Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, May 16, 2011

Cukup Sudah, Walikota KK!

AKHIR pekan harusnya adalah waktu istrahat atau me time untuk hobi dan sejenisnya. Bagi saya pribadi, menyiangi rumput (dari almarhum Prof HT Usup saya belajar: rumput yang dipelihara lebih baik dari bunga yang ditelantarkan) dan pohon cemara di halaman, menata pot-pot dan buku, juga (sesekali) memasak, sungguh kenikmatan luar biasa.

Namun, sepanjang Jumat (13 Mei 2011) hingga Minggu (15 Mei 2011), saya harus bersikutat dengan pekerjaan serta banyak pesan pendek dan telepon. Terakhir ini umumnya menyorot isu yang sedang membara di Kota Kotamobagu: relokasi pedagang dari Pasar Serasi. Yang disampaikan pun tak jauh beda, yaitu konsern terhadap kebijakan Walikota KK dan jajarannya yang tidak mengindahkan harapan para pedagang agar mereka direlokasi setelah Idul Fitri 1432 H, Agustus 2011 mendatang.

Pembaca, sebenarnya saya agak enggan menulis (lagi) tentang KK, Walikota dan jajarannya; dan apalagi isu relokasi Pasar Serasi ke Kelurahan Genggulang dan Kelurahan Poyowa Kecil. Sudah berulang kali saya mengkritik kebijakan Pemkot KK di bawah kepemimpinan Walikota Djelantik Mokodompit yang tak masuk akal dan jauh dari memihak kalangan pelaku ekonomi menengah bawah ini.  Celakanya, perkara kritik –sekasar apa pun itu-- Walikota KK sungguh bebal, tebal muka, tuli, dan –mungkin-- buta hati. Dia benar-benar contoh pejabat publik ideal: Hanya suka mendengarkan dan mempercayai suaranya sendiri!

Masih segar di ingatan setiap warga KK bagaimana skandal penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) –utamanya—di dua tahun belakangan yang penuh kecurangan. Anehnya, walau kasat mata, segala pelanggaran itu hanya berhenti di media massa dan amunisi mulu-mulu di mana-mana. Persis yang berulang kali saya tuliskan, kendati mudah menguak kriminalitas yang terjadi dalam penerimaan PNS di KK, kasus-kasusnya pasti bakal berakhir sebagai dark number. Kita lupakan saja koak-koak polisi yang pernah berjanji akan mengusut tuntas-tas-tas kasusnya.

Polisi Indonesia memang kian tampak menyedihkan, bahkan dibanding polisi bol-bol ala Bollywood. Masak untuk mengusut perkara kelas teri seperti skandal rekrutmen PNS KK mereka letoi bagai kerupuk disiram air? Atau mungkin jajaran kepolisian yang bertugas di Mongondow, lebih khusus yang yuridiksinya membawahi KK, harus disarankan ke On-Clinic agar bisa kembali diberdayakan?

Kolusi Atas Nama Investasi

Saya lahir dan dibesarkan di Kota Kotamobagu. Sejak masa kanak Pasar Serasi (yang berkembar siam dengan Terminal Kota Kotamobagu) adalah salah satu tempat yang paling sering saya kunjungi, berganti-ganti dengan Bapak (tentu berboncengan dengan Yamaha L2-nya yang hingga kini masih ‘’jreng’’), Ibu yang gemar menjelahi seantero pasar sementara saya terseok-seok menggotong belanjaannya, atau teman-teman penyuka aktivitas ‘’begajulan’’ yang kalau ketahuan orangtua pasti pantat kami dibilur-biluri rotan penggebuk kasur.

Pasar Serasi adalah tempat yang mengajarkan banyak hal. Menjadi salah satu pusat belajar yang membentuk pemahaman saya terhadap kerja keras, kejujuran, penghormatan, toleransi, dan nilai-nilai kekeluargaan.

Sebab itulah saya tak bisa menahan kegeraman terhadap kebijakan Walikota KK dan jajarannya dalam memperlakukan para pedagang yang akan direlokasi. Kegeraman itu bukan karena saya menolak KK berubah menjadi lebih baik; melainkan kebijakannya yang tampak terburu-buru dan amat memaksa, kental bau busuk jenis kong-kaling-kong khas politisi Indonesia.

Mari kita telisik lebih jauh. Pertama, rencana relokasi Pasar Serasi ke Kelurahan Genggulang dan Kelurahan Poyowa Kecil didasarkan atas apa? Apakah Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK) yang sudah disetujui DPR KK dan dituangkan lewat Peraturan Daerah (Perda)? Kalau ‘’ya’’, maka di manakah dokumen itu berada dan kapan disosialisasikan ke seluruh warga hingga orang banyak ini tidak tersesat di belantara antah-berantah di kotanya sendiri.

Kedua, kalau RTRWK itu ada, apakah pasar yang baru di Kelurahan Genggulang dan Kelurahan Poyowa Kecil memang demikian peruntukkannya? Lalu akan dijadikan apa eks Pasar Serasi setelah para pedagang direlokasi?

Ketiga, berkaitan dengan kerjasama antara Pemerintah Kota (Pemkot) KK dengan Grup Lippo sebagai investor, apakah sudah disetujui DPR KK?  Hanya Walikota dan jajarannya serta DPR ‘’tumpul’’ yang tidak tahu bahwa kerjasama penggunaan asset daerah dengan pihak swasta memerlukan persetujuan DPR; bukan sekadar memorandum of understanding (MoU).  Memangnya Pasar Serasi adalah asset pribadi nenek moyang Walikota?

Sepengetahuan saya, kerjasama (katanya) antara Pemkot KK dan Grup Lippo baru terdengar beberapa waktu terakhir ini. Apa dan bagaimana kerjasama itu, cukup sampai dipengetahuan bahwa setelah para pedagang direlokasi, di atas lahan eks Pasar Serasi akan dibangun pasar modern. Apa difinisi modern yang dimaksud, hanya Walikota dan entah siapa lagi yang tahu.

Keempat, rencana relokasi yang tanpa kompromi –sedangkan fasilitas dan infrastruktur di dua areal relokasi belum beres— mengesankan sebagai upaya paksa mengusir para pedagang. Ada apa dengan ketergesa-gesaan dan pemaksaan itu? Para pedagang yang selama ini bergiat di Pasar Serasi bukanlah gerombolan liar yang boleh disewenang-wenangi (gerombolan liar saja punya hak untuk diperlakukan dengan baik). Satu-satunya alasan yang masuk akal, karena Walikota dan jajarannya sedang mengejar sesuatu yang disembunyikan seolah-olah warga KK adalah sekumpulan sapi yang tak berpikir dan hanya bisa memamah-biak serta patuh tanpa reserve.

Apa boleh buat, dengan berani saya menuduh: Ada yang tak beres di balik kebijakan relokasi dan investasi pihak swasta yang dikerjasamakan dengan Pemkot KK. Ketidak-beresan ini tegas dikategorikan sebagai inkompetensi dan kebijakan yang melampaui wewenang seorang Walikota; sekaligus juga menunjukkan fakta lain yang sukar dibantah: DPR KK tak paham apa tugas dan tanggungjawabnya. Tak beda dengan anggota DPR Sulut asal Mongondow yang linglung menjawab pertanyaan sepele, ‘’Apa itu Tupoksi’’, saat menjalani ujian komprehensif untuk gelar sarjana yang saat ini disandangnya.

Bila proyek-proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bisa diatur sesukanya oleh Walikota KK dan orong-orang di sekitarnya (pernyataan ini jelas bukan fitnah), maka tak usah heran kalau kerjasama Pemkot KK dan Grup Lippo juga patut diduga bau amis kolusi.

Pemerintah yang tidak memihak warga yang diayominya, tak perlu dipertahankan. Dengan ini, tanpa mengajak siapa pun –bukan karena takut disebut provokator— saya  mendeklarasikan gerakan ‘’Cukup Sudah, Walikota KK!’’. Anda tak pantas lagi jadi pelayan kepentingan masyarakat di Kota Kotamobagu.***