Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, June 9, 2011

Genit-Genit DPR Bolmong

PENYESUAIAN pejabat dan jabatannya yang dilakukan Penjabat Bupati Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk, Gun Lapadengan, Senin petang (6 Juni 2011), dinilai keliru oleh anggota DPR Bolmong.

Saya menyimak penilaian itu lewat pernyataan anggota DPR Bolmong asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad S Mokoagow, yang dikutip situs Tribun Manado (Silang Pendapat Penyesuaian Jabatan di Bolmong, Selasa, 7 Juni 2011) dan Harian Manado Post (Mutasi Ditentang, Gun: Sudah Sesuai Pangkat, Rabu, 8 Juni 2011). Dasar yang dia gunakan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49/2008 Tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 6/2005 Tentang pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Menurut Muhammad S Mokoagow, dalam PP jelas tertuang di Pasal 132A bahwa Penjabat Kepala Daerah dilarang atas empat hal, salah satunya melakukan mutasi pegawai. Akan halnya Penjabat Bupati, Gun Lapadengan, menangkis bahwa penyesuaian yang dilakukan sudah tepat, sesuai kewenangan yang dia miliki, terutama berkaitan dengan penataan birokrasi dan strukturnya. Apalagi, hal itu juga didukung temuan Inspektorat Provinsi, kajian yang dilakukan, serta sepengetahuan Gubernur SH Sarundajang.

Tanpa pretensi mempertentangkan pendapat anggota DPR Bolmong dan sikap Penjabat Bupati, menurut hemat saya dalam dua perspektif berbeda, apa yang mereka kemukakan memiliki landasan kokoh. Muhammad S Mokoagow benar adanya bila kebijakan yang diambil Penjabat Bupati dipandang hanya dari aspek legal yang ditafsirkan dengan sangat kaku. Sebaliknya, kebijakan Gun Lapadengan valid dan berdasar dari aspek good governance (ketata-laksanaan) dan profesionalisme birokrasi.

Sedikit-banyak saya cukup mengenal Muhammad S Mokoagow , juga menaruh respek dan penghormatan terhadap sikap kritisnya. Saya berkeyakinan penilaiannya terhadap kebijakan Penjabat Bupati Bolmong jauh dari pertimbangan politik, melainkan demi menjaga Gun Lapadengan agar tetap berada di koridor wewenang yang dia sandang. Namun alangkah baiknya bila sikap kritis itu juga dilakukan terhadap aspek politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan lain di Bolmong yang nilainya jauh lebih krusial dan signifikan bagi kemaslahatan orang banyak.

Kembali pada dua pendapat bertolak belakang itu, menurut hemat saya titik temunya terletak pada penamaan kebijakan yang diambil Penjabat Bupati, yang tidak berbentuk penggantian jabatan atau mutasi, melainkan penyesuaian. Dan penyesuaian semestinya tidak bertentangan dengan kebijakan Bupati sebelumnya yang terikat pula oleh undang-undang (UU) dan turunannya, sebagaimana yang dijadikan dasar penilaian oleh Muhammad S Mokoagow.

Sebagai birokrat profesional saya yakin Penjabat Bupati Gun Lapadengan mendasarkan kebijakannya di luar pertimbangan politik. Semata pada aspek birokrasi yang memang dia kuasai. Sudah tepat pengadaian yang dia sampaikan, bahwa tatanan birokrasi yang benar juga harus mengindahkan kepangkatan dan golongan. Sungguh tidak elok, misalnya, seorang Golongan IIID dipimpin Golongan IIIC, apalagi bila pengangkatannya tidak menganut merit system, melainkan sekadar suka-suka elit yang berkuasa.

Standar Ganda DPR

Mempertentangkan lebih jauh pendapat anggota DPR Bolmong dengan kebijakan penyesuaian pejabat dan jabatannya yang dilakukan Penjabat Bupati, menurut saya justru membangunkan ‘’macan tidur’’. Masyarakat yang kian kritis dan sadar hak akan berbalik menyoal kinerja DPR Bolmong, yang jelas-jelas telah mengabaikan fungsi kontrolnya terhadap eksekutif.

Apa yang dilakukan DPR Bolmong sebagai institusi selama ini? Mereka membiarkan praktek-praktek birokrasi dilumuri korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), terbukti dari stuktur birokrasi di Pemerintah Kabupetan (Pemkab) yang compang-camping. Birokrat yang sepantasnya baru berhak menduduki jabatan Sekretaris Kecamatan (Sekcam), oleh DPR dibiarkan melenggang menduduki jabatan Kepala Bagian (Kabag). Sementara itu, ada birokrat yang golongan, pengalaman, dan kompetensinya memenuhi syarat, diparkir dan tersia-sia. Tanpa ada komentar, keberatan, atau telisikan kritis dari DPR Bolmong.

Beralasan DPR tidak bersikap kritis sebab pengangkatan dan penempatan seorang birokrat di jabatan tertentu menjadi hak eksekutif (dalam hal ini Bupati difinitif), adalah alasan yang tak masuk akal. Sama ‘’sintingnya’’ dengan DPR Bolmong juga tutup mata, mulut, dan telingga membiarkan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dilakukan dengan menabrak aturan-aturan paling normatif. Kasus CPNS yang menggantongi ijazah instant, misalnya, sudah dianggap angin lalu dan sekadar isu sepele.

Itu sebabnya DPR Bolmong semestinya mendukung sepenuh hati kebijakan Penjabat Bupti yang justru sedang membersihkan ‘’sampah’’ pesta-pora rezim yang sebelumnya berkuasa, sebelum Bupati-Wakil Bupati (Wabup) Bolmong 2011-2016 terpilih dilantik. Salah satu bentuk dukungan kongkrit adalah dengan meluaskan perspektif penilaian, bahwa kebijakan yang diambil Penjabat Bupati bersifat extra ordinary. Sebab situasi dan kondisi yang kritis, seorang Penjabat Kepala Daerah dibolehkan mengambil kebijakan khusus agar sistem dapat ditata dan dijalankan sebagaimana mestinya.

Praktek birokrasi di Bolmong yang ibarat ‘’Kapten memerintah Kolonel, Sersan boleh menghardik Mayor’’, adalah situasi dan dan kondisi khusus. Menunggu penataannya lebih lam, katakanlah setelah dilantiknya Bupati-Wabup difinitif, tak lebih dari menyia-nyiakan waktu, sumber daya, dan kesempatan. Padahal, di lain pihak, birokrasi dituntut tetap menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya dengan maksimal.

Ketimbang bergenit-genit menyoal perkara sepele, saya menyarankan DPR Bolmong menelaah dengan serius aspek-aspek krusial apa lagi yang sesegera mungkin dapat dibenahi di bawah kepemimpinan Penjabat Bupati Gun Lapadengan. Bila terpilihnya Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016 adalah era baru dengan harapan baru, DPR dapat pula memaknai sebagai kesempatan dan peluang memperbaiki kinerja mereka sebagai wakil rakyat seutuhnya. Kalau tidak juga, lebih baik seluruh anggota DPR Bolmong kelaut saja. Tidak ada gunanya mereka menyandang sebutan ‘’Wakil Rakyat Yang Terhormat’’.***