Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, May 14, 2011

Pada Satu Santap Siang dengan Bupati Gun Lapadengan

DI KEPUNG udara gerah Manado, Kamis (12 Mei 2011) saya mendapat kehormatan santap siang akrab dan penuh kekeluargaan dengan Penjabat Bupati Bolmong, Gun Lapadengan. Tak usah dibayangkan yang terhidang adalah menu khas jamuan makan dengan pejabat penting yang biasanya dinikmati dengan kesopanan terjaga, setelah itu kita buru-buru mencari makanan lagi karena ‘’yang tadi blum cukup’’.

Sejatinya pertemuan dengan Bupati Bolmong tidaklah disengaja (ini harus saya jelaskan sebelum siapa pun yang membaca tulisan ini mulai mengarang-ngarang konspirasi di batok kepalanya). Siang itu saya bersama teman-teman yang terbiasa melanggani makanan cepat tapi enak (bukan jenis junk food kesukaan anak baru gede),berombongan ke Rumakan Minang di Jalan Sarapung. Begitu naik ke lantai dua (karena lantai satu tak ada lagi meja tersisa), saya terkejut melihat Bupati bersama keluarga dan rombongan sedang menunggu hidangan mulai disajikan.

Saya mengenal Gun Lapangan, apalagi istrinya yang adalah adik kelas saya semasa SMP. Pasangan ini tidak berubah banyak dan bahkan jauh dari tipikal pejabat daerah yang biasanya –atau sengaja—ja’im. Nyaman betul bersalaman, bahkan diundang duduk semeja dengan seorang Bupati yang tampil biasa (lengkap dengan sandal kulit) sebagaimana orang-orang kebanyakan yang saya temui setengah harian itu.

Salah satu yang langsung menarik perhatian saya adalah telepon genggam yang digunakan Bupati, yang –terus-terang—sangat sederhana. Bukan jenis yang umum dibawa pejabat setingkat dia, seorang Kepala Badan di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) yang juga Bupati. Melihat Gun Lapadengan dan istrinya, tak urung saya teringat tag line sebuah iklan: ‘’Yang bermutu tak pernah berubah.’’

Bagi yang membayangkan seorang Bupati harus dilayani hingga sekadar mengambil tissue, pasti bakal risih menghadapi ‘’gaya’’ Gun Lapadengan. Begitu hidangan tiba, misalnya, hanya istri dan dua anaknya yang melayani. Para staf yang turut dalam rombongan, juga langsung memulai santap siang mereka. Tak ada grasa-grusu upaya melayani Bupati dan keluarga. Semuanya normal seperti suasana makan siang orang kebanyakan di ruang makan rumahnya.

Bolmong yang Penuh Tantangan

Di hadapan ayam bakar pedas (tampaknya Bupati dan saya punya jenis makanan kesukaan yang sama), mentimun, dan aneka sayur mayur, sembari mengisi perut percakapan pun mengalir. Tanpa sungkan saya langsung mengatakan sangat menyukai kebijakan pertama yang dia canangkan begitu ditunjuk memimpin Bolmong: Mengatur kembali penguasaan dan penggunaan kendaraan dinas.

Saya tidak sekadar mencari-cari bahan percakapan, terlebih mengambil hati Bupati (tidak ada untungnya buat Bupati melayani ‘’jilatan’’ saya dan tidak ada faedahnya pula saya menyanjung-nyanjung dia). Pembaca blog ini bisa menelurusi bahwa malam harinya, pukul 01.41 Wita saya mengunggah ‘’Oto’’ dan Mimpi Tradisional Orang Mongondow. Tulisan ini berisi dukungan saya terhadap kebijakan Bupati yang menohok langsung ego buruk yang telah mengkultur di birokrasi Bolmong dalam 10 tahun terakhir.

Pada Bupati saya mengungkapkan, disadari atau tidak kebijakan itu sungguh mengguncang umumnya birokrat Bolmong yang bertahun-tahun dimanjakan privilege kedekatan dengan Bupati. Akibatnya, seorang birokrat, tanpa melihat pangkat, kapasitas dan kapabilitasnya, bisa menduduki posisi tinggi (dengan membawahi orang-orang pangkatnya lebih tinggi) atau mendapat fasilitas bagus (yang paling terlihat adalah mobil) hanya karena pintar mengambil muka dan hati atasan. Atau, yang lebih buruk lagi, karena yang bersangkutan adalah kerabat dekat Bupati.

Sembari bertempur dengan keringat dan gigitan rica ayam bakar, Bupati Gun Lapadengan mengungkapkan bahwa kebijakan yang dia ambil adalah pendekatan seorang birokrat. ‘’Pertimbangan saya adalah pendekatan birokraksi yang jauh dari politis, apalagi suka atau tidak terhadap seseorang. Dan yang dilakukan juga sesuai dengan petunjuk yang disampaikan dan ditegaskan Gubernur Sulut saat melantik saya,’’ katanya.

Dia kemudian memaparkan tata birokrasi dan tata kelola pemerintahan di Bolmong harus disiapkan dengan kerja keras semua pihak menghadapi tantangan yang ada di depan mata. Khusus berkaitan dengan tugas yang diembannya, Bupati Gun Lapadengan menjelaskan niatnya menyiapkan agar saat Bupati-Wakil Bupati (Wabup) 2011-2016 terpilih mulai menduduki jabatannya, mereka bisa segera menggerakkan seluruh mesin birokrasi Bolmong sebagaimana tuntutan profesionalisme pemerintahan saat ini.

Dalam melaksanakan pembenahan dan penyiapan itu, tegas Bupati, dia sama sekali tak berniat meminggirkan –terlebih menyingkirkan—seorang birokrat pun. Kalau akhirnya ada yang memilih meminggirkan diri, dia tidak akan menolak. ‘’Bukankan Pak Gubernur juga menegaskan agar tidak melakukan perubahan, kecuali atas permintaan birokrat yang bersangkutan,’’ katanya sambil tertawa.

Siang itu percakapan mengalir datang dan pergi, sambil saya menyimak antusiasnya Bupati menjelaskan langkah-langkah yang dia ambil, yang terus-terang menurut pendapat saya masuk akal dan memang sudah semestinya dilakukan. Khusus penataan birokrasi sebagai upaya menegakkan profesionalisme Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dalam melaksanakan tanggungjawab dan fungsinya, saya kira tak ada yang dapat dikatakan kecuali: sebagai orang Mongondow, saya mendukung sepenuhnya keinginan mulia itu.

Namun, agar tak ada yang mengganjal, saat bersama-sama membasuh tangan (orang Mongondow amat senang makan menggunakan tangan), saya menyampaikan konsern yang sudah ada di kepala sejak awal pekan lalu. Yaitu, saya mendengar bahwa ada sejumlah tokoh yang di periode kepemimpinan Bupati sebelumnya diangkat sebagai Tim Pengkaji (semacam staf khusus), kurang hati sebab di apel pertamanya Bupati Gun Lapadengan mengatakan tidak lagi memerlukan tim ini dan tim seperti ini memang tidak perlu.

Di titik ini saya menyukai Gun Lapadengan yang menyambut baik penyampaian saya. Dia menjelaskan bahwa apa yang dilakukan (sebagai birokrat) adalah pendekatan sesuai undang-undang, peraturan, dan turunannya. Tanpa niat dan pikiran politis. Tanpa tendensi menyepelekan, apalagi melukai hati siapa pun.

Ya, birokrat profesional memang berbeda dengan politisi (apalagi politisi professional).***