Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, June 30, 2011

Doa untuk Elvira Mokoginta

HATI saya serasa meleleh seperti malam yang turun dengan cepat. Di luar deru lalu-lalang kendaraan terdengar nyaring, tapi udara bagai digantungi senyap yang sungguh.

Saya menggigil dengan hati teraduk-aduk saat membaca serangkaian berita dugaan pemerkosaan, pembunuhan, lalu pembakaran terhadap bocah perempuan, Elvira Mokoginta (11 tahun), yang ditayang situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com/), Rabu (29 Juni 2011). Hanya ada dua kata yang seketika tercetus di benak: biadab dan terkutuk!

Elvira, anak kelima dari enam bersaudara yang lahir dari pasangan Aleng Mokoginta dan Suriati Modeong, pasti hanya kanak-kanak dengan mimpi, ingin, dan dunia sendiri; sembari memahami demi family survival dia mesti melakukan sesuatu untuk ayah-ibu dan saudara-saudaranya. Sayang membayangkan di saat anak-anak seusianya dari kalangan mapan asik bermain masak-memasak, boneka-bonekaan, gadget terbaru, berkeliling mall dan wahana hiburan modern, atau mematut teve, dia menelusuri jalanan Desa Paret, Kotabunan (Bolaang Mongondow Timur) dan sekitarnya, menjajakan kue sembari tak kehilangan dunia masa kecil.

Dengan kegembiraan anak-anak seusianya, Sabtu (26 Juni 2011) Elvira Mokoginta meninggalkan rumah orangtuanya, mengusung kue yang dijajakan dari rumah ke rumah, bahkan hingga ke kampung tetangga. Lalu dia menghilang…. Kabar yang simpang-siur datang menyatakan dia terakhir terlihat bersepeda motor bersama seorang laki-laki. Tatkala ditemukan di perkebunan Soyowan, Ratatotok (Minahasa Tenggara), Elvira sudah pralaya dengan kondisi jasad yang mematahkan hati siapa pun yang masih punya rasa.

Di situs Harian Manado Post (http://www.manadopost.co.id/), Kamis (30 Juni 2011), bermenit-menit saya menatap foto bocah berparas ayu dan ringkih ini dengan dada yang luka digenangi kepedihan. Lahir, jodoh dan mati adalah rahasia Yang Maha Kuasa, tetapi tetap saja sulit bahkan sekadar membayangkan anak perempuan yang rela dan sepenuh hati ikut meringankan beban orangtuanya ini akhirnya menanggung nasib seperti yang dia alami.

Ada setimentil personal yang mendera-mendera, tersebab saya lahir dari keluarga besar dengan hanya ada dua perempuan di dalam rumah: Ibu dan adik bungsu. Namun di tengah keluarga pula kami, sebarisan laki-laki yang semaunya bukanlah anak-anak manis sejak usia belia, lebih dari sekadar belajar memperlakukan perempuan (siapa pun dia) dengan penuh hormat dan sayang.

Sembari menjalani hari-hari di bawah disiplin dan kecerewetan Ibu, juga belakangan sifat yang sama tampaknya sukses diwarisi adik bungsu, kami meresapi kisah perempuan-perempuan Mongondow luar biasa, termasuk mitologi Inde’ Dou’ yang perkasa dari wilayah Kotabunan.

Di Mongondow perempuan bukanlah sekadar pelengkap. Di saat etnis dan komunitas lain di negeri ini masih bersikutat dengan isu-isu gender dan emansipasi, sejak masa kanak saya menyaksikan dan mengalami betapa perempuan didudukkan di posisi terhormat. Mereka bukan hanya sejajar dengan kaum lelaki, tetapi dalam banyak keluarga ibu atau saudara perempuan adalah ‘’Jenderal Besar’’ (dengan ‘’J’’ dan ‘’B’’). ‘’Bobai bi’ mongompig ko’i natong.’’

Kesejajaran dan tuntutan dijunjungnya perempuan dalam khasanah Mongondow yang paling sederhana diekspresikan di upacara pernikahan. Hanya di Mongongondow-lah salah satu harta yang biasanya disediakan mempelai lelaki (yang mampu) adalah pitou. Di masa kini kian banyak tafsir terhadap penyertaan pitou dalam mas kawin, tapi interpretasi favorit saya adalah: kalau seorang suami berani macam-macam terhadap perempuan yang dia minta menjadi istri, maka di titik yang tak tertahankan dan terkompromikan, si perempuan berhak menuntut, termasuk dengan menggunakan pitou.

Barangkali hanya di Mongondow pula dikenal budaya mogama’, yang substansinya bukan membawa anak perempuan keluar dari rumah keluarga setelah resmi menjadi seorang istri. Mogama’ adalah simbol penghormatan terhadap perempuan, yang tidak hanya diminta direlakan oleh keluarganya, tetapi juga keikhlasannya menjadi bagian dari anggota keluarga suami. Pernikahan Mongondow tanpa mogama’, sesederhana apa pun pelaksanaannya, seperti menyantap goroho goreng tanpa dabu-dabu.

Kita Pantas Marah

Sukar menggambarkan, sembari menyimak berita-berita tentang Elvira Mokoginta, apakah saya berpasrah meneteskan airmata atau mengasah parang dan turut dalam rombongan orang-orang yang tengah mendidih oleh amarah. Andai tak berpikir kita hidup di negara hukum dengan adab-adab yang mengatur perilaku manusia agar tak tergelincir menjadi segerombolan buduk, saya serta-merta bersetuju terhadap hukuman primitif: nyawa dibayar nyawa.

Dua orang laki-laki bertarung hingga salah seorang tumbang berlumur darah masih dapat dipahami sebagai tindakan bela diri, mempertahankan pendapat dan sikap, atau mungkin kekalapan sesama ‘’penaik darah’’. Tapi memperkosa seorang anak berusia 11 tahun, membunuh, dan bahkan mencoba menghilangkan jasadnya dengan membakar, tak mungkin bisa kita terima sekali pun di tengah masyarakat yang baru belajar arti beradab.

Kita semua, tak hanya orang Mongondow atau yang ada di Mongondow, lebih dari amat sangat pantas murka terhadap musibah yang menimpah Elvira Mokoginta dan keluarganya. Tanpa berpasrah, mari kita serahkan ke tangan hukum dan menuntut agar keadilan ditegakkan. Hukuman mati mungkin pantas ditimpahkan pada pelaku, tetapi biarkan itu dijatuhkan oleh hakim tanpa tekanan kemarahan massa, melainkan sebab para pengadil memang punya nurani.

Di saat yang sama saya pribadi menghatur mohon pada Yang Maha Esa, semoga Dia melapangan sorga untuk Elvira Mokoginta, bocah 11 tahun yang tak pernah saya kenal secara pribadi. Anak perempuan yang mengingatkan saya di tengah pikuk modernisasi ini betapa ada nilai-nilai luhur di Mongondow yang perlahan mungkin kian kita pinggirkan.

Saya sungguh berdoa semoga kepergiannya memberi arti dan kesadaran pada kita semua, orang Mongondow.***