SABTU sore, 19 November 2016, di tengah keasyikan belajar bersama menulis
berita dengan sekitar 54 wartawan se-BMR, saya disodori tulisan yang baru
diunggah Pitres Sombowadile di fb-nya. Saya hanya menengok sejenak dan
mengatakan pada wartawan yang mengansurkan layar teleponnya, ''Saya tidak
berniat menurunkan derajat kewarasan membaca omong-kosong yang diberi
titik-koma.''
Saya tetap pada sikap itu kendati beberapa
orang mengirim SMS, BBM, dan WA, menganjurkan saya membaca karena--menurut mereka--ada
wilayah sangat pribadi yang sudah dilanggar. Terhadap Pitres, dengan
kekalapannya yang--meminjam frasa Goenawan Mohamad di Majalah Tempo Edisi Senin, 14 November 2016)--, cuma kodok yang mencak-mencak
di bawah tempurung, saya sudah berada di taraf kasihan. Kalau menyerang saya
pribadi bisa mempertahankan belanganya di Mongondow, saya ikhlaskan saja. Orang
cari makan, bagaimanapun cara dan kelicikannya, harus diberi ruang hormat.
Keluarga saya dengan ketat mengajarkan: di atas meja makan yang pertama
diletakkan adalah ikhlas dan syukur.
Dia, dengan kondisi dan kenyataan hari ini,
hanya orang yang berupaya ''mencari tanah air'' agar tetap punya pekerjaan. Di
daerah mana lagi di Sulut Pitres diterima dengan tangan terbuka, boleh sedikit
membusungkan dada? Wilayah terakhir di provinsi ini di mana sebagian orang,
anehnya, masih percaya terhadap bualan dan bohongannya, adalah satu-dua
kabupaten di BMR. Atau, tepatnya bukan skala kabupaten, melainkan satu-dua elite yang memang kepintarannya juga pas-pasan atau malah sedikit di bawah nilai
minimal untuk lulus.
Kalau akhirnya saya bereaksi, karena Minggu
sore, 20 November 2016, saat dalam perjalanan ke rumah salah satu adik
(kandung), tiba-tiba istri saya menelepon dan bertanya, ''Ngana pernah menyinggung Pitres pe istri deng anak-anak pa ngana pe
tulisan?'' Tentu saja tidak. Dalam hidup ada beberapa prinsip yang saya
anut tanpa tawar-menawar, antaranya: tidak akan menilai seseorang dari ''isi
dan perilaku isi celana dalamnya''; tidak akan meremehkan orang berdasarkan
orientasi seksualnya; dan tidak akan menyeret-nyeret urusan yang sangat pribadi
ke ruang publik.
Tidak sependapat dengan siapapun, yang akan
saya serang adalah cara pikir dan perilaku yang menjadi manifestasi dari
pengakuan pikirnya. Dia bodoh, maka yang akan saya luluh-lantakkan adalah
kedunguan pribadinya. Dia sok jago, padahal cuma belatung pemakan bangkai, yang
saya aduk adalah laku parasitnya. Saya berupaya tidak akan melangkah, apalagi
menyentuh, wilayah di mana ada istri, anak-anak, kakak-adik, dan orangtua bertahta.
Pitres telah dengan sengaja, sebagaimana
dia melecehkan budaya Mongondow, menginjak mandala terlarang itu.
Tapi, saya tidak akan terpancing dengan
bunga-bunga dan kembang-kembang, yang semata hanya cara orang kalap yang kehilangan
fondasi rasional, logis, dan--bahkan--ilmiah dalam berdebat. Untuk urusan bunga
dan kembang tanpa menyentuh substansi yang diperdebatkan, saya sarankan pada
Pitres, buka saja toko kembang atau salon kecantikan. Tidak usah pura-pura
berilmiah dengan argumen debat kusir.
Pangkal soal perdebatan kami adalah bahasa
Mongondow, budaya Mongondow, budayawan, dan konteks yang menyertainya. Maka
dalam soal YaYa, yaya, yaya', dan bure yaya, tanpa memedulikan tulisan
terakhirnya yang (menurut seorang kawan yang kecerdasan dan kemampuan
menulisnya sangat bagus dan paham Mongondow) jauh dari subtansi, saya kembali
mengajukan pertanyaan paling sederhana (semoga otak Pitres yang katanya hebat
itu paham): (1) Dia menguasai bahasa Mongondow atau tidak?; (2) Dia menguasai
budaya Mongondow atau tidak?; (3) Dia budayawan dengan keahlian pada budaya apa
dan yang mana?; dan (4) Dia memahami atau tidak konteks dan penggunaan kamus
bahasa Mongondow yang dia klaim?
Menghindari yang palsu-palsu,
plastik-plastik, bual-bual, dan dusta, saya bantu Pitres untuk menjawab. (1)
Dia tidak menguasai bahasa Mongondow. Punya setumpuk kamuspun, hasilnya adalah
hanya tahu kata, bukan bahasa dalam pengertian yang digunakan berkomunikasi
oleh manusia Mongondow. Lagipula, dengan sok mengutip Dunnebier, memangnya
Pitres bisa bahasa Belanda?; (2) Dia tidak menguasai budaya Mongondow. Makanya,
hingga lebaran kudapun, Pitres tidak akan paham falsafah mototompia-an dan nafas utamanya, mo-o-aheran; (3) Dia bukan budayawan. Dia justru duafa budaya yang
galau menggelandang mencari suaka budaya; dan (4) Dia tidak memahami konteks
dan penggunaan kamus bahasa Mongondow yang dia klaim. Seperti orang belajar
bahasa Inggris yang tersesat di frasa I've
been lost if I lost you.
Karenanya, jangan cuma kamus, bawa ke sini
penulis kamus yang dirujuk Pitres dan saya siap mendadah beda yaya dengan yaya'. Seluruh penutur (native)
Mongondow yang cukup ''makan abjad dan tanda baca'' tahu persis bahwa salah
satu kesulitan terbesar menuliskan bahasa Mongondow adalah meletakkan tanda
baca pada setiap kata. Yaya dan yaya' adalah contoh paling nyatanya.
Orang Mongondow mana yang bersedia bunuh diri budaya dan menyatakan dua kata
ini berarti sama? Orang Mongondow mana pula yang tidak mau mengakui bahwa Ama' i Yaya berarti ayahnya Yaya dan Ama' i Yaya'
adalah makian untuk seseorang ayah.
Apalagi bure (i Ama i) Yaya.
Tanpa terseret-seret turut jadi pembual dan
pendusta payah yang membela diri dengan serangan personal, saya mau bilang ke
Pitres: saya adalah salah satu cucu kesayangan dari Bua' Eta, yang sejak balita
sudah memainkan kamus Mongondow dan hampir seluruh buku yang ditulis Dunnebier
layaknya mobil-mobilan di satu rumah besar berisi banyak sekali literatur
bahasa Belanda di Kopandakan. Di masa dewasa, apalagi setelah bekerja di luar
Sulut dan terpapar lebih banyak pengetahuan budaya dan sejarah Mongondow,
pulang dan menyodorkan buku-buku berbahasa Belanda ke Bua' Eta untuk
diterjemahkan ke bahasa Indonesia, berdiskusi berjam-jam, adalah rahasia yang sedapatnya
saya pendam dari pengetahuan publik.
Bukan karena malu dan jengah jadi
Mongondow. Tapi, bagi saya pribadi, itu kebanggaan dan hormat yang tinggi
seorang cucu untuk Neneknya. Sama dengan menemui Bua' Emmy, putri Raja Bolmong dan
adik kandung Raja Bolmong terakhir, yang dengan takzim saya sapa ''Nenek Emmy''.
Hingga mangkatnya beberapa waktu lalu, tidak banyak di antara para cucu atau
yang diakui cucu, yang boleh duduk dan bersandar di pahanya, mendengarkan
langsung tuturan budaya dan sejarah panjang Bolmong dari tangan pertama. Saya
adalah salah seorang di antara yang langka itu, yang boleh menyandarkan kepala
yang Anda anggap kosong ini, di pahanya.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan tetap
fokus pada isu yang jadi duduk-soal. Bual-bual dan dusta Pitres, yang bahkan
mengarang-ngarang urusan personal antara saya dan istri, tidak perlu saya
layani karena cuma menista keberadaban yang saya yakini.
Pitres, saya beri tahu saja ya, pengetahuan
yang Anda punyai tentang Mongondow, dengan klaim budayawan, kini jadi bahan
tertawaan gurih di kalangan yang paham persis daerah ini, budaya, sejarah, dan
manusianya. Kami sangat menikmati itu. Di saat masyuk menunjukkan betapa
lucunya dungu yang bebal, Pitres lupa menengok kiri-kanan, mengecek
depan-belakang, bahwa diam-diam begitu banyak orang Mongondow yang terbukti
diakui pengetahuan budayanya, bahkan di dunia internasional.
Saya sebutkan dua saja. Pertama, Dekan FIB UI (yang mencakupi Departemen
Ilmu Arkeologi; Departemen Ilmu Filsafat; Departemen Ilmu Kewilayahan; Departemen
Ilmu Linguistik; Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi; Departemen Ilmu
Sejarah; dan Departemen Ilmu Susastra), Ph.D yang makan sekolah di Harvard
University (ini universitas terkemuka dunia yang berada di Boston, AS, bukan di
kusu-kusu belakang Kopi Korot) dan
Murdoch University di Perth (kota di Australia Barat di mana keluarga kami
pernah cukup lama bermukim). Orang pintar ini saya sapa ''Om'' dan baru dua
bulan lalu bercakap-cakap lama dalam sebuah perjamuan keluarga, adalah juga
putra bungsu Nenek Emmy. Dan kedua,
seorang perempuan lulusan Sorbonne (Paris) yang namanya dapat ditelisik di Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok
Gie. Asal tahu saja, perempuan ini saya sapa ''Mama'' (sebagaimana Ibu kandung
saya), yang dengan senang hati selalu meluangkan waktu kami boleh bertukar
cerita kapan saja.
Nah, Pitres, supaya sebuah debat bermutu
dan memberi pencerahan; bukan sekadar narsisme orang yang butuh perhatian,
tepukan good job, dan puja-puji dari
segerombolan idiot konyol pemberi jempol di status fb; coba bawa ke sini rujukan
manusia yang terbukti kepakaran budayanya (lebih baik lagi budaya Mongondow)
atau literatur ilmiah yang mendukung pikiran dan omong kosong Anda tentang
Mongondow. Saya sih sejak remaja
sudah siap. Entah Anda, yang saya tahu pasti tengah gelisah-galau-merana karena
tertangkap tangan ternyata cuma pengigau tunjung
pande soal Mongondow.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
AS: Amerika Serikat; Balita:
Bawah Lima Tahun; BBM: BlackBerry
Messenger; BMR: Bolaang Mongondow
Raya; FB: Facebook; FIB: Fakultas Ilmu Budaya; Ph.D: Doctor of Philosophy; SMS: Short Message; Sulut: Sulawesi Utara; UI: Universitas Indonesia; WA: WhatsApp.