Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, July 1, 2018

Kemonyetan Massal Orang-orang Kalah

APAPUN dan bagaimanapun, kalah memang menyakitkan. Bikin galau, sesak dada, kurang tidur, bahkan bisa-bisa menaikkan tensi, gula darah, dan kolesterol. Tidak sedikit pula orang kalah yang tampaknya potensial berakhir sebagai pengidap gangguan jiwa.

Hari-hari ini, setelah pencoblosan Pilwako KK 2018, Rabu, 27 Juni 2018, yang disusul quick countdan real count, gegar kekalahan itu dipertontonkan tanpa malu-malu oleh pendukung dan simpatisan pasangan Jadi-Jo. Penghinaan, celaan, cacian, fitnah, dan provokasi bertaburan—terutama di media sosial. Saking patah hatinya karena Cawali-Cawawali yang didukung tumbang, mereka lupa baru saja susah payah menabung amalan di Ramadahan dan bermaaf-maafan di Idul Fitri 1439 H.

Adab macam apa yang ditulis, misalnya, oleh Achmadi Manangin, ‘’TBNK-Tuyul Baru Naik Kertas/Pake tuyul ba coblos sampe tatambah dorang pe suara, dengan TPS yang tatambah itu TPS Mangkubi’’? Apa dia punya bukti yang jadi dasar tuduhan? Atau, otak yang diberi makan sekolahan mana yang memproduksi model provokasi seperti yang didisiarkan Berlian Binol, yang seolah-olah pintar dengan membandingkan jumlah WP di Kecamatan Kota Barat dan Kecamatan Kota Selatan; dengan perolehan suara TB-NK dan Jadi-Jo; yang tidak menggunakan hak pilih; dan yang suaranya rusak.

Substansinya, Berlian yang menulis bahwa ada 8.400 WP di Kotamobagu Barat dan 2.994 WP di Kotamobagu Selatan yang tidak menggunakan haknya atau suara rusak, sedang memprovokasi dan mendorong orang banyak mengkongklusi ada yang main curang dalam kontestasi ini. Siapa itu? Tunjuk hidung saja supaya urusan ini segera diselesaikan setegas-tegasnya. Memangnya kurang transparan apa Pilwako dilaksanakan? Begitu transparannya hingga publik bahkan leluasa mendedah bagaimana pendukung Jadi-Jo kalap menyita sedekah untuk dhuafa menjelang Idul Fitri lalu, dengan tuduhan keikhlasan beramal itu adalah money politic.

Terhadap monyet-monyet seperti Achmadi Manangin dan Berlian Binol (mohon dicatat: saya menulis dua orang ini sebagai monyet supaya mereka melaporkan saya ke polisi dan mari kita menguji keampuhan UU IT. Apakah UU ini tokcermenjerat idiot seperti dua orang ini atau tidak), saya ingin menceritakan kesaksian pribadi. Satu pagi menjelang siang, dua hari sebelum Idul Fitri (kami sekeluarga memang berusaha selalu berlebaran di KK), saya menyaksikan langsung ada pemberian ‘’amplop uang buka puasa’’ yang dilakukan ‘’orangnya Jadi-Jo’’. Di depan kepala dan mata saya. Bukan sekadar anggota tim sukses, tapi saya pastikan sang pemberi adalah kerabat sangat dekat salah satu di antara pasangan calon ini.

Dari fakta itu, saya menyarankan pada pendukung Jadi-Jo yang masih berhalusinasi Pilwako KK belum berakhir: bila ingin menuduh lawan panuan, periksa dulu jangan-jangan Anda sendiri ternyata kudisan, bisulan, dan bahkan korengan. 

Akan halnya penyitaan sedekah yang terjadi di Kelurahan Mogolaing, belakangan saya tahu persis duduk-soalnya. Apalagi kejadiannya berlangsung hanya beberapa (ratus) meter dari rumah Ayah-Ibu saya. Dan sungguh memalukan. Terlebih orang-orang yang terlibat saya kenal betul. Mereka umumnya orang-orang tua yang semestinya menjadi tokoh panutan, yang sayangnya ternyata cuma berlangit pikir dan adab kelas dhuafa.

Apakah politik praktis Pilwako yang hanya marak dalam hitungan bulan begitu mustahak pentingnya hingga membuat manusia rela menurunkan derajatnya setara monyet? Yang isi kepalanya hanya dijejali dengan satu kredo: ‘’pokoknya kita harus menang!’’

Tapi memang, kearifan lama selalu banyak benarnya: monyet hanya berkumpul dan berkaum dengan sesama monyet. Sebaliknya, singa dan harimau juga hanya berkawanan dengan sesama singa dan harimau. Sialnya, bahkan sudah jelas monyetpun, masih terang-terangan dan tanpa malu-malu tak henti meyakinkan orang banyak, bahwa: kami memang monyet. Silahkan ditertawai betapa dungunya kami ini!

Yang membuat saya tak habis pikir, banyak dari anggota gerombolan monyet itu secara formal makan bangku sekolah. Terdidik di tingkatan yang cukup tinggi. Ada yang mencap diri ustadz, dokter, aktivis, mengaku-ngaku wartawan, bahkan tokoh adat dan panutan sosial-kemasyarakatan. Maka itu, saya kira, bila kita serius ingin tahu apa penyebab ‘’kemonyetan massal’’ ini, diperlukan kerumitan riset ilmiah dan waktu yang panjang hingga terungkap tuntas asal-muasalnya.

Alih-alih jengkel, setiap kali mendapat capturelalu lintas unggahan di media sosial, terutama dari kaum pendukung Jadi-Jo yang belum move on, saya tak urung terbahak-bahak. Sudah tepat sekitar 55% warga KK yang menggunakan hak pilih memberikan suara ke TB-NK. Setidaknya pasangan ini dan tim di belakang mereka. lebih-kurang, masih bisa mengontrol laku dan tindak pendukung mereka, terutama di media sosial. Walau, di Mongondow, harus diakui batas antara baterek(loleke) dan menghina hanya setipis rambut. Tafsirnya sangat tergantung volume otak dan skala kecerdasan yang ada di dalamnya.

Di akhir kontestasi Pilwako KK 2018, yang akan dikukuhkan adalah Walikota-Wawali yang memimpin seluruh masyarakat. Pemimpin yang sebenar-benar pemimpin, minimal, mampu memberikan contoh normatif dan menggendalikan yang dipimpin. Jika para pendukung saja berkelakuan seperti monyet gila, tanpa mampu dikontrol oleh patron mereka, simpulan yang paling masuk akal: siapapun yang dipatronkan itu, dia jauh dari layak dipilih sebagai lokomotif umum.

Demokrasi, kata orang-orang pintar (termasuk yang ditulis Youval Noah Harari di publikasi best seller-nya, Sapiens: A Brief History of Humankind, 2011), sebagaimana adab sosial, adalah salah satu proses pencapaian sejarah kecerdasan manusia. Dalam demokrasi, mengakui kekalahan mencerminkan seberapa jauh evolusi memparipurnakan adab dan kecerdasan para pelakunya. Melihat ulah dan tingkah (terutama) pendukung Jadi-Jo saat ini, termasuk ‘’yang diarahkan’’ oleh patron mereka, tidak diharamkan bila kita menyederhanakan penilaian dengan: kasihan, mereka hanya orang-orang bodoh yang evolusinya mandeg, yang dengan gagah perkasa tunjung bodok.

Demi rasa kasihan dan atas nama persaudaraan di seantero Mongondow, saya kira sudah waktunya (khususnya) para pendukung dan simpatisan TB-NK berhenti bereaksi terhadap segala yang lalu-lalang di publik KK dan media—utamanya—sosial. Ingat saja, salah satu tontonan yang tak lekang digerus zaman adalah topeng monyet. Apa salahnya satu-dua minggu ini dinikmati saja, dengan khimat dan penuh apresiasi, gelaran topeng monyet orang-orang kalah yang kedunguan dan energi mencak-mencaknya masih berlimpah?

Toh, di pertunjukan topeng monyet pun ada waktunya sang monyet kelelahan, pawang bosan, dan penonton akhirnya habis selera.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Cawali:Calon Walikota; Cawawali:Calon Wakil Walikota; H:Hijriah; ITE:Informasi dan Transaksi Elektronik;Jadi-Jo: Jainuddin Damopoli-Suharjo Makalalag; KK:Kota Kotamobagu; Pilwako:Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); TB-NK:Tatong Bara-Nayodo Kurniawan; TPS:Tempat Pemungutan Suara; UU:Undang-undang; Wawali:Wakil Walikota; dan WP:Wajib Pilih.