Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, June 8, 2011

Terapi Kejut Penjabat Bupati Bolmong

BEGITU dilantik sebagai Penjabat Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk, Gun Lapadengan langsung membelakkan mata khususnya kalangan birokrat. Kurang dari sepekan, tanpa tedeng aling-aling dia menarik seluruh kendaraan dinas dan menata penguasaannya –sesuatu yang oleh Bupati sebelumnya pernah dilakukan tanpa hasil berarti.

Dengan gembira saya mengikuti penegakan kebijakan Penjabat Bupati Lapadengan itu sebagai terobosan tepat. Shock therapy yang menusuk langsung ke jantung ego para birokrat di Mongondow. Apalagi dia tak pilih bulu. Termasuk penguasaan kendaraan dinas Sekretaris Kabupaten (Sekab) pun tak luput ‘’disikat’’.

Don’t judge a book by the cover. Sosok Penjabat Bupati Lapadengan yang tergolong kecil dengan wajah khas ‘’orang baik’’ bisa membuat kita menyimpulkan: ‘’Ini jenis birokrat yang mudah berkompromi.’’ Kendati yang mengikuti rekam-jejaknya sebagai birokrat tahu persis Gun Lapadengan punya catatan sebagai pejabat yang mampu bertindak tegas.

Karena itu saya hanya tertawa setiap kali ada yang memperbincangkan kebijakannya dengan sinis, bahwa itu dilakukan hanya sebagai gebrakan saja. ‘’Abis itu bale ulang sama deng sebelumnya. Business as usual,’’ kata salah seorang teman yang sudah terlanjur kapok melihat praktek politik dan birokrasi di Mongondow, paling tidak 10 tahun terakhir.

Dalam pandangan saya gebrakan yang mengguncang kemapanan praktek birokrasi memang perlu dilakukan di Mongondow. Evolusi bukanlah cara yang tepat mengubah secara drastis kultur yang telah terbentuk. Pendekatan yang diambil harus revolusioner seperti kisah menejemen populer ala Sun Tzu ketika diminta mengajari baris-berbaris 100 selir kaisar.

100 wanita cantik yang disayangi penguasa tertinggi dikumpulkan di satu tempat secara bersamaan, yang terjadi adalah kekacauan. Alih-alih belajar baris-berbaris, mereka justru bergosip, tertawa-tawa, dan asal-asalan belaka mengikuti perintah pelatih. Saya bisa membayangkan tentara yang berwajah dingin dengan kumis bamplang sekali pun bakal frustrasi.

Menurut penutur kisah, sekali-dua Sun Tzu memberikan arahan dan perintah dengan lembut, lalu mulai keras dan tegas. Apa daya, 100 wanita cantik kesayangan kaisar itu tak jua mampu ditertibkan. Maka datanglah Sun Tzu ke hadapan Kaisar, menanyakan apakah dia berhak melakukan segala cara yang diperlukan agar perintah Sang Junjungan tegak sebagaimana tonggak menunjuk langit. ‘’Ya!’’ kata Kaisar.

Empunya cerita menggambarkan Sun Tzu kembali ke tengah 100 selir itu, memilih dua yang paling cantik, menjejerkan mereka di depan 98 yang lain, lalu memacung kepala mereka. Seketika itu pula pelajaran baris-berbaris berlangsung tertib dan disiplin. Tak ada satu pun yang berani melawan perintah, membuka mulut cekikikan, bahkan bergerak dalam barisan sebelum mendapat aba-aba dari pelatih.

Kisah yang populer dikutip –dengan berbagai versi— di banyak  buku menejemen itu memang ampuh. Menurut hemat saya, setelah mengurus penguasaan kendaraan dinas, terapi kejut sesungguhnya yang dilakukan Penjabat Bupati Lapadengan adalah penataan pejabat dan jabatannya yang tahap pertamanya berlangsung Senin petang (6 Juni) 2011 lalu.

Mencopot seorang Kepala Bagian (Kabag) lalu menempatkan hanya setingkat Kepala Seksi (Kasi) atau Sekretaris di kecamatan, sesuai golongan yang mereka sandang, adalah tindakan tegas yang patut didukung dan diapresiasi. Saya yakin yang dilakukan Penjabat Bupati ini menjadi dasar yang baik dimulainya era birokrasi profesional di Bolmong.

Bagi birokrat bersangkutan, pencopotan dan penyesuaian yang dilakukan Penjabat Bupati Lapadengan itu pasti menyakitkan. Namun bagi kebanyakan birokrat di Bolmong, terutama yang selama ini tidak mendapat kesempatan (walau pengetahuan, pengalaman, masa kerja, dan golongannya sudah memenuhi syarat tapi kurang pintar ‘’menjilat’’ atau bukan kerabat elit politik dan birokrasi yang tengah berkuasa) kebijakan ini adalah kabar baik yang patut disambut dengan suka cita.

Sudah lama orang Mongondow mengikuti dengan dada sesak praktek birokrasi di Bolmong yang menabrak macam-macam aturan, bahkan yang paling dasar. Penempatan pejabat di posisi-posisi tertentu dilakukan sesuka orang yang berkuasa. Alhasil, kita mudah menemukan (dan dibuat tercengang) karena seorang Camat misalnya, bisa bergolongan lebih rendah dari Sekcam. Atau golongan staf di bagian ternyata jauh lebih tinggi dari Kabag-nya. Kekeliruan ini makin menjadi karena elit birokrasi yang semestinya menjadi benteng penegakan aturan lebih sibuk menyelamatkan kursi masing-masing.

Agar kebijakan itu sinambung, saya justru mengusulkan Penjabat Bupati segera melanjutkan ke tahap-tahap berikutnya sehingga di pelantikan Bupati-Wakil Bupati (Wabup) Bolmong 2011-2016 difinitif, seluruh struktur birokrasi telah tertata sebagaimana mestinya. Kalau pun ada kawan atau kerabat yang turut terdampak penegakan aturan itu, tidaklah penting sepanjang kebijakannya adil dan berlaku umum.

Struktur yang tertata tak hanya memudahkan fungsi kontrol, tapi secara alamiah memperkuat respek dan mendorong para birokrat bekerja sesuai fungsi dan tanggungjawabnya. Bangunan birokrasi seperti ini pula yang dapat ‘’dicambuk’’ sebagai satu kesatuan utuh agar Ibukota Bolmong sesegera mungkin pindah ke Lolak, yang selama beberapa tahun terakhir cenderung terabaikan. Target Penjabat Bupati agar seluruh jajarannya sudah berkantor di Lolak sebelum pelantikan Bupati-Wabup difinitif, menurut saya tidaklah mengada-ada.

Saya tak ingin terjebak memuji Penjabat Bupati Gun Lapadengan yang masa kerjanya terlampau pendek untuk mengukur kinerja utuhnya. Namun harus diakui sejak dilantik dia mampu merumuskan prioritas dan mengeksekusi target-target kerja dengan cekatan, terencana, dan terintegrasi. Andai punya waktu lebih panjang dan mampu konsisten, saya berkeyakinan orang Mongondow bakal melihat banyak terobosan dan kejutan lain yang dia lakukan.

Di atas semua itu, semacam blessing in disguise, kita menemukan lagi potensi kepemimpinan yang bisa dipupuk demi kepentingan ke depan. Bila selama ini disebut-sebut Mongondow tak memiliki cukup banyak politisi atau birokrat berkualitas, Sekretaris Provinsi Sulawesi Utara (Sekprov Sulut) Rahmad Mokodongan dan Penjabat Bupati Bolmong Gun Lapadengan secara tidak langsung telah mematahkan asumsi itu.

Saya yakin masih banyak sosok Mongondow seperti mereka berdua yang belum tereksplorasi dan terpapar ke hadapan publik.***