Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, May 17, 2011

Kota yang Membunuh Kenangan

DI PLAZA de Armas, Cajamarca, Peru, terik matahari tak kuasa mengusir gigil. Sepanjang tahun jaket menjadi kawan setia penduduk kota di ketinggian 2.750 meter yang dikepung  pengunungan Andes ini.

Hari itu, beberapa waktu lalu, saya mengintari Plaza de Armas dengan kekaguman terhadap jejak-jejak sejarah yang tetap kokoh setelah ratusan tahun didera musim yang datang dan pergi. Gedung-gedung yang dibangun setelah penaklukan Raja Inca Atahualpa oleh Francisco Pizarro pada 1532 –termasuk penjara yang digunakan menahan Sang Raja— terpelihara dengan baik.

Di seantero kota (yang sepekan lamanya saya kelilingi hingga ke udik terjauh), modernisasi tumbuh berdampingan dengan masa lalu, saling menopang dan memberi warna. Rumah-rumah tanah liat dan pagar berbahan sama, tak tampak reyot dan paria berdampingan dengan bangunan beton hasil kreasi abad terkini.

Menelusuri Amerika Selatan yang kerap meletuskan konflik, di tiap negara kita bakal menemukan kota-kota dengan peninggalan tua yang terjaga. Saya kerap bertanya dengan keingitahuan kekanak-kanakkan, mengapa artefak-artefak itu terjaga dari vandalisme pertikaian (sipil dan bahkan perang), tak ada jawaban yang memuaskan. Orang-orang yang saya temui umumnya hanya berkomentar, ‘’Tempat-tempat itu sudah jadi penanda. Untuk apa dirusak dan dihancurkan?’’

Ya, di Cajamarca saya mencecap masa lalu sekaligus menikmati masa kini, sebagaimana di banyak kota yang saya kunjungi di Eropa, sebagian belahan Asia, Australia, atau Afrika. Setiap kali saya menyua kearifan-kearifan mempertahankan bukti masa lalu itu, yang membadai otak adalah fakta bahwa di Indonesia, terlebih di tempat saya dilahirkan, Mongondow, kita justru berlomba-lomba menghilangkan apa pun yang masih tersisa dari masa lalu.

Tanpa Rencana, Tanpa Penghormatan

Pulang ke Kotamobagu di tahun-tahun belakangan ini selalu membawa kesedihan buat saya. Apa yang pernah ada dalam ingatan masa kecil hingga paruh masa kuliah, nyaris tak ada yang tersisa. Kotamobagu dan sekitarnya yang berkembang pesat, bagai taifun telah mengubah dan menghilangkan penanda-penanda yang dulu saya akrabi dan menjadi bagian akrab keseharian.

Salah satu yang terakhir saya lihat –baru beberapa pekan lalu—adalah jembatan besi tua (konon) dari zaman Belanda yang membentang di atas kali yang berada di antara Kopandakan dan Mopait. Di masa kecil, setiap kali diajak berkeliling oleh Ayah atau salah seorang Om, saya bertepuk gembira kalau diberitahu akan melewati jembatan Mopait.

Kini, sebagai pengganti, berdiri rangka baja yang kokoh tapi dingin dari sisi disain, apalagi sejarah. Jembatan pengganti ini sebenar-benarnya berfungsi sebagai jembatan, tak lebih dan kurang. Tak ada kisah, apalagi nostalgia yang cukup berharga dikenang.

Jembatan lama yang sarat kisah dan sejarah, yang semestinya bisa dipertahankan minimal sebagai objek wisata, pasti sudah jadi wajan atau dandang. Tak terlintas sama sekali di kepala para politisi dan pemimpin di Mongondow untuk mempertahankan keberadaannya, minimal sebagai bagian dari sejarah masyarakat di Kopandakan, Mopait dan sekitarnya.

Di bagian kota yang lain, masih tersimpan di ingatan gerbang yang berdiri di Mogolaing (kurang dari sepelemparan baru dari sudut lapangan sepakbola Mogolaing), yang kini lenyap tanpa bekas akibat pelebaran jalan. Di masa SD gerbang itu menjadi tempat saya dan kawan-kawan menguji keberanian panjat-memanjat hingga harus diteriaki orang-orang tua sebelum ada yang terjungkal dan mesti digotong ke tukang urut.

Banyak lagi penanda-penanda kota yang lenyap, yang kalau pun digantikan, tak lebih oleh gedung-gedung komersil yang dengan cepat menjadi kumuh dan membosankan; atau sekadar sesuatu yang tampak mentereng tapi sesungguhnya norak dan berselera rendah. Sakadar menyebut contoh adalah taman yang sangat tak nyaman di eks Gedung Pertemuan Umum di seberang Universitas Dumoga Kotamobagu (UDK) dan tugu di depan Supermarket Paris yang sok modern dan avant-garde.

Tidak usaha lagi dibicarakan penebangan salah satu icon yang hampir identik dengan Kota Kotamobagu (KK): pohon sirsak di kiri-kanan jalan, yang kemudian tak digantikan kecuali kelapa-kelapaan dari besi dan plastik yang didirikan di era kota ini masih menjadi bagian dari Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong). Tidak perlu pula merepet karena kawasan utama Kota Kotamobagu, terutama sebagian Mogolaing, Gogagoman, Kelurahan Kotamobagu, Kotabangon, dan sebagian Sinindian, sudah berubah jadi pasar besar yang karut-marut.

Pemerintah (baik di era Pemkab Bolmong maupun Pemkot KK) terbukti membiarkan Kotamobagu membangun dengan caranya sendiri, yang tanpa rencana dan jauh dari menghormati apa yang baik yang pernah dilakukan di masa lalu. Kalau pun masih ada bangunan tua yang mewakili sejarah Kota Kotamobagu, seperti Kantor Walikota (saat ini) atau gedung Radio Pemerintah Daerah (RPD), saya kira cuma menunggu waktu sebelum diratakan dengan tanah dan entah apa lagi yang akan didirikan sebagai pengganti.

Kenangan Pun Dibunuh

Di Kota Kotamobagu kenangan-kenangan yang ada di ingatan generasi saya dan sebelumnya (juga mungkin satu-dua generasi di bawah saya) kian cepat dihabisi. Yang terakhir dan terbaru adalah Pasar Serasi yang oleh Pemkot KK di bawah Walikota Djelantik Mokodompit direncanakan diubah menjadi pusat perbelanjaan dan bisnis modern yang berarti mall, supermarket, atau hypermarket.

Sekali lagi, saya tidak anti perubahan. Sebuah kota hanya bisa melanjutkan eksistensi bila tak berhenti di masa lalu. Sebuah kota harus berkembang demi melayani kebutuhan warganya. Namun, tidak dengan serta-merta mengganti yang lama, tua, dan tak menarik lagi dengan yang dianggap lebih baru, modern, dan gaya.

Pasar serasi, sesuai usia kontruksinya, memang mesti diratakan dengan tanah. Namun, setelah itu di atasnya dibangun pasar yang baru tapi tetap dengan nafas tradisional. Akan halnya mall, supermarket, atau hypermarket, silahkan didirikan di salah satu wilayah kota yang diperuntukkan bagi pengembangan pusat ekonomi baru sesuai Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota (RTRWK). Boleh di Mongkonai, daerah Lolayan, Passi, atau ke arah Modayag. Dengan demikian distribusi keramaian kota juga tersebar, tidak terkonsentrasi dan menumpukkan kemacetan di Mogolaing, Gogagoman, dan Kelurahan Kotamobagu serta sebagian Biga saja.

Kalau itu yang dilakukan Walikota Djelantik Mokodompit dan jajarannya, kita pantas memberikan apresiasi tinggi. Tapi karena yang terjadi adalah sebaliknya, apa boleh buat, sudah waktunya warga KK memperingatkan Walikota dan jajarannya: enough is enough.***