Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, June 1, 2011

CPNS Lagi? So Bekeng Pastiu!

DI PERJALANAN ke Bandara Soekarno-Hatta, Rabu (1 Juni 2011), sembari menembus kemacetan Jakarta yang memeningkan, saya mengecek jadwal anak-anak. Sama seperti saya, mereka sedang bersiap-siap melakukan perjalanan –bukan untuk liburan— dan selayaknya diingatkan menyiapkan segala sesuatu dengan baik.

Saat yang sama nomor telepon saya yang lain tak henti-hentinya ‘’menjerit’’. Kabar yang disampaikan membuat kemacetan Jakarta –yang minta ampun— kian bikin merana.

Adalah tes ulang calon pegawai negeri sipil (CPNS) Bolaang Mongondow Timur (Boltim) 2010 yang datang bertubi-tubi. Yang dikabarkan adalah syak dan curiga, tes itu tidak sebagaimana klaim dilakukan ‘’bersih, transparan, tanpa kong-kaling-kong’’. Faktanya, kata penelepon di sela-sela rutukan saya terhadap lalu-lintas yang amburadul, kebanyakan calon yang lulus tak lain kerabat para politisi dan birokrat elit di Boltim.

Reaksi pertama saya adalah mengingatkan agar tak terjebak fitnah dan duga-duga (bukankah orang yang kalah bersaing lebih mudah menyalahkan soal, pensil, komputer, atau siapa pun yang bisa dituding hidungnya). Faktanya apa? Respons yang saya dapatkan klasik dan terduga: ‘’Abang pasti belum membaca Koran hari ini, ya?’’

Di era informasi adalah senjata ampuh, ketinggalan berita adalah perkara serius (untunglah itu cuma tes CPNS. Bagaimana kalau info tsunami?). Saya pun buru-buru mengunjungi situs media cetak dan digital di Sulut. Aha, ternyata yang dimaksud adalah pemberitaan Harian Manado Post, Rabu (1 Juni 2011), BKN Siap Proses NIP: Panitia CPNS Boltim Digugat. Beruntunglah saya, sebab biasanya harian ini angin-anginan memperbaharui situsnya.

Harian Manado Post pasti tidak berspekulasi menurunkan berita bahwa ada lima kerabat panitia inti tes ulang CPNS Boltim 2010 yang lolos tes. Tapi, menurut hemat saya, yang ditulis itu bukanlah dasar kokoh menuduh panitia tes ulang bekerja dengan cara yang bengkok. Menjadi kerabat salah seorang panitia inti bukanlah aib, apalagi kalau lima orang itu memang memenuhi kriteria dan mengerjakan tes dengan baik. Yang masalah kalau mereka ternyata payah dan lulus hanya karena korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Membuktikan dugaan KKN di tes ulang CPNS Boltim 2010 tidaklah mudah. Siapa pun yang berwasangka mesti menyiapkan bukti-bukti yang lebih dari cukup dan valid. Sepanjang hanya ‘’katanya’’, saya menyarankan kita semua menerima saja sembari (untuk mereka yang gagal) menjauhkan diri dari patah hati dan keinginan memanfaatkan tali, benda-benda tajam atau racun serangga untuk mengekspresikan kekecewaan.

Isu Membosankan

Karut-marut penerimaan CPNS di Sulawesi Utara (Sulut), khususnya di Mongondow, sudah berulang kali saya tulis –hingga tingkat caci-maki. Saya pernah berulang-ulang menyoal penerimaan CPNS di Kota Kotamobagu (KK) yang bagai dihantui tuyul. Sudah pula menyindir-nyindir penerimaan CPNS di Bolmong (Induk) yang bahkan meluluskan sarjana instant kerabat politisi dan birokrat elit. Hasilnya? Hilang ditelan angin.

Padahal kasus-kasus yang diketengahkan bukan sekadar bisik-bisik, melainkan fakta telanjang yang sudah jadi pengetahuan umum, mulai dari Inde-Inde di Pasar Serasi hingga Ama’-Ama’ di litir sawah. Aparat berwenang, entah itu polisi, jaksa, DPR, Badan Pengawas Daerah (Banwasda), Badan Kepengawaian Nasional (BKN), bahkan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), justru tampak tak mengambil tindakan lebih jauh. Institusi-institusi ini majal dan juga ‘’berlalu bersama angin’’.

Mengingatkan kembali ada isu serius berkaitan dengan penerimaan CPNS, semisal yang dilakukan Komisi I DPR KK (Tribun Manado, Kamis, 19 Mei 2011, Komisi I DPRD Kotamobagu Akan Datangi Polda), justru terlihat sebagai tindakan konyol. Penerimaan CPNS KK 2009 yang diduga penuh kecurangan dan sudah diusut Polda Sulut, setelah dua tahun memang tak kedengaran juntrungnya. Saya yakin kasus ini bukan kurang bukti atau saksi, tapi sebab sesuatu yang melibatkan banyak orang dengan banyak kepentingan. Tak usah heran lebih baik kasusnya diambangkan dan semoga dilupakan bersama berjalannya waktu.

Di satu sisi saya juga trenyuh dengan sikap sejumlah mahasiswa Universitas Dumoga Kotamobagu (UDK), yang mendukung langkah DPR KK mempertanyakan pengusutan dugaan kecurangan penerimaan CPNS 2009 itu (Tribun Manado, Kamis, 26 Mei 2011). Pernyataan Zulfirawit Manggopa dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UDK dan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kotamobagu, Sunandar Sugeha, menyedihkan karena mereka masih memiliki harapan di tengah ketidak-pastian yang dipertontonkan aparat dan institusi yang mestinya menegakkan keadilan di tengah masyarakat.

Ringkasnya, kalau kasus CPNS KK yang sudah disidik Polda (bahkan ‘’katanya’’ para tersangka sudah pula ditetapkan) kini tak kedengaran lagi, jangan berharap syak dan duga-duga di tes ulang CPNS Boltim 2010 bakal punya punya jawaban memuaskan. Menjadi orang biasa di Mongondow (artinya bukan kerabat dekat politisi dan birokrat elit) memerlukan ukuran dada lebih lebar, agar hati bisa dibesar-besar dan disabar-sabarkan. Kalau tidak, siapa pun yang peduli pasti bakal terkena ‘’penyakit hati yang luka’’.

Mereka yang punya sikap dan pantang mundur sebaliknya harus menyiapkan kepala sekeras batu, ketahanan petinju kelas berat dan nyali tak sekualitas tempe atau kerupuk. Terlampau banyak tantangan dan halangan, bahkan sekadar mengingatkan bahwa politik, juga birokrasi, pada dasarnya adalah demi kemaslahatan orang banyak. Kalau sekadar kemaslahatan pribadi, keluarga, golongan, atau kelompoknya sendiri, kita lebih pantas menyebutnya sebagai barbarianism.

Tidak dengan maksud mengecilkan hati sejumlah orang yang peduli pada sumber daya manusia (SDM) berkualitas birokrasi di Mongondow, berkaitan dengan isu penerimaan, tes ulang CPNS, atau apa pun namanya, saya berpendapat: satu-satunya yang bisa dilakukan adalah mengganti para bandit yang kini menyandang jabatan pengayom dan pelayan masyarakat di Mongondow.

Masalahnya, apakah Mongondow punya ketersediaan orang-orang bersih, baik dan tegas yang akan jadi pengganti? Saya juga tidak yakin. Satu-satunya yang saya yakini saat ini adalah: isu CPNS sudah membosankan dan sebaiknya disingkirkan saja dari agenda berpikir kita. Toh apa pun yang dilakukan untuk meluruskan, tampaknya sia-sia belaka sebab kitalah yang salah memilih pemimpin, salah memilih panutan.***