Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, November 30, 2016

Dugaan Pencabulan dengan Kekerasan Gaya Kabid ''Gabet'' di KK

PERISTIWA yang saya tuliskan ini baru diketahui di lingkungan terbatas. Melibatkan pejabat publik, juga seorang tokoh (tepatnya ketua) organisasi pemuda di KK, yang karena kebodohan dan ketakmampuan menahan diri, terpeleset mengaborsi karir birokrasi, sosial, dan politik-kemasyarakatannya yang tengah moncer.

Kisah yang saya yakin sebentar lagi bakal jadi gegar di BMR ini bermula pada Selasa, 29 November 2016. Pejabat publik, ASN yang menduduki kursi kabid di salah satu dinas teknis di KK, ini mengajak seorang siswi PSG meninjau sebuah proyek di Moyag. Semestinya ini urusan biasa. Kabid membimbing siswi yang praktek kerja, menunjukkan proyek terkait dengan bidang ilmu yang dipelajari anak perempuan usia 16 tahun yang ''dititip'' di dinasnya, adalah keniscayaan umum. Sekalipun dalam mobil yang digunakan hanya ada Kabid dan siswi PSG itu.

Tapi, ceritanya mendadak menikung. Di jalan, diiringi hujan yang mengguyur KK dan wilayah sekitar, Kabid melancar aksi kreatif ala om-om senang. Entah dengan alasan apa, dia terus-menerus menggengam tangan siswi PSG ini. Padahal mereka berdua ada di dalam mobil dan siswi PSG itu sudah akil baliq untuk mampu mengurusi tangannya sendiri.

Bukan hanya itu, usai menengok proyek yang ditinjau, Kabid meniupkan tawaran maut: mampir mengudap jagung dulu, kemudian jalan-jalan berdua. Dengan tangan yang tetap menggenggam lengan, dia menunjukkan gelagat dan manuver yang kian membuat ngeri anak perempuan ini.

Takut, panik, dan gemetar, siswi PSG itu mati-matian menolak iming-iming dan tawaran Kabid gabet ini dan menuntut segera pulang. Lewat ponsel, dia mengirim pula pesan ke teman lelaki dan ibunya. Apa boleh buat, pelajar yang ternyata seusia--bahkan pernah bersekolah bersama-- salah satu putri Kabid, sekitar pukul 14.00 Wita akhirnya diturunkan di salah satu ruas jalan di Kelurahan Gogagoman.

Akan halnya Kabid, mungkin karena panik, menambah daftar kesalahan dengan menjejalkan uang ke tas siswi PSG itu. Nilainya pun bukan sekadar ''pengganti ongkos bentor'' atau traktiran makan siang atasan yang peduli pada pelajar magang, sebab mencapai lebih Rp 700 ribu (termasuk selembar Rp 2 ribu).

Begitu terbebas, siswi yang ketakutan ini menghambur menemui ibunya, yang bersegera mengontak salah seorang tantenya. Mereka lalu menemui ayahnya, yang kebetulan sedang bekerja, lengkap dengan seragam instansi yang membawahi dia. Mendengar cerita dan melihat lengan putrinya yang memar membiru akibat digenggam sepenuh nafsu, ayah yang terguncang dan murka ini bersigegas menuju kantor dinas tempat Kabid berkantor.

Tak menemukan yang diburu, ayah-ibu-anak dan keluarga yang menyertai langsung menemui Kadis. Di depan Kadis, siswi PSG yang bahkan sudah berniat tak lagi meneruskan magangnya ini mengisahkan hingga detil bagaimana Kabid melancarkan jurus (yang eksplisit-impisit) mesumnya.

Tunggu dulu! Sebelum kita terpeleset menghakimi, mari diuji apakah yang terjadi antara Kabid dan siswi PSG itu adalah niatan; bukan sekadar insiden karena khilaf. Pertama, Kabid hanya mengajak terduga korban seorang untuk meninjau proyek. Artinya, jika bukan hanya siswi PSG itu yang ada di tempat dan tidak sedang disibukkan pekerjaan yang dilatihkan; maka memang sejak mula ada niat tertentu yang dikandung dalam otak Kabid.

Kedua, biru memar di tangan siswi terduga korban akibat genggaman Kabid. Ada beberapa kemungkinan: kulitnya memang sensitif; Kabid menggenggam terlampau kuat dan lama; atau akibat upaya melepaskan diri dari genggaman Kabid. Pertanyaannya: dengan alasan apa tangannya mesti digenggam? Di dalam kendaraan pula. Mereka berdua kan tidak sedang menyeberang jalan, meniti jembatan bambu, atau berdiri melongok ke dasar jurang di salah satu ruas jalan di Moyag.

Dan ketiga, apa maksud pemberian uang senilai lebih Rp 700 ribu yang dipaksa dimasukkan ke dalam tas siswi PSG itu? Kabid yang barangkali tengah terujung itu lambat menyadari, uang itu menjadi bukti ada perbuatan tertentu yang ingin ditutup-tutupi. Memangnya ke putri sendiri, yang setahu saya salah satunya sepantaran dengan terduga korban, sekali memberi uang jajan Kabid mengangsurkan jumlah sedemikian, sekalipun dia punya duit melimpah?

Karenanya, pantas jika malam harinya keluarga siswi PSG itu kemudian melaporkan dugaan pencabulan dengan kekerasan oleh Kabid yang juga tokoh organisasi pemuda di KK ini ke Polres Bolmong. LP yang terkonfirmasi bernomor STTLP/981.a/XI/2016/Sulut/Res BM, langsung ditindaklanjuti dengan visum et repertum terhadap terduga korban. Maka resmilah Kabid yang semestinya membawa-bawa sisir buat menggaruk bagian yang gabet dari tubuhnya jadi terduga tindak pidana. Terhadap anak perempuan di bawah umur mengingat usianya yang masih di kisaran 16 tahun.

Cilaka 13. Ancaman hukuman terhadap dugaan pencabulan terhadap anak-anak, apalagi dengan kekerasan, tergolong berat. Di lain pihak, Kabid yang tak kuat menahan nafsu terujungnya itu juga harus menghadapi MKE. Melihat keseriusan Pemkot KK menegakkan etika, disiplin, dan profesionalisme ASN, hampir pasti sidang MKE mendahului selesainya penyidikan di Polres Bolmong. Bahkan jikapun ada upaya sungguh-sungguh agar masalah ini diselesaikan di luar jalur hukum, Kabid sial ini tetap harus berhadapan dengan MKE.

Penegakan etika memang belum tentu sejalan dengan penegakan hukum. Setiap pelanggaran hukum sudah pasti melanggar etika. Namun, tidak semua pengingkaran etika adalah perbuatan melawan hukum. Sebagai sebuah aib, peristiwa itu adalah arang yang mencoreng kening Pemkot KK dan seluruh jajarannya. Menggerus kepercayaan bahwa lingkungan dinas, instansi, dan lembaga pemerintah di kota ini adalah tempat yang aman dari perudung seksual.

Dalam soal etik, disiplin, dan profesionalisme ASN, dugaan kasus yang melibatkan Kabid itu mirip dengan perkara yang kini merudung Kabag Ekonomi Pemkot KK, Ham Rumoroi. Menurut pendapat saya, kendati mungkin ada maaf-maafan dan penyelesaian kekeluargaan di antara para pihak yang terlibat, MKE tetap harus menyindangkan kasusnya hingga selesai dan menyampaikan rekomendasinya. Tentu bukan sekadar teguran lisan, seolah-olah masalah seperti dua jenis kasus ini setara dengan seorang ASN kedapatan buang air kecil di balik rimbunan semak di tanah kosong sekitar pusat kota KK.

Yang pasti, dua kasus yang berturutan melibatkan elite di Pemkot KK itu cukup membuat kepala Walikota dan Sekkot berdenyut lebih cepat. Khusus Kabid yang kini dijerat ulahnya sendiri, saya prihatin dan menyesalkan. Dia telah membunuh karir birokrasi, sosial, juga politik-kemasyarakatannya. Siapa lagi yang mau diasosiasikan dengan terduga pencabul, dengan kekerasan pula? Apalagi jika dalam proses hukum dugaan ini terbukti kebenarannya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Gabet: Gatal Bete; Kabag: Kepala Bagian; Kabid: Kepala Bidang; Kadis: Kepala Dinas; KK: Kota Kotamobagu; MKE: Majelis Kode Etik; Pemkot: Pemerintah Kota; Polres: Kepolisian Resor; PSG: Praktik Sistem Ganda; Sekkot: Sekretaris Kota; dan SMK: Sekolah Menengah Kejuruan.

Tuesday, November 29, 2016

ASN Residivis dan Janji Walikota KK

WARTAWAN Radar Bolmong, Harry Tri Atmojo, menulis tentang raskin (hak orang tak mampu) yang dibisniskan. Tulisannya mengundang berang Kabag Ekonomi Pemkot KK, Ham Rumoroi, yang lalu main caci, bahkan nyaris melayangkan bongkuyung.

''Drama'' yang berkulminasi di Gedung DPRD KK, Kamis, 24 November 2016, itu, mengundang puluhan wartawan di BMR menggelar unjuk rasa. Senin, 28 November 2016, mereka berombongan menggeruduk Kantor Pemkot, menyampaikan setidaknya tujuh tuntutan, antaranya: pencopotan Ham Rumoroi dari jabatannya, permintaan maaf terbuka dari Kabag Ekonomi ini, hingga rencana memproses kasusnya ke ranah hukum.

Mengikuti rangkaian peristiwa itu, pelajaran yang kembali diingatkan di benak adalah pentingnya solidaritas di antara sesama profesi. Tindakan para pewarta yang bereaksi keras terhadap cacian, ancaman, dan tindakan yang mengarah pada kekerasan fisik oleh Kabag Ekonomi, bukanlah tentang seorang Harry Tri Atmojo yang kebetulan berprofesi pewarta. Yang mereka lakukan adalah ihwal menegakkan profesi dan profesionalisme.

Dari itu, menurut hemat saya, para jurnalis di BMR kini sedang menata ulang laku dan profesionalisme mereka. Mengikatkan kembali makna profesi dan solidaritas, sekaligus--bila tak hati-hati--manautkan simpul yang mengekang ruang gerak mereka sendiri. Sebab jika Harry Tri Atmojo wajib dibela saat menjalankan profesinya, karena memang tidak melakukan kesalahan apapun; sebaliknya bila ada wartawan yang laku profesionalnya tercela, juga mutlak diluruskan oleh sesama jurnalis. Solidaritas profesional, sejatinya, memang demikian. Dia berlaku ke luar, sekaligus juga ke dalam.

Setelah sekian lama menjadikan pewarta, laku, dan produk-produk profesional mereka di BMR sebagai amunisi kritik dan celaan, kali ini saya tak segan berendah hati memuji pembelaan komunal terhadap Harry dan profesi kewartawan itu. Keguyuban mereka, bila dipertahankan dan dipupuk, bakal menjadi kekuatan yang pengaruhnya sungguh-sungguh mesti diperhitungkan. Seorang wartawan profesional saja sudah membuat jerih, apalagi jika jumlahnya puluhan dan semuanya bersetia dalam kelompok.

Di lain pihak, respons Pemkot KK terhadap aksi para wartawan juga patut diapresiasi tinggi. Bukan sebab jurnalis adalah ''profesi kelas istimewa'', melainkan isu yang kali ini mereka kedepankan memang mendesak ditangani. Kemendesakan itu ditunjukkan Sekkot, Tahlis Gallang, yang langsung menemui para pengunjuk rasa, berdialog, dan menjanjikan langkah-langkah sebagaimana mestinya. Yang pertama-tama, seperti yang dapat dibaca dari berita-berita yang diunggah hampir seluruh situs berita di BMR, adalah sidang kode etik ASN yang digelar hari ini, Selasa, 29 November 2016.

Tak berhenti pada Sekkot. Walikota, Tatong Bara, yang sedang menghadiri acara lain bahkan bergegas kembali dan menggelar pertemuan dengan para pengunjuk rasa di Rudis, didampingi Sekkot dan Kabag Humas Pemkot, Aljufri Ngandu. Dalam pertemuan ini, selain menyampaikan permohonan maaf atas perilaku tercela Kabag Ekonomi, Walikota  menegaskan tidak akan melindungi ASN sok preman, juga menjamin akan mencopot Ham Rumoroi dari jabatannya.

Gerak cepat dan ketegasan Walikota dan Sekkot segera mendinginkan tensi tinggi akibat ulah Kabag Ekonomi. Spekulasi dan rumor bahwa Ham Rumoroi tak bakal goyah sebab punya backing adik kandung yang anggota DPRD KK, juga terpatahkan. Kalaupun ada syak yang diam-diam masih diperbincangkan, barangkali cuma duga-duga yang memercik begitu saja, semacam, ''Jangan-jangan dicopot dari Kabag tapi justru jadi sekretaris dinas.''

Dengan berbaik sangka dan percaya pada integritas dan kualitas kepemimpinan Walikota dan Sekkot, saya meyakini Pemkot KK tak bakal mengorbankan kepentingan kepercayaan publik dengan tunduk--kalaupun ada--pada tekanan politik. Mau seorang ASN di-backing satu DPRD KK, yang lancung tetap saja lancung. Dia semata kanker yang harus dipotong dari tubuh birokrasi yang sehat, profesional, dan berpihak pada kepentingan orang banyak.

Tapi wasangka seperti itu wajar belaka. Sudah menjadi pengalaman orang banyak, politik yang ikut campur dalam urusan profesionalisme birokrasi, kerap menjungkir-balikkan akal sehat publik. Rekam jejak Ham Rumoroi, misalnya, jika tak salah info, dari seorang pendidik (guru), melompat jadi lurah, kemudian naik ke kursi Kabag. Apa Pemkot KK kekurangan sarjana ekonomi? Kalau demikian adanya, prioritaskanlah penerimaan ASN berikut untuk sarjana ekonomi, apalagi KK sudah mencanangkan 2017 adalah Tahun Investasi.

Dalam perkara raskin, reputasinya juga tak bagus-bagus amat. Beberapa pewarta yang menggeluti jurnalistik lebih 10 tahun terakhir di BMR menutur, saat jadi Lurah Mongondow, Ham pernah terseret-seret isu yang kurang-lebih sama. Termasuk pula terlibat silang-selisih dengan wartawan karena pemberitaan yang tak berkenan di hati dan perasaannya.

Contoh laku bengkok Ham Rumoroi yang bagai puncak gunung es, pelan-pelan terbuka, termasuk dengan kesaksian Kano Tontolawa, wartawan salah satu media cetak regional, yang dikutip totabuan.co, Minggu, 27 November 2016 (http://totabuan.co/2016/11/kabag-ekonomi-kotamobagu-ternyata-sudah-pernah-ancam-wartawan/). Akibat pemberitaan netralitas ASN yang haram terlibat politik praktis, Kano mengaku diancam oleh Ham dan ditakut-takuti rekornya yang sudah 12 kali masuk bui. Lho, apa-apaan dengan Pemkot KK? Residivis, kriminil kambuhan, kok bisa jadi Kabag? Atau jangan-jangan dia jenis bajul biongo yang gampang masuk kerangkeng karena modusnya kacangan.

Sangkarut Ham Romoroi-Harry Tri Atmojo-para jurnalis, pada akhirnya merasuk hingga ketatalaksanaan pemerintahan di KK. Bahwa, sebagaimana yang diutarakan Walikota Tatong Bara, jajarannya punya niat dan itikad baik memperbaiki seluruh sistem dan orang yang terlibat di dalamnya, patut didukung dengan kontribusi dan sumbang saran nyata. Misalnya, dengan mendorong Pemkot KK mengadopsi best practices dari sektor bisnis seperti adanya saluran formal pelaporan pelanggaran (whistleblower) dan mekanisme keluhan (grievance mechanism).

Pelaporan pelanggaran memberikan akses yang terjamin kerahasiannya, dimaksudkan agar ASN, mantan ASN, atau anggota lembaga/institusi/organisasi di jajaran Pemkot dapat bebas melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan. Dan mekanisme keluhan, yang sifatnya hukum dan non hukum, boleh digunakan oleh siapa saja yang memiliki aduan, sengketa, atau keluhan terhadap Pemkot dan jajarannya. Mekanisme keluhan ini juga dikenal sebagai ''mekanisme akuntabilitas''.

Adanya saluran formal seperti itu juga penting demi menunjukkan keseriusan Pemkot KK terhadap komunikasi dan transparansi, sebagaimana--antaranya--diamanatkan UU No. 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Urun-rembuk semua pihak yang berkepentingan terhadap KK bukanlah mencampuri wewenang, tanggung jawab, kewajiban, dan hak Walikota dan jajarannya. Itu, jika terjadi, adalah ikhtiar agar sebuah pemerintahan maslahat, yang hasilnya adalah kabar baik dan optimisme hari ini dan di masa depan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Kabag: Kepala Bagian; KK: Kota Kotamobagu; Pemkot: Pemerintah Kota; Raskin: Beras (untuk orang) Miskin; Rudis: Rumah Dinas; Sekkot: Sekretaris Kota; dan UU: Undang-undang.

Sunday, November 27, 2016

Buruk Kinerja, Kabag Mencaci Wartawan

DUA hari berturut saya membaca ada perlakuan buruk terhadap jurnalis di BMR. Peristiwa ini tampaknya dianggap hal biasa oleh kalangan pewarta di daerah ini. Penjelajahan sekilas saya, dari hampir 40 situs berita yang menjamur di wilayah Mongondow, hanya dua yang menyiarkan isunya.

Padahal, kejadian itu bisa jadi indikator penting perilaku dan profesionalisme media dan pewartanya. Persepsi dan respos sumber berita. Dan, yang tak kurang penting, dampak masifnya kerja sama sumber berita-media-wartawan yang belakangan dibudayakan di BMR.

Menukil totabuanews.com, Kamis, 24 November 2016 (https://totabuanews.com/2016/11/oknum-pimpinan-bess-finance-kotamobagu-hambat-tugas-wartawan), kejadiannya melibatkan wartawan (cetak) Media Totabuan, Albar Manoppo, dan pimpinan Bess Finance Kotamobagu, Herman Dwi Sriyono. Akarnya, urusan konfirmasi dugaan dipersulitnya konsumen oleh Bess Finance yang rencananya bakal diberitakan Media Totabuan.

Perlakuan buruk pimpinan Bess Finance terhadap wartawan, tulis totabuanews.com, adalah mengusir paksa dan bahkan membanting telepon genggam Albar Manoppo. Namun, alih-alih menulis lebih jauh upaya Media Totabuan dan wartawan yang jadi korban dalam menjalankan kewajiban dan hak jurnalistiknya, situs berita ini justru ''jalan-jalan ngawur'' dengan mengutip komentar Ketua PN Kotamobagu, Romel Fransiskus Tampubolon. Apa urusannya Ketua PN dengan isu yang masih di tingkat awal ini?

Sengketa yang melibatkan jurnalis dan sumber berita, terlebih dalam isu Albar Manoppo-Herman Dwi Sriyono, pertama-tama harus dibawa ke internal yang menugaskan Albar. Medianyalah yang memutuskan akan lanjutkan ke tingkat apa tindakan yang dianggap menghalangi kerja pewarta itu. Apakah cukup dengan tetap memberitakan isu dipersulitnya konsumen Bess Finance dan ganti rugi ponsel (itupun kalau ada kerusakan); advokasi melalui organisasi profesi (PWI, AJI, dan lain-lain) dan Dewan Pers; atau tindakan hukum melalui kepolisian.

Sebab saya tak mengikuti pemberitaan Media Totabuan dan totabuanews.com juga hanya berhenti pada pemberitaan peristiwanya saja, tidak tertutup kemungkinan dua pihak yang terlibat sama-sama keliru. Albar Manoppo bisa jadi memang petantang-petenteng saat menjalankan profesinya (dan ini juga hal biasa yang gampang ditemui dari para wartawan di BMR); sebaliknya Herman Dwi Sriyono bersikap keterlaluan semata-mata karena terprovokasi.

Wartawan pintar, berpengetahuan, terlatih, dan terampil justru amat bahagia jika diperlakukan tak senonoh oleh sumber berita. Apalagi jika isunya tergolong ''syur''. Sumber berita tak ingin berkomentar, berlaku kasar, adalah obyek berita yang berwarna dan gurih.

Isu yang sama, perlakuan tak pada tempatnya terhadap jurnalis, saya baca lagi di bolmora.com, Jumat, 25 November 2016 (http://www.bolmora.com/2016/11/25/oknum-pejabat-pemkot-bersikap-arogan-kepada-wartawan-harry-dia-memaki-saya-sebanyak-empat-kali/), yang melibatkan Kabag Ekonomi Pemkot KK, Ham Rumoroi, dan wartawan Radar Bolmong, Harry Tri Atmojo. Muasalnya berakar dari berita Raskin Dibisniskan yang ditulis Harry dan dipublikasi Radar Bolmong pada Kamis, 24 November 2016. Salah satu sumber yang dirujuk dalam berita ini (di antara beberapa sumber) adalah Kabag Ekonomi.

Jika ditelisik dengan kacamata netral, dari seluruh aspek jurnalistik, berita Raskin Dibisniskan baik-baik saja. Rekam jejak Harry Tri Atmojo sebagai wartawan, sekalipun saya banyak menyimpan kritik terhadap Radar Bolmong, juga tergolong bagus. Dia, sepengetahuan saya, adalah satu dari sangat sedikit jurnalis di BMR yang telaten dan cukup cermat dalam meliput dan menulis berita.

Maka, apa yang dilakukan Kabag Ekonomi, di tengah orang banyak, di Kantor DPRD KK sesaat sebelum pelaksanaan rapat paripurna pada Jumat, 25 November 2016, adalah tindakan yang 100% hina. Kabag jenis seperti ini memang harus segera ditindak atasan langsungnya, ada atau tidak keberatan dari Harry Tri Atmojo, Radar Bolmong, komunitas pewarta di BMR, atau bahkan organisasi profesi kewartawanannya. Apalagi, ternyata Kabag Ekonomi ini tergolong doyan nantang adu otot. Selain Harry, dia tercatat pernah berselisih dengan seorang Kadis di lingkungan Pemkot KK.

Saya jadi bertanya-tanya, benarkah proses penunjukkan pejabat di posisi strategis di KK dilakukan sebagaimana tata laksananya, termasuk fit and proper test? Kok bisa ada ASN dengan perilaku tidak terkontrol, jauh dari matang, menduduki jabatan setingkat Kabag di jajaran Pemkot, yang mensyaratkan kemampuan memenej diri dan perilaku dengan ketat?

Andai saya berada di posisi Sekkot KK sebagai atasan langsung Kabag Ekonomi, yang saya lakukan terlebih dahulu adalah mencopot ASN sialan itu, bahkan sebelum ada pemeriksaan resmi. Bukti apa lagi yang diperlukan jika perbuatan tercelanya dilakukan terbuka di ruang publik seperti Gedung DPRD? Bila seorang Kabag dengan congkak dan seenaknya memperlakukan profesional yang tidak berada di bawah wewenangnya seperti itu; maka yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban langsungnya pasti ditangani dengan cara lebih buruk lagi.

Tapi memang, kerja sama Pemda-media (pemberitaan, iklan, dan lain-lain) di BMR berdampak buruk dua arah. Pemda dan jajarannya, terutama para elit ASN, mempersepsikan media dan wartawan harus menulis yang baik-baik saja; sebaliknya wartawan dipaksa dan terpaksa mesti menjaga kepentingan kerja sama medianya. Keluar terlampau jauh dari persepsi ''kerja sama'', media yang bersangkutan akan kehilangan sumber dana; atau--yang sangat buruk--wartawannya dianggap pihak yang bersalah karena melanggar kesepakatan aliansi.

Para Bupati/Walikota dan jajarannya di BMR (terutama para elit ASN) barangkali lupa, berita yang memerahkan kuping seperti Raskin Dibisniskan justru patut disyukuri sebagai bukti para jurnalis peduli terhadap profesionalisme ASN dan ketatalaksanaan pemerintahan. Seorang Kabag Ekonomi yang diberitakan terkait ''permainan kotor'' di bidang kerja di bawah wewenang, tanggung jawab, dan kewajibannya, semestinya memberikan pujian dan respek setinggi-tinggi pada sang jurnalis. Mohon maaf, tapi berita seperti itulah yang menyelamatkan pantatnya dari kudis penyalahgunaan dan kursinya dari kebakaran inkompetensi.

Bila faktanya Kabag Ekonomi Pemkot KK ternyata mencak-mencak, mencaci dan (bahkan) menantang wartawan adu jotos, Sekkot patut mengusut dan menyelesaikan bukan hanya peristiwa di Gedung DPRD KK itu. Harus pula dikuak hingga ke akar perkaranya, yakni kinerja Kabag Ekonomi dalam mengurusi raskin yang diduga dibisniskan. Sebab pasti bukan tanpa alasan hingga dia kebakaran jenggot dan mencak-mencak mirip kerbau gila.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AJI: Aliansi Jurnalis Independen; ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Kabag: Kepala Bagian; Kadis: Kepala Dinas; KK: Kota Kotamobagu; Pemda: Pemerintah Daerah; Pemkot: Pemerintah Kota; PN: Pengadilan Negeri; Ponsel: Telepon Selular; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; Raskin: Beras (untuk orang) Miskin; dan Sekkot: Sekretaris Kota.

Sunday, November 20, 2016

Argumen Debat Kusir Belatung Pemakan Bangkai

SABTU sore, 19 November 2016, di tengah keasyikan belajar bersama menulis berita dengan sekitar 54 wartawan se-BMR, saya disodori tulisan yang baru diunggah Pitres Sombowadile di fb-nya. Saya hanya menengok sejenak dan mengatakan pada wartawan yang mengansurkan layar teleponnya, ''Saya tidak berniat menurunkan derajat kewarasan membaca omong-kosong yang diberi titik-koma.''

Saya tetap pada sikap itu kendati beberapa orang mengirim SMS, BBM, dan WA, menganjurkan saya membaca karena--menurut mereka--ada wilayah sangat pribadi yang sudah dilanggar. Terhadap Pitres, dengan kekalapannya yang--meminjam frasa Goenawan Mohamad di Majalah Tempo Edisi Senin, 14 November 2016)--, cuma kodok yang mencak-mencak di bawah tempurung, saya sudah berada di taraf kasihan. Kalau menyerang saya pribadi bisa mempertahankan belanganya di Mongondow, saya ikhlaskan saja. Orang cari makan, bagaimanapun cara dan kelicikannya, harus diberi ruang hormat. Keluarga saya dengan ketat mengajarkan: di atas meja makan yang pertama diletakkan adalah ikhlas dan syukur.

Dia, dengan kondisi dan kenyataan hari ini, hanya orang yang berupaya ''mencari tanah air'' agar tetap punya pekerjaan. Di daerah mana lagi di Sulut Pitres diterima dengan tangan terbuka, boleh sedikit membusungkan dada? Wilayah terakhir di provinsi ini di mana sebagian orang, anehnya, masih percaya terhadap bualan dan bohongannya, adalah satu-dua kabupaten di BMR. Atau, tepatnya bukan skala kabupaten, melainkan satu-dua elite yang memang kepintarannya juga pas-pasan atau malah sedikit di bawah nilai minimal untuk lulus.

Kalau akhirnya saya bereaksi, karena Minggu sore, 20 November 2016, saat dalam perjalanan ke rumah salah satu adik (kandung), tiba-tiba istri saya menelepon dan bertanya, ''Ngana pernah menyinggung Pitres pe istri deng anak-anak pa ngana pe tulisan?'' Tentu saja tidak. Dalam hidup ada beberapa prinsip yang saya anut tanpa tawar-menawar, antaranya: tidak akan menilai seseorang dari ''isi dan perilaku isi celana dalamnya''; tidak akan meremehkan orang berdasarkan orientasi seksualnya; dan tidak akan menyeret-nyeret urusan yang sangat pribadi ke ruang publik.

Tidak sependapat dengan siapapun, yang akan saya serang adalah cara pikir dan perilaku yang menjadi manifestasi dari pengakuan pikirnya. Dia bodoh, maka yang akan saya luluh-lantakkan adalah kedunguan pribadinya. Dia sok jago, padahal cuma belatung pemakan bangkai, yang saya aduk adalah laku parasitnya. Saya berupaya tidak akan melangkah, apalagi menyentuh, wilayah di mana ada istri, anak-anak, kakak-adik, dan orangtua bertahta.

Pitres telah dengan sengaja, sebagaimana dia melecehkan budaya Mongondow, menginjak mandala terlarang itu.

Tapi, saya tidak akan terpancing dengan bunga-bunga dan kembang-kembang, yang semata hanya cara orang kalap yang kehilangan fondasi rasional, logis, dan--bahkan--ilmiah dalam berdebat. Untuk urusan bunga dan kembang tanpa menyentuh substansi yang diperdebatkan, saya sarankan pada Pitres, buka saja toko kembang atau salon kecantikan. Tidak usah pura-pura berilmiah dengan argumen debat kusir.

Pangkal soal perdebatan kami adalah bahasa Mongondow, budaya Mongondow, budayawan, dan konteks yang menyertainya. Maka dalam soal YaYa, yaya, yaya', dan bure yaya, tanpa memedulikan tulisan terakhirnya yang (menurut seorang kawan yang kecerdasan dan kemampuan menulisnya sangat bagus dan paham Mongondow) jauh dari subtansi, saya kembali mengajukan pertanyaan paling sederhana (semoga otak Pitres yang katanya hebat itu paham): (1) Dia menguasai bahasa Mongondow atau tidak?; (2) Dia menguasai budaya Mongondow atau tidak?; (3) Dia budayawan dengan keahlian pada budaya apa dan yang mana?; dan (4) Dia memahami atau tidak konteks dan penggunaan kamus bahasa Mongondow yang dia klaim?

Menghindari yang palsu-palsu, plastik-plastik, bual-bual, dan dusta, saya bantu Pitres untuk menjawab. (1) Dia tidak menguasai bahasa Mongondow. Punya setumpuk kamuspun, hasilnya adalah hanya tahu kata, bukan bahasa dalam pengertian yang digunakan berkomunikasi oleh manusia Mongondow. Lagipula, dengan sok mengutip Dunnebier, memangnya Pitres bisa bahasa Belanda?; (2) Dia tidak menguasai budaya Mongondow. Makanya, hingga lebaran kudapun, Pitres tidak akan paham falsafah mototompia-an dan nafas utamanya, mo-o-aheran; (3) Dia bukan budayawan. Dia justru duafa budaya yang galau menggelandang mencari suaka budaya; dan (4) Dia tidak memahami konteks dan penggunaan kamus bahasa Mongondow yang dia klaim. Seperti orang belajar bahasa Inggris yang tersesat di frasa I've been lost if I lost you.

Karenanya, jangan cuma kamus, bawa ke sini penulis kamus yang dirujuk Pitres dan saya siap mendadah beda yaya dengan yaya'. Seluruh penutur (native) Mongondow yang cukup ''makan abjad dan tanda baca'' tahu persis bahwa salah satu kesulitan terbesar menuliskan bahasa Mongondow adalah meletakkan tanda baca pada setiap kata. Yaya dan yaya' adalah contoh paling nyatanya. Orang Mongondow mana yang bersedia bunuh diri budaya dan menyatakan dua kata ini berarti sama? Orang Mongondow mana pula yang tidak mau mengakui bahwa Ama' i Yaya berarti ayahnya Yaya dan Ama' i Yaya' adalah makian untuk seseorang ayah. Apalagi bure (i Ama i) Yaya.

Tanpa terseret-seret turut jadi pembual dan pendusta payah yang membela diri dengan serangan personal, saya mau bilang ke Pitres: saya adalah salah satu cucu kesayangan dari Bua' Eta, yang sejak balita sudah memainkan kamus Mongondow dan hampir seluruh buku yang ditulis Dunnebier layaknya mobil-mobilan di satu rumah besar berisi banyak sekali literatur bahasa Belanda di Kopandakan. Di masa dewasa, apalagi setelah bekerja di luar Sulut dan terpapar lebih banyak pengetahuan budaya dan sejarah Mongondow, pulang dan menyodorkan buku-buku berbahasa Belanda ke Bua' Eta untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia, berdiskusi berjam-jam, adalah rahasia yang sedapatnya saya pendam dari pengetahuan publik.

Bukan karena malu dan jengah jadi Mongondow. Tapi, bagi saya pribadi, itu kebanggaan dan hormat yang tinggi seorang cucu untuk Neneknya. Sama dengan menemui Bua' Emmy, putri Raja Bolmong dan adik kandung Raja Bolmong terakhir, yang dengan takzim saya sapa ''Nenek Emmy''. Hingga mangkatnya beberapa waktu lalu, tidak banyak di antara para cucu atau yang diakui cucu, yang boleh duduk dan bersandar di pahanya, mendengarkan langsung tuturan budaya dan sejarah panjang Bolmong dari tangan pertama. Saya adalah salah seorang di antara yang langka itu, yang boleh menyandarkan kepala yang Anda anggap kosong ini, di pahanya.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan tetap fokus pada isu yang jadi duduk-soal. Bual-bual dan dusta Pitres, yang bahkan mengarang-ngarang urusan personal antara saya dan istri, tidak perlu saya layani karena cuma menista keberadaban yang saya yakini.

Pitres, saya beri tahu saja ya, pengetahuan yang Anda punyai tentang Mongondow, dengan klaim budayawan, kini jadi bahan tertawaan gurih di kalangan yang paham persis daerah ini, budaya, sejarah, dan manusianya. Kami sangat menikmati itu. Di saat masyuk menunjukkan betapa lucunya dungu yang bebal, Pitres lupa menengok kiri-kanan, mengecek depan-belakang, bahwa diam-diam begitu banyak orang Mongondow yang terbukti diakui pengetahuan budayanya, bahkan di dunia internasional.

Saya sebutkan dua saja. Pertama, Dekan FIB UI (yang mencakupi Departemen Ilmu Arkeologi; Departemen Ilmu Filsafat; Departemen Ilmu Kewilayahan; Departemen Ilmu Linguistik; Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi; Departemen Ilmu Sejarah; dan Departemen Ilmu Susastra), Ph.D yang makan sekolah di Harvard University (ini universitas terkemuka dunia yang berada di Boston, AS, bukan di kusu-kusu belakang Kopi Korot) dan Murdoch University di Perth (kota di Australia Barat di mana keluarga kami pernah cukup lama bermukim). Orang pintar ini saya sapa ''Om'' dan baru dua bulan lalu bercakap-cakap lama dalam sebuah perjamuan keluarga, adalah juga putra bungsu Nenek Emmy. Dan kedua, seorang perempuan lulusan Sorbonne (Paris) yang namanya dapat ditelisik di Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie. Asal tahu saja, perempuan ini saya sapa ''Mama'' (sebagaimana Ibu kandung saya), yang dengan senang hati selalu meluangkan waktu kami boleh bertukar cerita kapan saja.

Nah, Pitres, supaya sebuah debat bermutu dan memberi pencerahan; bukan sekadar narsisme orang yang butuh perhatian, tepukan good job, dan puja-puji dari segerombolan idiot konyol pemberi jempol di status fb; coba bawa ke sini rujukan manusia yang terbukti kepakaran budayanya (lebih baik lagi budaya Mongondow) atau literatur ilmiah yang mendukung pikiran dan omong kosong Anda tentang Mongondow. Saya sih sejak remaja sudah siap. Entah Anda, yang saya tahu pasti tengah gelisah-galau-merana karena tertangkap tangan ternyata cuma pengigau tunjung pande soal Mongondow.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AS: Amerika Serikat; Balita: Bawah Lima Tahun; BBM: BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang Mongondow Raya; FB: Facebook; FIB: Fakultas Ilmu Budaya; Ph.D: Doctor of Philosophy; SMS: Short Message; Sulut: Sulawesi Utara; UI: Universitas Indonesia; WA: WhatsApp.