Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, May 29, 2011

Hutan dan Kearifan yang Menguap

DI KAKI Gunung Ambang, hampir 20 tahun silam, saya dan kawan-kawan yang gila alam bebas (sampai-sampai naik gunung kerap lebih penting dari kuliah) mendirikan tenda. Sore itu sembari memandang ladang sayur dan biru Danau Moo’at, perlahan kami lingkupi kabut yang turun membawa dingin.

Hutan di sekitar Gunung Ambang ketika itu masih primer. Hanya di kaki gunung, sebatas yang kuat dijangkau kaki petani, dibuka sebagai ladang. Selebihnya, kayu-kayu raksasa menjulang, yang rerimbunannya menghalangi cahaya matahari menembus ke tanah gembur di bawahnya.

Malam itu kami tertidur di bawah hantaman hujan deras. Dingin dan menyeramkan, apalagi Gunung Ambang lekat dengan kisah-kisah tua tentang para ‘’penjaganya’’. Suara-suara yang datang dari arah hutan pun kian menambah cekaman di jantung. Tapi kantuk dan lelah selalu menjadi pemenang. Tatkala terjaga di pagi hari, kilau permukaan danau dan hijau hutan sejauh mata memandang sungguh sukar dilukiskan.

Beberapa bulan kemudian kawan-kawan (di antaranya ada anggota Mapala Pah’yaga’an Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi –FT Unsrat) kembali lagi ke Gunung Ambang. Pendakian itu nyaris jadi bencana setelah mereka tersesat dalam perjalanan turun dari puncak. Sebab berbekal peta dan peralatan memadai, mereka berupaya memotong jarak turun dengan menerobos hutan. Bukannya tiba lebih cepat, kawan-kawan tersesat dan akhirnya keluar di wilayah Minahasa. Jauh dari jalur pendakian semula, dari wilayah Bolaang Mongondow.

Saya dan kawan-kawan lain yang saat itu sudah bersiap melakukan pencarian, bukannya mendapat tuturan kisah-kisah menakutkan (lagipula aktivis alam babas macam apa yang bermental tempe?), justru dicurahi kekaguman mereka yang tersesat terhadap hutan Mongondow. Hutan yang mereka terobos bukan hanya masih perawan, tapi juga kaya jenis flora dan fauna, termasuk yang endemik Sulawesi dan tergolong langka.

Sudah lama saya tak berkontak dengan sebagian teman yang sama-sama suka menjelajahi gunung dan hutan di Mongondow. Apalagi kami terdiaspora hampir ke seluruh wilayah Indonesia, bahkan ada yang saya dengar cukup lama bermukim di Eropa untuk menyelesaikan studi doktornya. Yang jelas, bila mereka kembali lagi ke Gunung Ambang, mendaki lewat jalur normal dan turun lewat jalur alternatif yang dirintis sendiri, pasti tak bakal tersesat. Sebagian besar hutan di kaki gunung berapi ini sudah dirambah, termasuk oleh illegal logging.

Pohon-pohon raksasa yang dulu tegak tinggal tunggul membusuk dimakan cuaca. Jenis-jenis fauna (terutama burung) yang dulu mengiringi setiap langkah kami yang lelah tapi tak kehilangan semangat, telah lama menghilang dari cabang-cabang pohon yang tersisa. Kalau bukan habis digoreng, mereka pindah ke bagian hutan yang belum terlampau sering dijamah manusia.

Akan halnya pohon-pohon tempat mereka bertengger, membangun sarang dan beranak-pinak, mungkin sudah jadi lemari makan (tempat di mana cucu-cece-cicit si burung yang sudah digoreng bisa jadi disimpan sebelum dihidangkan), kusen pintu, daun pintu, rumah kayu, pun boleh jadi langit-langit rumah seorang politisi atau elit birokrasi di Mongondow.

Melupakan Kearifan

Jauh di belakang, sebelum masa mahasiswa, saya suka bertualang menjelajahi hutan-hutan di sekitar Passi dengan adik bungsu Ayah. Tidak perlu jauh-jauh ke kawasan Taman Nasional di Dumoga. Cukup di ujung Mongkonai, kemudian naik ke arah Passi, melawati perkebunan penduduk, dan setelah berjalan sekitar dua-tiga jam, kami mulai memasuki batas hutan.

Di masa itu saya belajar bagaimana tanpa bekal berlebihan kita tetap survive di dalam hutan Mongondow. Aneka tumbuhan dan hewan (termasuk ulat), tersedia dan siap dijadikan pengganjal perut. Beberapa di antaranya bahkan tergolong lezat dan eksotis, dibanding makanan yang sehari-hari di hadapi di rumah Ayah-Ibu di Jalan Amal.

Setelah itu, di malam-malam selepas Isya, almarhum Nenek, Ayah, atau adik bungsu Ayah, akan bercerita tentang kearifan-kearifan orang Mongondow mendaya-gunakan apa yang disediakan hutan. Jangan menebang pohon muda, karena gunanya hanya buat kayu bakar. Dan untuk kayu bakar, lebih baik memungut ranting dan cabang kering yang jatuh sebab memang sudah saatnya rontok.

Pohon muda yang dijadikan bahan konstruksi rumah cuma akan jadi sarang rayap. Rumah yang berayap tentu buruk bagi penghuninya. Untuk itu, tebanglah pohon tua, yang selain kokoh juga hanya perlu satu-dua pokok dan cukup buat membangun sau rumah ukuran sedang.

Jangan pula menjerat hewan yang sedang bunting atau burung di musim bertelur. Itu sama dengan memutus satu siklus yang pada gilirannya di tahun-tahun mendatang tidak ada lagi yang bisa dijerat.

Intinya, bila kita memperlakukan hutan dan penghuninya sebagai sahabat, dia akan memberikan isi perutnya tanpa henti. Hutan dan seisinya akan menjaga Mongondow dan orang-orang yang menghuni.

Pengalaman dan kearifan-kearifan itu yang kini dengan cepat terlupa dan di lupakan di Mongondow. Hutan dianiaya, bahkan di wilayah yang semestinya jadi kawasan perlindungan. Penganiayaan itu bahkan dengan mudah dipergoki Sekretaris Kabupaten (Sekab) Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Gunawan Lombu, saat meninjau bencana banjir di Desa Ilomata dan Pinolosian.

Di situs Harian Manado Post, Sabtu, 28 Mei 2011 (http://www.manadopost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=96135) saya membaca Lombu Temukan Kayu Illegal di Pinolosian yang memaparkan bagaimana Sekab memergoki puluhan kubik kayu illegal yang siap diangkut keluar Bolsel. Diduga kayu-kayu yang umumnya jenis cempaka itu dijarah dari kawasan hutan lindung Pinolosian, Lion dan Iligon.

Memang ada kearifan-kearifan yang copot di tengah orang Mongondow, yang juga tak peduli (atau bahkan ikut berpartisipasi) terhadap kian gundulnya hutan-hutan yang dulu berkarib dengan nenek-moyannya. Tak usah heran kalau kemudian banjir badang dan tanah longsor jadi kawan baru yang kita akrabi di Mongondow setiap musim penghujan tiba; dan sebaliknya kesulitan air saat musim kemarau datang.

Tanpa kearifan dan penegakan hukum yang keras terhadap para perusak hutan, yang kita panen bukan berkah tapi bencana.***