Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, May 30, 2011

Wartawan: Boleh ‘’Pede’’, ‘’Geer’’ Jangan

DI TIAP kesempatan, bila ada yang mempertanyakan, mengkritik, atau memuji blog ini dan isinya, saya selalu menjawab: tak usah di tanggapi serius. Yang ditulis sekadar catatan orang Mongondow terhadap Mongondow, yang jauh dari ilmiah, apatah lagi politik dan sebangsanya.

Tapi kalau ada orang yang ingin urun-rembuk, disambut dengan suka-cita, Pun kalau ada yang merasa dirugikan, silahkan protes. Kalau berkonsekwensi hukum, apalagi punya landasan kokoh, perkarakan saja pidana maupun perdata. Yang jelas saya tidak menulis karang-karangan, terlebih yang sudah menjadi pengetahuan umum di Mongondow.

Tanggapan terbaru terhadap blog ini datang dari wartawan Harian Komentar, Uwin Mokodongan. Lumayan panjang hingga saya membagi jadi dua bagian (Surat untuk Katamsi dan Mereka yang Dega’ Binombulou I dan II) untuk memberi jeda dan ruang bernafas buat para pembaca.

Substansi pertama yang ditulis, yaitu perkenalan awalnya dengan saya dan perkara ‘’berangin-angin’’, tak akan saya ulas lebih jauh. Blog ini sedapat mungkin tidak menyentuh agama, isu sensitif yang lebih pas dibedah di forum di mana hadirin-hadiratnya punya level pengetahuan yang sama. Saya kuatir keterbatasan kata bisa menimbulkan salah tafsir yang berujung tuduhan (kalau bukan) fundamentalis, sekular, bahkan agnostik.

Agar ada gambaran awal, sebagai wartawan yang semestinya akrab dengan –minimal— desktop research, saya sarankan Uwing Mokodongan menjelajahi Internet yang kini maha kaya referensi dan info agama, termasuk hal-ihwal Shalat Tarawih. Salah satunya adalah ringkasan cukup bagus di http://id.wikipedia.org/wiki/Salat_Tarawih.

Memihak dengan Cara Kampungan

Tibalah kita pada substansi kedua ‘’surat’’ Uwing Mokodongan (yang sejujurnya terlalu banyak ‘’kuah’’ dan duga-duganya), yaitu penilaian saya terhadap media terbitan Manado dan wartawannya dalam pemilihan Bupati-Wakil Bupati (Wabup) Bolmong, 2011-2016, yang ‘’asal-asalan dan amatir’’. Komplein yang terkandung dalam ‘’surat’’ itu tak main-main, karenanya saya juga akan menanggapi dengan pendekatan sama.

Penyakit media dan wartawan, terutama di daerah-daerah di Indonesia, adalah kerap menganggap pembaca berada di bawah strata pengetahuan mereka. Media dan wartawannya adalah mercu suar informasi, orang-orang yang punya kuasa, paling tahu dan pintar, sudah melaksanakan tugas dengan menjunjung etika dan profesionalisme tinggi. Pokoknya, media dan wartawan tidak bakal salah dalam publikasinya.

Khusus wartawan, terutama yang berusia muda, ada penyakit tambahan: suka mengidentifikasi dirinya seolah-olah lebih besar dari media tempatnya bekerja. Seolah-olah dialah media itu sendiri; bukan dia menjadi ada dan hanya bagian dari media di mana sang wartawan bekerja, dan oleh karena itu tunduk sepenuhnya pada kebijakan dan sikap redaksi. Yang tidak setuju, boleh cari pekerjaan di tempat lain.

Kontradiktif dengan itu adalah sikap yang terekspresi dari pemilihan bahasa. Saya menghitung cukup kerap Uwin Mokodongan menggunakan kata ‘’kuli tinta’’ di tulisannya. Maaf saudara, selama saya bekerja sebagai wartawan, tidak pernah sekali pun saya mau disebut, disapa, atau ditegur dengan sebutan ‘’kuli tinta’’. Saya bukan tukang ketik, tapi profesional yang menekuni pekerjaan dengan otak dan pra-syarat pengetahuan tertentu.

Tolong cek lagi apa arti ‘’kuli’’ di Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), supaya sebagai wartawan Anda tidak mengecilkan profesi sendiri. Tanpa niatan meremehkan pekerjaan kuli yang menurut hemat saya sama penting dan mulianya dengan profesor; tapi kerja berpikir kok disamakan dengan memanggul barang di pasar atau pelabuhan?

Di abad 21 ini, di mana komputer dan Internet bukan kemewahan lagi, warga biasa yang sehari-hari pekerjaannya adalah ibu rumah tangga, mahasiswa, atau tukang ojek, kini bisa  berkontribusi menulis berita (yang minimal memenuhi syarat 5W+1H), dipublikasi dan dibaca ribuan orang. Anda cukup mengetikkan ‘’pewarta warga’’ atau ‘’citizen journalist’’, akan ditemukan aneka situs yang memuat reportase, feature, dan tulisan dari mereka yang bukan berprofesi resmi sebagai wartawan. Kerap yang ditulis para pewarta warga itu justru lebih baik dari sisi kriteria jurnalistik dibanding mereka yang menyematkan ‘’wartawan’’ sebagai pekerjaan formal. Karenanya, menjadi wartawan boleh pede, tapi jangan geer.

Mari kita singkirkan kuah-kuah tak perlu dan langsung ke inti persoalan.

Pertanyaannya: di bagian mana dari tulisan Sengketa Pilkada Bolmong: Media Amatir, Wartawan Asal-Asalan (Jumat, 15 April 2011) yang tidak jelas buat saudara Uwin Mokodongan? Tambahan saran saya: minta bagian riset media di mana Anda bekerja untuk melakukan content analysis terhadap seluruh pemberitaan media di Sulut terhadap Pilkada Bolmong, Maret 2011 lalu. Saya yakin hasilnya bakal menunjukkan pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk memang dengan sengaja dan terencana dikecilkan oleh media, bahkan untuk aktivitas yang jelas-jelas dari semua aspek jurnalistik layak headline.

Memangnya seperti apa media tempat Anda bekerja menulis bagaimana spektakulernya kampanye terbuka Salihi Mokodongan-Yani Tuuk di Lolak, yang patut dicatat sebagai kampanye politik terbesar yang pernah terjadi di Sulut? Dalam catatan saya hanya satu media, Radar Totabuan, yang memberitakan peristiwa itu dengan faktual dan berimbang.

Untuk tulisan Hore…! (Kamis, 28 Maret 2011), di alinea mana saya mengkritik wartawan dan media yang mengutip saudara Pitres Sombowadile? Yang saya sinisi adalah analisis yang ngawur, bukan penulis atau media yang memuat. Saudara Uwing, kok bisa-bisanya Anda geer dan menyemburkan sejumlah pertanyaan dengan kalimat-kalimat panjang, seolah-olah saya ikut campur urusan dapur Harian Komentar? Bahkan menyuruh saya membuat media sendiri (sebenarnya sudah dilakukan dengan mengkonstruksi blog ini). Tidak ada urusan dengan Anda dan dapur redaksi koran Anda. Yang ada, menurut standar jurnalistik baku, yang dipublikasi sumir dan karenanya patut dipertanyakan.

Membaca kembali berita yang mengutip Pitres Somowadile, seharusnya saya bisa mensinisi pula wartawan yang menulis dan media yang memuat. Kalau Pitres Sombowadile dikutip sebagai analis politik, si wartawan jelas ngawur (malas dan binombulou) karena memilih sumber yang tak kredibel. Sebaliknya kalau dia dikutip sebagai Ketua Tim Pemenang Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot, sang wartawan dan media tempatnya bekerja secara eksplisit bersikap tidak fair dan berimbang. Memihak boleh-boleh saja, tapi jangan dilakukan dengan cara kampungan.

Dengan kekuatiran bahwa bukanlah para pembaca blog ini yang binombulou karena terpengaruh isinya, melainkan Uwin Mokodongan sendiri, saya ingin menutup tulisan ini dengan mengingatkan: wartawan, penulis, atau sekadar pemilik blog jangan pernah berasumsi pembaca adalah orang-orang yang tak berpikir. Kalau yang saya tulis di blog ini sekadar sampah, misalnya, jumlah pengakses tidak bakal melampaui angka 27.000 hanya dalam dua bulan. Sebaliknya, kalau yang ditulis wartawan dan dipublikasi di media cetak (resmi) abal-abal, jangan salahkan lama-kelamaan pembaca jengkel dan kehilangan kepercayaan.***

Surat untuk Katamsi dan Mereka yang Dega’ Binombulou (II)

Oleh Uwin Mokodongan

SMS yang ditujukan ke nomor saya salah satunya berbunyi: ‘’Kiapa ente ikut-ikutan memusuhi Salihi?’’ Maka seperti kena setrum, kaget bukan kepalang, saya segera mengontak nomor pengirim SMS meski tidak diangkat. Karena penasaran, saya membalas SMS tersebut. Begini: ‘’Maksud ente, saya memusuhi bagaimana?’’ SMS-pun berbalas: ‘’Coba baca http://kronikmongondow.blogspot.com/”.

Tak berhenti sampai disitu, SMS dari nomor lain pun bertandangan. Isinya adalah tuduhan bahwa saya adalah wartawan amatiran, yang selain amatiran juga memusuhi Salihi Mokodongan dan Yani Tuuk. Dan dari semua pengirim, rata-rata mengaku baru selesai membaca blog Kronik Mongondow. Inilah efek senjata rahasia --menurut saya-- paling berbahaya dan mematikan yang terkandung dalam tulisan , seperti “teori” yang disampaiakan sahabat saya di atas, entah ini disengaja maupun tidak (itu sebabnya pula saya menulis “surat” ini).

Kalau dituduh amatiran, saya maklum karena memang sadar betul tak sekaliber Katamsi dalam urusan tulis-menulis. Namun ketika saya secara serampangan membabi-buta dan seenaknya dituduh membenci Salihi, apalagi itu terjadi hanya karena gara-gara para pembaca blog --khususnya beberapa yang kapasitas mencernanya di bawah rata-rata-- hanya melihat nama media tempat saya bekerja dicantumkan, saya akan membantah meski tidak sampai tetes darah penghabisan.

Kenapa saya membantah? Hal yang mula-mula wajib diketahui adalah saya membantah bukan karena ingin menjadi manusia yang berubah menjadi monster penjilat setelah tahu ada calon Bupati yang sudah menang dua kali -- Pemilukada dan di persidangan MK. Melalui surat ini saya ingin menyampaikan, saya adalah tipe orang yang tidak akan pernah mengakui apa yang tidak saya lakukan, utamanya soal benci-membenci orang. Wajib pula diketahui dan jujur saya beber di sini bahwa saya sama sekali tidak berada di kubu pemenangan pasangan ‘’Bersatu’’ saat Kampanye Pemilukada atau orang kesiangan yang mengaku-ngaku pendukung Salihi Mokodongan karena dia sudah menang. Tidak.

Bahkan di media tempat saya bekerja tidak pernah ada satu kalipun iklan atau menyangkut pencitraan Salihi-Yani terkait Kampanye Pemilukada, kecuali sebuah catatan ringan (Forum Coffeemix Salihi, Tiga Kali Siram Kopi, Mati Lampu Tetap Berdiskusi) yang dimuat secara bersambung di Harian Komentar, diikuti hasil Wawancara dengan Salihi, sehari pasca pencoblosan saat ditemui di rumah Tatong Bara. Di kesempatan itu, di penghujung wawancara saya kembali mencoba mengetes daya ingat Salihi terhadap ‘’Forum Cooffemix’’ yang pernah berlangsung suatu waktu dari pukul 7 malam hingga 4 pagi dan terkonfirmasi dengan jujur dari Salihi momen tiga tahun silam sebelum dia mencalon diri.

Kembali lagi ke soal tulisan Katamsi. Tak cukup satu kali mencantumkan nama Komentar, dia kembali mengulang lewat tulisan Hore…! yang di-posting Kamis (28 April 2011). Saya kutip penggalannya: ‘’Pembaca, Anda mungkin masih ingat Harian Komentar, Senin (18 April 2011) menurunkan berita Hasil Sidang MK Bakal Keluarkan Putusan ‘Heboh’ Bolmong, yang mengutip habis analisis Pitres…, dst.’’

Nah, kalau itu sangat benar bahwa saya yang menurunkan berita tersebut, yang merupakan hasil wawancara dengan Pietres Sambowadile. Saya selaku kuli tinta jelas-jelas hanya bertugas menuliskan apa yang disampaikan sumber tanpa menambah atau mengurangi, kecuali ada sedikit campur tangan dari Redaktur soal tata huruf atau mungkin pula kalimat yang “belepotan” kemana-mana. (maklum amatiran).

Memang adalah hak Katamsi Ginano men-judge bahwa analisa yang disampaikan Pietres terkait kemungkinan putusan MK itu adalah ‘’Analisis yang luar biasa ngawurnya karena tak ada satu pun yang mendekati fakta putusan Majelis Hakim MK hari ini’’ (kutipan sesuai tulisan asli). Dan adalah hak dari saya pula menuliskan berita hasil wawancara dari nara sumber yang saya temui tanpa harus dicampuri pihak luar, bahkan oleh orang sekaliber manusia ‘’berangin-angin’’ sekali pun.

Pertanyaan saya selanjutnya adalah : “Apakah tidak boleh saya menulis berita di media tempat saya bekerja terkait pernyataan yang disampaikan nara sumber? Sekali pun analisis yang disampaikan nara sumber tersebut “ngawur” oleh pandangan Katamsi? Atau apakah setiap berita yang saya kirimkan ke meja redaksi harus sesuai dengan keinginan Katamsi Ginano? Atau haruskah saya mengurangi atau menambahkan pernyataan dari nara sumber yang saya wawancarai agar layak menjadi sebuah berita dan sesuai keinginan Katamsi?

Setahu saya (luruskan kalau salah) tugas kuli tinta adalah menuliskan apa adanya pernyataan dari nara sumber, tanpa menambah-nambah atau mengurangi, kalaupun ada campur tangan, tentunya menjadi tugas redaktur tanpa mengurangi makna yang disampaikan. Menurut saya Katamsi adalah orang paling kaliber memahami soal ini. Terkait analisa yang disampaikan sumber, apakah “ngawur” atau tidak, saya  hanya bertugas menuliskan. Kalau itu dipandang tak layak dan bikin Katamsi sewot? Itu urusan dia. Atau bikinlah media sendiri biar semua terbitan sesuai dengan keinginannya.

Sebenarnya saya tak ingin menulis “surat” ini terkhusus lagi kepada Katamsi, tetapi karena pengakses blog pribadinya mencapai angka 10 ribuan lebih, saya berpikir ini sudah menyebar kemana-mana dan menjadi konsumsi publik se dunia. Sehingga inti sari pokok lain yang ingin saya sampaikan di sini adalah kepada para pembaca http://kronimongondow.blogspot.com/ yang dega’ (meminjam istilah Katamsi) binombulou karena secara serampangan menuduh orang. Jadilah pembaca yang sedikit cerdas dan tidak sembarangan menuduh orang hanya karena gara-gara media tempat orang bekerja itu dicantumkan Katamsi Ginano dalam tulisanya.

Sekali lagi, jadilah pembaca yang cerdas dan tidak seperti intau ten no iyaying atau binombulou. Saya merasa buang-buang waktu jika harus memarahi kalian (pembaca yang binombulou) terutama yang menuduh saya dan yang mengirimi saya SMS. Saya-pun merasa tidak perlu harus kelewat dongkol atau sakit hati kepada Katamsi Ginano, namun memang benar-benar “tergelitik” kembali dan anggapan bahwa dia adalah orang Mongondow yang unik dan hebat, yang akhirnya semakin meracuni otak sebelah kiri saya.

Salam, Bung!***

Surat untuk Katamsi dan Mereka yang Dega’ Binombulou (I)

Tulisan-tulisan yang diunggah di blog ini tampaknya cukup membuat sejumlah orang terganggu. Salah satunya adalah wartawan Harian Komentar, Uwing Mokodongan, yang kemudian mengirimkan ‘’surat’’ untuk saya dan para pembaca Kronik Mongondow ke Harian Media Sulut (sudah diterbitkan Senin, 30 Mei 2011). Atas jasa baik wartawan Harian Media Sulut, Ahmad Ishak atau Maat Jabrik, saya sudah mendapat izin mempublikasikan surat tersebut di blog ini.

Oleh Uwin Mokodongan

PALING sedikit ada dua hal yang membuat saya teringat nama Katamsi Ginano. Pertama, pada suatu waktu sekitar 2001 silam di buka puasa bersama Mahasiswa asal Mongondow di Rumah Dinas Ketua DPRD Sulut yang saat itu dijabat Syachrial Damopolii --biasa kita sapa Papa Dona. Apa yang paling berkesan hingga rekam peristiwa 10 tahun silam itu masih membekas di ingatan saya?

Jawaban sedikit panjangnya karena pada kesempatan itu ada kesan unik, sedikit nyeleneh namun kritis dan mengelitik --setidak-tidaknya menurut saya- tertangkap dari ungkapannya perihal shalat Tarawih. Ketika itu --kalau Katamsi masih ingat—waktu shalat Isa tiba dan akan dilanjutkan dengan shalat Tarawih. Dia –dan saya pun begitu-- memilih tidak ikut berjamaah. Saat Papa Dona yang juga tak ikut berjamaah menanyakan apa alasannya, Katamsi  hanya enteng menjawab bahwa sholat Tarawih itu adalah shalat yang ‘’berangin-angin’’.

Tak pelak saya yang waktu itu sedang melahap puding (Mongondow: podeng) sedikit tersedak. Singkatnya,  baik Katamsi, Papa Dona, dan satu dua orang Di rumah dinas itu sama-sama tidak ikutan sholat Tarawih (perlu juga disampaikan bahwa saya tak ikut shalat ketika itu karena memang tak ada niatan ber-tarawih, bukan karena pengaruh omongan soal shalat yang ‘’berangin-angin’’).

Saya sendiri --karena memang tidak kenal dan baru pertama kali ketemu dengan Katamsi-- tak bertanya  apa makna ‘’berangin-angin’’ yang diutarakanya, dan diam-diam memilih terbahak-bahak dalam hati sembari bergumam: “Ini tipe orang Mongondow yang unik. Siapa dia?” Belakangan saya tahu orang dengan jawaban ‘’berangin-anginnya’’ itulah Katamsi Ginano.

Dan kedua, tulisanya di Harian Posko Manado beberapa tahun lalu yang isinya adalah kritikan pedas kepada Bupati MMS karena melakukan Sholat Ied ‘’ekslusif’’, dimana MMS tampil berhiaskan ‘’singgasana’’ di jejeran shaf depan perempuan. ‘’Ow, dia ini pula rupanya, si manusia ‘berangin-angin’,’’ gumam saya ketika membaca tulisan tersebut.

Kini, setelah saya kembali --pernah di-remove-- sebagai anggota group Pinotaba  di situs jejaring sosial facebook, dimana banyak anggota yang membagikan link seiring panasnya suhu perpolitikan di Bolmong terkait hasil Pemilukada yang disidang di MK, pertemuan dengan Katamsi Ginano si manusia ‘’berangin-angin’’ kembali terjadi. Itu diawali ketika saya menekankan membuka link yang di-posting anggota Pinotaba: http://kronikmongondow.blogspot.com/.

Setelah membaca tulisan demi tulisan, ada dua judul yang membuat kedua alis saya seolah mau ketemu. Pertama, tulisan Sengketa Pilkada Bolmong: Media Amatir, Wartawan Asal-Asalan, Jumat (15 April 2011). Sedang kedua, tulisan Hore…! yang di-posting bertepatan dengan hari diketuknya palu sidang MK, Kamis (28 April 2011).

Apa duduk soal yang bikin kening saya seolah mau pindah tempat? Pertama, di tulisan Sengketa Pilkada Bolmong: Media Amatir, Wartawan Asal-Asalan dicantumkan nama Harian Komentar, tempat saya bekerja, di pembukaan tulisan. Bunyinya: HARIAN  Tribun Manado, Kamis (14 April 2011) menurunkan berita Penggugat Hadirkan 8 Saksi, dengan dua anak judul, Pojokkan Salihi dan KPUD Bolmong  serta Sidang Gugatan Pemilukada di MK. Untuk isu yang sama Manado Post  menulis Saksi ADM Norma: Ijasah Salihi Asli. Sedangkan Komentar memajang tajuk ADM-NM Ajukan Bukti Ijazah Palsu: Saksi Akui Keasliannya.

Seperti biasa, dengan pisau analisisnya yang kritis dan tajam, Katamsi mulai menguliti apa yang disoalkan dan tanpa tedeng aling-aling menyerang Tribun Manado  sekaligus wartawannya hingga “berdarah-darah” dan tersungkur di sudut ring yang memalukan. Tentu tindakan tersebut menjadi hak sepenuhnya selaku pemilik blog dan semau-mau dia mengapa-ngapain siapa saja yang dianggapnya sangat sah dan layak dikuliti. Apalagi pertanggug-jawaban sepenuhnya juga ada pada dirinya sendiri.

Lantas apa hubunganya dengan Harian Komentar? Atau apa hubunganya dengan saya yang bekerja selaku kuli tinta di Harian Komentar? Toh Tribun Manado yang di-sileti? (iningkulitan in kai mongondow). Ya, sampai di sini memang tak ada soal. Penyerangan Katamsi terhadap Tribun Manado sekaligus wartawannya yang mulai pedih di sub judul: Amatir dan Asal-Asalan, bukan berarti pula serta-merta membuat saya selaku kuli tinta yang memang amatiran dan baru bekerja di Harian Komentar lantas sekalian merasa di-sileti. Sebab selain bukan saya yang menurunkan berita itu, Tribun Manado-lah yang berulang kali dijadikan obyek untuk ‘’dilukai’’.

Namun, dengan membawa-bawa Komentar, demikian pula media lain yakni Manado Post dalam tulisa di blog-nya, membuat saya pribadi --wartawan yang bekerja di Komentar-- merasa seperti ikut ‘’dikuliti’’, meski yang menulis berita yang seolah-olah disoal itu bukan saya tapi kawan se-profesi di Harian Komentar Biro Jakarta yang meliput persidangan di MK dan menurunkan fakta persidangan tersebut di edisi Kamis (14 April 2011).

Dan di sini pulalah letak keunikan dan kekuatan tulisan ala Katamsi yang tak pelak membuat saya ingat satu kalimat --entah itu pepatah atau apa di dunia pers-- dari salah seorang sahabat yang pernah berkata: ‘’Salah satu gaya penulisan yang kuat dan cerdas adalah yang tidak menyerang objek tertentu tetapi membuatnya terluka, dan itu adalah senjata rahasia paling berbahaya dan cukup mematikan.’’

Kenapa saya seperti seolah-olah sepakat dengan “teori” di atas? Karena --utamanya para awam-- yang membaca tulisan si manusia ‘’berangin-angin’’. Ya, suka memakai istilah ini—di blognya ikut-ikutan menghakimi tiga media sekaligus, yakni Tribun Manado, Manado Post, dan Komentar, sebagai media yang memusuhi Salihi-Yani. Ini terbukti dari omongan beberapa orang yang disampaikan langsung  maupun lewat SMS usai membaca blog tersebut.(Bersambung ke bagian II)***

Sunday, May 29, 2011

Hutan dan Kearifan yang Menguap

DI KAKI Gunung Ambang, hampir 20 tahun silam, saya dan kawan-kawan yang gila alam bebas (sampai-sampai naik gunung kerap lebih penting dari kuliah) mendirikan tenda. Sore itu sembari memandang ladang sayur dan biru Danau Moo’at, perlahan kami lingkupi kabut yang turun membawa dingin.

Hutan di sekitar Gunung Ambang ketika itu masih primer. Hanya di kaki gunung, sebatas yang kuat dijangkau kaki petani, dibuka sebagai ladang. Selebihnya, kayu-kayu raksasa menjulang, yang rerimbunannya menghalangi cahaya matahari menembus ke tanah gembur di bawahnya.

Malam itu kami tertidur di bawah hantaman hujan deras. Dingin dan menyeramkan, apalagi Gunung Ambang lekat dengan kisah-kisah tua tentang para ‘’penjaganya’’. Suara-suara yang datang dari arah hutan pun kian menambah cekaman di jantung. Tapi kantuk dan lelah selalu menjadi pemenang. Tatkala terjaga di pagi hari, kilau permukaan danau dan hijau hutan sejauh mata memandang sungguh sukar dilukiskan.

Beberapa bulan kemudian kawan-kawan (di antaranya ada anggota Mapala Pah’yaga’an Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi –FT Unsrat) kembali lagi ke Gunung Ambang. Pendakian itu nyaris jadi bencana setelah mereka tersesat dalam perjalanan turun dari puncak. Sebab berbekal peta dan peralatan memadai, mereka berupaya memotong jarak turun dengan menerobos hutan. Bukannya tiba lebih cepat, kawan-kawan tersesat dan akhirnya keluar di wilayah Minahasa. Jauh dari jalur pendakian semula, dari wilayah Bolaang Mongondow.

Saya dan kawan-kawan lain yang saat itu sudah bersiap melakukan pencarian, bukannya mendapat tuturan kisah-kisah menakutkan (lagipula aktivis alam babas macam apa yang bermental tempe?), justru dicurahi kekaguman mereka yang tersesat terhadap hutan Mongondow. Hutan yang mereka terobos bukan hanya masih perawan, tapi juga kaya jenis flora dan fauna, termasuk yang endemik Sulawesi dan tergolong langka.

Sudah lama saya tak berkontak dengan sebagian teman yang sama-sama suka menjelajahi gunung dan hutan di Mongondow. Apalagi kami terdiaspora hampir ke seluruh wilayah Indonesia, bahkan ada yang saya dengar cukup lama bermukim di Eropa untuk menyelesaikan studi doktornya. Yang jelas, bila mereka kembali lagi ke Gunung Ambang, mendaki lewat jalur normal dan turun lewat jalur alternatif yang dirintis sendiri, pasti tak bakal tersesat. Sebagian besar hutan di kaki gunung berapi ini sudah dirambah, termasuk oleh illegal logging.

Pohon-pohon raksasa yang dulu tegak tinggal tunggul membusuk dimakan cuaca. Jenis-jenis fauna (terutama burung) yang dulu mengiringi setiap langkah kami yang lelah tapi tak kehilangan semangat, telah lama menghilang dari cabang-cabang pohon yang tersisa. Kalau bukan habis digoreng, mereka pindah ke bagian hutan yang belum terlampau sering dijamah manusia.

Akan halnya pohon-pohon tempat mereka bertengger, membangun sarang dan beranak-pinak, mungkin sudah jadi lemari makan (tempat di mana cucu-cece-cicit si burung yang sudah digoreng bisa jadi disimpan sebelum dihidangkan), kusen pintu, daun pintu, rumah kayu, pun boleh jadi langit-langit rumah seorang politisi atau elit birokrasi di Mongondow.

Melupakan Kearifan

Jauh di belakang, sebelum masa mahasiswa, saya suka bertualang menjelajahi hutan-hutan di sekitar Passi dengan adik bungsu Ayah. Tidak perlu jauh-jauh ke kawasan Taman Nasional di Dumoga. Cukup di ujung Mongkonai, kemudian naik ke arah Passi, melawati perkebunan penduduk, dan setelah berjalan sekitar dua-tiga jam, kami mulai memasuki batas hutan.

Di masa itu saya belajar bagaimana tanpa bekal berlebihan kita tetap survive di dalam hutan Mongondow. Aneka tumbuhan dan hewan (termasuk ulat), tersedia dan siap dijadikan pengganjal perut. Beberapa di antaranya bahkan tergolong lezat dan eksotis, dibanding makanan yang sehari-hari di hadapi di rumah Ayah-Ibu di Jalan Amal.

Setelah itu, di malam-malam selepas Isya, almarhum Nenek, Ayah, atau adik bungsu Ayah, akan bercerita tentang kearifan-kearifan orang Mongondow mendaya-gunakan apa yang disediakan hutan. Jangan menebang pohon muda, karena gunanya hanya buat kayu bakar. Dan untuk kayu bakar, lebih baik memungut ranting dan cabang kering yang jatuh sebab memang sudah saatnya rontok.

Pohon muda yang dijadikan bahan konstruksi rumah cuma akan jadi sarang rayap. Rumah yang berayap tentu buruk bagi penghuninya. Untuk itu, tebanglah pohon tua, yang selain kokoh juga hanya perlu satu-dua pokok dan cukup buat membangun sau rumah ukuran sedang.

Jangan pula menjerat hewan yang sedang bunting atau burung di musim bertelur. Itu sama dengan memutus satu siklus yang pada gilirannya di tahun-tahun mendatang tidak ada lagi yang bisa dijerat.

Intinya, bila kita memperlakukan hutan dan penghuninya sebagai sahabat, dia akan memberikan isi perutnya tanpa henti. Hutan dan seisinya akan menjaga Mongondow dan orang-orang yang menghuni.

Pengalaman dan kearifan-kearifan itu yang kini dengan cepat terlupa dan di lupakan di Mongondow. Hutan dianiaya, bahkan di wilayah yang semestinya jadi kawasan perlindungan. Penganiayaan itu bahkan dengan mudah dipergoki Sekretaris Kabupaten (Sekab) Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Gunawan Lombu, saat meninjau bencana banjir di Desa Ilomata dan Pinolosian.

Di situs Harian Manado Post, Sabtu, 28 Mei 2011 (http://www.manadopost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=96135) saya membaca Lombu Temukan Kayu Illegal di Pinolosian yang memaparkan bagaimana Sekab memergoki puluhan kubik kayu illegal yang siap diangkut keluar Bolsel. Diduga kayu-kayu yang umumnya jenis cempaka itu dijarah dari kawasan hutan lindung Pinolosian, Lion dan Iligon.

Memang ada kearifan-kearifan yang copot di tengah orang Mongondow, yang juga tak peduli (atau bahkan ikut berpartisipasi) terhadap kian gundulnya hutan-hutan yang dulu berkarib dengan nenek-moyannya. Tak usah heran kalau kemudian banjir badang dan tanah longsor jadi kawan baru yang kita akrabi di Mongondow setiap musim penghujan tiba; dan sebaliknya kesulitan air saat musim kemarau datang.

Tanpa kearifan dan penegakan hukum yang keras terhadap para perusak hutan, yang kita panen bukan berkah tapi bencana.***

Saturday, May 28, 2011

Betapa Sulit Mengelakkan Sindrom

PERSAHUTAN antara saya dan staf Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Pemkab Boltim), Ahmad Alheid, terkait isu kerjasama Pemkab Boltim-RS Monompia, dari sisi substansi sesungguhnya sudah selesai. Apalagi setelah mengunggah Anak-Pinak Keliru Humas Pemkab Boltim (Sabtu, 21 Mei 2011), saya menerima pesan pendek dari Kepala Bagian (Kabag) Humas, Arfan Palima.

Di pesan pendeknya, Rabu (25 Mei 2011), Kabag Humas berterima kasih terhadap kritik (memang pedas dan dapat dikategorikan seenaknya) yang saya sampaikan. Dia juga berharap kritik itu dapat menjadi masukan terhadap tantangan tugas-tugas yang dihadapi Humas Pemkab Boltim dan jajarannya di masa datang.

Pembaca, saya mengapresiasi tinggi pesan pendek itu dan amat memahami tak mudah bagi birokrat di posisinya berendah hati, apalagi terhadap kritik yang disampaikan tanpa tedeng aling-aling. Kalau pun Kabag Humas marah dan keberatan terhadap tata cara penyampaian kritik itu, saya tak segan meminta maaf (tentu terhadap cara yang dianggap keterlaluan, tidak pada substansi kritiknya).

Saya menyadari betul penyampaian saya –bahkan untuk hal yang semestinya positif—kerap mengundang tafsir keliru. Banyak yang mengatakan bukan substansinya yang menjengkelkan, tapi caranya yang memang mengundang tensi tinggi. Apalagi, kata seorang kawan dekat yang mengutip (katanya) komentar orang lain, bila itu dilakukan sembari senyum sinis menghiasi wajah.

Berbarengan dengan kesadaran itu, saya juga tak akan menganggap kritik keras terhadap ketidak-sepakatan, perbedaan pendapat, atau bahkan ideologi yang disampaikan ke saya, sebagai ancaman. Risiko orang yang suka membuat banyak pihak jengkel adalah mampu menahan diri dan menerima aneka kritik serta caci maki dengan kepala dingin. Buat saya, adil bila saya ‘’kencang’’ dan sinis lalu direspons dengan cara sama. Asal jangan mengancam dan menakut-nakuti, terutama yang mengarah pada bentrokan fisik.

Membuka dan menempatkan diri sebagai orang biasa, buat saya adalah terapi agar tidak perlahan-lahan mengidap sindrom ‘’yang dituakan’’, ‘’yang dipanuti’’, ‘’Abang’’, ‘’orang kritis yang harus disegani’’ atau sejenisnya. Lebih sedikit punya kebisaan menulis, lebih sedikit berani mengkritik (apalagi bila itu ditujukan ke elit politik dan birokrasi lokal), tidak serta-merta mesti membuat saya mendudukkan diri di posisi tertentu secara sosial.

Di luar sana, lebih khusus di Mongondow, dari aspek berbeda banyak yang lebih hebat. Hanya, mereka belum terekspos.

Menggurui atau Belajar Bersama?

Maka biasa saja pula bila Ahmad Alheid balas mengkritik musabab tulisan Sakit di Pemkab, Sehat di Swasta dianggap salah karena sumber rujukan, Harian Posko Manado, ternyata menulis berita tak akurat. Saya justru heran mengapa Ahmad Alheid sekadar menyerempet-nyerempet (ini juga untuk mempertegas tidak ada cincai antara kami berdua sebelumnya, sebagaimana dugaan yang dilontarkan orang di grup facebook Pinotaba)?

Lalu kalau saya kemudian menulis bantahan dan penjelasan, yang juga menyoroti Kabag Humas, itu berkaitan dengan pengetahuan umum bahwa komunikasi formal keluar dan kedalam di lingkungan Pemkab adalah tanggungjawab dan wewenangnya. Ya, kalau Kabag Humas tidak ‘’pede’’, kurang kapabel, tak ada salahnya diusulkan agar dilakukan penggantian. Namanya usul, boleh-boleh saja, tidak lebih dari itu.

Berbakal latar seperti itu saya membaca tulisan General Manager Harian Posko Manado, Hairil Paputungan, Ujar-Ujar Tamsi dan Celoteh Si Mat, yang dikirimkan menanggapi persahutan saya dengan Ahmad Alheid. Begitu tiba di alinea 9, perlahan-lahan kepala saya mulai membentuk sosok kawan yang di keseharian saya sapa ‘’Abo’ Hairil’’ ini.

Saya membayangkan Hairil Paputungan dengan kopiah haji berwarna putih, baju koko sewarna yang diseterika halus, berkain palakat kotak-kotak putih dan hitam, duduk bersila di hadapan beberapa orang yang menunggu dengan takzim (dan saya juga berada di tengah majelis yang siap menyimak). Lalu dia mulai menderas wejangan tentang dunia kewartawanan, lebih khusus lagi ihwal ombudsman grup Manado Post.

Mula-mula Abo’ Hairil mengangkat tangan kanan agar tampak berwibawa, lalu dengan suara yang sengaja dibuat berat dan serak, dia meriwayatkan hubungan orang per orang yang terlibat dalam diskursus tertulis (kalau bukan debat) isu kerjasama Pemkab Boltim-RS Monompia. Agar lebih sahih dan terpercaya, tak lupa dia memaparkan pengetahuan sejarah dan keterlibatannya dengan orang-orang itu.

Sebab tausiah mesti khusuk dan hadirin mendapat bekal, Abo’ Hairil menyelipkan pula nasihat di sana-sini. Termasuk saya tidak boleh menyuruh minggir Kabag Humas dari jabatannya, sebab itu tindakan yang keterlaluan. Andai dia menambahkan alasan politis, sosial, budaya, atau apa kek, sempurna sudah bayangan saya terhadap sosok Abo’ Hairil yang bijak-bestari: di atas hidungnya bertengger kacamata berbingkai hitam.

Kacamata memang bisa membuat wajah seram dan berandalan sekali pun tampak cool dan intelek.

Wejangan berlanjut ke isu praktis dengan merujuk sepakbola sebagai misal. Di sini Abo’ Hairil terpeleset sekadar meraba-raba, berasumsi, menduga-duga, dan akhirnya mengambil simpulan yang dipetik dari kepalanya sendiri.

Dalam isu kerjasama Pemkab Boltim-RS Monompia yang didiskursuskan tak ada teori konspirasi apalagi kerumitan politik kantor atau intrik-intrik birokrasi-politisi. Isunya sepele: ada berita yang ditulis tak sempurna, kemudian ada pembaca yang cermat dan menjadikan itu dasar kritik terhadap kebijakan Pemkab Boltim, dan ada staf Humas yang mewakili Pemkab menjawab kritikan itu. Masing-masing pihak telah menyampaikan, menjelaskan, meluruskan dan mengklarifikasi informasi yang sebelumnya tak akurat. Kasus selesai dan ditutup!

Sesederhana itu soalnya. Akan halnya tiki-taka, penyerang tunggal, dan kepiawaian pelatih tim sepakbola meramu strategi agar timnya berjaya, mari kita simpan dan dijadikan dasar menganalisa laga Barcelona-Manchester United yang berlangsung Sabtu tengah malam (28 Mei 2011) WIB.

Sampai di sini saya terjaga. Untunglah saya belum membayangkan, sembari menyampaikan wejangannya Abo’ Hairil mulai nampak sepuh. Rambut dan alisnya memutih, wajah dihiasi kerut-kerut yang menggambarkan kebijaksanaan, serta perut bulat gendut perlambang kemapanan dan kemakmuran.***

Ujar-Ujar Tamsi dan Celoteh Si Mat

Tulisan Sakit di Pemkab, Sehat di Swasta yang saya unggah Selasa (10 Mei 2011) ditanggapi staff Humas Pemkab Boltim, Ahmad Alheid (Kesalahan ‘’Dagnosis’’ Terhadap Bupati Boltim, Sabtu, 21 Mei 2011). Terhadap tanggapan itu, saya menulis Anak-Pinak Keliru Humas Pemkab Boltim dan ditayangkan di hari yang sama. Ternyata isunya belum padam dengan ikut sertanya General Manager Harian Posko Manado, Hairil Paputungan, memberi tanggapan.

Oleh Hairil Paputungan
General Manager Harian Posko Manado

SAYA terpingkal sekaligus bangga membaca posting Katamsi Ginano dan Ahmad Alheid karena keduanya menyebut-nyebut SKH (Surat Kabar Harian) Posko di dikursus mereka.

Saya tahu Katamsi punya blog soal Mongondow dan beberapa kali iseng membuka-buka, sekadar ingin tahu apa gerangan yang sedang ramai digunjing. Wajar, bawaan saya sebagai orang Mongondow tetap lekat. Di mana pun dan n , jika soal kampung halaman, pastilah rasa ingin tahu tetap ada (magnitude). Dan tentu karena saya seorang jurnalis, saya juga rindu menulis. Sudah lama saya tidak menulis. Mungkin setahun, bahkan lebih. Beberapa momen politik daerah, juga nasional, tidak memantik minat saya.  Mungkin karena otak saya terlalu dijejali aneka angka-angka target perusahaan.

Semenjak tiga tahun lebih mengurus manajemen saya menjadi lebih sering bergumul dengan angka-angka ketimbang peduli terhadap isu sekitar. Sekali-kali masih menulis berita, itu pun jika rasa rindu akan ruang redaksi sulit diredam. Sekali-kali masih mengedit berita tatkala teman-teman redaksi memancing libido saya karena mereka melakukan kesalahan dalam pemberitaan.

Kebiasaan menulis esai, analisis, entah itu politik dan olahraga yang jadi kegemaran saya, seperti terlupa. Jika pun menulis, hanya sekadar laporan perjalanan bila sedang ke luar daerah atau luar negeri, hingga banyak SMS yang masuk ke ponsel rata-rata bertanya kenapa saya puasa menulis. Biasanya cuma saya jawab singkat: He…. he….

Katamsi dan Ahmad Alheid berhasil memancing saya keluar. Itu pun karena koran tempat saya bekerja disebut-sebut dalam ‘’perseteruan’’ keduanya di blog ini. Saya tahu Posko disentil karena membaca status Alheid di facebook.

Oke, katakanlah wartawan SKH Posko tidak tuntas mengutip keterangan yang disampaikan pada acara itu. Lalu karena dikejar deadline ia tergesa-gesa membuat berita. Atau bisa juga redakturnya kebablasan mengedit hingga memangkas inti acara dimaksud, dan kemudian dijadikan dasar oleh Katamsi --sekadar tambahan, setahu saya, orang Mogolaing dan bekas-bekas pasien ayahnya lebih akrab memanggil si ceking itu dengan nama ‘’Piang’’-- mengkritisi.

Saya lantas mengecek ke Pemimpin Redaksi (Pemred), wartawan yang menulis, juga ke redakturnya. Tentu tidak perlu marah-marah. Tensi tinggi hanya akan mengurangi usia dan perpotensi menambah tekanan darah dan akibatnya hipertensi. Saya memperoleh jawaban, itu sudah kutipan sebenarnya. Tapi karena selalu saya tanamkan kepada wartawan ‘’jangan malu mengaku salah jika memang Anda salah’’, mereka  mengakui ada kesalahan. Beritanya kurang. Terlalu pendek hingga kurang diurai maksud lebih luas.  Kelemahan utama dan alasan paling enteng surat kabar: keterbatasan space.

Lantas saya juga mengecek, apakah Humas Pemkab Boltim telah mengklarifikasi? Sampai sejauh ini, tidak ada protes atau-pun klarifikasi. Semua anteng-anteng saja. Dan bahkan seperti ‘nrimo’ dengan --katakan saja-- kekeliruan pemberitaan SKH Posko.

Sukurlah Ahmad Alheid mengingatkan saya ada yang keliru di pemberitaan itu. Tapi, tidak secara langsung, melainkan karena debatnya di blog ini dengan Katamsi, yang sukur juga saya baca karena di-upload di facebook.

Begini, saya bukan hendak menggurui. Kalau pun dituding menggurui, ya tidak apa-apa. Wong memang tugas saya dari semenjak ada ombudsman selalu menjadi ‘’penjagal’’ terhadap keberatan yang dilayangkan pembaca. Baik ketika masih di redaksi Manado Post (induk SKH Posko) maupun ketika dipercaya menangani manajemen SKH Posko.

Saya enggan menyinggung soal MoU dan segala tetek bengeknya. Apalagi soal layanan kesehatan kepada masyarakat antara Pemkab Boltim dan RS Monompia. Toh tiap hari banyak media menyajikan itu. Bisa ngelantur kejauhan dari pokok masalah jika memaksakan diri nimbrung dalam urusan itu. Biar wartawan saya dan teman-teman wartawan media lain mengulasnya.

Saya hendak mengajak saudara Ahmad Alheid membuka lagi memorinya tentang dunia pers. Jejak rekamnya sebagai aktivis dan pekerja pers rasanya tidak perlu harus segarang itu menuding kesalahan wartawan Posko. Juga terhadap Katamsi, tidak perlu sampai harus menyemprot Mat --capek menyebut nama lengkapnya, mending saya tulis dengan nama panggilan.

Dengan seragam Hansip-nya Mat sudah memiliki kewajiban membentengi atasan. Dunianya sekarang adalah dunia birokrat yang saya tahu persis, dalam hatinya belum sepenuhnya birokrat. Masih ada sisa-sisa ‘’pemberontak’’. Jika ia membantah ‘’vonis’’ saya ini, maka Mat telah membohongi dirinya sendiri. Dan jika ia membalas kritikan Katamsi, maka sebaiknya Katamsi memaklumi itu. Dengan ‘’menghantam’’ Mat dan juga Kabag Humas lewat tulisan balik, rasanya sudah cukup. Hanya sejujurnya tidak baik menyarankan keduanya menghentikan debat. Karena itu bukan jiwa kami.

Kenapa saya sebut kami? Karena saya, Katamsi dan Mat sejatinya bukan cuma sekali makan sepiring, duduk ngopi hingga azan subuh, berceloteh rupa-rupa masalah seolah-olah kami yang paling benar, dan ada yang bahkan sampai tidak berani menghidupkan ponsel karena takut terus-terusan ditelepon istri: diseret pulang!

Kebiasaan nongkrong itu tidak lantas membuat kami selalu sepaham. Lebih banyak beda pendapatnya. Lebih seru. Dan tidak lantas jadi musuhan. Lucunya, kumpulan kami itu dulunya sempat jadi musuh besar penguasa karena dianggap orang-orang Mongondow yang terlalu cerewet. Cuma tahu bermain kata-kata tapi tidak pernah berbuat apa-apa.

Tudingan itu kami aminkan saja. Tidak dibalas dengan hujatan, tapi kritikan tetap jalan. Keras dan menggelitik tapi dibarengi solusi. Biar pun dituding adi’ kolabung (anak kemarin sore). Dan jika Mat dan Katamsi berdebat di blog, itu sesuatu yang biasa. Pun ketika ada media yang memuatnya, itu biasa saja. Juga ketika saya harus meluruskan celoteh keduanya, karena koran saya jadi turut terdakwa.

Mat bersiteguh pada seragam Hansipnya, sebagai corong Pemkab. Lantas oleh Katamsi ia dituding melangkahi tugas Arpan Palima. Anda sih keterlaluan Tamsi. Paling tidak --ini semacam penelusuran batin-- Mat sudah sowan kepada Arpan, ia akan ‘’membantah’’ kritikan Anda. Bahwa katanya Arpan tidak memiliki kemampuan seperti Mat dan disuruh minggir oleh Katamsi, ya, itu juga keterlaluan. Tidak mungkin Eyang – enak juga ya ada Bupati senang dipanggil Eyang--, mengangkat Arpan cuma dengan pertimbangan somu-somu.

Selaku Kabag Humas Arpan saya percaya bisa meng-counter sendiri. Tapi, berhubung ada Mat, yang Arpan juga tahu kapasitasnya, maka kenapa tidak menggunakan keahliannya untuk meng-kick balik Katamsi.

Menurut saya itulah kelihaian sang Kabag. Tidak perlu harus ‘’melevelkan’’ diri dengan Katamsi. Cukup Mat. Mat jadi striker tunggal. Dalam sepakbola, ia bertugas menjebol gawang pada skema 4-2-3-1. Lone Striker (penyerang tunggal) ini sukses diperagakan Spanyol hingga berbuah Juara Dunia 2010 di Afrika Selatan.

Mungkin juga sang Kabag paham betul tentang tiki taka. Main dari kaki ke kaki dan lantas secara perlahan tanpa disadari, musuh sudah tergiring di daerah pertahanannya. Tinggal mencari celah untuk shoot ke gawang. Mat jadi tukang jebol.

Analogi saya bisa benar juga bisa salah. Kalau benar, maka pelatihnya, si Eyang pantas diacungi jempol. Ia menerapkan pola tiki-taka ala Spanyol dalam jajaran kabinetnya. Persoalannya, apakah Kabag Humas dan stafnya menyadari skema modern dalam sepakbola itu? Juga SKPD lainnya? Karena setahu saya, ‘’Hormat, Pak’’, ‘’Siap, Pak’’, ‘’Mohon Petunjuk, Pak’’, masih jadi lagu yang mestinya sudah teramat sumbang.

Kembali pada Tamsi dan Mat. Dua-duanya lama menggeluti dunia pers. Hanya, mungkin Mat lupa membisikan pada sang Kabag bahwa ada mekanisme yang patut ditempuh jika terjadi kesalahan pemberitaan pers.

Pertama, menggunakan hak jawab. Itu wajib hukumnya bagi surat kabar memberi ruang dan tempat yang sama. Jika tidak diladeni barulah melapor ke Dewan Pers. Nah, kebetulan khusus di Grup Jawa Pos Grup-Grup Manado Post, kami punya saluran penghubung yang namanya ombudsman. Bila si koran kumabal, lapor ke ombudsman. Ini dua nama yang tolong di catat: Max Rembang dan Haris ‘Ais’ Kai. Nama terakhir adalah eks wartawan Manado Post yang kini berkiprah di salah satu LSM, tapi tetap difungsikan sebagai ombudsman.

Kalau sudah ditelaah ombudsman dan dinyatakan salah, maka ombudsman merekomendasikan ke managemen untuk meladeni hak jawab yang dirugikan. Kadang jika fatal, wartawan bersangkutan bersama redakturnya kena sanksi keras.

Jika lewat ombudsman terasa mampet, ada Dewan Pers. Tapi, sejauh ini, ombudsman Grup Manado Post berfungsi secara aktif. Belakangan malah jarang bekerja karena komplein akut menjadi berkurang. Kecuali komplein kecil-kecilan dan langsung ke Pemimpin Redaksi-nya. Malah lebih banyak cuma lewat wartawan bersangkutan.

Saya gelitik habis si Mat karena sejatinya dia tahu itu. Tapi dia menulis (kalau tidak mau disebut membela diri atas tulisan Katamsi) Posko-lah yang salah. Dan akibat salah itu, Katamsi ikutan latah melakukan kesalahan. Mengunggah masalah RS Monompia dan mengritisi habis sikap Pemkab Boltim.

Merujuk lebih jauh, tidak usahlah saya ulas tahap demi tahap bagaimana mekanisme pers, undang-undang pers, etika jurnalistik dan lain-lain. Bila Anda butuh, saya siap membagi sedikit pengetahuan tentang ombudsman kepada seluruh SKPD di Boltim. Itu lebih efektif dan lebih enak karena akan terjadi dialog.

Bicara soal ‘’diskusi’’ Mat dan Tamsi, masihkah perlu saya memerintahkan anak-anak redaksi menulis berita yang sebenar-benarnya? Tentu perlu! Tapi, sebelumnya saya berterima kasih Anda sudah meluruskan itu lewat blog. Akan tetapi pembacanya tentu terbatas. Kalau dikorankan pembacanya lebih luas.

Tidak semua orang Boltim bahkan Mongondow Raya, juga Sulut umumnya, sudah melek internet. Jika Anda merasa harus mengklarifikasi, monggo, saya beri ruang. Hanya Anda terlalu lama membiarkan ini menjadi opini. Nanti digelitik Katamsi baru Anda sadar ternyata koran (menurut Anda) salah. Artinya, saya sekarang menjadi tahu, sebagai staf Humas Anda jarang membaca keselurahan media.

Bukan mau ikut-ikutan seperti Katamsi, yang sudah menyatakan bersedia memberi pelatihan. Tanggungjawab sebagai seorang jurnalis menggugah saya untuk berbagi sedikit pengetahuan. Mungkin Anda tidak terlalu butuh karena sudah lebih banyak tahu, tapi masih banyak yang tahu baru sebatas membaca koran, protes dengan marah-marah bila salah, nuding sembrono jika salah kutip dan ujung-ujungnya vonis: wartawan bodoh!

Terima kasih Mat, terima kasih Tamsi, Anda berdua sudah berhasil menepikan serakan kertas berisi angka-angka target di meja kerja saya, agar saya tertarik memelototi blog ini. Dan, ya, inilah kali pertama saya menulis panjang --tidak di koran, semenjak lembaran kalender 2011 dibuka.

Jika Anda berdua masih ingin terus berdebat, silakan. Atau menanggapi tulisan ini, juga silakan. Saya? Cukup kali ini, masih capek berdebat. Sebelum menutup tulisan ini, saya lampirkan berita itu secara lengkap, silakan dinilai di mana letak kesalahannya.***

Masyarakat Boltim Gratis
Berobat di RS Monompia
Caption Foto 1:
GRATIS: Masyarakat saat berobat di Rumah Sakit.(dok)
Caption Foto 2: Sehan Landjar

POSKO, BOLTIM— Berbagai gebrakan dan ide cemerlang  terus  dilakukan Bupati Bolaang Mongondow Timur, Sehan Salim Landjar dan Wakil Bupati Medy Lensun. Semua ini memenuhi apa menjadi kebutuhan masyarakat, terutama bidang pelayanan Kesehatan. Meski sebagai daerah baru, namun Bupati dan Wakil Bupati terus memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.

Buktinya, kini Pemerintah Kabupaten Boltim dan Yayasan pengurus Rumah Sakit Monompia Kotamobagu, bakal membuat dan menyepakati Memorandum of Understanding (MoU), merupakan bentuk kesepakatan kerjasama antara Yayasan RS Monompia dan Pemerintah Boltim, untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Bupati Sehan Landjar menyampaikan bahwa ada satu program pelayanan kesehatan disepakati pihak Yayasan dan Pemkab Boltim. Jika nantinya MoU ini berjalan lancar, maka semua masyarakat diberikan modal Jamkesda apabila  masuk di RS Monompia. “Itu  tanpa mengeluarkan biaya perawatan. Jadi ini bukan bentuk bantuan tetapi penyaluran hak rakyat,"kata Landjar.(mg-04)

Friday, May 27, 2011

Ihwal Bengkok di Pra Jabatan PNS

LELUCON lawas itu bercerita tentang kedigjayaan (juga sinisme) perilaku pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia. Sebab ini lelucon, tentu tak perlu ditanggapi serius, apalagi dijadikan stigma ''pukul rata''.

Alkisah digelarlah lomba memeras cucian skala internasional yang diikuti peserta dari seluruh belahan dunia. Peserta pertama, dari Amerika Serikat (AS), singgap naik ke panggung, memilih celana berbahan jeans, memuntir hingga tak ada lagi air yang menetes. Luar biasa dan harap dimaklumi, pekerjaan sehari-harinya adalah petugas binatu.

Peserta kedua, asal Eropa Timur, bersigegas ke hadapan juri dan penonton, memungut celana berbahan jeans dan jaket berbahan katun, menyatukan dan memuntir sebagaimana yang dilakukan peserta dari AS. Bravo! Sebagaimana yang pertama, peserta kedua juga bekerja di bisnis cuci-mencuci.

Lomba berlanjut dengan peserta berikut yang kurang lebih memperagakan aksi sama. Hasilnya pun tak jauh beda, hingga tiba kontestan yang disebut dengan malas-malasan oleh master of ceremony (MC): peserta dari Indonesia.  Jagoan kita, yang melangkah gontai masuk arena, sungguh tak impresif dan jauh dari sosok yang masuk hitungan bakal jadi pemenang: bertubuh kecil, berperut gendut dengan tampang malas-malasan.

Tapi sebelum penonton meneriakkan ‘’huuuuuuuu….’’ penanda meremehkan, wakil negeri tercinta ini segera beraksi: dia meraup seluruh cucian yang diperlombakan –bahkan ditambah keset yang basah karena luberan air--, mengambil ancang-ancang, dan beraksi. Hasilnya? Juri dan penonton cukup lama terpukau sebelum membahanakan tepuk tangan.

Jadilah kontestan Indonesia satu-satunya peserta yang mendapat standing ovation. Cucian, termasuk keset yang dia peras, bukan hanya tak menyisahkan air, tapi sudah siap diseterika. Ketika gegap-gempita penonton mereda, MC mengumumkan bahwa pekerjaan sehari-hari pahlawan kita ini adalah: PNS!

Pada Mulanya Diperas

Kisah yang saya yakin adalah modifikasi dari humor yang entah sudah versi keberapa ribu itu (kemudian diingatkan lagi oleh seorang kerabat, Jumat pagi, 27 Mei 2011), langsung teringat saat mendengar calon pegawai negeri sipil (CPNS) –sebelum resmi menyandang status PNS— di Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) harus membayar sekitar Rp 750 ribu untuk pra jabatan 2011. Sepegetahuan saya, tradisi mewajibkan CPNS peserta pra jabatan membayar sejumlah biaya itu bukanlah yang pertama saya dengar dan ketahui terjadi di Mongondow.

Sekadar menyebut contoh,  di 2010 lalu CPNS di Bolmong (Induk) merogoh kantongnya senilai (kalau tak salah) Rp 2,5 juta sebagai kontribusi keikutsertaan di pra jabatan. Demikian pula dengan CPNS di Boltim.

Pra jabatan adalah salah satu kewajiban pendidikan dan latihan (Diklat) yang mesti dilalui setiap PNS di Indonesia. Sebagai kewajiban semestinya seluruh biaya menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten (Pemkab) atau Pemkot di mana para CPNS itu bekerja; seperti juga Diklat lainnya yang bahkan memberikan per diem pada pesertanya.

Merekrut PNS bukanlah sulap-sulapan apalagi agar kantor tampak ramai. Dia terintegrasi dengan seluruh sistem perencanaan negara, termasuk anggaran, dari Pemerintah Pusat hingga level Pemkab dan Pemkot. Khusus dua terakhir, Bupati dan Walikota serta jajarannya, yang sudah mendapat alokasi jumlah tertentu PNS yang diperbolehkan direkrut, wajib memasukkan anggaran tetek-bengek –termasuk pra jabatan—dalam APBD-nya.

Kalau beban itu tak dianggarkan di APBD, bukan salah CPNS melainkan bodohnya para pemimpin di level atas birokrasi yang bertanggungjawab terhadap perencanaan anggaran. Masak biaya perjalanan dinas, bahkan yang mendadak dan tak masuk akal sekali pun (misalnya melobi investor, menerima penghargaan Bupati atau Walikota terganteng) dengan cepat dapat disediakan; sementara pra jabatan yang memberikan pemahaman dasar tugas pokok dan fungsi (Tupoksi), disiplin, serta etika dan moral PNS diabaikan dengan sengaja.

Pemimpin yang waras bisa membayangkan beban yang sudah dilalui dan ditanggung seorang CPNS. Katakanlah dia lulusan S1 yang sudah mengeluarkan biaya besar (mungkin dengan melego sepotong sawah milik orangtua) selama kuliah hingga ujian sarjana dan wisuda. Belum lagi menarik nafas lega, langsung dihadapkan dengan tes CPNS yang memerlukan biaya memperlengkapi syarat administrasi dan ikutannya (dengan menjual sepotong sawah terakhir yang masih tersisa). Setelah lulus mesti pula menyiapkan seragam serta atribut pendukung (memangnya seorang PNS boleh berkantor dengan celana Jojon dan kaos oblong?).

Berharap gaji yang baru 80 persen dan biasanya kerap terlambat dibayarkan? Jangan mimpi. Sudah begitu, gaji yang dipas-paskan itu mesti pula disisihkan untuk pra jabatan yang pembiayaannya adalah kewajiban negara. Saya hanya bisa mengatakan: Praktek seperti itu tak lebih dari pengenalan pertama bagaimana rasanya diperas. Pada gilirannya, saat punya jabatan dan kewenangan, saya yakin mereka yang puas makan asam-garam diperas lebih kreatif dan darah dingin melakukan pemerasan.

Pra jabatan yang substansinya memberi perspektif dan mengantar seorang PNS memasuki profesi abdi negara dan pengayom masyarakat; secara terencana diselewengkan menjadi pelajaran bagaimana menjadi maling dan garong atas nama negara dan warganya.

Jalan keluar tercepat membiaya pra jabatan adalah sang CPNS meminjam uang –lewat bank tentu dengan menjaminkan sesuatu (kalau yang tersisa tinggal diri dan harga diri di badan, apa lagi yang bisa diagunkan?) atau berhutang ke siapa pun yang sudi memberi. Karena hutang adalah hutang sementara gaji dan tunjangan hanya klop untuk kebutuhan sehari-hari dan sedikit tabungan, tak heran yang lahir kemudian adalah berbagai siasat yang berujung penyelewengan.

Saya yakin PNS-PNS tua yang sudah pensiun atau yang menjadi birokrat di atas 6-7 tahun bisa bernostalgia bagaimana di zaman mereka (utamanya orde baru yang kerap kita identikkan dengan masa lalu suram) pra jabatan adalah inisiasi indah. Seorang sepupu yang lebih 10 tahun lampau diterima sebagai PNS di lingkungan Departemen Kesehatan bersaksi, ‘’Waktu ikut pra jabatannya saya tidak membayar sepeser pun. Malah setelah selesai kami diberi per diem.’’

PNS yang benar-benar meniatkan diri mengabdi pada bangsa dan negara akhirnya cuma bisa mengusap dada sembari mengingat-ingat syair lagu Padamu Negeri. Ya, padamu negeri kami berbakti, dengan dada yang sesak.***

Thursday, May 26, 2011

CPNS Cigulu-Cigulu

DI RESTORAN Hotel Quality Manado, pagi itu saya dan beberapa orang menemani Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, menikmati sarapannya. Bupati hanya ditemani Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Kabag Humas) –saat itu---, Rizky Lamaluta, sedang kami berombongan lengkap dengan anak bungsu saya yang berulang kali berbisik, ‘’Papa, butul ini Bupati Boltim?’’

Sambil menyeruput kopi dan menggunyah buah segar, Eyang –saya selalu senang menyebutkan nama kecil Bupati Boltim sebab terasa akrab dan tak ‘’mengancam’’—menjelaskan hal-ihwal tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) Boltim 2010 yang hasilnya dia tolak. Mempersingkat kisah, simpulannya adalah: tes tersebut harus diulang karena sejumlah hal yang tak tepat, tak proporsional, dan jauh dari visi kemaslahatan otonomi daerah.

Eyang memaparkan salah satu konsernnya berkaitan dengan formasi lulusan SMA, yang selayaknya diprioritasnya untuk CPNS yang berasal dari Boltim (dalam pengertian sangat lokal). Kita semua yang mengenal Boltim sebelum dimekarkan, segera memahami apa yang dia sampaikan. Apalagi Eyang juga mengungkapkan di jangka panjang CPNS formasi SMA itu bakal di-upgrade lewat pendidikan lanjutan di Perguruan Tinggi (PT) –Insya Allah—dengan beasiswa Pemerintah Kabupaten (Pemkab).

Menurut pendapat saya, ide dan sikap Eyang itu perlu didukung, minimal dengan doa dan sokongan moral. Membuka kompetisi seluas-luasnya dan menyandingkan lulusan SMA di Boltim dengan (misalnya) Manado atau Kotamobagu yang relatif bersekolah didukung fasilitas memadai, dari sudut mana pun tidaklah adil. Tapi menutup peluang lulusan SMA dari luar Boltim turut ambil bagian juga sikap yang tidak fair.

Repotnya, solusi terhadap problem seperti itu tidaklah mudah. Tes CPNS sejauh yang saya tahu sangat generik dan pukul rata. Mau formasi SMA, S1, atau S2, soal yang diujikan sama. Ibarat kompetisi balap, mulai dari yang kelas 90 CC hingga 500 CC, dipersilahkan berlaga bersama sebebas-bebasnya.

Hal yang sama justru menjadi perhatian utama Eyang, yang sudah bertekad meminta pada Gubernur Sulut, SH Sarundajang, dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB), EE Mangindaan, agar dilakukan tes ulang penerimaan CPNS 2010 di  Boltim. Materi tes ulang itu, dalam rencananya, disesuaikan dengan formasi yang bakal direkrut dan dilakukan bekerjasama dengan PT kredibel di Sulut.

Artinya, formasi S1 untuk pertanian misalnya, akan dites dengan materi yang berkaitan dengan pengetahuan sang calon terhadap seluk-beluk pertanian (lebih baik lagi kalau soal-soalnya menyentuh kekhasan pertanian di Boltim, semisal cabe, tomat, poke-poke, dan sebagainya). Demikian pula dengan formasi yang lain.

Di benak saya, model tes seperti itu minimal dapat menjaring calon PNS yang berpengetahuan cukup terhadap bidang ilmu yang dia tekuninya di bangku sekolah. Kalau ingin yang lebih ideal, adopsi tata cara penerimaan karyawan di perusahaan-perusahaan dan institusi mapan, yang tak hanya melewati tes tertulis standar, tapi juga psikologi, kompetensinya, dan interview di mana user secara langsung dapat menilai kapasitas, kapabilitas dan personality si calon.

Pokoknya saya terpukau dengan ide tes ulang CPNS Boltim 2010 dan model yang panjang-lebar Eyang jelaskan. Tidak memerlukan waktu buat saya untuk dengan sembrono mengatakan mendukung 100 persen gagasannya (hingga kini saya tetap pada keyakinan bahwa dukungan itu juga 100 persen benar).

Tes Ulang: Alamak!

Mengingat Eyang tergolong sosok keras kepala, saya yakin tes ulang CPNS 2010 itu bakal dia perjuangkan habis-habisan hingga membuat puyeng Gubernur Sulut dan MenPAN-RB. Setelah berbulan-bulan, berita yang dipublikasi Harian Manado Post, Jumat (20 Mei 2011), Alung: Lapor ke MenPAN-RB, Semua Formasi Tes Ulang, saya sambut sebagai pembuktian kegigihan Eyang.

Berita yang mengutip Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah (BKDD) Boltim, MR Alung, SE, memaparkan persiapan teknis pelaksanaan tes ulang CPNS 2010. Mengukuhkan bahwa persiapan yang dilakukan adalah keputusan singkron dari atas ke bawah (MenPAN-RB, Gubernur Sulut, hingga Bupati Boltim), dituliskan pula bahwa Kepala BKDD akan melaporkan langsung pada MenPAN-RB.

Namun, alangkah terkejutnya ketika Kamis pagi (26 Mei 2011), di hari di mana tes ulang CPNS Boltim 2011 dilaksanakan, saya membuka situs Harian Komentar (http://www.hariankomentar.com/) dan membaca Pemprop Tak Tahu Ujian Ulang CPNS Boltim Hari Ini. Mengutip Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Sulut, Drs Roy Tumiwa, MPd dan Asisten III Setdaprov Sulut, Asiano Gamy Kawatu, SE MSi, dalam tubuh berita dikonfirmasi pelaksanaan tes ulang itu lepas dari koordinasi dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov). Bahkan Kepala BKD menegaskan, ‘’Terus terang kami tidak mengetahui soal ada rencana ujian ulang CPNS di Boltim. Tidak ada surat pemberitahuan dan koordinasi dari Pemkab Boltim.’’

Dokumen terkait yang dikantongi Pemprov, menurut Kepala BKD, hanyalah surat MenPAN-RB yang menyebutkan tak ditemukan kesalahan dan pelanggaran dalam proses penerimaan CPNS Boltim 2010. Di luar itu, belum ada surat yang lain, apalagi agenda ujian ulang.

Waduh, kalau Pemprov tidak tahu karena MenPAN-RB belum (atau tidak) mengizinkan dilakukan tes ulang CPNS Boltim 2010, pelaksanaannya oleh Pemkab Boltim tergolong illegal. Dan tidakkan illegal berkonsekwensi bakal tidak diakuinya tes dan hasilnya. Bakal panjang perkara ikutan yang potensial terjadi: Eyang dan jajarannya bisa digugat peserta tes ulang karena melakukan tindak pidana (minimal penipuan) dan perdata; digugat peserta tes terdahulu yang sudah dinyatakan lulus –apalagi kalau dalam tes ulang mereka tersingkir; atau bahkan diperiksa polisi, jaksa, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dengan sengaja merugikan keuangan negara. Dapat pula digugat ke Pegadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena melakukan kekeliruan administratif atau mengambil kebijakan yang melampaui wewenangnya.

Sembari mengumpulkan lebih banyak informasi, saya berharap Eyang dan jajarannya sudah mengantongi surat MenPAN-RB yang isinya mempersilahkan dilakukan tes ulang CPNS Boltim 2010. Sedang ketidak-tahuan Pemprov, terutama BKD dan Asisten III, semata masalah teknis keterlambatan tibanya tembusan surat dimaksud. Hal biasa yang kerap terjadi dan dapat dimaklumi mengingatnya lelet-nya birokrasi di Indonesia adalah pengalaman yang jamak kita temui sehari-hari.

Yang ditakutkan adalah memang belum ada dan tak pernah ada ‘’restu’’ tes ulang dari MenPAN-RB. Kalau dugaan ini benar, Eyang sengaja meletakkan dirinya di tengah pusaran badai besar. Menerima PNS tidak semudah belanja poke-poke di Pasar Kotabunan, yang hanya membayar, menerima barang, dan urusan selesai. Demikian pula, Boltim masih menjadi bagian dari Indonesia, yang seotonom-otonomnya (sebagaimana semangat otonomi daerah), tetap terikat secara struktural dengan Pemerintah Pusat.

Di titik ini saya hanya bisa mendukung dengan empati (karena tak ada lagi yang bisa dilakukan): ‘’Kuatkan dan tabahkan hatimu, Eyang!’’***

Juru Bicara, Calo atau Walikota?

HARUS dengan cara apa dan bagaimana Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit, dikritik dan diingatkan, khususnya terkait isu Pasar Serasi?

Pertanyaan itu untuk kesekian kali terpaksa saya lontarkan lagi mengingat kegigihan Walikota yang bahkan sudah mengorbankan harga diri dan kewibawaannya. Pembangkangan para pedagang yang diundang berdialog dengan Walikota dan DPR KK di Aula Kantor Walikota, Selasa (24 Mei 2011) membuktikan sebagai ‘’orang nomor’’ satu dia sudah tak dianggap dan diberi muka lagi. Alasan yang dikemukakan para pedagang, seperti dikutip situs Tribun Manado (http://www.tribunmanado.co.id/) juga dingin dan tak peduli: undangan yang disampaikan terlampau kasip.

Di satu sisi, pembangkangan itu juga menunjukkan Walikota jauh dari sosok bijaksana dan cerdas membaca fenomena, termasuk aspek politis dari tindakannya (padahal dari sisi usia dan rekam jejak, semestinya dia masuk kategori politisi matang). Di tengah kemelut, protes, keberatan, dan hujatan, alangkah bijaksana dan pintar bila Walikota dan jajarannya mendatangi para pedagang di Pasar Serasi, berdialog in situ, mendengar dan merespons di jantung suasana yang menjadi nadi dan urat hidup mereka.

Kemarahan dan sinisme yang menggelora belakangan, saya yakin bakal padam seketika. Memberi kehormatan para orang kecil bukan hanya memperkental rasa hormat dan kepatuhan, tetapi juga mengundang pemaafan sukarela, bahkan untuk kekhilafan yang berulang kali dilakukan.

Saya ingin mengingatkan saudara Djelantik Mokodompit bagaimana aktifnya dia menyambangi warga ketika berkampanye sebagai calon Walikota KK di 2008 lalu. Sekadar baca doa karena yang berhajat ingin memanjat syukur punya sepatu baru pun, dia hadiri. Kini, perkara tak sepele sebab menyangkut hajat hidup ribuan orang seperti memindahkan tempat mereka berusaha dan menggantikan dengan investasi dari pemodal swasta raksasa, didekati dengan kekuasaan dan arogansi. Tak heran belakangan saya kerap mendengar satu kata yang diindentikkan dengan Walikota KK: pongah!

Jarak Pasar Serasi dan Kantor Walikota KK hanya sepelemparan batu. Dalam sekejap dia bisa hadir di tengah para pedagang, apalagi dengan kawalan ‘’ngiung ngiung’’ mobil polisi sebagai pembuka jalan. Kecuali kalau Walikota enggan wangi parfumnya tercemar bau selokan, sayur-mayur, ikan, dan sejuta aroma khas pasar lainnya; serta kulitnya buram sebab sensitif terhadap terpaan sinar matahari.

Kotamobagu-Jakarta dengan enteng dia tempuh hampir setiap pekan, lalu apa alasan Walikota enggan menyambangi warga yang harus dia ayomi di Pasar Serasi? Pembaca, dengan kreativitas dan imaji tak terbatas –belum ada undang-undang dan turunannya yang melarang kita memanjakan otak-- silahkan Anda mengarang-ngarang sendiri jawaban yang mungkin.

Kepala Dijawab Dengkul

Bagai maling tertangkap tangan, Walikota KK kini susah payah berkelit dari sorotan, kritik, dan hujatan yang datang dari mana-mana. Respons panik itu tercermin dari ide terbarunya, yaitu membawa perwakilan pedagang melakukan studi banding ke pasar modern yang sudah dibangun Lippo (investor yang disebut-sebut akan mengubah Pasar Serasi jadi pusat perbelanjaan modern). Loh, Pak Walikota yang ‘’katanya’’ sarjana dan sedang studi S2, bukan itu substansi masalah dalam isu Pasar Serasi.

Walau sebagian besar pembaca blog ini paham (mungkin juga mulai bosan), saya ulangi lagi, bahwa pokok soal relokasi pedagang Pasar Serasi dan rencana pembanguna pasar modern di atasnya adalah: Pertama, apakah itu sejalan dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota (RTRWK) KK? Dua, kalau itu sejalan (tapi bagaimana mungkin karena RTRWK KK belum ada), apakah rencana kerjasama antara Pemkot dan investor swasta itu sudah disetujui DPR? Ketiga, pasar di Kelurahan Genggulang dan Poyowa Kecil sudah siap menerima para pedagang yang akan direlokasi atau tidak?

Sebagai mantan anggota DPR RI –yang tidak pernah kedengaran suaranya selama bertahun-tahun— tampaknya satu-satunya pengetahuan menyelesaikan masalah yang pernah dipelajari Walikota KK adalah studi banding. Studi banding sendiri di mana-mana sudah menjadi sasaran caci maki karena terbukti sekadar jalan-jalan atas biaya negara.

Simpulannya, apa pun yang dikatakan dan digagas Walikota KK, sepanjang tidak menjawab tiga pertanyaan mendasar itu, meminjam sinisme anak baru gede (ABG): Kalau bukan pura-pura bego, ya, Walikota memang bego betulan. Yang jadi substansi adalah soal ‘’kepala’’, yang dia katakan dan lakukan justru ‘’dengkul’’. Alhasil, ‘’Jaka Sembung bawa golok atawa tidak nyambung goblok’’.

Kekonyolan itu kian lengkap karena Walikota KK makin kelihatan tak beda dengan juru bicara Grup Lippo; atau bahkan calo yang mati-matian mengusahakan kelompok bisnis ini mesti membangun pasar modern di atas lahan Pasar Serasi. Kemana Kepala SKPD yang seharusnya tampil mengurusi masalah-masalah teknis? Kok harus Walikota yang menyatakan akan membawa dan membicarakan aspirasi para pedagang dengan Grup Lippo.

Pemimpin setingkat Walikota yang tahu persis tanggungjawab, wewenang, kewibawaan jabatan, dan harga diri pribadi, seharusnya jadi perumus kebijakan. Selebihnya, urusan bawahan setingkat Kepala SKPD. Walikota toh bukan pemilik dan pengelola warung sate ayam yang mengurusi mulai dari pembelian ayam, memotong, membersihkan, mengiris, menusuk, membakar, menyajikan, membereskan meja, mencuci piring, hingga menerima pembayaran dengan tangan sendiri.

Lain soal kalau Walikota KK memang menghargai jabatan dan dirinya sendiri hanya setara pemilik warung sate ayam.

Sudah begitu, baik Walikota dan para pendukungnya, membumbui pula keriuhan isu Pasar Serasi dengan tudingan ada oknum tidak bertanggungjawab dan memanfaatkan situasi, mengipas-ngipasi, dan mempolitisasi masalah. Kalau tudingan itu punya landasan kokoh, laporkan ke polisi. Memanfaatkan situasi dan mengipas-ngipasi satu masalah tergolong tindakan provokasi, apalagi kalau itu mengancam stabilitas sosial dan keamanan. Bahkan bisa pula dianggap perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik.

Sebagai salah seorang yang paling brutal mengkritik Walikota KK, saya menunggu-nunggu surat panggilan polisi karena dilaporkan melakukan perbuatan melawan hukum. Kalau itu terjadi, saya yakin (sebagaimana saya meyakini jempol adalah jempol) peristiwanya bakal jadi pentas komedi dan sinisme gegap-gempita.***

Wednesday, May 25, 2011

Banjir dan Nostalgi Ritual Pembersihan

HINGGA 25-30 tahun lalu menonton air berwarna coklat, meluap, menerjang membawa segala macam yang terlewati, dianggap sebagai hiburan buat bocah-bocah di Jalan Amal. Sembari mandi hujan (telanjang dada, hanya bercelana pendek), kami berbaris di pagar salah satu dari tiga jembatan (Amal 1 hingga 3) yang berada di ruas jalan ini hingga ke perbatasan Mogolaing-Motoboi Kecil.

Naiknya volume air sungat di bawah jembatan Amal 1 adalah yang paling seru. Dibanding dua sungai lain, yang pertama ini alirannya memang lebih besar dan di beberapa bagian cukup dalam –seingat saya, di usia 12 tahun kaki saya belum menyentuh dasarnya--, hingga saat banjir suaranya cukup menggemuruh. Merindingkan kuduk.

Dua-tiga hari setelah banjir berlalu, tiga sungai yang melintasi Jalan Amal itu kembali jernih. Sepanjang alirannya juga bersih bagai habis dipoles. Tiba saat bagi saya dan adik-adik menenteng jorang dan cacing, memancing mujair yang biasanya mudah di temukan di tempat-tempat yang berair dalam dipenuhi bebatuan. Kalau sedang mujur, bukan hanya mujair yang tersangkut di ujung kail, tapi belut (bulog) yang nikmat benar disantan pedas oleh almarhumah Nenek.

Kadang-kadang saking asiknya memancing (biasanya dimulai sekitar pukul 13.30 Wita seusai makan siang) waktu terlupa hingga magrib turun. Kalau sudah begitu, siap-siap disambut cubitan Ibu yang perihnya masih membekas hingga hari berikut. Toh namanya anak-anak, tetap tak ada kapoknya. Apalagi kalau sudah menghadapi dan mengganyang mujair goreng saat makan malam.

Ketika duduk di bangku SMA, banjir memberi pengalaman baru: meraup udang dari tomoing. Susah menggambarkan seperti apa bentuk tomoing yang berbahan utama bambu. Kira-kira tak berbeda dengan rakit dilengkapi bentuk kerucut di ujung. Saat banjir, air yang melupa menyeret udang, ikan, dan mahluk-makluk air lain (kerap pula ular yang kesasar), mendamparkan di atas tomoing, siap dipungut siapa saja yang sedang bertugas menjaga.

Salah satu tomoing milik Kakek yang dibangun di ruas Sungai Ongkag, setiap kali banjir menghasilkan berkarung-karung udang dan ikan. Serta, luka dan bengkak-bengkak di tangan karena capit udang sungai di Mongondow tampaknya ditakdirkan dua-tiga kali lebih besar dari tubuhnya. Sama seperti cubitan Ibu yang terlupa oleh mujair goreng; udang dicampur kelapa, cabe, dan beberapa bumbu lain lalu dikukus, jadi obat mujarab perih luka di tangan dan capeknya begadang mengawasi tomoing.

Di luar musim penghujan dan banjir yang menyertainya, sungai-sungai besar di Mongondow jadi arena mandi-mandi dan bermain air. Saking dalam dan derasnya aliran air di sungai-sungai itu, saya pernah hampir tewas tenggelam di Sungai Mopait saat duduk di bangku kelas 1 SMP. Ketika itu ada perkemahan Pramuka di areal Lapangan Terbang Mopait dan –galibnya remaja tanggung—kami sukar dilarang agar tak menyelinap dan berenang sepuasnya.

Saking asiknya main air, saya tak sadar kelelahan. Kaki yang kram membuat saya tak berdaya diseret arus menuju dasar sungai. Untung selembar nyawa di badan ini selamat setelah saya dicengkeram dan diseret ke tepian.

Ritual Pembersihan

Keindahan Mongondow itu kini tinggal kenangan. Air yang mengalir di tiga sungai yang melintasi Jalan Amal tinggal semata kaki. Di musim penghujan volumenya memang bertambah, tapi tak ada lagi gemuruh yang terdengar. Yang tampak justru susah-payahnya air menyeret timbunan sampah, yang meluber ke mana-mana, bila berhenti di ruas-ruas yang menyempit akibat desakan pemukinan yang di bangun bahkan dengan menanggul tepi sungai.

Mujair? Lebih baik menenteng dompet ke pasar. Selain debit air yang kecil, aneka polusi buangan rumah tangga yang digelontorkan langsung ke sungai, ikan-ikan di hampir semua aliran sungai di kawasanpemukiman di Mongondow habis ditangkap dengan arus listrik. ‘’Ikang so abis karna dorang jaga strom.’’

Sungai-sungai yang lebih besar seperti Ongkag tak lebih baik. Debit airnya turun dratis dan ‘’menggila’’ ketika musim penghujan tiba. Tak ada lagi tomoing yang pernah saya dengar sekitar 10 tahun terakhir, sebab yang diseret air bah lebih banyak sampah rumah tangga hingga tanggul kayu dan bebatuan dari hulu. Hutan yang diubah menjadi perkebunan atau digunduli begitu saja, membuat air leluasa menyeret apa pun yang terlewati.

Mandi-mandi di sungai seperti dulu? Hati-hati, bisa disergap kudis dan gatal-gatal.  Pun gemuruh air yang jadi tontonan di masa kecil, kini adalah petanda menakutkan, terutama bagi mereka yang bermukim di sepanjang aliran sungai-sungai besar. Ketakutan itu bisa saya rasakan bahkan ketika berada jauh dari Mongondow, Ahad dan Senin (22 dan 23 Mei 2011), saat sebagian wilayah Mongondow direndam banjir dan didera tanah longsor.

Tahun-tahun belakangan setiap kali musim hujan tiba Mongondow tak luput dari bencana banjir. Air sungai yang dulu banjir dengan tertib (rutinitas banjir malah dianggap sebagai pembersihan alamiah dari hulu hingga hilir), kini tak terkendali dan menjadi ancaman terjadwal. Yang menyedihkan, kawasan-kawasan yang paling parah tergenang adalah lumbung pangan Mongondow seperti Dumoga Barat dan Dumoga Timur.  Ironisnya, di musim kemarau kawasan ini juga yang paling rentang, termasuk dua bendungan (Kosingolan dan Toraut) yang mendangkal dan megap-megap memasok kebutuhan air ribuan lahan sawah di seantero Dumoga.

Kita bukan tak tahu apa penyebab banjir kian tak terkendali itu. Apalagi kalau bukan pembabatan hutan, alih fungsi lahan, dan sejenisnya, yang berujung pada terganggunya keseimbangan lingkungan. Siapa yang menjadi pelaku, kita tahu bersama. Siapa yang semestinya mengawasi dan menegakkan hukum agar tak terjadi kesemena-menaan terhadap lingkungan, kita juga tahu. Termasuk kita pun tahu bahwa bertahun-tahun pengelolaan alam di Mongondow (dan sesungguhnya di Indonesia) dibiarkan menuju ketidak-seimbangan kronis. Sembari, di saat yang sama masif dikampanyekan bahaya bencana, penanggulangan bencana sejak dini, atau tindakan-tindakan lain yang di atas kertas amat luar biasa tetapi miskin dan tak konsisten dalam penerapannya.

Pemerintah di seantero Mongondow (lebih khusus Bolmong Induk) telah gagal menjadi pemimpin bagi masyarakat agar peduli dan menegakkan upaya menyeimbangan lingkungan dan alamnya. Sebaliknya, masyarakat yang apatis dan pragmatis juga secara terstruktur dan konsisten sengaja melupakan kearifan-kearifan tua yang berurat-berakar di Mongondow, yang dulu membuat banjir dianggap membawa berkah; bukan bencana seperti yang sejak awal pekan ini melanda sebagian wilayahMongondow.***

Walikota Mutu Onde-Onde Pulo

TULISAN Pemimpin Kacang, Pemimpin Langsat yang diunggah Minggu (22 Mei 2010) mengundang sejumlah reaksi. Ada yang berkomentar lewat pesan pendek, Blackbery Messenger (BBM), dan ada pula yang menelepon langsung.

Dari semua komentar yang saya terima, setidaknya isu yang di kedepankan berkaitan dengan Pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu (KK) 2013 mendatang, adalah: Pertama, siapa yang kira-kira terbaik di antara nama-nama yang disebutkan dalam tulisan itu? Kedua, kalau calon Walikotanya sudah jelas, bagaimana dengan calon Wawali? Ketiga, adakah sosok alternatif di luar nama-nama yang ditulis itu? Dan keempat, kualitas seperti apa yang sesungguhnya dibutuhkan dari calon Walikota-Wawali demi kepentingan KK di masa datang?

Lucunya, Senin malam (23 Mei 2013), lewat BBM saya berkomunikasi panjang dengan adik saya yang –sudah saya sebutkan di tulisan sebelumnya—bermukim di Eropa. Saya menceritakan reaksi sejumlah warga KK terhadap tulisan Pemimpin Kacang, Pemimpin Langsat. Hanya dalam hitungan kurang dari dua menit, dia menulis, ‘’Itu kan soal prosesnya. Kalau kualitasnya, pakai saja takaran mutu onde-onde.’’

Perlu beberapa jenak berpikir sebelum saya terbahak-bahak terhadap kriteria yang dia sampaikan itu. Memangnya blog ini tentang kuliner? Mula-mula kacang dan langsat, lalu onde-onde. Bisa-bisa berikutnya saya menulis tentang sinambedak, inolut, inambal, dinangoi dan aneka makanan khas Mongondow yang kini kian terpinggirkan.

Sekadar memikirkan jenis-jenis makanan itu saja air liur langsung memercik. Di mana pun berada di luar Mongondow dan mendengar yondog binang-ngo’an serta dabu-dabu misalnya, saya bersedia membayar melebihi kewajaran untuk menikmatinya.

Dibanding daerah lain di Sulut, khasanah kuliner Mongondow sesungguhnya lebih kaya dan variatif. Daftarkan saja seluruh jenis makanan yang kini populer sebagai ‘’masakan Manado’’ lalu ditambah dengan yang benar-benar hanya dikenal di Mongondow semisal ilulut. Sepengetahuan saya teknik memasak daging ala ilulut (tanpa garam tetapi hasilnya tidak tawar) adalah pencapaian pengetahuan masak-memasak yang bukan kebetulan belaka.

Itu sebabnya barangkali ilulut juga tergolong jenis makanan langka yang hanya kita temui di saat-saat khusus, semisal lebaran. Eksotisme ilulut ini membuat saya menjadi tamu pertama di kediamanan Jemmy Lantong yang saya kenal (dan berkawan puluhan) di setiap Idul Fitri.

Material dan Pengolahan

Kita tinggalkan dulu ilulut dan kerabat-kerabatnya dan kembali ke perkara onde-onde. Sepintas tak ada yang istimewa dari jenis kue yang umum dikenal di Mongondow ini, kecuali jadi panganan ideal teman minum kopi di sore hari –apalagi kalau hujan rintik-rintik dan angin membawa udara dingin sepoi-sepoi.

Padahal tidak sedemikian sederhana. Sebelum tersaji, onde-onde berkualitas top dibuat lewat proses yang melibatkan pengetahuan dan pemilihan bahan baku serta keterampilan dalam mengolah bahan yang tersedia.

Mula-mula pembuat onde-onde harus memilih jenis beras yang akan digunakan sebagai bahan dasar. Agar onde-onde yang dihasilkan bermutu prima, digunakan beras ketan (pulo) nomor satu: warnanya putih dengan butiran yang diupayakan hampir 100 persen utuh. Semakin sedikit butiran beras pulo yang patah atau pecah, kian sedap onde-onde yang diproduksi.

Beras pulo pilihan itu kemudian ditumbuk menjadi tepung, sembari juga dilakukan seleksi terhadap bahan dasar lain: gula aren (gula merah) dan kelapa. Gula merah terbaik di Mongondow bukanlah berdasar asalnya (Passi, Modayag, atau Kopandakan), melainkan yang memenuhi kriteria: berwarna tembaga terang, kering, bersih dari logong, lebah, apalagi lalat.

Saat digerus gula merah yang memenuhi kriteria itu bakal halus seragam dan mencair sempurna di dalam onde-onde saat panganan ini dicemplungkan ke dalam air mendidih. 

Akan halnya kelapa yang diparut sebagai pembalur, yang terbaik adalah jenis kelapa dadi dengan kematangan tertentu. Sulit menggambarkan ‘’kematangan tertentu’’ ini, kecuali bahwa dia antara kelapa tua dan yang lewat usia kategori kelapa muda. Kesalahan memilih kelapa membuat hasil parutan kacau balau: terlalu halus atau sebaliknya kasar dan bergelondong.

Tiba saat mengolah seluruh bahan tersebut, jangan lupa daun pondan sebagai pewarna rasa dan pewangi alami. Semakin pas takaran potongan daun pondan yang digunakan, onde-onde panas yang disajikan semakin mengundang selera.

Pengolah onde-onde berpengalaman dan terampil tak perlu menunggu seluruh rangkaian pengerjaannya selesai untuk tahu apakah yang diproduksi bermutu tinggi atau tidak. ‘’Ta onda in ilumantang, tua in no lutu’ don. Dongka bi’ bango’-an bo ukat mako kon pindan.’’ Perpaduan antara beras pulo terbaik, gula merah pilihan, dan kelapa hasil seleksi ahli, adalah onde-onde lembut-kenyal berisi gula cair dengan balutan kelapa merata di seluruh permukaannya.

Kesalahan memilih bahan baku, misalnya yang digunakan beras pulo kelas dua, gula merah jenis asal-asalan, atau kelapa yang kematangannya keliru, menghasilkan onde-onde yang alih-alih membangkitkan selera, justru mengundang kesal. Warnanya tidak putih sedikit keabu-abuan tetapi abu-abu buram, isinya gula merah yang sebagian belum mencair, dengan parutan kelapa yang hanya menempel setempat-setempat.

Bayangkan bila Walikota-Wawali KK periode berikut adalah calon yang dipilih orang banyak dengan cermat seperti beras pulo kualitas ekspor; teruji pengetahuan dan kelakuannya bagai gula merah tanpa cemaran aneka fauna; serta dikemas tim sekelas bango’ dadi yang diseleksi saksama. Saya membayangkan pemimpin seperti itu bukan hanya imaji saya pribadi, melainkan harapan seluruh warga KK.

Masih ada keleluasaan waktu buat masyarakat KK untuk menyeleksi calon Walikota-Wawali yang akan berlaga di Pilwako 2013 mendatang. Sebaiknya kita mencari yang secara personal berkualitas pemimpin, punya kematangan dan pengetahuan mumpuni, serta paling terpenting tidak dikelilingi ‘’benalu’’ yang hanya mengeruk keuntungan diri sendiri dan kelompoknya.***