Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, May 17, 2011

Pasar Serasi dan Kisah Kecil dari Solo

PASAR bagi masyarakat dengan budaya agraris dan pemerintahan khas kota kecil seperti Kotamobagu, adalah salah satu magnet yang lebih dari sekadar wahana di mana orang bertransaksi dan menggerakkan roda ekonomi. Di pasar kita bisa mengidentifikasi warna-warni perilaku, tradisi, budaya, dan karakter masyarakat.

Dan memang, pasar, di mana pun dia berada, selalu menjadi wilayah paling dinamis. Hanya dengan mengamati keragaman dan kualitas komoditas di pasar, misalnya, kita bisa mengukur makmur-tidaknya satu masyarakat. Kian beraneka barang dan jasa yang ditawarkan di pasar, serta ramainya orang bertransaksi, semakin progresif ekonomi bergerak.

Sebab sifatnya yang dinamis, pasar boleh dipindah ke mana saja, tergantung kebutuhan antara penjual dan pembeli. Pasar Serasi, misalnya, boleh diboyong ke Kelurahan Genggulang atau Kelurahan Poyowa kecil, sepanjang dia memenuhi kebutuhan timbal-balik pedagang dan pembeli, pemindahan adalah keniscayaan biasa.

Lain soal ketika pemerintah, yang dalam isu Pasar Serasi adalah Pemerintah Kota Kotamobagu (Pemkot KK), memaksakan kehendak apalagi dengan dasar sumir dan semau-maunya, pemindahan (atau apa pun namanya) menjadi perkara serius. Katakanlah upaya pemindahan itu punya dasar sangat kuat, meliputi Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Kota (RTRWK) yang sudah di-Perda-kan serta disetujui DPR KK, tanpa kesepakatan multi pihak, sama dengan menenteng jerigen penuh bahan bakar dan sekotak korek api ke tumpukan jerami.

Para Pemangku Kepentingan

Walikota KK dan jajarannya, juga kebanyakan orang Mongondow di KK yang makan sekolahan (minimal setingkat SMA) dan baca koran serta nonton teve pasti pernah mendengar kata stakeholder (pemangku kepentingan). Khusus Walikota KK yang bergelar ‘’Drs’’ –mau itu gelar untuk ilmu sosial, ekonomi, atau komunikasi— pasti paham tentang pemangku kepentingan. Kecuali gelar sarjana cuma dicomot dari ruang administrasi Perguruan Tinggi (PT) dengan sejumlah uang sebagai imbalan.

Secara teoritis dan faktual, pasar adalah wahana dengan pemangku kepentingan (saya tidak akan mendifinisikan ‘’pemangku kepentingan’’ lebih jauh. Siapa pun yang ingin tahu, tulis surat atau bertanya langsung ke Walikota KK, sekaligus menguji pengetahuan dasarnya) paling beragam. Mengingat keragaman itu, hubungan dengan pemangku kepentingan di pasar bukanlah instruksi ala tentara, polisi, atau birokrasi yang ketat dari aspek kepatuhan dan loyalitas.

Di saat yang sama, stakeholder engagement itu juga mudah, hanya mensyarakatkan goodwill (niat baik) dan komunikasi intensif. Apakah dua aspek ini ada dalam isu relokasi pedagang Pasar Serasi ke Kelurahan Genggulang dan Kelurahan Poyowa Kecil –lepas dari telah tersedianya kios, fasilitas, dan infrastruktur di lokasi pasar yang baru?

Hiruk-pikuk penolakan dari para pedagang, politisi, aktivis, dan masyarakat umum, menunjukkan bahwa kebijakan Pemkot KK itu jauh dari niat baik yang telah dikomunikasikan dengan para pemangku kepentingannya. Belakangan keriuhan kian seru dengan angkat bicaranya sejumlah orang yang meng-klaim sebagai ahli waris pemilik tanah yang dulu menghibahkan areal Pasar Serasi demi kepentingan orang banyak.

Khusus untuk para ahli waris itu, sebelum menjadi lebay dan riya’, sebaiknya mereka mengecek dengan saksama: apakah lahan Pasar Serasi sudah dihibahkan, dipinjamkan, atau bagaimana? Kalau itu hibah, adabnya adalah sekadar mengingatkan Pemkot KK niat dan substansi pernghibahannya. Lebih dari itu, sama dengan menciderai niat pemberi hibah.

Kalau lahannya hanya dipinjamkan, apalagi disewa oleh pemerintah yang lama (Pemkab Bolmong), suara para ahli waris –setidaknya demikian pengakuan yang saya baca di media massa akhir-akhir ini—mesti sangat serius disimak para pemangku kepentingan Pasar Serasi. Hitam-putih kebijakan Pemkot KK, apa boleh buat, tergantung apa yang dikatakan para ahli waris.

Kisah dari Solo

Ribuan kilometer dari KK ada Kota Solo di Jawa Tengah. Selama masa sekolah, pengetahuan saya terhadap Solo hanya dipasok pelajaran geografi dan sejarah. Kota ini adalah kota tua, salah satu pusat kebudayaan Jawa, dengan warga yang berperilaku lembut dan –yang tak kurang penting— gadis-gadisnya sungguh ayu.

Di kota itulah Walikota Joko Widodo memimpin sejak 2005 dan akan berakhir 2015 setelah sukses terpilih kedua kalinya. Apa yang istimewa dari Walikota kelahiran 21 Juni 1961 yang menyandang gelar sarjana dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) pada 1985 ini, hingga dia didaulat sebagai salah satu tokoh 2008 oleh Majalah Tempo?

Salah satu prestasi spektakuler Joko Widodo, yang tergolong langka di Indonesia, adalah berhasil merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari tanpa gejolak. Relokasi dilakukan demi niat Pemkot Solo merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka.

Tapi apa yang dia lakukan? Hanya dengan berdialog intensif dengan para pedagang, meyakinkan mereka bahwa relokasi adalah kepentingan semua pihak, yang akhirnya menguntungkan semua pihak pula; tanpa mengorbankan para pedagang. Berbulan-bulan dengan sabar Walikota Joko Widodo berkomunikasi aktif dengan para pedagang. Hasilnya, para pedagang bukan hanya sepakat pindah ke lokasi baru yang disediakan, tetapi bahkan menjadikan hari H relokasi sebagai pesta rakyat.

Kota Solo di bawah kepemimpinan Joko Widodo tumbuh pesat dengan memihak kepentingan rakyat. Moto kota ini, ‘’Solo: The Spirit of Java’’ benar-benar dibumikan dengan konsisten. Investasi misalnya, digalakkan tapi dengan syarat investor harus memikirkan kepentingan publik. Investor yang keberatan, silahkan minggir jauh-jauh.

Masyarakat pun dilibatkan aktif lewat komunikasi rutin dan terbuka yang bahkan disiarkan langsung oleh televisi lokal. Hanya warga yang benar-benar tak peduli yang barangkali luput mendapat informasi lengkap ke mana kotanya dibawa.

Tentu kita tak bisa berharap Walikota KK yang sibuk terbang ke mana-mana punya cukup waktu berkomunikasi dengan warganya seperti Walikota Joko Widodo. Harus dimaklumi pula bahwa di luar kesibukan pemerintahannya, Walikota KK perlu berlatih vokal agar saat bernyanyi di pesta pernikahan –yang lama-lama sudah dipakemkan di Mongondow--, suaranya mampu mengimbangi isi pidatonya yang sangat tidak menarik dan umumnya penuh keluh-kesah.

KK memang bukan Solo. Tapi apa salahnya Pemkot, Walikota dan jajaran pemerintahan serta DPR KK belajar bagaimana otoritas yang bertanggungjawab terhadap kemaslahatan hidup orang banyak, memetik pelajaran dari Solo. Biar studi banding dan macam-macam alasan pelesiran yang biasanya jadi modus birokrat dan politisi di DPR, punya sedikit faedah.***