Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, May 28, 2011

Ujar-Ujar Tamsi dan Celoteh Si Mat

Tulisan Sakit di Pemkab, Sehat di Swasta yang saya unggah Selasa (10 Mei 2011) ditanggapi staff Humas Pemkab Boltim, Ahmad Alheid (Kesalahan ‘’Dagnosis’’ Terhadap Bupati Boltim, Sabtu, 21 Mei 2011). Terhadap tanggapan itu, saya menulis Anak-Pinak Keliru Humas Pemkab Boltim dan ditayangkan di hari yang sama. Ternyata isunya belum padam dengan ikut sertanya General Manager Harian Posko Manado, Hairil Paputungan, memberi tanggapan.

Oleh Hairil Paputungan
General Manager Harian Posko Manado

SAYA terpingkal sekaligus bangga membaca posting Katamsi Ginano dan Ahmad Alheid karena keduanya menyebut-nyebut SKH (Surat Kabar Harian) Posko di dikursus mereka.

Saya tahu Katamsi punya blog soal Mongondow dan beberapa kali iseng membuka-buka, sekadar ingin tahu apa gerangan yang sedang ramai digunjing. Wajar, bawaan saya sebagai orang Mongondow tetap lekat. Di mana pun dan n , jika soal kampung halaman, pastilah rasa ingin tahu tetap ada (magnitude). Dan tentu karena saya seorang jurnalis, saya juga rindu menulis. Sudah lama saya tidak menulis. Mungkin setahun, bahkan lebih. Beberapa momen politik daerah, juga nasional, tidak memantik minat saya.  Mungkin karena otak saya terlalu dijejali aneka angka-angka target perusahaan.

Semenjak tiga tahun lebih mengurus manajemen saya menjadi lebih sering bergumul dengan angka-angka ketimbang peduli terhadap isu sekitar. Sekali-kali masih menulis berita, itu pun jika rasa rindu akan ruang redaksi sulit diredam. Sekali-kali masih mengedit berita tatkala teman-teman redaksi memancing libido saya karena mereka melakukan kesalahan dalam pemberitaan.

Kebiasaan menulis esai, analisis, entah itu politik dan olahraga yang jadi kegemaran saya, seperti terlupa. Jika pun menulis, hanya sekadar laporan perjalanan bila sedang ke luar daerah atau luar negeri, hingga banyak SMS yang masuk ke ponsel rata-rata bertanya kenapa saya puasa menulis. Biasanya cuma saya jawab singkat: He…. he….

Katamsi dan Ahmad Alheid berhasil memancing saya keluar. Itu pun karena koran tempat saya bekerja disebut-sebut dalam ‘’perseteruan’’ keduanya di blog ini. Saya tahu Posko disentil karena membaca status Alheid di facebook.

Oke, katakanlah wartawan SKH Posko tidak tuntas mengutip keterangan yang disampaikan pada acara itu. Lalu karena dikejar deadline ia tergesa-gesa membuat berita. Atau bisa juga redakturnya kebablasan mengedit hingga memangkas inti acara dimaksud, dan kemudian dijadikan dasar oleh Katamsi --sekadar tambahan, setahu saya, orang Mogolaing dan bekas-bekas pasien ayahnya lebih akrab memanggil si ceking itu dengan nama ‘’Piang’’-- mengkritisi.

Saya lantas mengecek ke Pemimpin Redaksi (Pemred), wartawan yang menulis, juga ke redakturnya. Tentu tidak perlu marah-marah. Tensi tinggi hanya akan mengurangi usia dan perpotensi menambah tekanan darah dan akibatnya hipertensi. Saya memperoleh jawaban, itu sudah kutipan sebenarnya. Tapi karena selalu saya tanamkan kepada wartawan ‘’jangan malu mengaku salah jika memang Anda salah’’, mereka  mengakui ada kesalahan. Beritanya kurang. Terlalu pendek hingga kurang diurai maksud lebih luas.  Kelemahan utama dan alasan paling enteng surat kabar: keterbatasan space.

Lantas saya juga mengecek, apakah Humas Pemkab Boltim telah mengklarifikasi? Sampai sejauh ini, tidak ada protes atau-pun klarifikasi. Semua anteng-anteng saja. Dan bahkan seperti ‘nrimo’ dengan --katakan saja-- kekeliruan pemberitaan SKH Posko.

Sukurlah Ahmad Alheid mengingatkan saya ada yang keliru di pemberitaan itu. Tapi, tidak secara langsung, melainkan karena debatnya di blog ini dengan Katamsi, yang sukur juga saya baca karena di-upload di facebook.

Begini, saya bukan hendak menggurui. Kalau pun dituding menggurui, ya tidak apa-apa. Wong memang tugas saya dari semenjak ada ombudsman selalu menjadi ‘’penjagal’’ terhadap keberatan yang dilayangkan pembaca. Baik ketika masih di redaksi Manado Post (induk SKH Posko) maupun ketika dipercaya menangani manajemen SKH Posko.

Saya enggan menyinggung soal MoU dan segala tetek bengeknya. Apalagi soal layanan kesehatan kepada masyarakat antara Pemkab Boltim dan RS Monompia. Toh tiap hari banyak media menyajikan itu. Bisa ngelantur kejauhan dari pokok masalah jika memaksakan diri nimbrung dalam urusan itu. Biar wartawan saya dan teman-teman wartawan media lain mengulasnya.

Saya hendak mengajak saudara Ahmad Alheid membuka lagi memorinya tentang dunia pers. Jejak rekamnya sebagai aktivis dan pekerja pers rasanya tidak perlu harus segarang itu menuding kesalahan wartawan Posko. Juga terhadap Katamsi, tidak perlu sampai harus menyemprot Mat --capek menyebut nama lengkapnya, mending saya tulis dengan nama panggilan.

Dengan seragam Hansip-nya Mat sudah memiliki kewajiban membentengi atasan. Dunianya sekarang adalah dunia birokrat yang saya tahu persis, dalam hatinya belum sepenuhnya birokrat. Masih ada sisa-sisa ‘’pemberontak’’. Jika ia membantah ‘’vonis’’ saya ini, maka Mat telah membohongi dirinya sendiri. Dan jika ia membalas kritikan Katamsi, maka sebaiknya Katamsi memaklumi itu. Dengan ‘’menghantam’’ Mat dan juga Kabag Humas lewat tulisan balik, rasanya sudah cukup. Hanya sejujurnya tidak baik menyarankan keduanya menghentikan debat. Karena itu bukan jiwa kami.

Kenapa saya sebut kami? Karena saya, Katamsi dan Mat sejatinya bukan cuma sekali makan sepiring, duduk ngopi hingga azan subuh, berceloteh rupa-rupa masalah seolah-olah kami yang paling benar, dan ada yang bahkan sampai tidak berani menghidupkan ponsel karena takut terus-terusan ditelepon istri: diseret pulang!

Kebiasaan nongkrong itu tidak lantas membuat kami selalu sepaham. Lebih banyak beda pendapatnya. Lebih seru. Dan tidak lantas jadi musuhan. Lucunya, kumpulan kami itu dulunya sempat jadi musuh besar penguasa karena dianggap orang-orang Mongondow yang terlalu cerewet. Cuma tahu bermain kata-kata tapi tidak pernah berbuat apa-apa.

Tudingan itu kami aminkan saja. Tidak dibalas dengan hujatan, tapi kritikan tetap jalan. Keras dan menggelitik tapi dibarengi solusi. Biar pun dituding adi’ kolabung (anak kemarin sore). Dan jika Mat dan Katamsi berdebat di blog, itu sesuatu yang biasa. Pun ketika ada media yang memuatnya, itu biasa saja. Juga ketika saya harus meluruskan celoteh keduanya, karena koran saya jadi turut terdakwa.

Mat bersiteguh pada seragam Hansipnya, sebagai corong Pemkab. Lantas oleh Katamsi ia dituding melangkahi tugas Arpan Palima. Anda sih keterlaluan Tamsi. Paling tidak --ini semacam penelusuran batin-- Mat sudah sowan kepada Arpan, ia akan ‘’membantah’’ kritikan Anda. Bahwa katanya Arpan tidak memiliki kemampuan seperti Mat dan disuruh minggir oleh Katamsi, ya, itu juga keterlaluan. Tidak mungkin Eyang – enak juga ya ada Bupati senang dipanggil Eyang--, mengangkat Arpan cuma dengan pertimbangan somu-somu.

Selaku Kabag Humas Arpan saya percaya bisa meng-counter sendiri. Tapi, berhubung ada Mat, yang Arpan juga tahu kapasitasnya, maka kenapa tidak menggunakan keahliannya untuk meng-kick balik Katamsi.

Menurut saya itulah kelihaian sang Kabag. Tidak perlu harus ‘’melevelkan’’ diri dengan Katamsi. Cukup Mat. Mat jadi striker tunggal. Dalam sepakbola, ia bertugas menjebol gawang pada skema 4-2-3-1. Lone Striker (penyerang tunggal) ini sukses diperagakan Spanyol hingga berbuah Juara Dunia 2010 di Afrika Selatan.

Mungkin juga sang Kabag paham betul tentang tiki taka. Main dari kaki ke kaki dan lantas secara perlahan tanpa disadari, musuh sudah tergiring di daerah pertahanannya. Tinggal mencari celah untuk shoot ke gawang. Mat jadi tukang jebol.

Analogi saya bisa benar juga bisa salah. Kalau benar, maka pelatihnya, si Eyang pantas diacungi jempol. Ia menerapkan pola tiki-taka ala Spanyol dalam jajaran kabinetnya. Persoalannya, apakah Kabag Humas dan stafnya menyadari skema modern dalam sepakbola itu? Juga SKPD lainnya? Karena setahu saya, ‘’Hormat, Pak’’, ‘’Siap, Pak’’, ‘’Mohon Petunjuk, Pak’’, masih jadi lagu yang mestinya sudah teramat sumbang.

Kembali pada Tamsi dan Mat. Dua-duanya lama menggeluti dunia pers. Hanya, mungkin Mat lupa membisikan pada sang Kabag bahwa ada mekanisme yang patut ditempuh jika terjadi kesalahan pemberitaan pers.

Pertama, menggunakan hak jawab. Itu wajib hukumnya bagi surat kabar memberi ruang dan tempat yang sama. Jika tidak diladeni barulah melapor ke Dewan Pers. Nah, kebetulan khusus di Grup Jawa Pos Grup-Grup Manado Post, kami punya saluran penghubung yang namanya ombudsman. Bila si koran kumabal, lapor ke ombudsman. Ini dua nama yang tolong di catat: Max Rembang dan Haris ‘Ais’ Kai. Nama terakhir adalah eks wartawan Manado Post yang kini berkiprah di salah satu LSM, tapi tetap difungsikan sebagai ombudsman.

Kalau sudah ditelaah ombudsman dan dinyatakan salah, maka ombudsman merekomendasikan ke managemen untuk meladeni hak jawab yang dirugikan. Kadang jika fatal, wartawan bersangkutan bersama redakturnya kena sanksi keras.

Jika lewat ombudsman terasa mampet, ada Dewan Pers. Tapi, sejauh ini, ombudsman Grup Manado Post berfungsi secara aktif. Belakangan malah jarang bekerja karena komplein akut menjadi berkurang. Kecuali komplein kecil-kecilan dan langsung ke Pemimpin Redaksi-nya. Malah lebih banyak cuma lewat wartawan bersangkutan.

Saya gelitik habis si Mat karena sejatinya dia tahu itu. Tapi dia menulis (kalau tidak mau disebut membela diri atas tulisan Katamsi) Posko-lah yang salah. Dan akibat salah itu, Katamsi ikutan latah melakukan kesalahan. Mengunggah masalah RS Monompia dan mengritisi habis sikap Pemkab Boltim.

Merujuk lebih jauh, tidak usahlah saya ulas tahap demi tahap bagaimana mekanisme pers, undang-undang pers, etika jurnalistik dan lain-lain. Bila Anda butuh, saya siap membagi sedikit pengetahuan tentang ombudsman kepada seluruh SKPD di Boltim. Itu lebih efektif dan lebih enak karena akan terjadi dialog.

Bicara soal ‘’diskusi’’ Mat dan Tamsi, masihkah perlu saya memerintahkan anak-anak redaksi menulis berita yang sebenar-benarnya? Tentu perlu! Tapi, sebelumnya saya berterima kasih Anda sudah meluruskan itu lewat blog. Akan tetapi pembacanya tentu terbatas. Kalau dikorankan pembacanya lebih luas.

Tidak semua orang Boltim bahkan Mongondow Raya, juga Sulut umumnya, sudah melek internet. Jika Anda merasa harus mengklarifikasi, monggo, saya beri ruang. Hanya Anda terlalu lama membiarkan ini menjadi opini. Nanti digelitik Katamsi baru Anda sadar ternyata koran (menurut Anda) salah. Artinya, saya sekarang menjadi tahu, sebagai staf Humas Anda jarang membaca keselurahan media.

Bukan mau ikut-ikutan seperti Katamsi, yang sudah menyatakan bersedia memberi pelatihan. Tanggungjawab sebagai seorang jurnalis menggugah saya untuk berbagi sedikit pengetahuan. Mungkin Anda tidak terlalu butuh karena sudah lebih banyak tahu, tapi masih banyak yang tahu baru sebatas membaca koran, protes dengan marah-marah bila salah, nuding sembrono jika salah kutip dan ujung-ujungnya vonis: wartawan bodoh!

Terima kasih Mat, terima kasih Tamsi, Anda berdua sudah berhasil menepikan serakan kertas berisi angka-angka target di meja kerja saya, agar saya tertarik memelototi blog ini. Dan, ya, inilah kali pertama saya menulis panjang --tidak di koran, semenjak lembaran kalender 2011 dibuka.

Jika Anda berdua masih ingin terus berdebat, silakan. Atau menanggapi tulisan ini, juga silakan. Saya? Cukup kali ini, masih capek berdebat. Sebelum menutup tulisan ini, saya lampirkan berita itu secara lengkap, silakan dinilai di mana letak kesalahannya.***

Masyarakat Boltim Gratis
Berobat di RS Monompia
Caption Foto 1:
GRATIS: Masyarakat saat berobat di Rumah Sakit.(dok)
Caption Foto 2: Sehan Landjar

POSKO, BOLTIM— Berbagai gebrakan dan ide cemerlang  terus  dilakukan Bupati Bolaang Mongondow Timur, Sehan Salim Landjar dan Wakil Bupati Medy Lensun. Semua ini memenuhi apa menjadi kebutuhan masyarakat, terutama bidang pelayanan Kesehatan. Meski sebagai daerah baru, namun Bupati dan Wakil Bupati terus memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.

Buktinya, kini Pemerintah Kabupaten Boltim dan Yayasan pengurus Rumah Sakit Monompia Kotamobagu, bakal membuat dan menyepakati Memorandum of Understanding (MoU), merupakan bentuk kesepakatan kerjasama antara Yayasan RS Monompia dan Pemerintah Boltim, untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Bupati Sehan Landjar menyampaikan bahwa ada satu program pelayanan kesehatan disepakati pihak Yayasan dan Pemkab Boltim. Jika nantinya MoU ini berjalan lancar, maka semua masyarakat diberikan modal Jamkesda apabila  masuk di RS Monompia. “Itu  tanpa mengeluarkan biaya perawatan. Jadi ini bukan bentuk bantuan tetapi penyaluran hak rakyat,"kata Landjar.(mg-04)