Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, June 11, 2011

Adipura, Narsisme dan Manipulasi

JUMAT menjelang sore, 10 Juni 2011, saya menerima telepon dari seorang tokoh senior Mongondow. Begitu tersambung, saya langsung mendengar tawanya yang mendera-derai.

‘’Saya dengar Anda sedang menulis artikel tentang Boki Kolano, ya?’’ katanya di sela-sela tawa, lalu disambung, ‘’juga tulisan tentang Piagam Adipura yang diterima Kota Kotamobagu?’’

Mulanya saya tidak tahu kemana arah pertanyaan yang dia ajukan itu. Tapi setelah beberapa jenak, otak saya ‘’klik’’ dan turut pula terbahak-bahak. Untuk pertanyaan pertama, jawabannya: rezim pemerintah di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) yang sudah berakhir sedapat mungkin tidak saya kritisi lagi. Kalau pun ada tulisan berkenaan dengan itu, tampaknya hanya menjadi catatan kaki yang saya simpan sebagai pengetahuan saja.

Terhadap pertanyaan kedua, saya membenarkan. Apalagi sejak subuh, sebelum pukul 06.00 waktu Kota Kotamobagu (KK), saya menerima sejumlah pesan pendek dan BlackBerry Messenger (BBM) yang isinya menyoal penyambutan Piagam Adipura oleh Walikota KK dan jajarannya. Begitu matahari merekah, pegawai negeri sipil (PNS) dikerahkan ke gerbang batas kota, diambil tanda kehadirannya, demi Piagam Adipura.

Pesta Apa, Untuk Siapa?

Mempercakapkan Adipura yang mati-matian dikejar Walikota KK dan jajarannya, teringat saya pemberitaan Harian Manado Post, Selasa (7 Juni 2011), Drainase Buruk Gagalkan Adipura. Mengutip Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU), Sande Dodo, berita itu menuliskan KK gagal meraih Piala Adipura gagal mendapatkan nilai maksimal akibat buruknya penataan saluran pembuangan dan pohon peneduh.

Sande Dodo adalah salah seorang kakak kelas saya di Fakultas Teknik (FT) Sipil, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado. Selama masa kuliah saya mengenal dia sebagai sosok santun, jujur, tak banyak mulut, dan disukai karena ketekunannya. Hingga hari ini saya menaruh respek terhadap dia. Apa yang dia akui adalah kenyataan yang mati-matian tak diindahkan kebanyakan politisi dan birokrat di Bolmong, yang sudah pula melelahkan saya ingatkan berulang kali (termasuk di blog ini).

Maka tidak masuk akal sama sekali ketika KK menerima Piagam Adipura lalu Walikota dan jajarannya menggelar penyambutan (dengan melibatkan aktor utama para PNS), konvoi memacetkan sebagian besar wilayah KK, seolah telah meraih satu prestasi luar biasa (bahkan Piala Adipura sekali pun semestinya tidak perlu diarak, sebab apanya yang hebat? Memaslahatkan sebuah kabupaten atau kota memang menjadi kewajiban pemerintah). Menurut pendapat saya, Walikota KK dan jajarannya yang ikut pesta pora Piagam Adipura hanya berilusi, bahkan beramai-ramai meng-amin-kan penipuan terhadap warga KK.

Adipura hanya mengenal piala sebagai penghargaan terhadap capaian satu kota melakukan penataan wilayah agar memenuhi syarat minimal bagi keseimbangan lingkungan. Informasi yang saya terima mengatakan, ada tiga gradasi dari hasil penilaian terhadap penghargaan ini.

Pertama, peserta yang tidak mendapat piala atau piagam karena dinyatakan gugur dalam penilaian. Digugurkannya kepesertaan itu sebab ada salah satu atau lebih aspek dalam penilaian yang sama sekali tidak dapat dipenuhi. Kedua, peserta yang mendapatkan piagam karena memenuhi semua kriteria penilaian, namun hasil yang dicapai jauh dari standar. Ketiga, semua kriteria penilaian telah memenuhi standar dianugerahi Piala Adipura.

Mungkin tidak tepat, tapi Piagam Adipura itu tak beda dengan piagam yang diterima peserta pelatihan semisal kader pembibit padi unggul. Semua peserta yang ikut, mengisi daftar hadir, mendengarkan materi yang disampaikan, mengisi lembar evaluasi, mendapat selembar kertas bertulis ''piagam''. Sedang yang berhasil menyelesaikan lembar jawaban di atas standar nilai khusus, mendapat hadiah yang dari aspek prestige dianggap bernilai lebih tinggi.

Berapa usia KK sebagai satu kota, terhitung sejak dia didirikan? Masak kita patut bangga puluhan tahun kota ini berdiri dan masih gagal juga mewujudkan sosoknya sebagai satu tempat yang memenuhi syarat minimal keseimbangan lingkungan? Sudah begitu, kegagalan itu dipestakan seolah-olah gagal adalah prestasi yang pantas disyukuri. Terlebih yang dikerahkan adalah PNS, yang semestinya lebih baik diberdayakan waktu kerjanya semaksimal mungkin.

Saya memaklumi bahwa utamanya Walikota KK memang telah membuta-tuli dan menebalkan muka terhadap aneka kritik yang ditujukan, tapi di saat yang sama secara sadar melakukan penipuan terhadap orang banyak, benar-benar perilaku keterlaluan. Dengan meluaskan sedikit perspektif, selain narsis dan manipulatif, warga KK juga bisa menilai Walikota dan jajarannya memang tidak tahu kemana kota ini akan dibawa. Memacetkan kota dengan konvoi, menyita waktu produktif PNS dan warga, sama artinya dengan mengganggu perekonomian kota kecil seperti KK. Satu hari dibakar dan dibuang percuma demi kebanggaan ilutif.

Kontras dengan pernyataan-pernyataan Walikota yang seolah-olah gigih membawa KK menjadi salah satu kota dengan perekonomian yang ditumbuhkan dengan baik. Tapi sudahlah, mempercayai Walikota KK yang terbukti sangat senang mendengarkan dan menikmati kata-katanya sendiri (sementara kebanyakan orang sudah sampai taraf muak), cuma memicu penyakit hati.

Sama seperti kebiasaannya memestakan sesuatu, mulai dari sekadar ulang tahun, serah-terima SK CPNS (yang dibiayai dengan duit CPNS yang mati-matian dirogoh kiri-kanan), termasuk merayakan kegagalannya meraih Piala Adipura, dengan mengerahkan PNS. Hanya PNS (dan mungkin sedikit anggota partai politik yang diketuainya) yang masih pura-pura atau mesti patuh karena takut semata.

Mengerahkan PNS untuk kepentingan di luar tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) dengan ditakut-takuti daftar hadir, menjadi kebiasaan barbar baru yang dibudayakan Walikota KK dan jajarannya. Saya tidak akan terkejut kalau satu saat PNS pun diwajibkan kerja bakti di kebun Walikota disertai ancaman harus mengisi daftar hadir.

Kalau pun yang diterima KK adalah Piala Adipura, semestinya dia adalah pesta yang diinisiasi dan dilaksanakan warga kota dengan sukarela. Pengerahan massa yang jadi kebiasaan politikus dan birokrasi di zaman orde baru (Orba), apalagi demi tujuan politik dan pencitraan, yang masih dilestarikan politikus seperti Walikota KK, akhirnya cuma melayani ego, narsisme, dan halusinasinya seorang.

Tak heran salah seorang pengirim pesan pendek ke saya menulis dengan sinis: ‘’Hari ini (Jumat, 10 Juni 2011) warga KK menonton hajatan para PNS.’’***