Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, May 2, 2011

Sejak Kapan DPR KK Jadi Gerombolan Preman?


TERCENGANG saya membaca berita yang ditayang situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com/), Jumat (29 April 2011), UDK Bantah Adanya Ijasah Palsu. Berita yang berasal dari laporan Wartawan Tribun Manado, Kevrent Sumurung, ini mengutip pernyataan Ketua Komisi 3 Dekot Kotamobagu, Agus Suprijanta, SE dan anggota Komisi 3, Ir Suharso Marsidi.

Saya berharap wartawan yang menulis beritanya hanya melebih-lebihkan pernyataan dua anggota DPR Kota Kotamobagu (KK) tersebut; juga Pembantu Rektor (PR) I Bidang Akademik Universitas Dumoga Kotamobagu (UDK), Umar Paputungan, yang turut dikutip.

Tanpa menambah atau mengurangi sekata pun, saya kutipkan lagi, Agus Suprijanta menyatakan: ‘’Sebab, pada kenyataannya selain UDK, yang berkewenangan untuk meluluskan mahasiswa yang sedang melakukan study, juga adalah kopertis wilayah 9, dan dikti provinsi sulut. Sehingga, sangat sulit untuk melakukan penyimpangan – penyimpangan di UDK, karena UDK dibawah naungan kopertis dan dikti. Bahkan, kopertis wilayah 9 dan dikti telah menggunakan sistem online data dengan UDK. Tidak sembarangan mengeluarkan ijasah di UDK, sebab yang mengetahui dan mengeluarkan nomor seri penyelasaian studi adalah kopertis wilayah 9 dan dikti provinsi sulut.’’

Dia juga menegaskan, ‘’Ini karena DPRD Kotamobagu sudah mengantongi bukti autentik dari UDK. Kami komisi 3 akan pasang badan, demi nama lembaga perkuliahan UDK, untuk itu, apabila ada oknum atau instansi terkait diluar kota kotamobagu meminta klarifikasi atau sejenisnya, UDK tidak usah mendatangi atau meladeni, langsung diarahkan saja ke Dekot KK, dan bilang nanti kami (komisi 3) yang memberi klarifikasi.’’

Pernyataan Agus Suprijanta diperkuat Suharso Marsidi , bahwa: Alumni UDK yang dituduh memiliki ijasah instan berinisial BM, telah melalui prosedur yang ada. Sebab yang bersangkutan telah terdaftar pada tahun 2007 silam, dan dinyatakan lulus perkuliahan pada tahun 2010 september.

Serta: “Sedangkan pemilik inisial rs atau rian, telah terdaftar terlebih dahulu di sekolah tinggi ekonomi (STIE) widyadarma kotomobagu pada tahun 2006, dan pindah di UDK pada tahun 2008 dengan membawa bukti SKS dari STIE. Kedua alumni yang diisukan memiliki ijasah instan itu tidak benar, karena telah mengikuti proses perkuliahan sesuai dengan prosedur dan bukti – bukti yang ada, serta dengan bukti tersebut, kami komisi 3 juga siap mempertanggungjawabkan.’’

Akan halnya Umar Paputungan, tidak kurang firm-nya dengan menyatakan: Siap mempertanggung jawabkan persoalan ini. Sehingga informasi yang berkembang melalui dunia jejaring dan media cetak tersebut, dianggap adalah pencemaran nama baik UDK.

Umar juga mengatakan: “UDK adalah lembaga pendidikan yang cukup tinggi di Kotamobagu. Kami (UDK) sangat berterimah kasih kepada dewan kota yang langsung meminta klarifikasi, sebelum mempublisnya. Serta kami menilai informasi yang sengaja dikembangkan ini, merupakan opini sesat, karena merusak citra dan almamater UDK, dan kamis akan memproses persoalan ini, sampai ke ranah hukum.’’

Siapa Oknum Itu?

Saya tidak tahu siapa yang dimaksud dengan ‘’oknum’’ oleh Ketua Komisi 3 DPR KK dan PR I UDK. Yang jelas isu ijazah instant di Mongondow sudah meruyak sejak beberapa waktu terakhir. Tidak sulit mengidentifikasi siapa yang mengumbar dan mempercakapkan hal itu di dunia maya; semudah menemukan bahwa lewat blog ini saya juga berulangkali menulis isu ini. Hanya saja, saya tidak pernah menyatakan siapa penyandan ijazah instant tersebut dan dikeluarkan oleh universitas apa.

Yang saya persoalkan adalah logika yang sudah menjadi pengetahuan umum. Bahwa di Fakultas Ekonomi, misalnya dengan jumlah SKS 143, logiskah seorang mahasiswa menyelesaikan masa kuliahnya hanya dalam tiga tahun? Kalau bisa, bagaimana caranya? Apalagi dengan pembatasan bahwa setiap semester jumlah maksimal SKS yang bisa dikontrak hanya 24 SKS.

Sederet pertanyaan itu amat sangat normatif, yang jawabannya tak memerlukan rumus matematika kuantum. Pun tidak perlu dicurigai sebagai ulah oknum yang berniat mengguncang stabilitas UDK, Mongondow, apalagi negeri ini. Kalau akhirnya pertanyaan mendasar itu tak bisa dijawab, ya, gelar SE yang disandang memang instant.

Suharso Marsidi, sebagaimana dikutip Tribun Manado, mengkonfirmasi sarjana ekonomi (SE) yang disebut-sebut berijazah instan itu terdaftar sebagai mahasiswa pada 2007 dan menggondol gelarnya pada September 2010. Artinya, dia hanya menempuh masa studi selama tiga tahun. Logika apa yang digunakan Komisi 3 DPR KK untuk menyatakan tidak ada masalah dalam proses mendapatkan ijazah itu?

Anggota DPR Yang Terhormat, Saudara Agus Suprijanta dan Saudara Suharso Marsidi, Anda berdua bergelar SE dan Ir. Anda tentu menempuh pendidikan Perguruan Tinggi (PT) dengan susah payah dan tahu persis seluk-beluk perkuliahan. Jawab saja dengan satu kalimat pendek: Mungkinkah gelar SE diperoleh dalam waktu tiga tahun? Kalau mungkin, dengan sistem pendidikan Indonesia saat ini, di universitas mana itu? Saya juga ingin berkuliah dan bergelar SE dari universitas tersebut.

Anda boleh menghina akal sehat Anda berdua; tapi tolong jangan dilakukan terhadap pengetahuan umum dari semua orang yang pernah makan pendidikan di PT –sekali pun menyang drop out seperti saya. Jangan pula menakut-nakuti dengan pasang badan dan sejenisnya, seperti preman kurang kerjaan; karena masalah kriminal adalah wilayah polisi, jaksa dan hakim. Penyelesaiannya bukan politik, tetapi penegakan hukum.

Lagipula Komisi 3 DPR KK baru mendengar satu sumber, Universitas Dumoga Kotamobagu (UDK). Apa kata Kopertis 9? Bagaimana pendapat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti)? Demikian pula dengan telaah para ahli pendidikan? Saya kuatir pasang badan itu cuma sesumbar kosong yang tak bisa ditagih belakang hari –sebagaimana kebiasaan politisi Indonesia yang sukar dipegang mulutnya.

Apa pula kompetensi Komisi 3 DPR KK mengambil alih wewenang klarifikasi bagi siapa pun yang mempertanyakan isu ijazah instant itu? Apa hak lembaga legislatif mengambil alih masalah teknis operasional pendidikan; dan juga mungkin penegakan hukum yang yuridiksinya ada di tangan lembaga yudikatif?

Itu sebabnya, sejak awal saya menyarankan dengan gigih, bila ada yang keberatan dengan isu ijazah sarjana instant di Mongondow, serahkan urusan pembuktiannya pada polisi. Dengan demikian PR I UDK juga tidak perlu pula mengancam-ngancam memperkarakan ‘’oknum’’ yang entah siapa nama dan sosoknya itu.

Yang mendidihkan darah saya, pertemuan antara Komisi 3 DPR KK dan UDK adalah rapat tertutup. Kepentingan orang banyak, yang bukan kategori rahasia negara, kok rapat tertutup? Dan buat apa rapat tertutup tapi setelah itu pihak-pihak yang terlibat di dalamnya cerewet bak beo dicecoki cabe?

Pendidikan Sebagai Pencerah

Pendidikan di Indonesia sejatinya adalah membentuk manusia yang tak hanya cerdas, tetapi juga tercerahkan. Mendapatkan ijazah sarjana dengan jalan pintas adalah penghinaan terhadap tujuan luhur pendidikan yang dirumuskan dengan takzim oleh bangsa ini. Membiarkan tujuan mulia pendidikan itu diselewengkan hanya karena mengejar gelar, yang kemudian diabsahkan oleh perlindungan politik dari DPR, menurut saya sudah masuk kategori konspirasi jahat yang merongrong sendi-sendi dasar kehidupan bernegara kita.

Membaca lagak-laku Komisi 3 DPR KK dalam isu ijazah instant, saya jadi bercuriga sesungguhnya mereka sedang ikut menutup-nutupi puncak gunung es, yang bila terbongkar bakal menyeret sangat banyak orang dan institusi. Sungguh celaka anggota DPR jenis ini, karena apa yang mereka lakukan jauh dari cerdas dan masuk akal. Sudah benar apa yang dinyatakan Arthur C Clarke, ‘’Politician should read science fiction, not western and detective stories.’’

Politisi yang membaca fiksi ilmiah pasti lebih kaya cara dan pendekatan, ketimbang sekadar mengarang-ngarang alasan menggelikan dan sok pasang badan.***