Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, May 27, 2011

Ihwal Bengkok di Pra Jabatan PNS

LELUCON lawas itu bercerita tentang kedigjayaan (juga sinisme) perilaku pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia. Sebab ini lelucon, tentu tak perlu ditanggapi serius, apalagi dijadikan stigma ''pukul rata''.

Alkisah digelarlah lomba memeras cucian skala internasional yang diikuti peserta dari seluruh belahan dunia. Peserta pertama, dari Amerika Serikat (AS), singgap naik ke panggung, memilih celana berbahan jeans, memuntir hingga tak ada lagi air yang menetes. Luar biasa dan harap dimaklumi, pekerjaan sehari-harinya adalah petugas binatu.

Peserta kedua, asal Eropa Timur, bersigegas ke hadapan juri dan penonton, memungut celana berbahan jeans dan jaket berbahan katun, menyatukan dan memuntir sebagaimana yang dilakukan peserta dari AS. Bravo! Sebagaimana yang pertama, peserta kedua juga bekerja di bisnis cuci-mencuci.

Lomba berlanjut dengan peserta berikut yang kurang lebih memperagakan aksi sama. Hasilnya pun tak jauh beda, hingga tiba kontestan yang disebut dengan malas-malasan oleh master of ceremony (MC): peserta dari Indonesia.  Jagoan kita, yang melangkah gontai masuk arena, sungguh tak impresif dan jauh dari sosok yang masuk hitungan bakal jadi pemenang: bertubuh kecil, berperut gendut dengan tampang malas-malasan.

Tapi sebelum penonton meneriakkan ‘’huuuuuuuu….’’ penanda meremehkan, wakil negeri tercinta ini segera beraksi: dia meraup seluruh cucian yang diperlombakan –bahkan ditambah keset yang basah karena luberan air--, mengambil ancang-ancang, dan beraksi. Hasilnya? Juri dan penonton cukup lama terpukau sebelum membahanakan tepuk tangan.

Jadilah kontestan Indonesia satu-satunya peserta yang mendapat standing ovation. Cucian, termasuk keset yang dia peras, bukan hanya tak menyisahkan air, tapi sudah siap diseterika. Ketika gegap-gempita penonton mereda, MC mengumumkan bahwa pekerjaan sehari-hari pahlawan kita ini adalah: PNS!

Pada Mulanya Diperas

Kisah yang saya yakin adalah modifikasi dari humor yang entah sudah versi keberapa ribu itu (kemudian diingatkan lagi oleh seorang kerabat, Jumat pagi, 27 Mei 2011), langsung teringat saat mendengar calon pegawai negeri sipil (CPNS) –sebelum resmi menyandang status PNS— di Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) harus membayar sekitar Rp 750 ribu untuk pra jabatan 2011. Sepegetahuan saya, tradisi mewajibkan CPNS peserta pra jabatan membayar sejumlah biaya itu bukanlah yang pertama saya dengar dan ketahui terjadi di Mongondow.

Sekadar menyebut contoh,  di 2010 lalu CPNS di Bolmong (Induk) merogoh kantongnya senilai (kalau tak salah) Rp 2,5 juta sebagai kontribusi keikutsertaan di pra jabatan. Demikian pula dengan CPNS di Boltim.

Pra jabatan adalah salah satu kewajiban pendidikan dan latihan (Diklat) yang mesti dilalui setiap PNS di Indonesia. Sebagai kewajiban semestinya seluruh biaya menjadi tanggungjawab Pemerintah Kabupaten (Pemkab) atau Pemkot di mana para CPNS itu bekerja; seperti juga Diklat lainnya yang bahkan memberikan per diem pada pesertanya.

Merekrut PNS bukanlah sulap-sulapan apalagi agar kantor tampak ramai. Dia terintegrasi dengan seluruh sistem perencanaan negara, termasuk anggaran, dari Pemerintah Pusat hingga level Pemkab dan Pemkot. Khusus dua terakhir, Bupati dan Walikota serta jajarannya, yang sudah mendapat alokasi jumlah tertentu PNS yang diperbolehkan direkrut, wajib memasukkan anggaran tetek-bengek –termasuk pra jabatan—dalam APBD-nya.

Kalau beban itu tak dianggarkan di APBD, bukan salah CPNS melainkan bodohnya para pemimpin di level atas birokrasi yang bertanggungjawab terhadap perencanaan anggaran. Masak biaya perjalanan dinas, bahkan yang mendadak dan tak masuk akal sekali pun (misalnya melobi investor, menerima penghargaan Bupati atau Walikota terganteng) dengan cepat dapat disediakan; sementara pra jabatan yang memberikan pemahaman dasar tugas pokok dan fungsi (Tupoksi), disiplin, serta etika dan moral PNS diabaikan dengan sengaja.

Pemimpin yang waras bisa membayangkan beban yang sudah dilalui dan ditanggung seorang CPNS. Katakanlah dia lulusan S1 yang sudah mengeluarkan biaya besar (mungkin dengan melego sepotong sawah milik orangtua) selama kuliah hingga ujian sarjana dan wisuda. Belum lagi menarik nafas lega, langsung dihadapkan dengan tes CPNS yang memerlukan biaya memperlengkapi syarat administrasi dan ikutannya (dengan menjual sepotong sawah terakhir yang masih tersisa). Setelah lulus mesti pula menyiapkan seragam serta atribut pendukung (memangnya seorang PNS boleh berkantor dengan celana Jojon dan kaos oblong?).

Berharap gaji yang baru 80 persen dan biasanya kerap terlambat dibayarkan? Jangan mimpi. Sudah begitu, gaji yang dipas-paskan itu mesti pula disisihkan untuk pra jabatan yang pembiayaannya adalah kewajiban negara. Saya hanya bisa mengatakan: Praktek seperti itu tak lebih dari pengenalan pertama bagaimana rasanya diperas. Pada gilirannya, saat punya jabatan dan kewenangan, saya yakin mereka yang puas makan asam-garam diperas lebih kreatif dan darah dingin melakukan pemerasan.

Pra jabatan yang substansinya memberi perspektif dan mengantar seorang PNS memasuki profesi abdi negara dan pengayom masyarakat; secara terencana diselewengkan menjadi pelajaran bagaimana menjadi maling dan garong atas nama negara dan warganya.

Jalan keluar tercepat membiaya pra jabatan adalah sang CPNS meminjam uang –lewat bank tentu dengan menjaminkan sesuatu (kalau yang tersisa tinggal diri dan harga diri di badan, apa lagi yang bisa diagunkan?) atau berhutang ke siapa pun yang sudi memberi. Karena hutang adalah hutang sementara gaji dan tunjangan hanya klop untuk kebutuhan sehari-hari dan sedikit tabungan, tak heran yang lahir kemudian adalah berbagai siasat yang berujung penyelewengan.

Saya yakin PNS-PNS tua yang sudah pensiun atau yang menjadi birokrat di atas 6-7 tahun bisa bernostalgia bagaimana di zaman mereka (utamanya orde baru yang kerap kita identikkan dengan masa lalu suram) pra jabatan adalah inisiasi indah. Seorang sepupu yang lebih 10 tahun lampau diterima sebagai PNS di lingkungan Departemen Kesehatan bersaksi, ‘’Waktu ikut pra jabatannya saya tidak membayar sepeser pun. Malah setelah selesai kami diberi per diem.’’

PNS yang benar-benar meniatkan diri mengabdi pada bangsa dan negara akhirnya cuma bisa mengusap dada sembari mengingat-ingat syair lagu Padamu Negeri. Ya, padamu negeri kami berbakti, dengan dada yang sesak.***