala Adipura, dengan mengerahkan PNS. Hanya PNS (dan mungkin sedikit anggota partai politik yang diketuainya) yang masih pura-pura atau mesti patuh karena takut semata.

Mengerahkan PNS untuk kepentingan di luar tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) dengan ditakut-takuti daftar hadir, menjadi kebiasaan barbar baru yang dibudayakan Walikota KK dan jajarannya. Saya tidak akan terkejut kalau satu saat PNS pun diwajibkan kerja bakti di kebun Walikota disertai ancaman harus mengisi daftar hadir.

Kalau pun yang diterima KK adalah Piala Adipura, semestinya dia adalah pesta yang diinisiasi dan dilaksanakan warga kota dengan sukarela. Pengerahan massa yang jadi kebiasaan politikus dan birokrasi di zaman orde baru (Orba), apalagi demi tujuan politik dan pencitraan, yang masih dilestarikan politikus seperti Walikota KK, akhirnya cuma melayani ego, narsisme, dan halusinasinya seorang.

Tak heran salah seorang pengirim pesan pendek ke saya menulis dengan sinis: ‘’Hari ini (Jumat, 10 Juni 2011) warga KK menonton hajatan para PNS.’’***

Friday, June 10, 2011

Kebodohan yang Mengundang Iba

BIASANYA saya jengkel terhadap orang yang tak juga mengerti duduk-soal satu masalah kendati sudah berulang kali dijelaskan dengan gamblang. Namun untuk kasus Uwin Mokodongan, saya justru jatuh iba. Hanya orang sakit jiwa yang bersuka-rela secara terbuka mengakui, mempertontonkan, dan bangga terhadap ‘’langit pikirannya’’ yang cupet.

Satu: Berbalas tanggapan dengan Anda, Uwin Mokodongan, bukanlah debat. Saya sedang berbaik hati memberi perspektif dan cakrawala dengan pemahaman bahwa Anda orang yang cukup berpendidikan dan terbuka terhadap koreksi diri. Kalau ternyata soalnya adalah keras-kerasan, sekali pun yang dipertahankan salah, ya, terserah. Yang jelas di jagat jurnalistik Anda belum, bukan, dan mungkin tidak akan menjadi siapa-siapa. Jadi tidak pula ada urusannya dengan saya.

Dua: Penggunaan bahasa adalah konvensi. Setiap orang, terutama yang teruji pengetahuan dan otoritasnya, boleh mengintroduksi satu kata baru yang kemudian penggunaannya ditakar sejauh mana dia diserap dan digunakan. Siapa Anda? Apa pengetahuan dan otoritas Anda dalam berbahasa sehingga dengan jumawa mengklaim menciptakan kata sendiri semacam ‘’alas-dasar’’? Ini contoh kepongahan sekaligus kepandiran.

Tiga: Pengetahuan menulis Anda juga sudah seberapa jauh? Saya paham bahwa media tempat Anda bekerja tidak secara khusus melatih, membimbing, apalagi secara kontinu mengajari wartawannya perkembangan jurnalistik dan tulis-menulis umumnya. Karenanya, saya tak peduli sekali pun yang Anda tulis sampah namun tetap dimuat. Di blog ini, yang bukan media umum, saya berhak mengedit apa pun yang dikirimkan orang (sikap adil saya sebaliknya adalah memuat kritik dan makian sepedas apa pun). Kalau keberatan, bikin blog dong dan kita lihat berapa banyak orang yang mau membacanya.

Sekali lagi, apa subtansi yang ingin Anda sampaikan? Saya menyarankan belajar sejarah jurnalistik biar genah, eh, yang ditulis adalah soal minor editing yang dilakukan. Kelirukah editing itu? Di mana kelirunya? Untuk konteks ‘’kuli tinta’’, kalau Anda sekadar mempertunjukkan dan mengakui kebodohan, tanpa ditulis pun Pembaca sudah tahu.

Kalau ingin menguji kemampuan, menulislah di media dengan standar ketat (untuk menyebut contoh) seperti Koran Tempo atau Kompas. Kalau mampu, hingga satu tahun ke depan, begitu tulisan dimuat saya akan mentransfer Rp 5.000.000.- ke rekening Anda.

Empat: Sama halnya dengan kata ‘’kampungan’’. Anda memang kampungan dalam arti negatifnya. Kalau ada yang menyukai kata ‘’kuli tinta’’, mengapa saya tidak boleh mencaci orang dengan ‘’kampungan’’? Tidak ada yang salah dari penggunaan kata ini, sebagaimana yang sudah saya tulis sebelumnya. Saya justru prihatin dan kasihan, karena Anda masih berusaha mendebat dengan dasar yang diraih-raih dari udara kosong. Sama dengan menuliskan bahwa beberapa penulis senior tidak lagi menggunakan kata seperti ‘’kampungan’’.

Saya ingin tahu siapa saja penulis senior itu, karena memang tidak tahu di mana harus mencari mereka. Saya kenal hampir sebagian besar penulis senior dan papan atas Indonesia; dan tahu mereka masih menggunakan kata yang bahkan lebih pedas dan sarkas dari sekadar ‘’kampungan’’. Maka, siapa penulis senior yang Anda maksudkan dan di mana saya bisa mencari mereka?

Lima: Saya sudah mengecek kembali apa yang saya tulis. Tidak ada satu kata pun yang dapat diartikan sebagai menyuruh menyalin Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) atau Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI). Yang saya sarankan adalah cek kata ‘kuli’’. Logika, oh, sekali lagi betapa payahnya logika Anda. Kok bisa, ya, lulus tes wartawan (tapi adakah pula tes itu dilakukan)?

Enam: Baca lagi dengan pelan-pelan dan resapi (juga konsultasi kiri-kanan), ‘’geer’’ yang saya maksud tidak semata sebab klaim bahwa ada komplein dari pembaca blog ini ke Anda sebagai wartawan. Itu sebabnya saya mempertanyakan pengertian Anda terhadap logika? Pun bahwa tulisan yang Anda kirimkan tidaklah ditulis sendiri, sebab alurnya tak linier dengan pilihan bahasa tak konsisten –juga banyak tanda baca yang salah tempat.

Tujuh: Pemilihan Pitres Sombowadile sebagai nara sumber karena posisinya sebagai analis politik, jelas omong kosong wartawan idiot. Secara langsung Anda menjelaskan bahwa media di mana Anda bekerja tidak punya standar nara sumber seperti apa yang layak dikutip. Bahwa wartawan seperti Anda memang tidak membaca literatur dan panduan jurnalistik yang paling dasar dan normatif.

Saya lebih menghargai bila Anda jujur sekalian menyatakan memang mendukung atau bersimpati pada pasangan Limi Mokodompit-Meydi Pandeirot. Syarat minimal seorang nara sumber adalah kompetensi dan kredibilitas. Apa kompetensi dan kredibilitas Pitres Sombowadile dalam soal analisis politik?

Delapan: Dengan berkelit dari data analisis isi (content analysis) yang saya tanyakan, Anda secara langsung mengkonfirmasi media di mana Anda bekerja tidak punya catatan dan telaah berkaitan dengan berita-berita yang diturunkan. Anak muda, keyakinan saja tidak cukup sebagai modal berdebat. Anda bawa data, maka akan saya tunjukkan data, termasuk record tulisan Anda yang sumir, spekulatif, dan sejenisnya.

Mulut besar tidak salah, tapi kalau sekadar mangap, cuma meruarkan bau abab ke mana-mana.

Sembilan: Saya dengan ini menerima tantangan Anda untuk mengajari menulis pembenihan terong dan pemijahan mujair di Buyat, bersama siapa pun. Kapan kita akan bertemu di Buyat (saya sungguh-sungguh menunggu waktunya tiba)? Agar jadwal saya tidak bentrok dengan waktu Anda, saya berada di Indonesia kembali pada tengah Juli 2011 mendatang.

Jangan lupa pula mengundang rekan-rekan wartawan lain (atau pihak mana pun yang ingin Anda bawa) yang dapat menjadi saksi supaya saya tidak dituduh berlaku curang.

Saudara Uwin, kalau Anda sekadar menggertak, saya menuntut permintaan maaf segera. Anda salah menantang orang. Ada baiknya jauh-jauh hari bersiaplah dengan data, pengetahuan, dan semua bahan pendukung pelajaran jurnalistik yang akan Anda jalani dengan saya.

Mengait-ngaitkan perdebatan tulis-menulis dengan isu yang sama sekali berbeda adalah sikap pengecut orang kepepet. Yang saya debat, serang, dan pojokkan adalah cara berpikir Anda, bukan latar belakang Anda yang seorang lay outer sebelum menjadi wartawan. Tapi kalau pun isu yang sama sekali berbeda ingin Anda campur-adukkan, saya menyambut dengan suka cita. Saya pernah menghadapi lawan debat yang tak hanya cerdas, berpengetahuan, tapi juga logis dan gigih; dan saya tidak mundur selangkah pun.***

Tanggapan Tanpa Judul

Artikel Nah, Ini Dia Wartawan Duga-Duga yang diunggah Minggu, 5 Juni 2011, ditanggapi Uwin Mokodongan dengan mengirimkan tulisan lewat email kronik.mongondow@gmail.com pada Kamis subuh, 9 Juni 2011. Subyek emailnya adalah: Untuk Bung Katamsi Lagi. Sebab saya tidak yakin apakah ini judul tulisan, maka lebih baik tanggapannya ditajuki ‘’Tanggapan Tanpa Judul’’.

Oleh Uwin Mokodongan

UNTUK Bung Katamsi lagi. Tangapan yang ketiga-kalinya, semoga ini yang terakhir.

Soal kata “alas-dasar” yang tak dimengerti apa artinya, sampai-sampai ditanya kalau dipetik dari pohon sirsak siapa (yang pasti bukan pohon sirsak di teluk Buyat), jawaban saya adalah: “alas-dasar” adalah kata “bikinan” saya yang selain bisa mempertontonkan ketololan dalam memadu dua suku kata yang artinya nyaris sama, hal itu memang cukup membingungkan orang yang tidak berpikir atau pura-pura tidak berpikir. Tapi minimal, dengan memaklumi bahwa “si empu” kata adalah saya, orang bebal atau pandir yang sok pintar atau berusaha memintar-mintarkan diri, maka urusan “alas-dasar” itu tak perlu disoal atau dibesar-besarkan. Jika itupun perlu dibesar-besarkan sebab tidak menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka biarlah itu menjadi bahan tertawaan para pembaca terhadap tulisan saya.

Akan tetapi, karena hal itu ditanyakan, maka disini saya ingin menyampaikan bahwa yang saya maksudkan dengan kata “alas-dasar” tak kurang dan tak lebih adalah arti kata itu sendiri, yakni alas dan dasar (saya kasih jeda waktu untuk tertawa setelah membaca ini). Agar bisa bikin terkakak-kakak lagi maka saya kasih contoh penggunaanya seperti yang ada didalam tulisan saya sebelumnya di Wartawan Itu Pun Kuli Tinta. Saya kutip: Soal dimana “alas-dasar” dari Bung Katamsi yang telah menempeli saya dengan anggapan yang tak main-main itu, Bung Katamsi sendiri yang paling tahu.

Kata “alas-dasar” yang saya maksud ini, boleh pembaca ganti dengan kata “alasan” atau “dasar”. Sehingga kalimat diatas bisa dimaknai atau ditulis begini: Soal dimana “alasan” dari Bung Katamsi yang telah menempeli saya dengan anggapan yang tak main-main itu, Bung Katamsi sendiri yang paling tahu. Atau, Soal dimana “dasar” dari Bung Katamsi yang telah menempeli saya dengan anggapan yang tak main-main itu, Bung Katamsi sendiri yang paling tahu.

Jika yang saya maksudkan ini tidak tepat atau salah, maka maafkan sudah membuat bingung (sudah saya akui jauh-jauh kalau saya adalah wartawan amatiran, yang semakin celaka dan menggelikan lagi sebab tolol meramu kalimat, juga distempeli tinggi hati).

Soal kuli tinta dan “laporan” Katamsi Ginano yang mengatakan bahwa sudah melakukan editing kecil dan membiarkan banyak kesalahan saya dalam menulis supaya pembaca bisa mencecap yang mana yang sungguh menguasai fundamen bahasa; mana yang hanya ingin dikesankan pintar dan hebat (tulisan miring kutipan asli), untuk ini saya sebenarnya agak menyesal. Kenapa? Sebenarnya saya berharap tak usah dilakukan editing kecil supaya semua ketololan saya dapat terpampang luas lebar dimata pembaca agar bisa mengetawai dengan luas lebar pula. Contoh editing yang dilakukan Bung—yang jujur amat saya sesali—adalah  sebagai berikut: Kemudian soal penggunaan kata kuli tinta untuk menyebut atau mengidentifikasi pekerjaan sebagai wartawan, saya merasa kalau itu adalah ‘’kesenangan’’ dalam menyebut diri, sama senangnya dengan disebut wartawan.

Padahal versi asli tulisan yang saya kirimkan adalah: Kemudian soal penggunaan kata kuli tinta yang kerap saya lakukan untuk menyebut atau mengidentifikasikan pekerjaan saya sebagai wartawan, saya merasa kalau itu adalah “kesenangan” saya dalam menyebut diri sebagai kuli tinta, sama senangnya saya disebut wartawan.

Semoga pembaca bisa membandingkanya.  Soal “insiden” editing kecil ini mungkin adalah itikad baik, yang mungkin pula bertujuan supaya pembaca mudah menyerap maksud yang saya utarakan. Maklum ada banyak pengulangan dan kata belepotan kemana-mana.

Namun pertanyaan saya adalah: Bukankah lebih baik kalau membiarkan versi aslinya supaya ketololan yang saya pertontonkan bisa terbaca orang-orang yang sempat singgah membaca? Sebab peng-edit-an yang “keliru” juga bisa menimbulkan tafsir yang salah.

Selanjutnya dikatakan bahwa istilah kampungan memang cocok disematkan ke jidat saya, meski saya sendiri agak trenyuh ketika menyadari orang se-hebat Katamsi Ginano dalam urusan jurnalistik masih suka memakai istilah kampungan sebagai kata ganti menyebut orang bebal, tolol, bodoh, atau pandir. Meski diklarifikasi bahwa konteks tulisan itu tidak merujuk pada perilaku orang kampung, tapi pada arti yang lain dari kata tersebut. Nah kalau arti lain dari Kampungan yang menurut Katamsi Ginano memang cocok disematkan ke jidat saya itu adalah bodoh, dungu, tolol atau pandir, kenapa tidak menyebut saja saya dengan istilah itu ketimbang harus mencaci saya dengan memakai kata kampungan? Katakanlah tolol kalau tolol, katakan dungu kalau dungu, tak perlu memakai kata Kampungan. Beberapa penulis senior sudah tidak mau menggunakan istilah Kampungan sebagai kata makian. Tak percaya? Bung tahu dimana bisa mencarinya.

Selanjutnya soal saya yang banyak menyalin kata di KBBI, bukankah itu saya lakukan atas dasar perintah Bung sendiri? Kok, kembali disoal?

Soal duga-duga, bukankah Bung juga bahkan nekat menduga bahwa tulisan saya adalah hasil keroyokan? Tulisan goblok begini kok hasil keroyokan? Orang tolol macam mana mau menjerumuskan diri mereka secara berjamaah dengan “penulis” tolol macam saya yang cuma bikin mereka jadi bahan tertawaan yang menjengkelkan?

Soal “geer”, saya sudah mengakui hal itu yang saya sadari pula bahwa sebenarnya sangat terprovokasi akibat kekecewaan terhadap satu-dua pembaca Kronik Mongondow —sudah pasti tidak semua pembaca—yang menuduh saya macam-macam hanya karena nama media saya bekerja di cantumkan dalam posting-an artikel di antaranya berjudul Sengketa Pilkada Bolmong: Media Amatir, Wartawan Asal-Asalan dan Hore…! Maka kepada mereka (satu dua pembaca yang binombulow) saya —secara pribadi— meminta kumpul koran tempat saya bekerja dan cari judul atau isi berita mana yang saya turunkan menghujat atau memusuhi.

Selanjutnya, mengenai Pietres Sambowadile, saya tidak mengutip yang bersangkutan sebagai Tim Pemenangan lagi dalam berita yang diturunkan, setelah pencoblosan Pemilukada 2011 usai. Hal itu saya lakukan terlebih lagi ketika tahu kubu Limi-Meydi telah mencabut gugatan di MK. Disitu saya memandang tugas-tugas Pietres sebagai Tim Pemenangan sudah selesai apalagi ketika ditemui sehari sebelum berita naik cetak, terkonfirmasi bahwa Limi-Meydi memilih “berkoalisi” dengan kubu Bersatu.

Bahwa tugas Pietres sebagai Tim Pemenangan sudah selesai, maka kala itu saya memilih menjadikan dia nara sumber dalam memberi tanggapan atau analisisnya soal kemungkinan putusan MK, dengan memandang Peitres selaku nara sumber yang saya pilih sebagai orang yang berkecimpung disebuah lembaga bernama Center of Alternative Policy (CAP) beralamatkan di Jalan Raya Wori Kilo 6 Buha, Lingkungan 2 Mapanget, Manado 95252 Telp/Faks: 0431-818635.

Ya! Saya mengutip Pietres sebagai analisis politik dimana Katamsi Ginano sudah mengatakan sendiri kalau semua analisanya ngawur dan tak ada satu pun yang tepat. Jika pemilihan nara sumber ini membuat terusik dan jengkel, termasuk yang sekarang ini mengatai saya wartawan idiot yang mengutip sumber tak kredibel dan tak jelas juntrungannya, atau pada tulisan sebelumnya menuding saya wartawan pemalas; maka sambil menyapu dada, tanggapan saya adalah, silahkan, bebaskan diri mengatai apapun kehendak Bung! saya terima. Silahkan maki saya atas salah memilih nara sumber. Maka saya pikir disini pulalah yang menyebabkan ada pembaca kronik mongondow —tidak semua pembaca— yang langsung menghujamkan tuduhan macam-macam kepada saya. Untungnya satu diantara orang itu sudah mengaku salah tafsir. Soal ini lagi, saya rasa sudah terang di tulisan pertama kali saya (Surat Buat katamsi dan Mereka Yang Dega’ Binaombulou).

Soal content analysis biarlah itu dilakukan masing-masing pihak yang memang ingin pembuktian. Saya pun sangat yakin Katamsi Ginano tentunya bisa melakukan sebagaimana yang sedang dilakukan. Kalau yakin dengan hasil sebagaimana yang diprediksikan, maka itu bagus untuk Katamsi Ginano. Tapi (ini pernyataan pribadi) saya memiliki keyakinan ada satu-dua media yang lolos dari tuduhan tersebut.

Soal citizen journalist, saya sudah tahu itu sindiran . Terlebih lagi tanggapan terbaru yang sampai membawa-bawa citizen journalist kategori ibu rumah tangga atau tukang ojek.

Kemudian, jika benar omongan yang menyatakan kalau saja Katamsi Ginano mau mengajari saya soal jurnalistik, dengan memberi tugas pertama meliput pembenihan terong dan pemijahan mujair, maka tanggapan saya adalah: Bagaimana kalau pembenihan terong  dan pemijahan mujair itu dilakukan di Buyat? Bersama orang-orang yang diduga pernah menjadi korban limbah tailing PT NMR. Jika jawabanya ya, maka dengan senang hati saya akan sangat bergairah sekali.

Simpulan saya: Bung hebat. Saya amatir bin pandir. Selesai.

Omong-omong, kata pandir yang saya temui lagi dari Katamsi Ginano membuat saya teringat Kakek saya sebelah Ibu. Tak jarang dia akan mengatai kami cucu-cucunya dengan sebutan ini ketika tak bisa mengerjakan PR sekolah, apalagi tak bisa menjelaskan arti peribahasa yang diajarinya setelah ia cukup berbusa. Kebetulan beliau adalah seorang pengajar.***