Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, May 12, 2011

‘’Oto’’ dan Mimpi Tradisional Orang Mongondow

DI USIA menjelang separuh abad, setiap kali menengok ke belakang, saya selalu bersyukur lahir di keluarga Mongondow yang biasa saja. Begitu biasanya hingga saya dan saudara-saudara kandung komplit mencicipi Mongondow yang sebenarnya.

Apa Mongondow yang sebenarnya? Bermain di sungai-sungai yang bertebaran dari Mogolaing hingga Ongkag –sampai jemari keriput dan bibir membiru kedinginan--, menjarah aneka buah di pohon milik orang, menunggang sapi, menjerat weris, memancing ongalok, berlumpur-lumpur di sawah, menunggu tarepak saat almarhumah Nenek membuat minyak kelapa, dan pergi mengaji serta belajar silat di Mogolaing.

Hingga menamatkan SMA dan sudah duduk di Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi (FT Unsrat) Manado, Mongondow yang sebenarnya itu masih menjadi kemewahan yang saya nikmati dengan khusuk. Kalau setelah bekerja saya kehilangan keindahan tempat saya dilahirkan dan dibesarkan, semata karena zaman juga telah berubah.

Tentang Mongondow yang sebenarnya, hanya dua hal yang saya luputkan –syukurlah kedua orangtua saya tak ambil pusing--, yaitu: Menjadi sarjana dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dua hal ini, selama masa remaja hingga Perguruan Tinggi (PT), selalu diingat-ingatkan oleh semua orang di sekitar saya dan keluarga di Mongondow. ‘’Poko lapat in sarjanamu, bo tu’ot kon PNS. Sin tua-bi’ ini maksud pinopo-sikolaan ko’i monimu.’’

Dengan menjadi PNS di Mongondow, apalagi menyandang gelar Drs, SE, SH, Ir, atau dr, pasti punya jaminan karir jelas: Bakal jadi pejabat, punya rumah bagus, oto dinas, kebun, dan jaminan pensiun dengan tetap dihormati di lingkungan sekitar. Sederet kabar baik itu menjadi mimpi tradisional di Mongondow, yang bahkan hingga kini masih tetap hidup di kalangan umum yang sangat luas.

Mimpi yang sama juga menjangkiti para politisi bersama berubahnya rezim dari orde baru (Orba) ke era reformasi yang ditandai kejatuhan Presdien Soeharto pada 1998. Di banyak kasus para politisi bahkan lebih brutal, karena kesempatan yang mereka miliki terbatas (setiap lima tahun harsu berjibaku mempertahankan posisi elitisnya). Akibatnya kemapanan yang mungkin dicapai seorang PNS dalam 10 tahun, ‘’diperas’’ menjadi hanya dua-tiga tahun oleh para politisi, termasuk gelar sarjana yang menuntut masa studi lebih dari 3,5 tahun diakali habis-habisan menjadi kurang dari tiga tahun saja.

Untuk apa? Umumnya tidak atas nama pengabdian (yang selalu enteng menyembur dari mulut mereka), melainkan demi punya jabatan, rumah bagus, mobil bagus, dan status sosial di tengah masyarakat.

Belakangan saya perhatikan obsesi terhadap jabatan, rumah bagus (barangkali itu sebabnya kebanyakan rumah pejabat di Mongondow dibangun lebih bagus dan mentereng dibanding kantor tempatnya bekerja), dan oto, bukan lagi dipersepsikan sebagai pencapaian kinerja seseorang karena kapasitas dan kapabilitasnya, melainkan harga diri yang harus dicapai dengan segala cara. Termasuk dengan justru merendahkan harga diri dengan macam-macam modus: korupsi, asal bos senang (ABS), mencekik leher bawahan dengan aneka pungutan dan setoran.

Mobil Sebagai Indikator

Dibanding rumah yang tak bisa dipamer kemana-mana, oto adalah simbol status pejabat yang paling mudah dijadikan identifikasi. Selama 10 tahun terakhir, di Kabupaten Bolmong (Induk) khususnya, fasilitas ini tampaknya mudah didapatkan. Bukan hanya satu oto satu pejabat, tetapi bisa dua atau tiga sekaligus. Pun, yang eselon rendah bisa mendapatkan oto yang kelasnya lebih tinggi dibanding atasannya, hanya dengan restu dan perintah lisan.

Itu sebabnya saya terbahak-bahak senang ketika Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Bolmong, Gun Lapadengan, begitu dilantik langsung mengeluarkan kebijakan menarik dan mengatur kembali penguasaan dan pengunaan mobil dinas di lingkungan Pemkab Bolmong. Dari perspektif orang Mongondow, Plt Bupati ini tidak sekadar mulai menegakkan tertib fasilitas dan administrasi pemerintahan, tapi dia menohok dengan tepat ego –yang nyaris dinilai sebagai harga diri—sejumlah banyak PNS.

Saya tahu persis banyak PNS di jajaran elit yang menyimpan amarah terhadap kebijakan itu. Yang selama ini menguasai dua-tiga mobil, nantinya hanya boleh menggunakan satu. Itu pun disesuaikan dengan eselon yang diduduki. Pejabat setingkat Sekretaris SKPD yang menggunakan Innova (apalagi Ford Escape), siap-siap mengganti dengan jenis Avanza atau Xenia, dengan catatan Plt Bupati mengizinkan. Yang tidak lagi berhak karena pensiun atau non job, segera menyerahkan oto kesayangan ke Pemkab kalau tidak ingin didatangi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan anggota Polres Bolmong.

Kita lihat saja apa bentuk perlawanan dan pembangkangan para birokrat dan mantan birokrat di Bolmong terhadap kebijakan Plt Bupati. Seingat saya, satu ketika Pemkab Bolmong pernah menggebu-gebu ingin menata penguasaan fasilitas mobil, termasuk terhadap anggota dan mantan anggota DPR. Yang terjadi adalah salah seorang mantan anggota DPR dengan amarah di atas ubun-ubun menggebalikan oto dinasnya dalam kondisi compang-camping, lengkap dengan coretan aneka kutuk dan caci.

Mudah-mudahan tidak ada insiden seperti itu yang dialami Plt Bupati dalam menegakkan kebijakannya, yang dilakukan terhitung mulai hari ini (Rabu, 11 Mei 2011). Kalau ada satu dua mobil yang sebelumnya menggunakan velg aluminum alloy, lalu saat dikembalikan sudah berganti dengan besi tuang, ya, tentu sang PNS tak perlu menjalani pemeriksaan Bawan Pengawas Daerah (Bawasda). Demikian pula andai ada satu-dua mobil yang penyok dan penuh baret, padahal sebelumnya mulus dan kinclong.

Harap maklum, ekspresi kekesalan bisa aneka rupa, apalagi kalau itu menyangkut ego dan harga diri di depan masyarakat. ‘’Ta’-onda bi’ in Innova-mu, sin nodia bidon kon Avanza. Eta pinoponag don in jabatanmu?’’ Birokrat yang tidak siap mental menghadapi pertanyaan innocent seperti itu pasti menggalami gangguan detak jantung, pencernaan, dan bahkan mungkin insomnia berminggu-minggu.

Penertiban yang dilakukan Plt Bupati Bolmong adalah kabar baik sekaligus kabar buruk. Kabar baik bagi penataaan disiplin pemerintahan dan kabar buruk bagi para birokrat yang lebih mementingkan tampilan ketimbang bukti profesionalisme sebagai pelayan publik. Kabar baik lainnya, khusus untuk para dokter dan apotik, hingga beberapa bulan ke depan bakal cukup banyak pasien yang memerlukan pelayanan rutin.***