Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, May 7, 2011

Bagimana Ini, Pak Bupati Hamdan?

DI ANTARA empat kabupaten dan satu kota di Mongondow, selama ini saya memberi apresiasi tinggi terhadap Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), lebih khusus pada kepemimpinan Bupati Hamdan Datunsolang dan Wakil Bupati (Wabup) Depri Pontoh. Di permukaan pasangan ini dibicarakan sebagai pembawa terobosan dan penjawab harapan masyarakat lewat menejemen pemerintahan tegas, disiplin, dan transparan.

Berulang kali saya mendengar pujian terhadap --terutama kepemimpinan-- Handam Datunsolang. Salah satu yang mentah-mentah saya telan dan percayai adalah: Pejabat di Bolmut yang berkinerja buruk pasti dihukum (dengan pencopotan), sedang yang cemerlang menuai reward setimpal. Pendeknya kalau ada Kepala Dinas yang dicopot Bupati, dia pasti pomponu atau "Abunawas" yang tertangkap tangan berlaku culas.

Di media massa terbitan Sulut pun Bupati dan jajaran diberitakan dengan positif. Bolmut tak pelak diam-diam mulai jadi rujukan empat daerah Mongondow lainnya.

Seluruh kesan positif itu kian lengkap setelah saya kebetulan hadir di satu pertemuan informal sejumlah elit Mongondow, antaranya Ketua Komisi V DPR RI, Yasti S Mokoagow; Wawali KK, Tatong Bara, Bupati Boltim, Sehan Lanjar; Bupati Bolsel, Herson Mayulu; Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016 terpilihih, Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, serts beberapa anggota DPR. Salah satu topik yang diperbincangkan adalah bagaimana terobosan menejemen pemerintahan yang dapat mengekselarasi pembangunan di tiap kabupaten dan kota di Mongondow.

Menanggapi diskusi yang bergulir, saya kemudian mengemukakan banyak mendengar capaian positif dari kepemimpinan Hamdan Datunsolang-Depri Pontoh. Apa yang saya sampaikan langsung dibenarkan Bupati Bolsel. Bahkan, menurut Herson Mayulu, dia banyak belajar dari apa yang sudah diterapkan di Boltim, seperti yang paling sederhana adalah gaji PNS ditransfer ke rekening istri, tidak ke yang bersangkutan.

Ide itu sebenarnya tidak orisinal, walau pun praktek yang umum adalah suami yang bekerja --terutama di perusahan atau institusi berstandar tinggi-- disarankan menerima gajinya lewat rekening istri; atau sebagian gajinya otomatis ditransfer ke rekening istri. Namun, di Mongondow tetap saja itu terobosan cukup revolusioner, paling tidak terhadap kedisiplinan pengelolaan keuangan domestik yang biasanya jadi domain para istri. Lebihnya, saya yakin mampu mengerem niat para suami PNS  ber-Bang Toyip di luar sana.

Penjelasan Bupati Bolsel dipertegas Bupati Boltim, Sehan Lanjar, yang memuji Handam Datunsolang sebagai sosok pemimpin berlatar birokrat yang tahu persis apa kebutuhan dan tuntutan daerah yang dipimpinnya. Menurut Sehan Lanjar, Bupati Hamdan juga mampu menggerakkan energi kreatif jajarannya dalam memaksimalkan seluruh sumber daya yang ada dan tersedia demi kepentingan seluruh masyarakat Bolmut. Government mobile (GM) yang digagas Bupati Bolmut, di mana di waktu-waktu tertentu dia bersama jajaran SKPD berkantor di salah desa di kecamatan yang dipilih, mengecek langsung kinerja birokrasi di bawah dan mendengarkan apa kata rakyat, adalah salah satu contoh kemampuan Hamdan Datunsolang menggerakkan seluruh potensi itu.

Usai pertemuan saya pulang dengan gambaran ideal seorang pemimpin yang tepat untuk konteks dan kebutuhan di wilayah Mongondow.

Kemasan Pencitraan

Maka sungguh mengejutkan ketika di akhir pekan ini secara tak sengaja saya mendengar dan menemukan sejumlah hal yang --terus terang-- menerbitkan syak terhadap kepemimpinan ideal Bupati Handam Datunsolang. Di satu pihak saya juga mempercayai sumber info ini, karena yang disodorkan bukan hanya cerita, tetapi bukti keras yang tak perlu diperdebatkan keabsahannya.

Mula-mula yang diceritakan adalah GM yang lama-kelamaan berubah bukan lagi menjadi kontrol Bupati terhadap kinerja di jajarannya terbawahnya, tapi kerap berubah sebagai ajang "curahan hati" (curhat), termasuk untuk hal-hal yang sama sekali tidak berhubungan dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Contohnya, kisah sumber-sumber ini, di satu kegiatan GM, Bupati "curhat" tentang sopirnya (atau mantan sopirnya?) yang menjelek-jelekkan dia dan keluarga, padahal yang bersangkutan sudah diperlakukan bagai kerabat.

Mendengar cerita itu, saya langsung menyetop dan mengatakan gosip dan spekulasi bukanlah hal yang saya sukai. Lagipula saya tak bisa membayangkan Bupati Handam Datunsolang "curhat" seperti itu, yang tak beda dengan artis dadakan berkeluh-kesah di tayangan infotainment. Menurut saya itu pasti nggak banget, deh.

Tapi ketika para sumber itu bercerita tentang bagaimana pontang-pantingnya jajaran di bawah bekerja memenuhi tuntutan Bupati, sementara dukungan anggaran --termasuk tunjangang kinerja yang diterima para birokrat di level atas-- macet seperti keran mampet, saya jadi serius menyimak. Apa contohnya? Sumber-sumber saya kemudian mencontohkan bagaimana Puskemas-Puskesmas di Bolmut dituntut memberikan pelayanan kesehatan prima, sebagaimana yang dijanjikan Bupati. Sayangnya, tuntutan itu tidak disertai penyediaan dana memadai. "Saat ini saja sudah masuk bulan keempat belum diterimanya dana operasional pengelolaan Puskesmas," tutur sumber saya.

Jangankan tunjangan tunjangan kinerja, dana operasional yang jadi tulang punggung dapat-tidaknya, maksimal atau letoinya pelayanan Puskesmas terhadap warga yang membutuhkan, ternyata luput dari kontrol Bupati yang rajin ber-GM. Akibatnya, ungkap sang sumber, empat Kepala Puskesmas berniat mengundurkan diri sebab kuatir dijadikan sasaran kemarahan Bupati untuk sesuatu yang di luar jangkuan tangan mereka.

Nestapa birokrat bidang kesehatan itu masih ditambah lagi dengan adanya potongan Rp 5.000 per bulan di bukti gaji mereka, yang "katanya" untuk dana Hari Kesehatan Nasional (HKN). Lho, biaya perayaan Hari Kesehatan yang hanya setahun sekali kok harus dengan memotong gaji PNS di sektor ini?

Saya makin tak mengerti karena potongan gaji itu bukan satu-satunya. Gaji PNS di Bolmut ternyata juga terkena potongan Rp 25.000 per bulan untuk dana koperasi. Apa koperasinya, usahanya, dan pengelolanya, dijawab oleh semua sumber saya dengan gelengan kepala tanda tak tahu.

Dengan mengedepankan praduga baik, saya harus menyatakan tidak percaya dengan apa yang diceritakan itu, walau pun ada bukti slip gaji yang juga diperlihatkan. Paling-paling yang dapat saya lakukan adalah melontarkan pertanyaan, "Bagimana ini, Pak Bupati Hamdan?" Jangan-jangan yang saya dengar dan baca di media massa selama ini cuma hasil dari kemasan pencitraan yang sukses. Kalau itu yang terjadi, sungguh sangat disayangkan.***