Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, May 18, 2011

Bangga Kami Padamu, Abdul Fahman Lupojo

HINGGA Rabu (18 Mei 2011) jangankan membayangkan sosoknya, nama Abdul Fahman Lupojo tak pernah saya dengar sebelumnya. Tapi ketika membaca situs Tribun Manado (beritanya, Abdul Fahman Lupojo: Pengetahuan Memberikan Kejutan, diunggah Selasa petang, 17 Mei 2011) di jeda makan siang, saya tak kuasa menyembunyikan kekaguman. Anak muda ini berhasil membukukan angka sempurna, 10, untuk mata pelajaran kimia di ujian nasional (UN) tingkat Sekolah Menengah Umum (SMU) 2011.

Walau meraih nilai 10, nama Abdul Fahman Lupojo tidak saya temukan di daftar lima teratas siswa SMU yang meraih angka tertinggi di Sulut. Tak apa, paling tidak dia termasuk salah satu siswa yang punya kemampuan di atas rata-rata di bidang tertentu, seperti peraih nilai tertinggi keempat UN di seluruh Sulut, Christian Goerge Emor dari SMA Lokon Tomohon, yang juga mencatatkan nilai 10 untuk Fisika.

Kekaguman saya disertai kebanggaan. Gile bener, si Dul (demikian sapaan akrab putra pasangan Iswan Lupojo dan Nikmawati Baluntu yang dilahirkan 31 Maret 1994 ini) adalah siswa SMA Negeri 2 Kotamobagu, yang terletak hanya beberapa puluh meter dari rumah Ayah dan Ibu saya; sekaligus sekolah di mana saya menamatkan pendidikan SMA.

Di masa SMA seingat saya kimia adalah mata pelajaran ‘’mengerikan’’ –kendati Ibu Guru yang mengajar cantik sekali, membuat murid-muridnya betah terpiuh-piuh O2, H20, Hg, dan nama-nama yang kini tinggal kenangan, digusur banyak hal lain yang dijejalkan di otak dalam lebih 20 tahun terakhir). Kekaguman saya bertambah besar karena cita-cita si Dul yang bermukim di Pobundayan ini adalah jadi ahli matematika. Alternatif kedua, kimia. Luar biasa!

Di Perguruan Tinggi (PT) dengan dukungan fasilitas memadai dan iklim belajar kondusif, saya yakin Dul anak Pobundayan ini bakal menemukan ladang persemaian ideal. Apalagi kalau satu-satunya tugas yang menjadi beban adalah belajar, berkreasi dan bereksperimen, karena biaya sehari-hari, pendukung pendidikannya (buku dan sebagainya) serta biaya kuliahnya dicukupi jaminan beasiswa.

Di blog ini saya pernah menulis tentang William Kamkwamba, remaja miskin dan sempat putus sekolah asal Malawi, Afrika, yang menjadi perhatian dunia karena kreativitasnya membangun kincir angin dari aneka barang bekas sebagai sumber listrik penerang pondok keluarganya (William Kamkwamba, Salihi Mokodongan dan Keberanian Bermimpi, Minggu, 17 April 2011). Prestasi William Kamkwamba tak hanya membawa kemakmuran bagi keluarganya dan warga sekitar di desa tempat mereka bermukim, tapi menggembalikan dia ke sekolah –yang lima tahun sebelumnya terpaksa ditinggalkan. Kini dia sedang menyelesaikan pendidikan di salah satu universitas terkemuka di Amerika Serikat.

Saya tidak bermaksud membandingkan Abdul Fahman Lupojo dan William Kamkwamba. Dari berbagai aspek, William Kamkwamba harus diakui lebih gigih, tabah, dan unggul dalam kekeras-kepalaan. Yang tak kurang penting, dia hadir di saat yang tepat, ditemukan oleh orang-orang penuh simpati dan empati, yang beramai-ramai menjadikan kerja kerasnya ‘’mengkilap’’. Dia adalah intan Afrika yang digosok para ahli menjadi berlian berkualitas tinggi. 

Miskin Perhatian

Karena amat mengenal Mongondow, saya yakin kalau pun prestasi yang ditoreh Abdul Fahman Lupojo mendapat perhatian khusus, paling tinggi datang dari lingkungan sekolah, teman-teman, dan kerabatnya. Sukar buat saya membayangkan para elit di Kota Kotamobagu, misalnya Walikota, meluangkan waktu berkunjung, menepuk pundak, memberikan sepatah-dua kata, dan menawarkan dukungan agar si Dul dari Pobundayan ini maksimal mengeksploitasi potensinya di PT.

Banyak alasan yang dapat saya kemukakan. Paling sinis karena Abdul Fahman Lupojo bukan putra seorang tokoh politik papan atas atau birokrat elit di Mongondow. Sedang yang faktual, sebab sejak menjabat sebagai Walikota KK, Djelantik Mokodompit sama sekali tak menunjukkan minat dan apresiasi terhadap pendidikan, kecuali demi gelar. Buktinya, pendidikan S2 kerjasama Pemkot KK-Unsrat yang dia ikuti cukup diaktivi dengan menitip tanda-tangan.

Saya juga tak mendengar –atau mungkin meluputkan— ada konsern dari Walikota berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) KK yang penuh aib adalah contoh bagaimana mereka yang kompeten –setidaknya dari standar minimal lolos tes--, disingkirkan lewat kong-ka-ling-kong dan sogok-menyogok.

Kenyataan itu sejak lama tak lagi membuat saya sedih. Saya justru marah karena yakin kita dengan mudah dapat menemukan anak-anak mudah dengan potensi besar yang terabaikan di Mongondow. Mereka jauh dari perhatian para elit yang hanya sibuk berpolitik, megejar ego pribadi, dan memperkaya diri sendiri.

Salah satu potensi besar yang saya kenal pribadi adalah penulis fiksi asal Motoboi Kecil, Anuar Syukur, yang sudah menelorkan sejumlah karya, termasuk yang dipublikasi di media cetak nasional. Ketika pulang ke Mongondow, Anuar yang terus berkarya dengan kegigihan yang membuat saya berdecak (beberapa novelnya bahkan diterbitkan mandiri), sama sekali tak dilirik. Inisiatif pribadinya –dengan biaya pribadi pula— mengajarkan sastra dan tulis-menulis pada kalangan muda usia SMP-SMA, tak kedengaran kabar beritanya. Majal di tangan para pengambil keputusan dunia pendidikan di Mongondow.

Saya tidak heran bila satu saat nanti menemukan para brilian yang pernah lahir di Mongondow berdiaspora ke daerah lain, di mana dia mendapat apresiasi dan penghargaan memadai. Di tengah masyarakat dengan para pemimpin yang cuma peduli pada jabatan dan gaya, isi kepala berada di daftar paling akhir prioritas mereka. Ahasil ijazah instant dan sarjana abal-abal berserak di mana-mana; bahkan diakomodasi dengan ‘’karpet merah’’ di lingkungan birokrasi.

Abdul Fahman Lupojo, dengan kebanggaan sebagai sesama alumnus SMA Negeri 2 dan orang Mongondow, saya ingin mengatakan: teruslah bergelut dan bermain-main dengan fisika, matematika, kimia, dan biologi yang menjadi kesukaanmu. Tak usah berkecil hati bila yang datang dengan pujian hanya mereka yang terdekat denganmu.

Di masa depan saya yakin kami (orang Mongondow) akan belajar sesuatu darimu; sebagaimana saya pribadi mengangumimu hari ini –dan seterusnya.***