Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, June 17, 2011

13 Syarat Walikota-Wawali KK 2013-2018 (III)

Tujuh: Komunikatif. Mengajari (terutama) politisi berkomunikasi sama dengan menabur garam ke air laut. Sudah menjadi pengetahuan umum modal dasar seorang politisi adalah kemampuan berkomunikasi, lepas dari apakah yang dinyatakan dapat dipegang atau tidak; benar atau salah; pun bohong atau jujur.

Namun kemampuan komunikasi saja tak cukup bila tak disertai dengan kandungan yang komunikatif. Sebagai rakyat kita kerap disuguhi monolog ngalor-ngidul berjam-jam dari para pemimpin, tanpa kita tahu apa substansi yang ingin disampaikan. Di Mongondow ‘’teater kata-kata’’ ini paling gampang dicermati dari pidato Bupati atau Walikota di pesta pernikahan dan sejenisnya, yang bukan hanya berpanjang-panjang tapi bahkan berisi ‘’curhat’’ dan keluhan tak penting. Sedemikian lamanya hingga membuat tuan rumah dan undangan sengsara disandera haus dan lapar.

Komunikatif juga tak melulu urusan bicara. Kebijakan yang diambil seorang Walikota semestinya juga dimengerti secara utuh oleh warganya. Merumuskan apa yang akan disampaikan dan cara menyampaikannya menuntut lebih dari sekadar kepintaran mengolah kata.

Delapan: Terbuka dan rendah hati. Agar seorang pemimpin komunikatif, dia harus terbuka dan bersedia berendah hati terhadap masukan, koreksi, kritik, bahkan celaan. Repotnya, makin tinggi posisi seseorang di tengah komunitasnya, harus diakui kian sulit berlaku terbuka, apalagi bila memang ada yang mesti disembunyikan rapat-rapat. Di lain pihak, juga berat bersikap rendah hati karena kesehariannya memang pongah.

Katakanlah calon-calon kandidat Walikota-Wawali KK 2013 yang bakal bermunculan tergolong sosok-sosok sombong dan pongah (orang-orang cerdas dan berprestasi secara alamiah mengandung bibit tinggi hati), saya kira masyarakat masih bisa menoleransi sepanjang mereka mampu mempraktekkan keterbukaan. Sebab sebaliknya calon pemimpin yang rendah hati tapi tak terbuka terhadap masukan, koreksi atau kritik, adalah oteriterian dalam bentuk sangat halus.

Isu Pasar Serasi adalah salah satu contoh bagaimana Walikota KK saat ini mempraktekkan kepemimpinan tertutup yang semau-maunya saja. Dalam isu ini, sekali lagi bukan keinginan memperbaiki infrastruktur ekonomi kota dan para pelakunya (para pedagang kelas menengah-bawah) yang saya kritik, melainkan caranya yang tanpa rencana matang, terburu-buru dan mengundang syak.

Sudah begitu, konsern yang datang dari segala penjuru dengan sengaja diabaikan, seolah kebijakan yang telah ditetapkan adalah firman Yang Maha Kuasa.

Sembilan: Mengedepankan kepentingan umum. Ironi yang ditemui masyarakat sehari-hari di negeri ini adalah klaim dari para pemimpin, bahwa apa yang mereka lakukan demi kepentingan umum semata. Mari kita lihat fakta paling sederhana. Mana yang lebih penting untuk warga KK: Renovasi rumah jabatan Walikota atau melengapi fasilitas umum di pasar tradisional yang dibangun di Kelurahan Genggulang dan Poyowa Kecil?

Rumah jabatan Walikota menunjukkan gengsi sebuah kota dan pemimpin serta rakyatnya. Tapi fasilitas umum yang tersedia dan dikelola dengan baik adalah harga diri seluruh penghuni kota, termasuk Walikotanya. Mengabaikan harga diri demi gengsi jelas bukan pilihan yang tepat dari masyarakat yang sadar kewajiban dan haknya.

Contoh kecil lain dari gagalnya para pemimpinan di tingkat Bupati dan Walikota mengdepankan kepentingan umum adalah kebiasaan menggunakan kendaraan pembuka jalan dan pengawal (para bocah menyebutnya ‘’ngiung-ngiung’’); walau hanya untuk pergi-pulang dari rumah ke kantor. Dengan ‘’ngiung-ngiung’’ orang banyak sedang bekerja menggerakkan ekonomi dipaksa mengalah demi kenyamanan para pemimpin, sekali pun belakangan kita mengetahui macet yang ditimbulkan ternyata hanya karena Walikota terburu-buru harus hadir di doa selamatan kerabatnya.

Sepuluh: Berkesediaan bekerjasama. Nah, aspek ini sudah terbukti amat sangat penting dijadikan catatan, utamanya terkait hubungan kerjasama antara Walikota, Wawali, Sekretaris Kota (Sekkot) dan jajaran di bawahnya. Warga KK tentu khatam mengetahui dampak hubungan buruk Walikota Djelantik Mokodompit dan Wawali Tatong Bara: tak ada kerjasama dan sinergi di antara keduanya.

Yang terjadi kemudian, pemerintahan di KK dijalankan tanpa kebijakan utuh dan sinkron yang ditegakkan bersama-sama oleh Walikota dan Wawali. Dengan menyesal kita harus menuding, Walikotalah yang tentu paling bertanggungjawab terhadap kondisi tersebut. Masak iya Wawali berulah kalau Walikota melibatkan dia dalam segala hal yang menjadi tanggungjawab mereka sebagai pasangan yang dipilih dan diamanati masyarakat KK.

Sebelas: Penghormatan terhadap bawahan. Masing-masing hanya ada Walikota-Wawali dengan ribuan birokrat yang jadi bawahan. Normatif dan alamiah bila bawahan kemudian memberikan penghormatan terhadap atasan. Sebaliknya wajib bagi atasan memberikan perhormatan setimpal terhadap mereka yang berada di bawahnya. Ini sebuah hukum timbal-balik sederhana.

Tidak perlu mencari-cari contoh rumit. Menginstruksikan bawahan menghadiri perayaan pesta HUT cucu Walikota, menyambut Piagam Adipura, bahkan perayaan Isra’ Mi’raj dengan mengisi daftar hadir di tempat, dapat menjadi contoh sederhana bentuk ketidak-pengohormatan atasan terhadap bawahan.

Misal lain yang lebih kasar adalah di saat seluruh jajaran pegawai negeri sipil (PNS) KK siap melaksanakan apel pagi, Walikota dengan mobil dinas melintas membelah barisan, berhenti dan turun tepat di tengah hidung jajaran bawahannya. Saya kira kelakuan seperti itu bukan hanya tidak mengormati bawahan, tapi bentuk pelecehan yang menyakitkan hati. Untunglah saya bukan PNS KK yang masih jerih menyambit atasan tak berotak dengan sepatu.

Dua Belas: Mampu menahan diri. Salah satu tantangan terbesar setiap pemimpin adalah menahan diri tidak terjerembab menyalahgunakan kekuasan (abuse of power). Amatan saya, setidaknya dalam 10 tahun terakhir bentuk penyalahgunaan kekuasaan paling umum di Mongondow adalah pembiaran (atau bahkan dengan sengaja didorong) kerabat dan sedulur elit politik atau birokrasi turut mengatur hajat hidup orang banyak.

Yang paling mencolok tender proyek-proyek yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang bukan diatur Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) berwenang, tapi anak, istri, adik, bahkan oknum yang sekadar keluarga dekat Walikota atau Bupati. Bisik-bisik sangat berkuasanya ‘’09’’ terhadap pengalokasian proyek di KK ke kontraktor-kontraktor tertentu (dengan sejumlah ‘’fee’’) saya yakin bukanlah sekadar rumor tak bertanggungjawab.

Pemimpin yang tidak mampu menahan diri hanya membuktikan ‘’dari sononya’’ memang rakus. Sosok seperti itukah yang ingin dipilih masyarakat KK di 2013?

Tiga Belas: Berpolitik bukan satu-satunya tujuan. Meraih kursi Walikota-Wawali adalah salah satu puncak proses dan praktek politik seorang politikus (atau mereka yang beralih menjadi politikus). Setelah itu, mereka yang terpilih selayaknya tidak terus-menerus menjadikan politik  (apalagi politicking) sebagai satu-satu cara dan tujuan.

Meletakkan berbagai aspek pembangunan kota di atas dasar politis, hasilnya adalah capaian-capaian yang bersifat jangka pendek. Terlebih kebanyakan politikus kita benar-benar menganut ‘’dalam politik kawan bisa menjadi lawan, tergantung pada kepentingannya’’. Kawan seiring-sejalan hari ini, boleh jadi besok adalah bebuyutan yang harus dilawan habis-habisan. Termasuk ide, kebijakan dan capaian yang sebelumnya digagas dan diimplementasi bersama.***