Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, June 17, 2011

13 Syarat Walikota-Wawali KK 2013-2018 (I)

KENDATI kepemimpinan Walikota-Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit-Tatong Bara, baru berakhir 2013 mendatang, isu suksesi sudah memanas. Bukan hanya di tingkat percakapan warung kopi, tapi bahkan resmi di kalangan partai politik (Parpol).

Salah satu adalah pernyataan Ketua Dewan Pengurus Wilayah Partai Amanat Nasional PAN Sulawesi Utara (DPW PAN Sulut) yang juga Wawali KK, Tatong Bara, yang dipublikasi Radar Totabuan, Jumat 11 Juni 2011 (Tatong Belum Pasti Diusung PAN). Bahwa PAN sebagai partai yang memiliki peluang mengusung calon Walikota-Wawali KK di 2013 akan menggunakan mekanisme ketat dalam menentukan kandidatnya, termasuk dengan survei terhadap keinginan konstituen.

Saya mendukung dikedepankannya isu suksesi kepemimpinan di KK jauh-jauh hari. Juga bersepakat dengan PAN yang menyiapkan kandidat sedini mungkin hingga mereka yang terpilih adalah para tokoh terseleksi. Bukan sekadar politikus yang pemburu kedudukan dan uang atau petualang yang mencoba-coba peruntungan dan popularitas.

Memaknai suksesi kepemimpinan daerah dan pemilihan langsung sebagai pendidikan politik, dengan menjadikan isunya konsern seluruh elemen masyarakat, warga KK juga dapat lebih berhati-hati terhadap pencitraan sesaat yang umum dilakukan kandidat Walikota-Wawali. Pengalaman mutakhir di mana-mana membuktikan, pencitraan yang dilakukan masif dan terencana kerap hanya kilap sesaat. Setelah sang kandidat terpilih orang banyak kembali tersadar: pisang susu muda tetaplah pisang susu muda, kendati tampak telah matang karena diperam.

Kepemimpinan Walikota-Wawali KK 2008-2013 menjadi bukti bagaimana ampuhnya pencitraan sebagai alat manipulasi. Tentu masih segar di ingatan warga KK bagaimana Walikota Djelantik Mokodompit mati-matian menampilkan diri sebagai sosok religius, memahami KK dan warganya secara komprehensif, bijaksana, dapat dipercaya, berpengalaman, sederhana, peduli, terbuka, serta merakyat, demi menarik simpati konstituen. Setelah terpilih, di hari-hari ini ketika kebijakan dan tingkahnya kian konyol, masihkah ada kesan positif yang tersisa dari masa kampanye itu?

Warga KK ibarat telah memilih kucing dalam karung. Hanya mendengar ngeongnya sesaat, menjatuhkan pilihan, lalu terpaksa lima tahun terpiuh-piuh mengikuti sepak-terjang boneka kucing. Yang dibeli kucing, yang didapat boneka.

Bahkan keledai pun sesungguhnya tak pernah terperosok kedua kali di lobang yang sama. Agar warga KK tidak terantuk batu yang itu-itu juga saat memilih pemimpinnya nanti, adalah bijaksana isu ini dikedepankan sejak dini. Tentu bukan dengan menyebut nama, melainkan kriteria pemimpin yang dibutuhkan sebuah kota semacam KK.

Tantangan yang dihadapi KK --kota yang tersuruk di lembah Bolaang Mongondow, luasnya tergolong kecil, dan praktis hanya hidup dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) karena tanpa komoditas dan jasa andalan-- memerlukan pemimpin dengan kriteria ketat. Menurut hemat saya, setidaknya warga kota ini perlu mengindahkan 13 aspek utama sebagai bekal memilih pemimpin di 2013 mendatang. Kriteria itu adalah:

Satu: Visioner. Walikota-Wawali KK tidak hanya mampu memikirkan kota ini ke mana dan menjadi seperti apa lima, 10, atau 25 tahun mendatang. Mereka selayaknya menetapkan jarak jangkau pembangunan kota ini (minimal) 100 tahun ke depan (atau empat generasi berikut). Kalau sekadar memindahkan Pasar Serasi, apalagi tanpa cetak biru kota yang terintegrasi, tak usah bicara visi.

Seorang pemimpin visioner tidak bicara tentang mimpi, melainkan cita-cita berkesinambungan dan terukur. Kalau dia membayangkan KK kelak mewujud menjadi kota bisnis dan jasa, maka yang dilakukan adalah memilih prioritas-prioritas utama serta ikutannya, lalu menetapkan berapa lama dan dengan sumber daya seperti apa,setiap aspek itu bakal dicapai. Di saat yang sama, berlandas kesadaran bahwa Walikota-Wawali hanya maksimal berkesempatan memimpin KK selama 10 tahun, ditata pula transfer sejarah dan pengetahuan terhadap model kota ideal yang dicita-citakan.

Maka warga KK tidaklah menelan angan-angan, tetapi sesuatu tentang kotanya yang dibangun atas kesadaran kolektif dan terencana. Yang bukan sulap-sulapan tetapi proses panjang yang melibatkan semua pihak dengan Walikota-Wawali (siapa pun mereka dan penggantinya) sebagai inspirator dan konduktor.

Dua: Integritas dan rekam jejak. Seperti apa calon pemimpin yang akan dipilih warga KK? Seseorang yang dapat dipegang kata-katanya, yang mengatakan A sebagai A, atau sejenis pembohong yang mudah berubah dari A menjadi Z? Tidaklah sulit menakar setiap orang, baik yang saat ini berstatus incumbent atau yang akan mencalonkan diri, sebagai pemimpin KK 2013 –dan setelah itu. Dengan membuka seluruh rekam jejaknya, minimal di bidang yang digeluti, kita bisa menghindari salah pilih yang disesali selama lima tahun berikut.

Harus diakui tak gampang membedakan rampok yang bertobat atau rampok yang pura-pura bertobat. Namun di kota sekecil KK seharusnya tidak sulit bagi warganya memanggil kembali ingatan, paling tidak dalam 15 tahun terakhir, tehadap mereka yang ‘’mengklaim’’ berniat mendedikasikan pengabdian melayani orang banyak di kursi Walikota-Wawali.

Peran media, institusi masyarakat sipil, bahkan orang per orang yang peduli menjadi penting sebagai referensi integritas seorang calon. Terutama media (dan institusi masyarakat sipil) selayaknya bertanggungjawab mempublikasi hitam-putih rekam jejak para calon kandidat, yang secara tegas dipisahkan dari informasi-informasi bersifat pencitraan dan iklan.

Kita tak perlu segan mempertanyakan integritas seorang politikus, pengusaha atau birokrat yang mencalonkan diri sebagai kandidat Walikota-Wawali. Buat para calon kandidat pembeberan rekam jejaknya adalah risiko, sedang bagi konstituen mengetahui luar-dalam pilihannya menjadi ekspresi tanggungjawab terhadap kepentingannya dan kotanya ke depan.***