Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, May 1, 2011

Politik Itu Bengis, Nak!

Kapan kita jumpa di medan yang sama?

(Sajak Orang Hilang, Hamri Manoppo, 1 Mei 2011)

AHAD pagi –sebenarnya sudah menjelang siang— (1 Mei 2011) saya dibangunkan sejumlah pesan pendek. Mengesalkan, tapi saya tidak punya kebiasaan mematikan telepon (namanya telepon genggam, berarti kemana pun kita pergi seharusnya benda sialan ini ikut). Walau pun subuh sudah terjaga, mestinya melanjutkan tidur setelah rutinitas pagi adalah kemewahan yang dicecap sepuasnya.

Pesan-pesan pendek aneka rupa itu substansinya sama. Ada yang menanyakan, ‘’Apakah Abang serius berperkara dengan Sehan Ambaru?’’ (Pengirimnya tentu mengikuti ancaman somasi yang dilontarkan Sehan Ambaru di Harian Radar Totabuan dan Harian Radar Manado; juga yang saya unggah di blog ini). Ada pula yang mengingatkan, ‘’Masak dengan anak kecil Abang seserius itu.’’ Yang kedua, puisi yang ditulis dan diunggah Hamri Manoppo di grup facebook Pinotaba, Sajak Orang Hilang.

Mari Berperkara

Pada semua yang bertanya apakah saya serius ingin berperkara dengan Sehan Ambaru (sekali pun dia anak kecil kemarin sore –dan saya tidak ambil pusing sepanjang dia sudah akil balik, sarjana pula), saya dengan penuh keyakinan mengatakan: Ya! Saya ingin berperkara tidak atas nama ego, sakit hati, dendam, atau sejenisnya. Saya tidak kenal pribadi Sehan Ambaru; tidak pula punya urusan selain sebagai warga negara dan orang Mongondow yang prihatin melihat ulah birokrat seperti yang dia pertontonkan.

Telah cukup lama saya mendengar nama Sehan Ambaru (serta beberapa nama lain) disebut-sebut di Mongondow dengan segala atributnya. Di tiap event politik dan sosial mereka bersuara seolah-olah adalah para pemegang otoritas yang mengantongi restu orang banyak. Di saat yang sama, saya juga tahu semua perkara yang melibatkan orang-orang itu berakhir seperti asap terbang ke langit. Tak meninggalkan bukti kongkrit apa pun bagi kemaslahatan orang banyak, kecuali mungkin diri mereka sendiri.

Tapi ada urusan apa saya dengan mereka? Kalau orang Mongondow –yang jumlahnya ratusan ribuan—tak ambil pusing, mengapa saya membuang-buang waktu demi sesuatu yang nothing?

Saya baru benar-benar terusik ketika tahu dia mengunggah dokumen pribadi Salihi Mokodongan ke grup facebook. Ini pelanggaran tidak termaafkan (sebagai sarjana hukum, kalau dia bersekolah dengan genah, pasti tahu undang-undang mana yang langsung menjerat lehernya). Dokumen tersebut bukan dokumen publik dan belum menjadi publik. Kalau pun itu diperoleh dari institusi yang punya otoritas, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bolmong misalnya, apakah ketika itu dokumen tersebut sudah diverifikasi dan diumumkan?

Sudah saatnya perilaku tak beradab anak-anak muda kemarin sore yang besar kepala itu dihentikan. Tiba waktunya mereka mendapat pelajaran bahwa ada beda antara otak dan dengkul; ada beda antara berani dan sok berani; beda pula antara pahlawan dan sok pahlawan.

Kulminasi dari cermatan saya adalah insiden Kamis (31 Maret 2011) yang terjadi antara Sehan Ambaru dan salah seorang Kasubag di Bagian Humas Pemkab Bolmong. Mengetahui peristiwa itu (yang disaksikan cukup banyak kepala), saya menyimpulkan: Pelakunya jenis manusia tidak tahu diri berotak udang (Anda tentu paham otak udang berdempet langsung dengan kotorannya), PNS yang baru saja diterima, yang modal satu-satunya hanya petantang-petenteng.

Karenanya, saya memang siap berperkara dengan Sehan Ambaru. Seserius surat Peringatan Pertama yang saya kirimkan ke yang bersangkutan dan Surat Pemberitahuan Pertama yang dikirimkan ke atasan langsungnya di Pemkab Bolmong. Namun, karena keinginan berperkara itu bukan atas nama ego, sakit hati, dendam, atau sejenisnya, saya tidak menginginkan hasil akhirnya adalah pemecatan sebagai PNS; tapi cukup yang lebih pedih dari itu.

Harap dicatat: penafsiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil tak perlu diperdebatkan lagi. Penyalahgunaan wewenang oleh PNS, apalagi karena mendukung salah satu calon dalam Pilkada (seperti yang dilakukan Sehan Ambaru), hukuman terberatnya adalah pemecatan.

Menggurui Maha Guru

Ada yang baru saya ketahui, itu pun dari lalu lintas komentar di grup facebook Pinotaba (secara lisan saya sudah memohon izin pada administrator Pinotaba untuk mengutip grup ini), ternyata dalam isu ijazah Salihi Mokodongan, Sehan Ambaru pernah mendatangi Hamri Manoppo dan menggurui dia hal-ihwal kekeliruan ijazah itu. Astaga, seandainya saya tahu peristiwa ini lebih awal, secara pribadi saya akan mencari Sehan Ambaru dan menempeleng otak udang bebalnya.

Pembaca, di awal 1980-an ketika saya belum menginjakkan kaki di Universitas Sam Ratulangi --saya memulai tes di Fakultas Kedokteran (FK) dan kemudian berakhir di Fakultas Teknik (FT) lalu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)--, sebagai penyuka sastra dan aktivisme, ada dua nama Mongondow yang memukau saya. Hamri Manoppo dan Erickson Tegela. Nama kedua bahkan yang betul-betul meracuni saya dengan bacaan sastra kelas berat, termasuk selalu membawakan Majalah Sastra Horison yang di zaman itu menjadi indikator bernas atau tidaknya bacaan seseorang.

Namun, Hamri Manoppo-lah yang kemudian menyempurnakan kegilaan saya membaca, sastra, dan aktivisme; ketika di masa pertengahan SMA dia menjadi Wali Kelas, Om yang baik, teman yang –meminjam bahasa anak muda sekarang— oke banget, dan kawan bertualang ke kebun-kebun di wilayah Lolayan. Dia, yang anehnya selalu ‘’bertemu’’ di persimpangan-persimpangan penting jalan hidup saya, bagi kami –sejumlah anak Mongondow yang dekat dengannya sejak masa SMA--, adalah salah seorang ‘’Maha Guru’’ yang selalu dihormati hingga saat ini.

Di masa kuliah, saya menemukan bahwa Hamri Manoppo meninggalkan jejak berakar di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Manado –kini Universitas Negeri Manado (Unima) di Tondano. Buku kumpulan puisi yang dia terbitkan bersama beberapa kawan kuliahnya, antara lain Kamajaya Al Katuuk dan Karel Takumansang, Bukit Kleak Senja (1991), hingga kini masih terpanjang rapi di dereten ribuan buku di perpustakaan pribadi saya.

Bukan sebab mengangumi Hamri Manoppo lalu saya akan mengejar Sehan Ambaru yang tak bisa membedakan profesionalisme profesi pilihannya dan politik (juga politicking) ke lobang tikus mana pun dia pergi. Tidak. Apa yang saya lakukan tidak berhubungan sama sekali dengan sikap Hamri Manoppo dan orang-orang yang kini bersigegas mengejar pembuktian mulut besar anak kemarin sore itu.

Saya ingin memberi pelajaran pada Sehan Ambaru bahwa politik itu bengis. Dan bahwa apa yang dia pelajari dengan ‘’katanya’’ menjadi aktivis, baru kulit dari sebuah buku tebal yang bahkan saya pun (yang jelas lebih pintar dari dia) tak berani mengatakan telah selesai membaca kata pengantarnya. Berkoar-koar, menuding-nuding, menggurui semua orang, dan menggerakkan demonstrasi di Mongondow, jauh dari modal dasar yang diperlukan seseorang untuk mulai merasa paling jago dan pintar.

Benar belaka puisi Hamri Manoppo yang saya nukil di awal tulisan ini: Kapan kita jumpa di medan yang sama? Kami sudah membuktikan pernah dan masih berada di medan berat, dan tetap survive. Bagaimana dengan Sehan Ambaru dan gerombolannya?**