Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, May 28, 2011

Betapa Sulit Mengelakkan Sindrom

PERSAHUTAN antara saya dan staf Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Pemkab Boltim), Ahmad Alheid, terkait isu kerjasama Pemkab Boltim-RS Monompia, dari sisi substansi sesungguhnya sudah selesai. Apalagi setelah mengunggah Anak-Pinak Keliru Humas Pemkab Boltim (Sabtu, 21 Mei 2011), saya menerima pesan pendek dari Kepala Bagian (Kabag) Humas, Arfan Palima.

Di pesan pendeknya, Rabu (25 Mei 2011), Kabag Humas berterima kasih terhadap kritik (memang pedas dan dapat dikategorikan seenaknya) yang saya sampaikan. Dia juga berharap kritik itu dapat menjadi masukan terhadap tantangan tugas-tugas yang dihadapi Humas Pemkab Boltim dan jajarannya di masa datang.

Pembaca, saya mengapresiasi tinggi pesan pendek itu dan amat memahami tak mudah bagi birokrat di posisinya berendah hati, apalagi terhadap kritik yang disampaikan tanpa tedeng aling-aling. Kalau pun Kabag Humas marah dan keberatan terhadap tata cara penyampaian kritik itu, saya tak segan meminta maaf (tentu terhadap cara yang dianggap keterlaluan, tidak pada substansi kritiknya).

Saya menyadari betul penyampaian saya –bahkan untuk hal yang semestinya positif—kerap mengundang tafsir keliru. Banyak yang mengatakan bukan substansinya yang menjengkelkan, tapi caranya yang memang mengundang tensi tinggi. Apalagi, kata seorang kawan dekat yang mengutip (katanya) komentar orang lain, bila itu dilakukan sembari senyum sinis menghiasi wajah.

Berbarengan dengan kesadaran itu, saya juga tak akan menganggap kritik keras terhadap ketidak-sepakatan, perbedaan pendapat, atau bahkan ideologi yang disampaikan ke saya, sebagai ancaman. Risiko orang yang suka membuat banyak pihak jengkel adalah mampu menahan diri dan menerima aneka kritik serta caci maki dengan kepala dingin. Buat saya, adil bila saya ‘’kencang’’ dan sinis lalu direspons dengan cara sama. Asal jangan mengancam dan menakut-nakuti, terutama yang mengarah pada bentrokan fisik.

Membuka dan menempatkan diri sebagai orang biasa, buat saya adalah terapi agar tidak perlahan-lahan mengidap sindrom ‘’yang dituakan’’, ‘’yang dipanuti’’, ‘’Abang’’, ‘’orang kritis yang harus disegani’’ atau sejenisnya. Lebih sedikit punya kebisaan menulis, lebih sedikit berani mengkritik (apalagi bila itu ditujukan ke elit politik dan birokrasi lokal), tidak serta-merta mesti membuat saya mendudukkan diri di posisi tertentu secara sosial.

Di luar sana, lebih khusus di Mongondow, dari aspek berbeda banyak yang lebih hebat. Hanya, mereka belum terekspos.

Menggurui atau Belajar Bersama?

Maka biasa saja pula bila Ahmad Alheid balas mengkritik musabab tulisan Sakit di Pemkab, Sehat di Swasta dianggap salah karena sumber rujukan, Harian Posko Manado, ternyata menulis berita tak akurat. Saya justru heran mengapa Ahmad Alheid sekadar menyerempet-nyerempet (ini juga untuk mempertegas tidak ada cincai antara kami berdua sebelumnya, sebagaimana dugaan yang dilontarkan orang di grup facebook Pinotaba)?

Lalu kalau saya kemudian menulis bantahan dan penjelasan, yang juga menyoroti Kabag Humas, itu berkaitan dengan pengetahuan umum bahwa komunikasi formal keluar dan kedalam di lingkungan Pemkab adalah tanggungjawab dan wewenangnya. Ya, kalau Kabag Humas tidak ‘’pede’’, kurang kapabel, tak ada salahnya diusulkan agar dilakukan penggantian. Namanya usul, boleh-boleh saja, tidak lebih dari itu.

Berbakal latar seperti itu saya membaca tulisan General Manager Harian Posko Manado, Hairil Paputungan, Ujar-Ujar Tamsi dan Celoteh Si Mat, yang dikirimkan menanggapi persahutan saya dengan Ahmad Alheid. Begitu tiba di alinea 9, perlahan-lahan kepala saya mulai membentuk sosok kawan yang di keseharian saya sapa ‘’Abo’ Hairil’’ ini.

Saya membayangkan Hairil Paputungan dengan kopiah haji berwarna putih, baju koko sewarna yang diseterika halus, berkain palakat kotak-kotak putih dan hitam, duduk bersila di hadapan beberapa orang yang menunggu dengan takzim (dan saya juga berada di tengah majelis yang siap menyimak). Lalu dia mulai menderas wejangan tentang dunia kewartawanan, lebih khusus lagi ihwal ombudsman grup Manado Post.

Mula-mula Abo’ Hairil mengangkat tangan kanan agar tampak berwibawa, lalu dengan suara yang sengaja dibuat berat dan serak, dia meriwayatkan hubungan orang per orang yang terlibat dalam diskursus tertulis (kalau bukan debat) isu kerjasama Pemkab Boltim-RS Monompia. Agar lebih sahih dan terpercaya, tak lupa dia memaparkan pengetahuan sejarah dan keterlibatannya dengan orang-orang itu.

Sebab tausiah mesti khusuk dan hadirin mendapat bekal, Abo’ Hairil menyelipkan pula nasihat di sana-sini. Termasuk saya tidak boleh menyuruh minggir Kabag Humas dari jabatannya, sebab itu tindakan yang keterlaluan. Andai dia menambahkan alasan politis, sosial, budaya, atau apa kek, sempurna sudah bayangan saya terhadap sosok Abo’ Hairil yang bijak-bestari: di atas hidungnya bertengger kacamata berbingkai hitam.

Kacamata memang bisa membuat wajah seram dan berandalan sekali pun tampak cool dan intelek.

Wejangan berlanjut ke isu praktis dengan merujuk sepakbola sebagai misal. Di sini Abo’ Hairil terpeleset sekadar meraba-raba, berasumsi, menduga-duga, dan akhirnya mengambil simpulan yang dipetik dari kepalanya sendiri.

Dalam isu kerjasama Pemkab Boltim-RS Monompia yang didiskursuskan tak ada teori konspirasi apalagi kerumitan politik kantor atau intrik-intrik birokrasi-politisi. Isunya sepele: ada berita yang ditulis tak sempurna, kemudian ada pembaca yang cermat dan menjadikan itu dasar kritik terhadap kebijakan Pemkab Boltim, dan ada staf Humas yang mewakili Pemkab menjawab kritikan itu. Masing-masing pihak telah menyampaikan, menjelaskan, meluruskan dan mengklarifikasi informasi yang sebelumnya tak akurat. Kasus selesai dan ditutup!

Sesederhana itu soalnya. Akan halnya tiki-taka, penyerang tunggal, dan kepiawaian pelatih tim sepakbola meramu strategi agar timnya berjaya, mari kita simpan dan dijadikan dasar menganalisa laga Barcelona-Manchester United yang berlangsung Sabtu tengah malam (28 Mei 2011) WIB.

Sampai di sini saya terjaga. Untunglah saya belum membayangkan, sembari menyampaikan wejangannya Abo’ Hairil mulai nampak sepuh. Rambut dan alisnya memutih, wajah dihiasi kerut-kerut yang menggambarkan kebijaksanaan, serta perut bulat gendut perlambang kemapanan dan kemakmuran.***