Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, May 4, 2011

Tak Ada Hati Seluas Samudera

ANCAMAN Sehan Ambaru melayangkan somasi karena tulisan saya di blog ini, yang dipublikasi Harian Radar Totabuan dan Radar Manado, Rabu (27 April 2011), berakhir Senin petang (2 Mei 2011).

Di hari itu, sejak pagi saya tak henti menerima telepon dari sejumlah orang, baik yang mendukung agar saya sungguh-sungguh serius berperkara dengan Sehan Ambaru, maupun yang menghimbau (bahkan menjembatani) supaya masalahnya diakhiri saja. Terhadap himbauan itu, saya menjawab paling tidak dengan lima poin penegasan.

Pertama, saya hanya melayani ‘’ancaman’’ yang sudah dilontarkan. Bila ancaman itu dicabut dan ada permintaan maaf, tentu masalahnya selesai. Saya siap menghadapi somasi Sehan Ambaru karena saya pantang menggertak dan tidak sudi digertak. Bagi orang Mongondow, kata-kata adalah harga diri. Aka de’-eman bibig in kadai-an, yo onu bi’?

Kedua, saya tidak dibesarkan dengan budaya dan tradisi balas dendam serta sakit hati. Orangtua saya mengajarkan bila seseorang melakukan kesalahan kemudian meminta maaf, maka kita tak perlu menciderai lagi kehormatannya. Menjaga kehormatan musuh ( terbesar sekali pun) yang sudah mengangkat tangan, menjadi petanda seseorang memahami atau tidak apa itu harga diri dan kehormatan.

Ketiga, permintaan maaf itu akan saya jadikan dasar mengirim surat ke Kepala Bagian (Kabag) Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), para atasannya dan pihak-pihak terkait. Ini karena sebelumnya saya sudah Peringatan Pertama pada Sehan Ambaru dan Pemberitahuan Pertama pada Kabag Hukum dan HAM, yang ditembuskan ke semua pihak terkait. Dengan saya menyurat menginformasikan masalahnya telah selesai, kemudian berharap mudah-mudahan tak ada konsekwensi lanjutan yang harus dipikul Sehan Ambaru sebagai seorang PNS.

Keempat, mungkin saya juga dapat membantu menyampaikan ke beberapa pihak yang sedang bersiap-siap menggugat Sehan Ambaru, bahwa yang bersangkutan telah menyadari khilaf dan salahnya. Bahwa tidak ada orang yang terbebas dari kemungkinan melakukan kekonyolan. Karenanya, adalah manusiawi bila kita memberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki diri.

Dan kelima, saya menghormati usulan dan dukungan orang-orang yang berpikiran sejalan dengan saya. Hal yang sama juga terhadap orang-orang yang tidak menyukai, bahkan memusuhi saya –terang-terangan maupun yang hanya lewat pesan pendek atau fitnah di belakang punggung. Namun, saya punya sikap dan putusan akhir sendiri, yang –semoga—tidak karena pengaruh siapa pun kecuali pada pertimbangan yang substansinya pada akal sehat dan kemaslahatan orang banyak.

Janji adalah Janji

Lima poin itu saya sampaikan termasuk pada salah seorang karib Sehan Ambaru yang di keseharian saya perlakukan bagai adik kandung. Sebelum menutup telepon sore ini, saya katakan: Sepahit apa pun yang harus dipikul, saya akan memegang janji yang sudah diucapkan.

Saya berkeyakinan saat itu Sehan Ambaru sedang bersama beberapa orang yang berulang kali menghubungi saya. Itu sebabnya ketika menerima pesan pendeknya, berisi sejumlah alasan mengapa dia menyatakan akan melayangkan somasi, yang ditutup dengan permintaan maaf, saya sempat kecewa dan jengkel.

Musababnya, Sehan Ambaru beralasan bahwa ‘’ancaman’’ somasi itu antaranya agar blog saya populer di kalangan orang Mongondow. Alasan ini pula yang dikutip Radar Totabuan, halaman 7, Selasa (3 Mei 2011), Ambaru Minta Maaf, dan Radar Manado, Batal Somasi Katamsi, Sehan (Akhirnya) Minta Maaf.

Aduh, saya membuat blog ini tidak demi popularitas, apalagi dengan cara murahan menyerang kiri-kanan semata karena kurang kerjaan. Rasanya saya sudah cukup dikenal (termasuk di Mongondow dengan stigma negatif sebagai tukang kritik dan protes). Kalau sekadar mabuk populer, menulis di media massa nasional –terakhir di situs http://www.kolomkalam.com/ yang hanya menampilkan karya kolumnis pilihan--, sudah cukup buat saya. Lagipula sebelum saya mulai berperkara dengan Sehan Ambaru, blog ini sudah melewati angka 10.000 kunjungan.

Menurut hemat saya, justru Sehan Ambaru-lah yang diuntungkan ketika menyampaikan ancamannya. Andai dia meneruskan niat somasi dan saya tidak siap, pasti dia bakal menjadi salah seorang anak muda yang sangat disegani di Mongondow. Saya sendiri akan tersungkur dan jadi bulan-bulanan olok-olok tak berkesudahan.

Tapi janji sudah saya ucapkan, tanpa reserve atau pra-syarat apa pun. Sehan Ambaru sudah meminta maaf, maka saya maafkan dan menutup urusan ini dengan ikhlas. Lima poin yang saya sampaikan ke setiap orang yang menghubungi selama isu somasi itu bergulir, akan saya pegang sebagai kata-kata yang diucapkan orang yang tahu nilai harga diri dan kehormatan.

Siapa Berikutnya?

Perkara dengan Sehan Ambaru selesai, tapi tidak dengan yang lain, terutama yang gagah berani meneror saya dengan pesan pendek dari dua nomor telepon berbeda. Saya tahu siapa pelakunya dan bisa dibuktikan dengan mudah. Di abad tekonologi tinggi ini melokalisir dan mengidentifikasi siapa tuyul pengecut itu tidaklah sulit.  Saya memiliki pengetahuan, ketrampilan dan jaringan untuk melakukan itu.

Satu-satunya pertimbangan saya belum mengambil tindakan, kecuali mengejek dan mempermainkan si tuyul, adalah rasa iba.

Bisa dibayangkan konsekwensi terhadap si oknum itu kalau saya secara serius melaporkan isi pesan-pesan pendek yang dikirim itu ke polisi. Apalagi yang tergolong tindak pidana karena sudah mengancam akan melakukan kekerasan fisik (harap diingat: saya sama sekali tidak takut beradu fisik, sekali pun tak memiliki gumpalan otot six pack bak olahragawan tangguh).

Di satu sisi saya bisa memahami, orang-orang yang sebenarnya hanya jadi benalu kekuasan itu telah lama terbiasa tak terbantahkan. Hanya dengan menyebut nama Bupati –dengan klaim punya hubungan sangat dekat—misalnya, kebanyakan orang kontan tak berkutik. Orang-orang seperti ini, yang biasanya saya juluki antek atau tukang jilat, dua kali lebih menderita ketimbang patronnya, apalagi kalau pergantian rezim terjadi karena siklus alamiah.

Kini saatnya saya mengingatkan orang-orang itu, utamanya yang mencoba-coba mengganggu kenyamanan saya dengan pesan-pesan pendek gelap dan tak sopan: Kalau Anda ingin merasakan pahitnya masalah, bersiaplah sesiap-siapnya. Saya akan mengunjungi di saat yang sama sekali tak Anda duga. Bisa tengah malam di teras rumah Anda; atau di sembarang tempat.***