MINGGU siang, 13 November 2016, saya mendapat kiriman tulisan (lagi) yang
dipublikasi Pitres Sombowadile, yang tampaknya diunduh dari akun fb-nya.
Sebab--sebagaimana yang sudah saya sampaikan--mutu tulisannya menyedihkan, payah
struktur, miskin idiom, dan duafa logika, membuat saya sama sekali tak
berkehendak membaca. Tidak pula peduli apa isinya.
Akan halnya tulisan-tulisan yang saya
publikasi di blog ini, memang tidak
ditujukan untuk otak recehan. Hanya mereka yang berakal sehat, cukup cerdas,
punya nalar baik dan logika runut, serta kelapangan dada menimbang benar-salah
atau etis-bengkok, yang mampu mencerna dengan baik. Yang berniat menanggapi dan
ingin tanggapannya saya baca, buatlah menarik atau setidaknya berisi.
Ada saat saya memang tak ambil pusing pada
keremeh-cemehan beberapa orang yang mudah dibuktikan sekadar sombong dan sok
tahu. Yang hidup dengan pengetahuan dari masa lalu, bahkan ketidaktahuan kronis,
sembari meyakin-yakinkan diri bahwa dia tetap hebat di masa kini. Ya, ada waktunya
saya memilih memfokuskan diri pada hal-hal yang memerdekakan otak, yang memberi
makan rohani, seperti melahap Man Seeks
God: my flirtations with the Divine (2011) dari Eric Weiner.
Apalagi beberapa hari terakhir saya sudah
menetapkan, akhir pekan digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan
kantor yang tertunda dan ''piknik'' dengan empat buku yang terbengkalai di atas
meja. Selain karya Weiner, saya masih menyisakan Connectography: Mapping The Future of Global Civilization (2016)
dari Parag Khanna. Menikmati buku serius harus dengan pikiran yang benar-benar bebas
gangguan.
Tapi alangkah tak sopannya tak menanggapi,
terlebih jika yang disampaikan mengandung pertanyaan. Orang yang bertanya,
sepanjang itu bukan rahasia yang harus dibalut rapat-rapat, mutlak direspons
dan dijawab sebaik-baiknya. Lagipula pertanyaan itu cuma: ''Apa Abang
benar-benar sudah jadi pemarah?''; ''Dasar falsafah dan praktek budaya
Mongondow mana sebenarnya yang secara substansial dianggap melecehkan dari
tulisannya Pitres?''; dan, ''Apa tindakan selanjutnya kalau teguran dan kritik
yang diberitakan dianggap angin lalu?''
Tanpa membaca tulisan yang dikirim (buat
apa saya membuang energi membaca sampah? Yang saya tunggu hanya pencabutan bagian
tulisannya yang melecehkan Mongondow disertai permintaan maaf), saya ingin
memulai jawaban terhadap tanya-tanya itu dengan penegasan: memang benar
keberatan saya terhadap Pitres Sombowadile beririsan dengan isu Pilkada Bolmong
2017. Terhadap Pilkada, pasangan Cabup-Cawabup Bolmong yang berkompetisi, nomor
urut, atau bahkan akronim politik yang bersiliweran, saya tak ambil pusing. Ada
atau tidak, terkait atau tidak, dengan Pilkada; spekulasi yaya, yaya', dan bure yaya
(bukan bure yaya', sebab Pitres menuliskan
'bure yaya') adalah penggunaan
identitas dan simbol budaya Mongondow (bahasa adalah salah satu identitas utama
sebuah budaya), yang bertolak belakang dengan seluruh aspek budaya Mongondow,
adalah pelecehan yang disengaja.
Penegasan lain yang ingin saya ulang:
dengan alasan apapun Pitres Sombowadile menulis dengan identitas ''Budayawan'',
dengan modal nol pengetahuan terhadap budaya Mongondow. Dia bukan orang
Mongondow, apalagi penutur fasih (native)
bahasa Mongondow. Tonga' bi' dimbolu' ta
no'-i sare magi' ko'-i naton komintan. Padahal, jika klaim budayawan itu
sahih, tentu cara berpikir dan berlakunya mesti sungguh-sungguh berbudaya. Lain
soal kalau ternyata cuma buayawan yang menyaru sebagai budayawan.
Kita kembali pada isu yang ditanyakan. Pertama, apa relevansi ketersinggungan
orang yang melihat aneka praktek dan laku bengkok dengan pemarah atau tidak?
Saya justru merasa dan yakin bukan pemarah. Yang lebih tepat, saya gampang jengkel
dan mudah mengejek serta menista orang-orang yang dengan sengaja dan terbuka
berlaku bodoh; berkaitan dengan urusan publik; di Mongondow pula. Yang bukan
hal-ihwal publik, apalagi di tempat lain di luar Mongondow, emangnya saya pikirin?
Lalu UU, produk hukum, etika, dan norma
mana yang saya langgar? Jika ada orang yang merasa terganggu, sudah pasti dia
bagian dari kelompok pompulong yang
bebal dan setumpul tiang listrik hingga kritik dan cela dengan dasar paling
masuk akalpun bakal tak dianggap.
Untuk semua isu yang saya tulis di blog ini, pembaca mohon kiranya dapat
menyampaikan yang mana yang sekadar marah-marah tanpa pijakan dan alasan yang
masuk akal?
Kedua, mototompiaan (semestinya
ditulis mototompia-an) adalah salah
satu falsafah utama Mongondow(selain mototabian
dan mototanoban). Di dalam mototompia-an terkandung ajaran dan laku
mo-o-aheran yang secara sederhana
dimaknai sebagai ''saling menghormati''--tapi sungguhnya lebih dari itu karena
harus mengindahkan hingga aspek yang bersifat rasa. Orang Mongondow yang senang
loleke, mololeke, dan mopo-loleke, sadar bahwa dia dibatasi
ketat oleh mo-o-aheran, apalagi bila
itu berkaitan dengan tangoy, pinonangoy, atau pinonagoyan.
Sebagai sebuah kata, dalam bahasa Mongondow yaya tidak memiliki arti apapun. Begitu
kata ini menjadi tangoy (Ki Yaya), pinonangoy, atau pinonagoyan (YaYa--dari akronim Yasti-Yanny, Ama' i Yaya, atau Aki
i Yaya), orang yang hidup dengan budaya Mongondow dan menggunakan bahasa
Mongondow sebagai identitasnya, akan menempatkan dan memperlakukan dengan
serius karena tuntutan mo-o-aheran. Sebab,
aka dia'-don mo-o-aheran, yo dia'-bidon in
mototompia-an ta tua.
Di Mongondow nama, penamaan, atau pernamaan
bersifat vertikal dan horizontal. Bukan hanya naik hingga ke tingkat dua
generasi di atas (Ama' dan Ina' i Yaya serta Aki' dan Ba'ai i Yaya), turun
hingga dua generasi ke bawah (Ki Adi' i Yaya dan Ki Ompu i Yaya), tetapi
menyamping ke kiri dan kanan (Ki Buloi i Yaya, Ki Guya-guyang i Yaya, atau Ki
Ai-ai i Yaya).
Olehnya, siapapun yang--jangankan
melakukan, sekadar melintaskan dalam pikiran--memelesetkan YaYa' menjadi yaya', apalagi bure yaya, pasti dia'-bi' ko-o-aheran.
Dan siapapun yang dia' ko-o-heran,
tidak pantas dianggap manusia beradab. Orang-orang tua di tempat saya tumbuh
kerap mengingatkan, ''Tonga' bi' ungku'
bo boke' in ta dia' ko-ahe-aheran.'' Pitres sudah saya ingatkan, bahwa
selain provokasi, tulisannya adalah pelecehan, namun dia menganggap sepi ''rasa
sebagai orang Mongondow'' (sesungguhnya bukan hanya saya pribadi) yang
disampaikan. Karenanya, kepada orang Mongondow atau yang sudah menjadi
Mongondow, saya ingin bertanya: harus disebut dan diperlakukan seperti apa
orang bodoh, tidak beradab, dan tidak bersedia diingatkan dalam adab, budaya,
adat, tradisi, dan laku sehari-hari Mongondow?
Saya berkeyakinan, dengan tanpa kemarahanpun,
orang Mongondow umumnya yang mengkhimati adab dan budaya Mongondow sebagai
jalan hidup, bakal bilang: ''Aka ungku',
yo ungku'-on. Aka boke', yo boke'-on.''
Dan ketiga,
karena saya fokus pada budaya dan bahasa sebagai indentitas Mongondow,
bunga-bunga, alasan melingkar-lingkar, dan meliuk-liuk supaya seolah-olah
pintar yang disampaikan Pitres, dengan mengacu pada literatur dari alam gaib
sekalipun, sepanjang tidak spesifik membahas isu yang jadi soal, tentu sekadar kilah
pengecut yang repot mengais-ngais alasan. Pengecut seperti ini mengingatkan
saya pada tokoh provokator licik, Akalbusyukus, di serial komix Asterix dan Obelix, Sang Penghasut (La Zizanie).
Sang
Penghasut mengajarkan, cara terbaik menunjukkan
pada Akalbusyukus betapa buruk dan jahat cara pikir dan lakunya, adalah dengan
sanjata miliknya sendiri. Masak Pitres saja yang boleh menghasut dengan
melecehkan budaya dan simbol budaya Mongondow; lalu ketika orang Mongondow
seperti saya bereaksi, dengan seolah-olah lakunya adalah seputih malaikat, lalu
saya dilabeli, dicap, dan disebut memprovokasi?
Kalau tidak mampu punya cermin, saya bersedia
dan sukarela membelikan yang terbesar yang ada di toko atau tempat belanja di
Sulut. Dengan bercermin mudah-mudahan Pitres dapat memeriksa siapa dia sebelum
mengacungkan telunjuk ke pihak lain.
Reaksi saya dalam bentuk tulisan ini adalah
sikap pribadi, bahwa--jika ada keluangan waktu--tulisan harus dibalas tulisan
(pasti dengan lebih baik, runut, dan tak lewah kemana-mana). Akan halnya
pelecehan dengan manipulasi dan penggunaan seenak udel simbol budaya (Mongondow)
terhadap budaya Mongondow, pasti harus lewat saluran selayaknya. Tanpa
menjadikan isu ini permusuhan personal, sebagai manusia Mongondow yang beradab
dan bangga jadi Mongondow, saya memastikan akan menempuh langkah-langkah
tersebut.
Kita uji siapa yang ungku' atau boke', karenanya
tak salah jika ungku'-on atau boke'-on, dan siapa yang bukan.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; Cabup:
Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil
Bupati; fb: Facebook; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU: Undang-undang.