Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, May 10, 2011

Sakit di Pemkab, Sehat di Swasta

HARIAN Posko Manado, Senin (9 Mei 2011), halaman Bolmong Timur (Boltim) menurunkan headline Masyarakat Boltim Gratis Berobat di RS Monompia. Saya menyimak berita ini dengan serius. Berobat gratis ini menunjukkan Bupati-Wakil Bupati (Wabup), Sehan Lanjar-Medi Lensun, sungguh-sungguh memperhatikan salah satu aspek paling mendasar yang dibutuhkan warganya: akses dan ketersediaan layanan kesehatan.

Di seluruh wilayah Mongondow, di beberapa wilayah –terutama terpencil-- jangankan layanan, akses terhadap layanan kesehatan masih sulit dijangkau. Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) tak ada, dokter dan paramedis jauh di mata dan di kantong. Kalau pun Puskesmas ada, dokter atau paramadisnya tak selalu hadir. Atau, Puskemas, dokter dan paramedis ada, tapi dana operasional kerap macet tanpa alasan seperti yang jadi isu terakhir di Bolaang Mongondow Utara (Bolmut).

Kasus yang kurang lebih sama terjadi di Bolmong Induk, di mana layanan kesehatan diperlakukan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Rumah Sakit (RS) Datoe Binangkang yang kondisinya makin memprihatinkan, ditarget sebagai penyumbang PAD. Di saat yang sama fasilitas pendukung tidak diperhatikan. Tak heran lama-kelamaan RS bukan lagi tempat menyembuhkan orang sakit, tapi ‘’rumah yang juga sakit’’.

Padahal setiap kali pemilihan kepala daerah (Pilkada) berlangsung para kandidat ramai-ramai menjajakan janji sorga kesejahteraan warga. Yang paling menonjol adalah bual-bual pendidikan gratis, layananan kesehatan gratis, birokrasi yang lebih mudah dan responsif, pemberantasan korupsi, dan pemberdayaan sektor unggulan (pertanian, perkebunan, perikanan).

Setelah sang kandidat terpilih, biasanya janji-janji itu menguap entah kemana. Pendidikan memang gratis, tapi pungutan tetap jalan terus. Kesehatan juga gratis, tapi Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) cuma berlaku untuk batuk-batuk, panu, dan sejenisnya. Birokrasi yang lebih responsif dan pemberantasan korupsi, hasilnya adalah ‘’ha ha ha….’’ belaka. Birokrasi responsif mengejar setoran, sedangkan korupsi diberantas dengan memperbaiki cara dan modusnya.

Sektor unggulan? Dalam 10 tahun terakhir di seluruh Bolmong sektor unggulan apa yang menonjol? Produksi beras yang dulu jadi kebanggaan orang Mongondow, tinggal nostalgia. Apalagi dengan perkebunan dan perikanan.

Fakta-fakta itu yang membuat saya terkagum-kagum membaca headline Harian Posko Manado. Sehan Lanjar dan Medi Lensun yang masa pemerintahannya baru seumur jagung, menggebrak dengan contoh pada Bupati-Wabup dan Walikota-Wakil Walikota (Wawali) lain di Mongondow, beginilah seharusnya pemerintah melayani warganya. Janji-janji yang diumbar selama Pilkada mesti bersigegas direalisasi. Tidak peduli apakah kabupaten/kota yang mereka pimpin baru belajar merangkak atau sudah setua usia Republik Indonesia.

Keputusan Sakit?

Usai puja-puji dan kekaguman pada pasangan Sehan Lanjar-Medi Lensun, saya pelan-pelan mengunyah kembali informasi yang dipublikasi Harian Posko Manado. Saya merasa ada yang janggal dan aneh dari kebijakan yang diambil Pemkab Boltim.

Pertama, pengobatan gratis itu dikerjasamakan antara Pemkab Boltim dan RS Monompia Kotamobagu yang dikelola Yayasan Pengurus RS Monompia. Mengapa RS Monompia, bukan RS Datoe Binangkang yang menjadi rumah sakit rujukan pertama di seluruh wilayah Mongondow? Apakah dilakukan tender atau minimal proses membandingkan layanan yang mampu disediakan RS-RS di Mongondow sebelum diputuskan RS Monompia adalah yang terbaik.

Kedua, layanan gratis yang dijamin Jamkesda itu punya batasan atau tidak? Yang saya maksudkan adalah sampai berapa besar biaya kesehatan yang akan di-cover dan jenis penyakitnya. Batasan yang lain, apakah seluruh penyakit yang mungkin diidap warga Boltim dapat ditangani RS Monompia. Misalnya, apakah warga yang mengalami kecekalaan fatal dan harus menjalani operasi besar, juga dapat ditangani di RS ini?

Ketiga, sejauh pengetahuan saya –sebagai pemegang beberapa jenis asuransi kesehatan— jaminan seperti Jamkesda tidak dibatasi hanya di satu institusi kesehatan saja. Terbayangkah di benak para perencana di belakang Bupati-Wabup Boltim, misalnya seorang penderita dari wilayah Buyat –yang jarak tempat tinggalnya lebih dekat ke RS Ratatotok-Buyat atau RS Noongan-- harus digotong ke RS Monompia hanya karena dia kurang mampu, memerlukan perawatan segera, sedangkan jaminan dari Pemkab tidak berlaku di RS terdekat.

Keempat, bagaimana upaya memberdayakan Puskesmas yang seharusnya jadi ujung tombak layanan kesehatan masyarakat? Masak penyakit yang masih bisa ditangani di tingkat Puskesmas dengan fasilitas rawat inap, terpaksa ke RS hanya karena Jamkesda mensyaratkan demikian.

Apa boleh buat, hanya ada dua kemungkinan yang dapat disimpulkan dari kerjasama Pemkab Boltim-RS Monompia: Pertama, kebijakan ini diambil terburu-buru, tanpa kajian dan pertimbangan memadai. Kebiasaan serba mendadak ini, kata salah seorang adik yang ikut membaca publikasi Harian Posko Manado, tampaknya melekat sebagai karakter –khususnya—Bupati Sehan Lanjar.

Sembari tertawa, dia mengutip tokoh komik Lucky Luck ‘’yang menembak lebih cepat dari bayangannya’’. Kalau Sehan Lanjar, katanya, ‘’Adalah Bupati yang kemampuan bicaranya lebih cepat dari daya otaknya mengolah konsekwensi dari apa yang diucapkan.’’

Kedua, patut diduga ada ‘’fee’’ atau sejenisnya di balik kerjasama itu. Setiap kebijakan yang sifatnya tanpa pembanding karena ‘’penunjukan langsung’’, tak lepas dari potensi masalah hukum. Sekadar berandai-andai, bila pengguna Jamkesda ternyata melimpah dan nilai yang dibayarkan Pemkab Boltim mencapai angka signifikan, prosesnya yang tanpa tender bisa menyeret para pengambil keputusannya ke kursi pesakitan.

Maka memang ada yang sakit dari kebijakan kerjasama Pemkab Boltim-RS Monompia itu. Ada baiknya Bupati Sehan Lanjar dan jajarannya mengevaluasi kembali Memorandum of Understanding (MoU) yang sudah ditanda-tangani. Karena sifatnya yang masih MoU, kerjasama itu dapat direvisi atau bahkan dibatalkan.

Bukankah sungguh sakit bila niat baik Bupati-Wabup merealisasikan janji dan tugasnya melayani warga, justru akhirnya menyeret mereka ke hadapan hukum.***