DUA tulisan terakhir saya, berkaitan dengan budaya dan kebudayaan
(khususnya Mongondow), memercik pertanyaan yang membuat saya melongo. Mendorong
saya menelusuri banyak rujukan, termasuk situs-situs dan blog-blog
tak masuk akal, dan akhirnya menyimpul: pertanyaan itu adalah yang tersulit
yang pernah saya temui. Lebih silang selimpat dari rumus-rumus mekanika teknik
yang dulu membuat saya terpiuh-piuh di FT Unsrat.
Pertanyaannya adalah, ''Ahli budaya apakah
sang Pitres Sumbowadile ini?'', yang sekaligus jadi tajuk tulisan ini. Yang
bertanya, seorang kawan berusia muda yang bermukim di KK, tentu merujuk pada
gelar ''budayawan'' yang disematkan Pitres untuk diri sendirinya--atau oleh
entah siapa yang saya duga pasti membuat kesilapan serius. Sungguh sederhana,
tanpa basa-basi, dan tepat sasaran, sekaligus bikin mumet.
Sebab isunya soal pengertian bahasa, saya
bersegera lari ke KBBI. ''Budaya'', kata kitab sakti ini, adalah: (1) pikiran; akal budi; (2) adat
istiadat; (3) sesuatu mengenai
kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju); dan (4) sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Lalu ''kebudayaan'', menurut acuan
ini, tak lain: (1) hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia
seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; dan (2) keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami
lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Lalu ilmu yang mempelajari budaya dan
kebudayaan? Sampai di sini saya agak kebingungan, sebab tak ada satupun rujukan
Indonesia yang membahas masalah ini. Bagaimana dengan ''budayawan''. Gampang,
KBBI bilang, kata ini berarti: ''orang yang berkecimpung dalam kebudayaan; ahli
kebudayaan.''
Bila dikontekskan dengan pengertian
kebudayaan, maka lengkapnya, ''budayawan'' adalah: (1) orang yang berkecimpung
dalam hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti
kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; (2) orang yang berkecimpung dalam keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami
lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya; (3)
ahli dalam hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti
kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; dan (4) ahli dalam keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami
lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Ada ''budayawan'' sebagai sebutan (atau
pengakuan) terhadap terhadap pengetahuan atau keahlian; tetapi tetap saja ada
yang menggantung: ilmunya apa? Keahliannya karena pengalaman atau karena
mempelajari apa? Sebagai catatan, pengakuan keahlian seseorang biasanya karena
dua hal: pendidikan formal atau pengetahuan karena ujian dari pengalaman.
Menghindari sesat, saya menaikkan derajat
rujukan ke definisi yang diakui global. Menurut Merriam-Webster Dictionary (kamusnya sudah jadi panduan sejak
1828), ada tiga pengertian culture
(yang celakanya, dalam posisi kata tunggal, diterjemahkan sebagai ''budaya'',
boleh pula ''kebudayaan'') yakni: (1) keyakinan, adat istiadat, seni, dan
lain-lain dari masyarakat, kelompok, tempat,
atau waktu tertentu; (2) masyarakat tertentu yang memiliki keyakinan sendiri,
cara hidup, seni, dan lain-lain; dan, (3) cara berpikir, berperilaku, atau
bekerja di tempat atau organisasi tertentu (seperti bisnis).
Supaya terlihat pintar dan meyakinkan,
definisi culture ini kita tambah
dengan pernyataan antroplog penggagas antropologi budaya, Edward Burnett Tylor (1832-1917), yang
mengatakan, ''(budaya atau kebudayaan) Adalah sesuatu yang kompleks, yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta setiap
kemampuan lain dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat.'' Demi kelengkapan, pengertiannya kita pertebal dengan titah Cambridge English Dictionary, yakni, ''Cara
hidup, terutama kebiasaan dan kepercayaan umum, dari kelompok orang tertentu
pada waktu tertentu.''
Akan halnya ilmu yang mempelajari budaya
atau kebudayaan, dalam bahasa sono
disebut culturology. Kata
''culturology'' dipinjam dari kandungan The
Science of Culture: A Study of Man and Civilization (1949) karya antropolog
terkemuka Amerika, Leslie A. White (1990-1975). Pemahaman lebih detil (kalau
tahan membaca dan berpikir), dapat disesap dari dua bukunya, The Evolution of Culture: The Development of
Civilization to the Fall of Rome (1959) dan The Concept of Cultural Systems: A Key to Understanding Tribes and
Nations (1975).
Ahli ''culturology'' mendapat predikat culturologist. Merriam-Webster Dictionary dan
Oxford Living Dictionaries kurang-lebih
mengartikan kata ini sebagai: ''Ahli ilmu (yang mempelajari) budaya/kebudayaan
atau mahasiswa (yang mempelajari) ilmu budaya/kebudayaan.'' Apakah culturologist ini yang dimaksud dengan
budayawan dalam bahasa Indonesia? Saya tak yakin betul, sebab saya juga
menemukan kata culturati (orang yang sangat
tertarik pada urusan budaya); cultured
(memiliki atau menampilkan pendidikan, selera, dan sopan santun yang baik); dan
cultural (terkait dengan kelompok orang
tertentu dan kebiasaan mereka, keyakinan, tradisi, dan lain-lain; terkait
dengan kesenian--seperti musik, teater, melukis, dan lain-lain).
Ragu-ragu dan tidak yakin, bukan tabu
berpaling ke yang ahli. Saya mengontak Reiner Ointoe, yang di mana-mana disebut
(bukan menyebut diri) ''Budayawan Sulut''. Penjelasan Reiner, yang memang
ilmiah dan penuh rujukan sebab pendidikan formalnya--juga banyak aktivitas
personalnya--berurusan dengan aspek-aspek utama budaya dan kebudayaan, malah
bikin cenut-cenut kepala.
''Memang ada yang sudah merasa jadi
budayawan cuma bermodal kamus. Soal etik dan emik tidak dimengerti dan
didalami. Pameran vokabulator bukan indikator untuk mengklaim sebagai budayawan
dari diri locus genius meme dan genetik. Dawkins membuktikan bahwa gene itu jadi muasal atau atavis seseorang jika menjadi pewaris
geno-fonetip budaya,'' katanya.
Mati musuh! Ada
beberapa kata yang harus didalami lagi. Pertama,
etik dan emik yang sangat antroplogis, khususnya etnologi. Etik berarti sudut
pandang orang luar terhadap fakta sosial dan budaya masyarakat; sedang emik
adalah cara pandang dari sisi masyarakat sendiri.
Dan kedua, locus genius meme dan genetik.
Saya menduga (sebab sudah malu terlalu banyak tanya), locus genius ini berhubungan dengan genius loci (jamaknya adalah genii loci), yakni pendekatan yang biasanya digunakan untuk memahami arsitektur
sebagai produk kebudayaan. Pengertian harfiahnya sendiri adalah: ''kemampuan
suatu karya manusia mempertahankan perilaku manusia.'' Ditelusuri lebih jauh, locus genius ini merujuk pada semangat
melindungi tempat dalam agama Romawi klasik. Penggambarannya biasanya berbentuk
ikonografi religius sebagai sosok yang memegang atribut seperti buket dengan
isi melimpah, patera (mangkuk persembahan), atau ular.
Bila dipahami meme adalah sesuatu yang menyerupai atau
meniru, pahamlah kita maksud locus genius
meme itu. Akan halnya genetik, gene, dan Dawkins, tautannya jelas ke
pakar biologi evolusioner Inggris, Richard Dawkins, yang mengemuka karena
pandangannya tentang evolusi berbasis
gen. Ingin kepala melampaui tingkatan melayang demi genetik dan gene ini?
Baca dua bukunya, The Selfish Gene (1976) dan The Extended Phenotype (1982).
Agar yang ilmiah-ilmiah itu tidak kian
panjang dan berketiak ular, saya buru-buru menyodorkan tulisan BER-1 DAN
BER-SaTu dari Pitres Sombowadile,
yang salah satu bagian kecilnya saya persoalkan sebagai pelecehan terhadap
budaya Mongondow dan Mongondow. Setelah menyimak dan merenung, lama kemudian
Reiner menyatakan cermatannya, ''Tulisan itu sama sekali dangkal dari
urusan-urusan kebudayaan. Ini semata ihwal politik yang disusupkan pada ihwal
kebudayaan.''
Waduh,
setelah pontang-panting kesana-kemari, mendedah (dari sekadar kata, ilmu, hingga
tetek-bengek ilmiah) urusan budaya, kebudayaan, dan budayawan, malah kian kabur
wujud ''budayawan'' yang diaku-aku Pitres Sombowadile untuk dirinya sendiri.
Bahkan sekalipun dikembalikan pada pengertian paling sederhana: ''orang yang berkecimpung dalam kebudayaan; ahli kebudayaan'', tetap
ada pertanyaan yang sukar dijawab: kebudayaan mana yang dia cimpungi? Keahlian
apa di kebudayaan mana yang terbukti dia kuasai dari pengalaman atau
pendidikan formal?
Namun, harap maklum, di zaman ini yang
palsu-palsu sudah pula menjadi budaya. Ada ahli agama palsu seperti AA Gatot dan
Kanjeng Dimas Taat Pribadi, ada sepatu dan pakaian KW, bahkan ada bahan makan
(beras) abal-abal. Ketambahan satu ''budayawan'' yang ternyata palsu, entah KW
berapa, buat saya sama sekali tak mengejutkan. Saya tidak gegau karena tertolong
seseorang bernama Trigus Dosik Susilo yang dengan kocak mengupas isu ini, Kamu Yakin Budayawan? Inilah Syarat-syarat
Seseorang Dapat Dipanggil Budayawan (http://www.mastrigus.com/2016/03/kamu-yakin-budayawan-inilah-syarat.html).
Akhirnya, saya menutup tulisan ini dengan
pengakuan: kawan yang baik, maafkan, kali ini otak saya (yang cuma penggemar
buku) gagal menjawab pertanyaan Anda. Saya sungguh-sungguh bingung dan tidak
tahu, ahli budaya apakah sang Pitres Sombowadile ini. Masak sih harus disimpulkan dia ahli budaya
palsu karena ternyata budayawan palsu belaka; ahlul omong-kosong sebab produksi tulisannya cuma hasil copotan linduran
sana-sini; dan pakar spekulasi musabab gemar menuliskan duga-duga dan
halunisasi?***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
FT: Fakultas Teknik; KBBI:
Kamus Besar Bahasa Indonesia; KK:
Kota Kotamobagu; KW: Berasal dari
kata kwalitas (kualitas), yang konotasinya berarti 'tiruan'; dan Unsrat: Universitas Sam Ratulangi.