Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, May 22, 2011

Pemimpin Kacang, Pemimpin Langsat

JANGAN pernah makan kacang di tempat gelap. Tanpa melihat wujudnya, pengemil kacang –apalagi bukan kemasan pabrik— pasti sukar menggelakkan potensi terkunyah biji yang rasanya aneh. Busuk, digoreng (atau sangrai) terlalu gosong, atau yang paling sial justru kerikil yang terselip di cangkang kacang yang merekah.

Mempercakapkan memamah kacang di tempat gelap mengingatkan saya pada Bioskop Totabuan yang jejaknya kini raib berganti dengan Supermarket Paris. Di masa remaja, saya kerap menyelinap berbekal kacang, menonton sembari mengunyah dan sebentar-sebentar mengutuk karena tergigit kacang busuk. Teknologi pengolahan kacang goreng dan kacang songara zaman itu belum secanggih sekarang.

Tidak enaknya mengunyah kacang busuk di dalam bioskop karena jelas mengganggu kenikmatan menonton. Airmata yang meleleh menyaksikan adegan Ratapan Anak Tiri yang mengharu-biru (ini film yang sungguh membetot syaraf cenggeng, setidaknya untuk takaran masa itu), bisa tiba-tiba terhenti karena kacang rasa kotoran telinga (saya belum pernah mencicipi turi, tapi kira-kira demikian) nyelonong ke mulut. Hik hik hik tangis seketika berubah menjadi puah puah pauh!

Atau, aksi Charles Bronson (yang gagah betul di iklan minyak rambut), harus dilewatkan beberapa saat karena gigi yang nyaris rompal. Tergigit kerikil sebesar biji kacang bukanlah perkara remeh, apalagi bagi yang bergigi  bolong atau rapuh.

Berbeda dengan kacang, langsat (buah ini masih tetap jadi salah satu produksi perkebunan favorit di Mongondow), lebih manusiawi sebagai camilan di tempat gelap. Setidaknya kita bisa mengendus atau merasakan buah mana yang busuk dan mana yang tidak. Kalau pun termakan yang masih hijau dan asam, ya, masih lebih baik ketimbang biji kacang busuk atau kerikil.

Hingga menyelesaikan bangku SMA, musim langsat yang biasanya bersamaan dengan rambutan dan durian, selalu penuh petualangan seru. Setelah puluhan tahun berlalu, serasa baru kemarin saya bersama almarhum Kakek dari sisi Ibu memanen langsat di kebunnya di Init. Malamnya, seluruh keluarga menghadapi satu karung langsat dan menggasak hingga kantung kemih sesak –buah ini memang merangsang aktivitas buang air kecil lebih sering.

Yang lucu dari prosesi menandaskan langsat adalah: pertama-tama para hadirin dan dan hadirat yang reriungan mengunyah memilih buah yang kelihatan paling matang dan manis. Babak berikutnya, mulai yang agak asam. Di sesi penutup, lidah dan kerongkongan yang masih penasaran, dengan sukarela digelontori buah yang rasanya asam karena masih setengah masak. Kebiasaan umum ini pula yang tampaknya mengilhami lahirnya kalimat: ‘’Pilih-pilih langsat’’.

Pemimpin Mongondow ke Depan

Memakan kacang di tempat gelap dan pilih-pilih langsat itulah yang tercetus dari salah satu adik saya yang kini bermukim di Eropa, saat Sabtu malam (21 Mei 2011) saya bertukar pesan via Blackberry Messenger dengan dia. Topik yang menyinggung camilan itu bukanlah tentang khasanah kuliner Mongondow, melainkan mulai ramainya pernyataan dan dukung-mendukung (utamanya di grup-grup facebook) kandidat Walikota Kota Kotamobagu (KK) 2013-2018.

Saya dan dia bersepakat bahwa membicarakan siapa Walikota-Wakil Walikota (Wawali) KK setelah Djelantik Mokodompit-Tatong Bara, selayaknya dilakukan sejak dini. Apalagi kinerja Walikota-Wawali yang sedang menjabat tidaklah menggembirakan (kalau terlampau dini dikata mengecewakan). Menurut hemat saya, masyarakat KK yang umumnya lebih terpapar informasi (media massa cetak dan digital) tak perlu diingat lagi, bahwa: tak perlu menghabiskan sepanci kue untuk tahu apakah kue itu manis, tawar, atau manis-asam-asin.

Sejumlah skandal dan inkompetensi tak terbantahkan mencuat bahkan sebelum tahun ketiga masa jabatan pasangan itu. Sekadar menyebut contoh, mulai dari perpecahan di antara keduanya, skandal CPNS, serta yang terbaru relokasi pedagang Pasar Serasi dan rencana kerjasama Pemkot KK-investor swasta membangun pusat perbelanjaan modern yang patut dicurigai penuh kong-ka-ling-kong.

Silahkan Walikota Djelantik Mokodompit dan pendukungnya menyiapkan diri meraih periode kepemimpinan kedua. Namun, jangan pula dipermasalahkan bila pesaing-pesaing juga bersigegas melakukan hal yang sama. Tugas Walikota adalah memastikan kepemimpinannya membawa faedah dan kemaslahatan bagi seluruh warga, bukan curhat, keluh-kesah, dan merengek setiap kali pidato (bahkan di hajatan pernikahan) seolah-olah membicarakan Pilwako 2013 adalah aib dan penistaan.

Saya sendiri berpendapat, semakin banyak kandidat yang menyatakan bakal berkompetisi di  Pemilihan Walikota-Wawali (Pilwako) KK, semakin baik bagi iklim dan semangat demokrasi. Sejalan dengan itu, kian dini mereka mengenalkan diri, membeberkan pikiran dan rencananya terhadap masa depan KK, kian baik pula bagi warga kota ini.

Dari catatan saya, setidak sejumlah nama sudah diperbincangan, terang-terangannya maupun sebatas rumor. Ada Walikota incumbent Djelantik Mokodompit; Sekretaris Provinsi (Sekprov) Sulut, Rahmad Mokodongan; Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PAN Sulut yang juga Wawali KK, Tatong Bara; perwira polisi di Markas Besar (Mabes) Polri, Samsurijal Mokoagow; atau pengusaha dan pemilik Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Prisma Dana, Tommy Sako.

Dengan sejak awal mereka menyatakan atau dinyatakan sebagai kandidat Walikota KK, warga kota juga bisa membuka mata lebar-lebar mencermati dan mempertimbangkan siapa di antara orang-orang itu yang pantas dipilih dan didaulat sebagai pemimpinnya. Orang banyak yang punya hak suara ini berkesempatan menimbang-nimbang pilihannya seterang-terangnya, hingga luput dari bencana ‘’makan kacang di tempat gelap’’.

Karena yang bakal jadi Walikota-Wawali juga hanya dua orang, konteks ‘’pilih-pilih langsat’’ menjadi sangat relevan. Terlebih dua langsat terbaik yang dipilih tidaklah mesti dicomot dari satu kodapa besar, melainkan hanya kurang dari 10 biji yang sebelumnya telah diseleksi opini masyarakat dan (sebagaimana kebiasaan yang dikembangkan sejak era reformasi bergulir) hasil survei lembaga riset kredibel.

‘’Pilih-pilih langsat’’ juga bisa menghindarkan masyarakat KK dari penyesalan. Toh kalau pun pilihan itu keliru, paling sial terpaksa mendapatkan langsat yang agak asam atau malah sama sekali asam; tapi bukan kacang busuk apalagi kerikil sebesar biji kacang.***