Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, June 1, 2011

Bingung CPNS Boltim

PENGUMUMAN hasil tes ulang calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2010 di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur(Boltim), Senin (30 Mei 2011), saya sambut dengan perasaan mendua. Di satu sisi ada sejumlah pertanyaan terhadap legalitasnya; di sisi lain --dengan harapan pelaksanaannya benar-benar ketat dan adil—sebagai tolok ukur rekrutmen PNS di Mongondow khususnya, di masa datang.

Pemberitaan dua media terbitan Manado yang saya baca Selasa (31 Mei 2011), Harian Manado Post dan Harian Komentar, justru membuat pertanyaan tentang keabsahan tes ulang itu kian menjadi. Harian Manado Post (NIP CPNS Boltim Tergantung BKN) eksplisit mengingatkan (di luar kekuatiran yang sudah saya tuliskan di blog ini, CPNS Cigulu-Cigulu) ada Petunjuk Teknis (Juknis) Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengadaan CPNS yang harus diindahkan. Apakah pelaksanaan tes ulang sudah sesuai Juknis tersebut?

Bila sesuai, artinya pernyataan Staf Khusus Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), JJ Lontaan, bahwa tes ulang CPNS 2010 di Boltim sah adanya, tidak perlu diragukan lagi. Namun bila pendapat ‘’sah’’ itu terlampau dini, sebab belum mendapat laporan utuh seluruh proses pelaksanaan tes, orang banyak patut mempertanyakan koordinasi, kerjasama, pegawasan, dan standar yang digunakan KemenPAN-RB dalam memperbaiki profesionalisme dan kualitas birokrasi di Indonesia.

Bagaimana pun kita harus mempercayai sesuatu yang baik hanya bisa dihasilkan dari proses yang benar. Tes ulang yang tidak sesuai kaidah, katakanlah mengabaikan Juknis Nomor 30/2007, dapat dinyatakan sah lewat pendekatan ‘’dibijaksanai’’. Kalau Boltim boleh mendapat kebijaksanaan, maka daerah lain yang berkeinginan melakukan, sudah bersiap atau bahkan sudah melakukan hal yang sama; juga berhak mendapat pelakuan setara. Tegasnya: tidak boleh ada standar ganda.

Membijaksanai adalah hak Menteri PAN-RB yang tidak bisa diganggu-gugat. Namun pengunaan hak ini secara berlebihan juga akan melawan tugas, fungsi, dan tanggungjawab yang melekat di pundak menteri dan jajarannya, yaitu menciptakan satu sistem rekrutmen PNS yang profesional, terstruktur, adil, baku, seragam, sehat dan berlaku di seluruh Indonesia.

Terlebih kalau pembijaksanaan itu diambil belakangan semata ‘’karena nasi telah jadi bubur’’. Ketidak-tahuan Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Badan Kepegawaian Daerah (BAK) Regional dan Sulawesi Utara (Sulut), termasuk Asisten III Pemerintah Provinsi (Pemprov), merefleksikan reformasi birokrasi agar menjadi lebih baik dibanding sebelumnya tidak berada di relnya. Urusan sepele, koordinasi, saja masih sulit dilakukan; artinya ketata-laksanaan (governance) yang ingin ditegakkan lewat reformasi birokrasi masih sebatas konsep ‘’indah didengar, payah dalam penerapan’’.

Dengan kebijaksanaan MenPAN-RB, EE Mangindaan, legalitas tes ulang CPNS Boltim 2010 sah adanya sejalan dengan pernyataan Staf Khususnya. Namun ‘’sah’’ dengan kebijaksanaan tidaklah menjawab kosern ada ketata-laksanaan yang dilanggar secara terang-terangan

Jangan-Jangan Cuma Pasal ‘’P’’

Di lain pihak, pemberitaan media (Harian Manado Post) bahwa 38 formasi yang kosong (karena berbagai alasan, salah satunya komputer gagal membaca lembar jawaban), formasi SMA yang umumnya dari luar Boltim, serta (Harian Komentar) ada pelanggaran di tes terdahulu –karena mesti diulang— sebab diumumkan tanpa tanda-tangan Bupati, tak kurang membingungkan saya. Tiga alasan itu, apa boleh buat, mengindikasi ketidak-konsistenan Pemkab Boltim (khususnya Bupati dan jajarannya) dalam soal CPNS.

Pertama, teknologi sekadar alat bantu. Kalau lembar jawaban gagal dibaca oleh si alat bantu ini, semestinya ada alternatif memeriksa dengan cara manual. Pakar-pakar di Universitas Negeri Manado (Unima) di Tondano yang terlibat dalam pemeriksaan lembar jawaban tentu tahu persis arti error, bug atau virus, yang bisa mengganggu kinerja komputer. Mengorbankan kerja keras seorang peserta tes hanya karena pilihan manual ditinggalkan, menurut pendapat saya adalah kekejaman yang dilakukan dengan darah dingin.

Kedua, berulang kali (di banyak kesempatan) saya mendengar Bupati Boltim, Sehan ‘’Eyang’’ Lanjar, mengemukakan keinginan memprioritaskan warga lokal khusus untuk formasi SMA. Bila benar lebih banyak lulusan luar Boltim yang namanya tercantum di pengumuman tes ulang CPNS, apa yang dinyata-nyatakan Eyang selama ini sekadar cara mengambil hati. Politik pencitraan yang sebenarnya tak perlu. Dia adalah Bupati terpilih –bersama Medy lensun sebagai Wakil bupati (Wabup)—dengan presentasi sangat siginifikan. Kini waktunya membuktikan apa yang diucapkan, bukan menambah janji yang berakhir sebagai daftar panjang yang gagal ditunaikan.

Dan ketiga, pengungkapan JJ Lontaan bahwa salah satu pelanggaran di pelaksanaan tes terdahulu karena diumumkan sebelum ditanda-tangani oleh Bupati. Kutipan dari Staf Khusus KemenPAN-RB ini seperti membuka kotak pendora.

Saya teringat olok-olok yang umum di kalangan orang muda di Mongondow. Bila seseorang mengundang kemarahan kawasan seiring, bukan disebabkan sesuatu yang sustansial, melainkan sekadar melanggar ego, biasanya di pelaku diingatkan telah melanggar pasal ‘’P’’. Pertama kali mendengar pasal ‘’P’’ ini disebut-sebut, saya segan menanyakan apa maksud dan artinya. Saya kuatir teman-teman dan adik-adik menjawab sembari memamerkan senyum lebar, bahwa, ‘’Wah, Abang kurang gaul.’’

Belakangan saya tahu pasal ‘’P’’ itu artinya ‘’pandang enteng’’. Kalau penerimaan CPNS 2010, termasuk tes dan pengumumannya, telah memenuhi kriteria minimal; dan pelanggaran terjadi sebab diketahui orang banyak sebelum Bupati bertanda-tangan, maka persoalannya hanya etika dan pasal ‘’P’’. Siapa pun yang terlibat dalam kepanitiaan penerimaan CPNS yang melakukan pelanggaran etika, pantas dihukum. Namun hasil tes yang sudah diproses dengan benar semestinya tidak gugur.

Yang repot justru pasal ‘’P’’. Pandang-enteng di mana pun selalu berekor panjang, liar, dan tak terkendali.***