Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, May 30, 2011

Surat untuk Katamsi dan Mereka yang Dega’ Binombulou (II)

Oleh Uwin Mokodongan

SMS yang ditujukan ke nomor saya salah satunya berbunyi: ‘’Kiapa ente ikut-ikutan memusuhi Salihi?’’ Maka seperti kena setrum, kaget bukan kepalang, saya segera mengontak nomor pengirim SMS meski tidak diangkat. Karena penasaran, saya membalas SMS tersebut. Begini: ‘’Maksud ente, saya memusuhi bagaimana?’’ SMS-pun berbalas: ‘’Coba baca http://kronikmongondow.blogspot.com/”.

Tak berhenti sampai disitu, SMS dari nomor lain pun bertandangan. Isinya adalah tuduhan bahwa saya adalah wartawan amatiran, yang selain amatiran juga memusuhi Salihi Mokodongan dan Yani Tuuk. Dan dari semua pengirim, rata-rata mengaku baru selesai membaca blog Kronik Mongondow. Inilah efek senjata rahasia --menurut saya-- paling berbahaya dan mematikan yang terkandung dalam tulisan , seperti “teori” yang disampaiakan sahabat saya di atas, entah ini disengaja maupun tidak (itu sebabnya pula saya menulis “surat” ini).

Kalau dituduh amatiran, saya maklum karena memang sadar betul tak sekaliber Katamsi dalam urusan tulis-menulis. Namun ketika saya secara serampangan membabi-buta dan seenaknya dituduh membenci Salihi, apalagi itu terjadi hanya karena gara-gara para pembaca blog --khususnya beberapa yang kapasitas mencernanya di bawah rata-rata-- hanya melihat nama media tempat saya bekerja dicantumkan, saya akan membantah meski tidak sampai tetes darah penghabisan.

Kenapa saya membantah? Hal yang mula-mula wajib diketahui adalah saya membantah bukan karena ingin menjadi manusia yang berubah menjadi monster penjilat setelah tahu ada calon Bupati yang sudah menang dua kali -- Pemilukada dan di persidangan MK. Melalui surat ini saya ingin menyampaikan, saya adalah tipe orang yang tidak akan pernah mengakui apa yang tidak saya lakukan, utamanya soal benci-membenci orang. Wajib pula diketahui dan jujur saya beber di sini bahwa saya sama sekali tidak berada di kubu pemenangan pasangan ‘’Bersatu’’ saat Kampanye Pemilukada atau orang kesiangan yang mengaku-ngaku pendukung Salihi Mokodongan karena dia sudah menang. Tidak.

Bahkan di media tempat saya bekerja tidak pernah ada satu kalipun iklan atau menyangkut pencitraan Salihi-Yani terkait Kampanye Pemilukada, kecuali sebuah catatan ringan (Forum Coffeemix Salihi, Tiga Kali Siram Kopi, Mati Lampu Tetap Berdiskusi) yang dimuat secara bersambung di Harian Komentar, diikuti hasil Wawancara dengan Salihi, sehari pasca pencoblosan saat ditemui di rumah Tatong Bara. Di kesempatan itu, di penghujung wawancara saya kembali mencoba mengetes daya ingat Salihi terhadap ‘’Forum Cooffemix’’ yang pernah berlangsung suatu waktu dari pukul 7 malam hingga 4 pagi dan terkonfirmasi dengan jujur dari Salihi momen tiga tahun silam sebelum dia mencalon diri.

Kembali lagi ke soal tulisan Katamsi. Tak cukup satu kali mencantumkan nama Komentar, dia kembali mengulang lewat tulisan Hore…! yang di-posting Kamis (28 April 2011). Saya kutip penggalannya: ‘’Pembaca, Anda mungkin masih ingat Harian Komentar, Senin (18 April 2011) menurunkan berita Hasil Sidang MK Bakal Keluarkan Putusan ‘Heboh’ Bolmong, yang mengutip habis analisis Pitres…, dst.’’

Nah, kalau itu sangat benar bahwa saya yang menurunkan berita tersebut, yang merupakan hasil wawancara dengan Pietres Sambowadile. Saya selaku kuli tinta jelas-jelas hanya bertugas menuliskan apa yang disampaikan sumber tanpa menambah atau mengurangi, kecuali ada sedikit campur tangan dari Redaktur soal tata huruf atau mungkin pula kalimat yang “belepotan” kemana-mana. (maklum amatiran).

Memang adalah hak Katamsi Ginano men-judge bahwa analisa yang disampaikan Pietres terkait kemungkinan putusan MK itu adalah ‘’Analisis yang luar biasa ngawurnya karena tak ada satu pun yang mendekati fakta putusan Majelis Hakim MK hari ini’’ (kutipan sesuai tulisan asli). Dan adalah hak dari saya pula menuliskan berita hasil wawancara dari nara sumber yang saya temui tanpa harus dicampuri pihak luar, bahkan oleh orang sekaliber manusia ‘’berangin-angin’’ sekali pun.

Pertanyaan saya selanjutnya adalah : “Apakah tidak boleh saya menulis berita di media tempat saya bekerja terkait pernyataan yang disampaikan nara sumber? Sekali pun analisis yang disampaikan nara sumber tersebut “ngawur” oleh pandangan Katamsi? Atau apakah setiap berita yang saya kirimkan ke meja redaksi harus sesuai dengan keinginan Katamsi Ginano? Atau haruskah saya mengurangi atau menambahkan pernyataan dari nara sumber yang saya wawancarai agar layak menjadi sebuah berita dan sesuai keinginan Katamsi?

Setahu saya (luruskan kalau salah) tugas kuli tinta adalah menuliskan apa adanya pernyataan dari nara sumber, tanpa menambah-nambah atau mengurangi, kalaupun ada campur tangan, tentunya menjadi tugas redaktur tanpa mengurangi makna yang disampaikan. Menurut saya Katamsi adalah orang paling kaliber memahami soal ini. Terkait analisa yang disampaikan sumber, apakah “ngawur” atau tidak, saya  hanya bertugas menuliskan. Kalau itu dipandang tak layak dan bikin Katamsi sewot? Itu urusan dia. Atau bikinlah media sendiri biar semua terbitan sesuai dengan keinginannya.

Sebenarnya saya tak ingin menulis “surat” ini terkhusus lagi kepada Katamsi, tetapi karena pengakses blog pribadinya mencapai angka 10 ribuan lebih, saya berpikir ini sudah menyebar kemana-mana dan menjadi konsumsi publik se dunia. Sehingga inti sari pokok lain yang ingin saya sampaikan di sini adalah kepada para pembaca http://kronimongondow.blogspot.com/ yang dega’ (meminjam istilah Katamsi) binombulou karena secara serampangan menuduh orang. Jadilah pembaca yang sedikit cerdas dan tidak sembarangan menuduh orang hanya karena gara-gara media tempat orang bekerja itu dicantumkan Katamsi Ginano dalam tulisanya.

Sekali lagi, jadilah pembaca yang cerdas dan tidak seperti intau ten no iyaying atau binombulou. Saya merasa buang-buang waktu jika harus memarahi kalian (pembaca yang binombulou) terutama yang menuduh saya dan yang mengirimi saya SMS. Saya-pun merasa tidak perlu harus kelewat dongkol atau sakit hati kepada Katamsi Ginano, namun memang benar-benar “tergelitik” kembali dan anggapan bahwa dia adalah orang Mongondow yang unik dan hebat, yang akhirnya semakin meracuni otak sebelah kiri saya.

Salam, Bung!***