Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, May 21, 2011

Lidah Memang Tak Bertulang

BANYAK hal dalam hidup yang tak dapat ditarik kembali. Batu yang telah dilontarkan, waktu yang kita lewati, atau kata-kata yang diucap.

Saya tak ingat lagi siapa yang pertama kali mengirim serangkaian slide tentang kearifan itu. Yang saya ingat kisah yang diceritakan adalah tentang seorang gadis yang duduk bersebelahan dengan seorang laki-laki di ruang tunggu bandara. Sambil menunggu boarding, si gadis duduk membaca sembari menikmati sebungkus kue yang dia beli di pastry shop.

Setiap kali dia mengambil sebiji kue, sembari tersenyum sopan laki-laki di sampingnya juga melakukan hal yang sama. Begitu seterusnya. Kendati sebal, sang gadis tidak menegur, bahkan sekadar sepatah kata. Dia hanya bersungut-sungut, ‘’Kurang ajar betul laki-laki di samping ini.’’

Lalu panggilan masuk pesawat pun terdengar. Si gadis bergegas membereskan bawaan, memasukkan buku yang sedang dibaca ke tas tangan, dan berlari ke pintu keberangkatan tanpa memperdulikan si laki-laki yang di wajahnya terus menyunggingkan senyum sopan.

Di pesawat, masih dengan hati yang dongkol, setelah seatbelt sign dipadamkan, si gadis merogoh tas tangan. Waktu untuk meneruskan bacaannya. Betapa terperanjatnya dia takkala meraba ada sebungkus kue di dalamnya. Kue-kue yang dia beli dari pastry shop ternyata masih utuh. Tak berkurang sebiji pun.

Setelah itu, berjam-jam penerbangan yang dia lalui hanya dipenuhi penyesalan di benak. Kue yang dia nikmati di ruang tunggu bandara adalah milik si laki-laki yang memberinya senyum sopan dan pengertian, sementara dia terus-menerus merutuk sebab menganggap si laki-laki lancang ikut menikmati kuenya tanpa izin. Andai waktu bisa diputar, dia ingin kembali, duduk berbagi kue dengan si laki-laki, menikmati senyumnya, bercakap-cakap sebagaimana sopan-santun dua orang yang kebetulan bertemu di perjalanan.

Kata-Kata Telah Diucapkan

Sejak Rabu (18 Mei 2011) lalu, usai membaca Djelantik Janji Tak Tinggalkan Pengusaha Lokal yang dipublikasi situs Tribun Manado, saya berkeinginan mengirimkan presentasi penuh kearifan itu lewat email ke Walikota Kota Kotamobagu (KK). Masalahnya, file yang akan dikirimkan sangat besar dan –tak kurang penting—saya tidak tahu alamat email Walikota dan Pemkot KK. Situs resmi Pemkot KK, http://www.kotamobagukota.go.id/ tidak menyediakan informasi memadai bagaimana berkomunikasi dua arah dengan jajaran Pemkot.

Walikota boleh berkoar-koar ingin menjadikan KK sebagai kota modern dengan salah satu titik berat sektor jasa dan perdagangan. Di abad 21 ini, kota dengan visi sedemikian canggih, tanpa –minimal— alamat email yang dapat dihubungi, benar-benar lelucon basi.

Tapi untuk apa presentasi itu? Pesannya adalah: Apa yang sudah Anda katakan dan lakukan, terutama menyangkut hajat-hidup orang banyak serta tanggungjawab sebagai Walikota KK, harusnya disadari sebagai sesuatu yang tak bisa ditarik kembali. Waktu telah mencatat dan perbuatan serta kata-kata yang diucapkan terekam di sana.

Arena Politik

Di isu relokasi pedagang dan investasi pasar modern di Pasar Serasi yang kini jadi topik panas di KK, pernyataan Walikota yang dikutip Tribun Manado itu membuktikan lidah politikus Mongondow umumnya setepat-tepat pepatah ‘’memang lidah tak bertulang’’ –pada dasarnya saya belum menemukan lidah yang punya tulang. Tapi namanya pepatah, ya, kita amin-kan saja. Kenyataan dari apa yang dipraktekkan dan diucapkan berjarak bagai Passi dan Lolayan.

Apalagi di hari yang sama Harian Manado Post menulis DPR KK yang tidak dilibatkan menyetujui kerjasama investasi di Pasar Serasi bersiap membuat panitia khusus (Pansus). Ditajuki DPRD Siapkan Pansus Serasi, berita yang mengutip legislator Ir Ishak R Sugeha, mengkonfirmasi bahwa berkaitan rencana investasi di atas lahan Pasar Serasi, Walikota KK hanya melibatkan perorangan di DPR, bukan kelembagaan.

Dua pernyataan yang saling bertolak belakang itu bisa diartikan: Walikota tak akan meninggalkan pengusaha lokal, sebab sejak mula dia memang tak memperdulikan mereka. Pun tak menganggap perlunya keterlibatan DPR sebagai representasi suara rakyat (sekonyol-konyolnya perilaku anggota DPR di KK, mereka adalah wakil masyarakat KK), kendati asset yang dikerjasamakan adalah milik Pemkot –itu pun kalau dokumennya lengkap dan memenuhi seluruh persyaratan legal.

Dusta sungguh merepotkan karena harus ditutupi dengan dusta berikut. Itu yang saya cermati dari ‘’silat‘’ yang mati-matian dimainkan Walikota KK, setelah terlalu banyak keberatan terhadap relokasi dan rencana kerjasama Pemkot dengan pihak swasta di lahan Pasar Serasi. Alih-alih mengakui kekeliruan, meminta maaf, dan memulai seluruh proses yang terkait isu Pasar Serasi sebagaimana mestinya, Walikota justru menambah amunisi baru lewat pernyataan yang dikutip Harian Manado Post, Kamis (19 Mei 2011), Djelantik Minta Dukungan Stakeholder: Pasar Bukan Arena Politik.

Kalau bukan arena politik, mengapa respons Walikota KK terhadap isu Pasar Serasi tidak dilakukan dengan pendekatan sistematis dan terstruktur sesuai undang-undang (UU) dan turunannya? Jawab dong pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan banyak pihak (mulai dari anggota DPR RI, DPR KK, hingga orang kebanyakan) mengapa relokasi dilakukan tanpa persiapan matang? Mana Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota (RTRWK) yang menjadi panduan membangun dan mengembangkan KK? Mana pula persetujuan DPR KK terhadap rencana kerjasama investasi di atas lahan Pasar Serasi antara Pemkot dan pihak swasta?

Di luar jawaban profesional yang masuk akal (bila perlu dilengkapi naskah akademik yang paripurna dikaji para ahli), tentu apa pun pernyataan Walikota KK maknanya politis semata. Pengalaman warga KK sejak Djelantik Mokodompit menjabat Walikota membuktikan, omongannya sukar dipegang layaknya pernyataan seorang pemimpin kredibel. Ibaratnya, pagi sudah tempe, eh, sore berubah lagi jadi kedelai.

Politisi dan pemimpin yang secara politis tak bisa dipercayai, hukuman tertingginya adalah kehilangan legitimasi politik. Kita lihat nanti di 2013 apakah masyarakat KK sadar politik atau tidak.***