Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, December 1, 2015

Amabom dan Digdaya Dusta yang Konsisten

SEPEKAN terakhir ini saya mengira urusan gelar adat odong-odong yang diberikan Amabom mengatasnakaman masyarakat BMR sudah tutup buku. Toh umumnya orang waras di Mongondow mahfum, Amabom cuma tukang catut yang sukses mempermainkan Pejabat Gubernur Sulut, Soni Sumarsono, dan tipu-tipu Jemmy Lantong, Muliadi Mokodompit, and the gang, akhirnya hanya manjur untuk mereka yang tidak tahu dan kurang pikir.

Kebetulan Pejabat Gubernur adalah orang baru di Sulut. Kebetulan pula ada tukang jilat dan ABSS di sekitarnya, yang tahu bahwa ada gerombolan bernama Amabom yang mudah diperalat. Ruas ketemu buku melahirkan lelucon yang (lagi-lagi kebetulan) menyeret sejumlah pihak yang terbingung-bingung, termasuk Walikota KK.

Eh, ternyata (khususnya) Jemmy Lantong dan Muliadi Mokodompit masih percaya diri dan tebal muka berkoar seolah-olah Amabom adalah lembaga kredibel dan mereka punya integritas sepolos bayi. Maka, tak urung saya terbahak-bahak membaca totabuan.co, Selasa, 1 Desember 2015, Ini Alasan AMABOM Soal Pemberian Gelar Adat Kepada Gubernur (https://totabuan.co/2015/12/ini-alasan-amabom-soal-pemberian-gelar-adat-kepada-gubernur/). Kian rajin dua orang ini buka mulut, semakin kelihatan belang mereka. Ko-onda don ule in opuyu monimu? Sin dia’ don ko-oya’oya’ nani’-on.

Pembaca, sebelum meneruskan cermatan terhadap isu gelar adat Mongondow ala Amabom yang mulai melingkar-lingkar kemana-mana, saya ingin menyatakan bahwa—terutama—Jemmy lantong adalah karib yang saya kenal baik sejak masa kanak. Secara pribadi saya tidak punya masalah dengan dia. Demikian pula Muliadi Mokodompit. Tapi dalam soal kepentingan umum, mohon maaf saudara berdua, rasanya saya ingin muntah melihat kelakuan kalian—terlebih—belakangan ini.

Mengutip Jemmy dalam sambutan di acara seminar sejarah adat BMR di Hotel Green, Senin, 30 November 201, totabuan.co menulis, gelar adat yang dianugerahkan pada Pejabat Gubernur Sulut adalah permintaan dari lima kepala daerah dan sepengetahuan lima swapradja di BMR. Aduh, Jemmy, sudah mencatut dan menipu, sekarang berbohong dengan konsisten pula. Bukankah Kabag Humas KK, Suhartien Tegela, sudah tegas membantah ada keterlibatan Walikota dan Pemkot dalam sandiwara penganugerahan gelar ‘’Punu’ Molantud’’ itu? Demi memperkuat fakta bahwa Suhartien tidaklah dicatut dan diatasnamakan, Harian Sindo Manado, Selasa, 24 November 2015 (Gelar Adat Gubernur Dipolemikkan), bahkan memajang foto Kabag Humas dalam pemberitaannya.

Artinya, jika Walikota Tatong Bara dan jajaran tidak tahu-menahu, sudah jelas permintaan lima kepala daerah di BMR agar Pejabat Gubernur Sulut diberi anugerah adat Mongondow cuma klaim Jemmy Lantong. Sama bohongnya dengan restu lima swapradja versi Amabom, yang entah dikait-kaitkan bagaimana, sebab alangkah idiotnya mendefinisikan ‘’Mongondow’’ dan menyamaratakan dengan wilayah administrasi pemerintahan ala Belanda. Jemmy Lantong dan antek-anteknya sebaiknya belajar membedakan ‘’wilayah budaya, adat, dan tradisi’’ dan ‘’wilayah dan tata pemerintahan’’ sebelum menjajakan omong kosong mereka.

Namun, omong kosong yang disampaikan mulut-manis-lidah-bercabang kerap masih ampuh memukau orang. Ada saja kepala daerah di BMR yang tertipu. Tanpa melakukan pengecekan terhadap status Amabom, dokumen legalnya, dan AD/ART, mereka yang terlanjur terbuai, tersirep bahkan hingga meminjam-pakaikan kendaraan berpelat merah untuk lembaga ‘’tarepak’’ ini.

Perut saya mulas dan liur meleleh karena tertawa begitu mengetahui DPRD Bolmong meradang karena Amabom beroleh pinjam-pakai DB 1112 D dari Pemkab Bolmong. Tampaknya Amabom kian naik kelas hingga ketuanya setara dengan pejabat daerah dan karenanya layak menggunakan pelat merah. Harus diakui, kali ini Jemmy Lantong sukses menekuk anggota DPRD Bolmong yang tidak mendapat mobil dinas. Atau, barangkali memang benar Amabom lebih penting dan berguna di Bolmong ketimbang DPRD?

Bahwa kebijakan Pemkab Bolmong memberikan ‘’mobil berpelat gincu’’ kepada Amabom (atau oknum sialannya) menabrak Pasal 35 dan penjelasannya dari Permendagri No. 17/2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah; serta PP  No. 27/2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah/Negara, kita maafkan saja. Sudah lama saya belajar memahami dan menerima, bahwa Bupati Bolmong dan jajarannya cuma berhenti hingga ‘’merasa pintar’’ dan ‘’pintar merasa’’. Jangankan benar-benar mencoba pintar, minimal belajar untuk sekadar tahu urusan yang melibat UU dan turunannya, mereka tampaknya sudah tersesat entah ke belantara yang mana di hutan BMR.

Untuk urusan status dan legalitas Amabom, nasehat saya pada Jemmy: Ketimbang berputar-putar seperti ayam jago yang keteteran dihajar lawan, sampaikan saya ke muka umum, didirikan dengan akte notaris siapa dan kapankah Amabom ini? Terdaftar di Kemenhumham nomor berapa, tanggal, dan tahun berapa? Serta, di manakah alamat sekretariatnya? Begitu saja kok tidak paham? Bukannya kalian organisasi hebat?

Sedang ihwal kendaraan pelat merah yang dipinjam-pakaikan oleh Pemkab Bolmong, jika benar-benar tidak tahu malu, gunakan saja untuk bergaya supaya punya status dan tampak penting. Buat saya yang tidak pintar menyetir dan tidak punya mobil, angkutan umum cukup memuaskan. Tidak pula mengurangi gengsi, apalagi harga diri.

Nah, terhadap Muliadi Mokodompit yang dalam warta di totabuan.co menyatakan saya tidak berhak bicara terkait gelar adat kepada Penjabat Gubernur Sulut; dan (seolah-olah) hanya menjadi penghalang perjuangan PBMR, saya ingatkan: hati-hati dengan mulut Anda! Pengetahuan terhadap budaya, adat, dan tradisi Mongondow serta integritas pribadi kita tak dapat dibandingkan. Memangnya Mongondow dan adatnya cuma milik nenek moyang Anda seorang? Kalau pun demikian, tolong jelaskan siapa nenek moyang Anda itu?

Akan halnya PBMR, sebaiknya Anda tutup mulut. Mencari-cari celah agar tetap dihitung dan boleh menempel di prestasi politik orang lain, sekalipun itu kelakuan bejad, tidak akan saya halang-halangi. Tapi kalau urusannya sudah melibatkan kepentingan publik, mencatut orang banyak dan adat Mongondow, sebagai bagian dari masyarakat BMR, saya punya hak ikut campur. Termasuk, bila perlu menempeleng dengan bukti-bukti busuknya kelakuan Anda dalam banyak hal, termasuk yang paling memuakkan ihwal soal catut-mencatut dan penyelewengan uang.

Selebihnya, sebagaimana yang sudah saya tuliskan, kalau merasa keberatan: lapor ke pihak berwenang. Saya akan sangat senang menghadapi polisi dan membeberkan seberapa busuk dan rusaknya motif aktivitas kalian atas nama adat Mongondow, juga perjuangan PBMR, yang ujung-ujungnya demi kepentingan kantong pribadi dan kelompok.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ABSS: Asal Bapak Senang Sekali; AD/ART: Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga; Amabom: Aliansi Masyarakat Adat Bolaang Mongondow; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Humas: Hubungan Masyarakat; Kabag: Kepala Bagian; KK: Kota Kotamobagu; PBMR: Provinsi Bolaang Mongondow Raya; Pemkot: Pemerintah Kota; Permendagri: Peraturan Menteri Dalam Negeri; PP: Peraturan Pemerintah; dan Sulut: Sulawesi Utara.

Betapa Tidak Menariknya Pilkada Bolsel

DIBANDING Pilkada 2015 di Boltim yang gemuruh—juga diwarnai rusuh—, kompetisi Cabup-Cawabup di Bolsel adalah peristiwa politik guyup, mesra, dan datar-datar saja. Pasangan yang berlaga pun cuma dua: Herson Mayulu-Iskandar Kamaru (didukung PDIP dan PAN) dan Azhar Yasin-Gustamil Katili (disokong Hanura, Gerindra, dan PPP).

Di tahapan awal tensi politik memang sempat melonjak karena kandidat Cabup-Cawabup independen, Haris Kamaru-Yusuf Mooduto, gagal memenuhi persyaratan yang ditetapkan KPU. Ada massa yang beraksi, ada kandidat calon yang menandak-nandak. Namun, aksi jalanan hingga ke meja hukum mendukung pasangan ini berakhir sebagaimana yang sudah diduga umum: Haris-Yusuf tetap tak memenuhi syarat.

Walau setengah hati—karena dinamikanya yang landai—, saya tetap mengikuti riak Pilkada Bolsel yang diciptakan Haris-Yusuf. Secara pribadi, kendati selalu kontroversial, saya menyukai Yusuf Mooduto—percaya atau tidak, kami berkerabat dari sisi Nenek pihak Ayah—yang meledak-ledak dan di luar mainstream. Selama memimpin PPP dan duduk di DPRD Bolmong, dia selalu mampu menarik atensi publik. Jika tidak karena aksi di ruang sidang dan komentar-komentar politiknya; maka pasti berkaitan dengan ‘’mama baru’’. Urusan yang terakhir ini, saya angkat dua jempol untuk Yusuf.

Yang tidak kurang mengagumkan (dan sudah pernah saya tulis), kesetiaan Yusuf pada komitmen politik yang dia buat. Hingga keanggotaannya di DPRD—juga Ketua PPP—berakhir,  dia adalah loyalis tak tergoyahkan dari mantan Bupati Marlina Moha-Siahaan.  Setiap politikus, lurus atau bengkok, cerdas atau sekadar bernasib baik, sukses atau menjadi langganan pecundang, pasti berharap punya karib politik seperti Yusuf.

Harus diakui, gagalnya Haris-Yusuf berkompetisi di Pilkada Bolsel 2015 membuat laga di antara para pesaing kehilangan gregetnya. Minimal kita meluputkan orasi dan aksi panggung Yusuf Mooduto, yang saya bayangkan bakal membakar massa dan meledakkan tawa. Di balik ‘’kegarangannya’’, Yusuf yang saya kenal adalah manusia penuh humor. Dia bakal jadi daya tarik karena memang berbeda laku dan gaya dibanding Herson-Iskandar dan Azhar-Gustamil yang cenderung hati-hati, formal, dan serius.

Laku dan gaya berbeda belum tentu berbanding lurus dengan keterpilihan pasangan Cabup-Cawabup. Tetapi, sebagaimana taman bunga, hamparan yang melulu merah atau semuanya kuning, dengan cepat menjadi membosankan.  Setitik kuning di antara lautan merah, misalnya, akan menyedot fokus pandang kita dan mempertegas keindahan sebuah taman bunga.

Namun, politik yang berkelanjutan memang memerlukan kehati-hatian yang serius. Petahana Bupati Bolsel, Herson Mayulu, sadar betul untuk mempertahankan kepercayaan orang banyak dia tidak boleh berlaku sembrono. Bupati bukanlah aktor teater yang harus memuaskan penonton melalui drama, tragedi, dan komedi. Seorang Bupati sedapat mungkin ‘’sangat dingin’’ dan meletakkan seluruh pertimbangan tindakannya pada hal besar, ketimbang ego dan keinginan pribadi. Sekalipun dengan demikian dia harus bersedia ‘’makang hati’’.

Herson Mayulu bukan Sehan Landjar yang orasinya menggelegar dan membakar. Saking melantangnya, pernyataan-pernyataan Eyang—demikian dia akrab disapa—bahkan tak sedikit yang balik menghantam dia sendiri. Laku dan gaya Eyang juga melahirkan massa fanatik: yang memuja dia sepenuh hati di satu sisi dan sungguh-sungguh tidak menyukai dia di sisi lain. Jenis mana yang paling banyak di tengah kemajemukan masyarakat Boltim, akan terbukti pada 9 Desember 2015 mendatang.

Sebaliknya, Herson yang populer dikenal  sebagai ‘’Oku’’ mengedepankan kepemimpinan yang akomodatif, hasil evolusi interaksinya dengan tanggung jawab yang diemban sebagai Bupati dan dinamika masyarakat Bolsel. Kita semua belum lupa, di awal-awal masa kepemimpinannya Oku juga dikenal temperamental dan mudah tersulut. Karena tidak ‘’tipis telinga’’, kecaman, kritik, bahkan makian justru dia jadikan alat introspeksi diri. Terbukti kemudian, yang berseberangan—juga terang-terangan bermusuhan—perlahan berubah menjadi kawan seiring.

Akomodatif tidak berarti kompromistis dan pragmatis. Oku merangkul semua pihak, sembari perlahan-lahan menegaskan sikap terhadap tujuan bersama. Dia tetap memberi ruang pada para ‘’die hard’’ dan oposan, sebagaimana juga mendorong para penyokong dan loyalis agar mengambil peran signifikan. Capaian dari pendekatan politik dan kepemimpinan model ini tidak serta-merta dan mencengangkan, melainkan perlahan dan pasti. Dan terbukti efektif. Statistik terakhir menunjukkan, setelah lima tahun masa kepemimpinannya—juga Eyang di Boltim—, IPM Bolsel kini berada di  atas Boltim.

Tapi politik dan kepemimpinan Oku memang minim aksi, bahkan di saat kampanye Pilkada serentak 2015 ini. Tidak ada tontonan yang mengairahkan sebagaimana pasangan Sehan-Rusdi dan Sachrul-Medi ‘’berbalas pantun dan pentung’’ di Boltim. Ibarat tayangan teve, dinamika politik di Bolsel bertema ‘’drama keluarga’’, sedang Boltim sejenis tayangan ‘’aksi’’. Di Bolsel segala perselisihan diselesaikan di ruang-ruang yang terkontrol dan nyaris senyap; di Boltim, sedikit perbedaan pendapat dan cara, ditangani dengan hiruk-pikuk, bahkan batu dan parang pun turut bicara.

Maka, sebagai praktek politik dan kepemimpinan, dinamika di Bolsel layak menjadi pelajaran penting—minimal—dari para Walikota/Bupati se BMR. Bahwa selama lima tahun, dengan pendekatan yang benar, keberlanjutan (atau suksesi) kepemimpinan politik dan birokrasi dapat disiapkan terukur dan matang. Bahwa alangkah bodoh dan jumud-nya seorang petahana bila masih harus bertarung seperti pemula ketika dia tinggal melanjutkan langkah dengan mengantongi semua kesiapan dan bekal yang dibutuhkan.

Bahwa dengan demikian peristiwa seperti Pilkada menjadi sesuatu yang datar, biasa, dan jauh dari riak, adalah soal lain. Masyarakat Bolsel berhak memilih ekspresi pesta demokrasinya dengan cara mereka sendiri; seperti warga Boltim, Bolmut, Bolmong (Induk), atau KK juga mempraktekkan demokrasi ala mereka. Jika pun karena itu Pilkada Bolsel 2015 menjadi tidak menarik, terutama karena jauh-jauh hari kita tahu persis pasangan mana yang bakal keluar sebagai pemenang, di situlah keunggulan strategi jangka panjang Bupati petahana.

Tidak ada yang lebih menenangkan seorang politikus kecuali menghadapi pertarungan yang 99% dia ketahui akan dimenangkan. Selamat untuk Herson-Iskandar. Dan, diundang atau tidak, saya tak sabar menunggu pesta santap durian setelah pelantikan Anda berdua sebagai Bupati-Wabup Bolsel 2016-2021.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Gerindra: Gerakan Indonesia Raya; Hanura: Hati Nurani Rakyat; IPM: Indeks Pembangunan Manusia; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; PAN: Partai Amanat Nasional; PDIP: Paryai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; PPP: Partai Persatuan Pembangunan; dan Wabup: Wakil Bupati.

Friday, November 27, 2015

Orang-orang Gagal di Pilkada Boltim

PILKADA Boltim 2015 praktis terkonsentrasi pada pertarungan—sekaligus perseturuan—antara pasangan Cabup-Cawabup Sachrul Mamonto-Medi Lensun dan Sehan Landjar-Rusdi Gumalangit serta para pendukung masing-masing. Calon lain, Candra Modeong-Supratman Datunsolang, mohon maaf sebesar-besarnya, tanpa bermaksud meremehkan, boleh dikata sekadar mei-mei periuh kompetisi.

Tapi saya harus memuji—khususnya—Candra, yang belakangan dengan cerdas memanfaatkan celah sempit politis dengan mempersoalkan Kapolres Bolmong yang dinilai menghambat kampanyenya. Isu yang segera ditangkap media massa ini memang seksi, apalagi kemudian berkembang menjadi dugaan adanya ‘’permainan’’ dalam distribusi dana pengamanan Pilkada di Boltim.

Langkah kuda cantik itu digosok-gosok lagi dengan gertakan dia akan ke Jakarta mengadukan praktek sumir penggunaan dana pengamanan itu ke Kapolri sebagaimana yang saya baca di situs berita totabuan.co, Kamis, 26 November 2015 (https://totabuan.co/2015/11/candra-saya-ke-jakarta-untuk-laporkan-kapolres-bolmong-ke-mabes-polri/).

Di usia muda, Candra sudah menunjukkan kepiawaian bersilat politik. Sekalipun, keriuhan di media yang dia ciptakan sekadar alasan yang sangat mudah dibaca: supaya dia juga mencicipi sedikit kue perhatian konstituen dari gegar Pilkada. Sebab kalau mau jalan-jalan—untuk memperhalus ‘’melarikan diri’’—ke Jakarta karena sejak awal memang ditempatkan sekadar agar ada lebih dari satu pasang Cabup-Cawabup di Boltim; dan karena tahu persis peluang untuk mendulang suara siginifikan dari para pemilih sangat rendah; lakukan saja tanpa berisik. Tidak pula ada yang akan menahan, apalagi melarang.

Kapolri terlalu sibuk mengurusi Pilkada serentak di seluruh Indonesia. Lagipula, begitu mengetahui ada isu dugaan praktek bengkok polisi itu, Kapolda Sulut, Brigjen Pol Wilmar Marpaung, bahkan meminta jika memang ada bukti awal, maka penduga langsung ketemu dia atau membuat laporan resmi (totabuan.co, Rabu, 25 November 2015, https://totabuan.co/2015/11/soal-pembagian-dana-pam-pilkada-kapolda-segera-buat-laporan-tertulis/).

Namun, tulisan ini bukanlah tentang Candra Modeong—juga manuver-manuver belutnya—dan pasangannya di Pilkada Boltim. Bukan pula soal duo Sachrul-Medi dan Sehan-Rusdi. Melainkan tentang  fenomena kompleksitas umum Pilkada Boltim serta tokoh-tokoh dan ujung tombak pendukung kandidat yang tengah bertarung, khususnya para jurkam yang diboyong untuk menyakinkan orang banyak. Dan mengingat ‘’perseteruan’’ Sachrul-Medi dan Sehan-Rusdi adalah yang paling keras dan ketat, saya memfokuskan cermatan siapa dan bagaimana ‘’tulang belakang’’ yang menopang dua pasang calon ini.

Pertama, Cabup-Cawabup Sachrul-Medi. Diusung PDIP dan Nasdem, pasangan ini sejak mula diuntungkan konteks politik regional karena Pilkada Boltim dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada Sulut. Di Pilgub, dari tiga pasang kandidat Cagub-Cawagub, calon yang didukung PDIP, Olly Dondokambey-Steven Kandow, di atas kertas jauh mengungguli lawan-lawannya. Keuntungan persepsi publik terhadap Olly-Steven ini turut dinikmati Sachrul-Medi yang menjadi bagian dari paket calon kepala daerah PDIP di Sulut.

Kelemahan karena Sachrul Mamonto yang tak lain Ketua DPD PAN Boltim tidak didukung partainya sendiri, dalam perkembangan terakhir justru berubah menjadi keunggulan. Ini karena sikap mendua PAN yang akhirnya mengecewakan kader-kader militannya serta—yang paling krusial—dukungan dari para politikus PAN yang sebelumnya berhasil meraih sukses di Pilkada di BMR dan Pemilu 2014, seperti anggota DPR RI, Yasti Mokoagow, dan Ketua DPW PAN Sulut yang juga Walikota KK, Tatong Bara.

Jika dikonklusi, secara umum kelemahan-kelemahan Sachrul-Medi berhasil dieliminasi perkembangan terkini politik di Sulut serta dukungan penuh para politikus yang sedang mendapat atraksi positif publik, termasuk Olly Dondokambey, Steven Kandow, petahana Bupati Bolsel (yang pengaruhnya melintasbatas hingga Boltim) Herson Mayulu, Yasti Mokoagow, dan Tatong Bara. Di balik panggung, Sachrul-Medi juga didukung tim yang sukses memenangkan Pilkada di hampir semua kota/kabupaten di Sulut, karena mengolah seluruh proses menuju hari ‘’H’’, 9 Desember 2015 mendatang, dengan pendekatan berbasis data dan analisis faktual.

Karena mengenal dekat beberapa ‘’pemain kunci’’ di tim yang mendukung Sachrul-Medi, saya percaya, misalnya, mereka tidak mengarang-ngarang angka dukungan. Terlebih datanya bukan dalam bentuk prosentase, tetapi orang per orang pemilih.

Kedua, pasangan Sehan-Rusdi. Keunggulan terbesar pasangan ini adalah kontradiksi, karena sekaligus menjadi kelemahan fundamentalnya. Dengan dukungan utama dari PAN (yang punya satu fraksi utuh di DPRD Boltim)—ditopang PKB, Gerindra, dan Partai Demokrat—, sejak menerima mandat, (utama Sehan Landjar) disibukkan upaya menyakinkan publik bahwa mereka ‘’tidak merampok’’ hak politik Sachrul Mamonto—yang justru diabaikan partainya walau sudah membuktikan prestasi politik di DPD yang dipimpinnya.

Keteralihan itu berdampak sangat buruk sebab lebih menampakkan sisi irasional dan emosi pribadi Sehan, ketimbang pencapaian kualitas politik dan kepemimpinannya sebagai petahana. Situasinya kian tidak menguntungkan karena tokoh-tokoh PAN—terutama dari DPP—yang dijadikan ‘’bala bantuan’’ politik, cuma masyuk menyerang kader-kadernya sendiri yang lebih memilih mendukung Sachrul-Medi. 

Padahal, fokus pada aspek paling fundamental dari sebuah isu, peristiwa, atau kompetisi adalah faktor paling utama pencapaian keberhasilan. Mengabaikan magic point yang belakangan dikupas tuntas psikolog yang juga wartawan, Daniel Goleman (Focus: The Hidden Driver of Excellence, HarperCollins, 2013) ini, mendorong Sehan-Rusdi pada posisi cuma ‘’berkelahi dengan bayangan sendiri’’.

Kampanye terbuka Sehan-Rusdi, Rabu (24 November 2015), yang dihadiri sejumlah elit DPP PAN adalah contoh terkini cerai-berainya strategi pemenangan pasangan ini. Alih-alih menjual ide, capaian, dan rencana ke depan Sehan-Rusdi, mereka justru masih bersikutat dengan isu basi semacam ‘’dukungan partai yang sah’’ (totabuan.co, Kamis, 26 November 2015, https://totabuan.co/2015/11/waketum-dpp-pan-dukungan-pan-yang-sah-ada-pada-pasangan-seru/), ‘’sanksi untuk kader PAN yang berseberangan’’, dan tetek-bengek sejenis yang sejatinya adalah urusan sangat internal partai.

Dan celakanya, tanpa disadari ‘’serangan’’ itu justru membuka lebar kelemahan para peyokong utama dan jurkam Sehan-Rusdi. Publik yang sudah terpapar informasi lengkap dan mau sedikit berpikir langsung menyadari, kualitas orang-orang yang disodorkan pasangan ini ke depan umum justru menggelikan, dibanding dengan tokoh-tokoh yang mereka serang.

Kita terang-terangan saja. Warga Boltim tentu lebih percaya pada Yasti Mokoagow yang mereka pilih ke DPR RI pada Pemilu 2014 ketimbang Caleg konsisten (telah empat kali mencalonkan diri) seperti Bara Hasibuan. Mereka setidaknya lebih nyaman mendengar Tatong Bara yang Walikota KK ketimbang calon gagal DPRD Provinsi seperti Dedi Dolot. Pula, mereka pasti tidak serta-merta memamah-biak pernyataan-pernyataan Sekjen PAN, Eddy Soeparno, yang mendadak kader paska Kongres Bali 2015 atau Wakil Ketua DPP, Hanafi Rais—walau dia adalah putra ‘’mogul’’ PAN, Amien Rais—yang terbukti gagal meraih kursi Walikota Yogyakarta pada 2011.

Kehadiran dan pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh DPP PAN di kampanye yang mestinya menjadi salah satu ultimate moment Sehan-Rusdi (sebab Pilkada tinggal menghitung hari yang pendek) itu, menurut hemat saya, membuat pasangan ini gagal total ditampilkan di arus utama isu politik Boltim. Yang mencolok justru para jurkam dan aneka intrik internal PAN.

Apa artinya situasi itu terhadap sukses Sehan-Rusdi pada 9 Desember mendatang? Saya tak berani menyimpulkan. Mungkin ada baiknya saya kutipkan saja komentar yang barangkali dapat mewakili pikiran sejumlah kecil konstituen di Boltim, bahwa, ‘’Sedang kon tampat monia in no-kalah-bi’, yo mamangoi bi’ ko-na’a bo molimbu-limbung kon ubol ko’i-nami.’’***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Brigjen: Brigadir Jenderal; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPD: Dewan Pimpinan Daerah; DPP: Dewan Pengurus Pusat; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Gerindra: Gerakan Indonesia Raya; Jurkam: Juru Kampanye; Kapolda: Kepala Kepolisian Daerah; Kapolres: kepala Kepolisian Resor; Kapolri: Kepala Kepolisian Republik Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; Nasdem: Nasional Demokratik; PAN: Partai Amanat Nasional; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pilgup: Pemilihan Gubernur (dan Wakil Gubernur); Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; PKB: Partai Kebangkitan Bangsa; Pol: Polisi; RI: Republik Indonesia; Sekjen: Sekretaris Jenderla; dan Sulut: Sulawesi Utara.

Wednesday, November 25, 2015

Gelar Adat: ‘’(Maaf) Cari Muka, Dapa Panta’’

HINGGA Selasa, 24 November 2015, saya tak henti menerima SMS, BBM, dan telepon ihwal anugerah ‘’Punu’ Molantud’’ untuk Pejabat Gubernur Sulut, Soni Sumarsono. Musababnya adalah tulisan Gelar Odong-odong Organisasi ‘’Tarepak’’ untuk Pejabat Gubernur Sulut yang saya unggah di blog ini.

Karena gelar adat Mongondow yang disematkan Amabom (atas nama masyarakat Bolmong) tak lebih dari tipu-tipu dan lelucon, mulanya saya tidak terlampau serius menanggapi berbagai ‘’curahan hati’’ yang berdatangan itu. Bukan sekali-dua apa yang saya tulis, sekalipun kebenarannya 100% tak terbantahkan, menjadi sekadar perhatian dan keprihatinan pribadi sebab tak banyak orang Mongondow yang menunjukkan kepedulian.

Pada salah seorang kawan dekat yang mengontak, saya menyampaikan, demi kewarasan dan tidur nyenyak kita semua, anggap saja prosesi anugerah gelar adat Mongondow dari Amabom itu tak lebih dari pertunjukan ketoprak. Pejabat Gubernur Sulut, Soni Sumarsono, yang kebetulan berasal dari Tulungagung, Jawa Timur, pasti tahu persis apa itu ketoprak. Walau, sejatinya ‘’ketoprak’’ punya arti ganda: sejenis makanan dengan komponen utama tahu, bihun, mentimun, taoge, emping, dan ketupat; dan seni pentas khas Jawa—yang lagi-lagi kebetulan—sangat digemari di Jawa Timur.

Pentas ketoprak yang biasanya diangkat dari legenda atau sejarah Jawa, belakangan melahirkan varian ‘’ketoprak humor’’. Di pertunjukan ketoprak humor (yang galib tampil di layar-layar teve kita), logika boleh jungkir-balik, termasuk raja pun boleh dipermain-mainkan. Amabom cuma LSM (yang sangat saya ragukan punya akte notaris sebagai dokumen legal paling dasar), bukan lembaga atau representasi budaya, adat, dan tradisi Mongondow; Pejabat Gubernur Sulut baru menduduki kursinya berbilang hari dan karenanya tak heran kalau dia  belum menyumbang apa-apa terhadap masyarakat daerah ini; serta yang paling menggelikan, gelar ‘’Punu’ Molantud’’ yang entah dipungut dari kearifan budaya, adat, dan tradisi Mongondow yang mana.

Orang gila urusan dengan mulut beracun dan gemar dikutip media semacam Muliadi Mokodompit tentu punya kilahan bahwa Amabom adalah bagian dari jaringan AMAN (di mana dia dicantumkan sebagai Pd AMAN Bolaang Mongondow Tengah—kapankah Bolaang Mongondow Tengah ini diresmikan?). Pembaca, luangkan waktu untuk menegok situs AMAN (http://aman.or.id/) dan Anda tidak akan tersesat lagi di tengah abab dan liur orang-orang yang tidak tahu diri dan tidak tahu malu.

AMAN adalah Ormas. Tidak beda dengan organisasi sejenis yang jumlahnya puluhan ribu di Indonesia. Walau punya pengurus daerah di BMR, organisasi ini tidak punya hak sebiji sawi pun mengatasnamakan masyarakat Bolmong dan kemudian memberikan gelar adat Mongondow pada seseorang. Memangnya komunitas mana yang memberikan mandat pada Muliadi Mokodompit, Jemmy Lantong, dan beberapa orang yang disebut sebagai ‘’Pd AMAN’’ di BMR hingga berani-beraninya mereka mengklaim sebagai respresentasi adat Mongondow?

Dengan mengetahui duduk-soal dan hal ihwal yang biasanya dijadikan senjata oleh (terutama) Jemmy Lantong dan (kini ditambah) Muliadi Mokodompit menjual-jual adat Mongondow, saya meredakan kejengkelan karena anugerah gelar untuk Pejabat Gubernur Sulut memang cuma lakon. ‘’Punu’ Molantud’’ itu boleh diterjemahkan sebagai Raja Agung dalam lakon ketoprak yang disutradarai Jemmy Lantong dengan penulis skenario Muliadi Mokodompit dan diperanutamai Pejabat Gubernur Sulut, Soni Sumarsono.

Namun, urusan memang menjadi serius. Saya mencatat, secara umum komentar, pendapat, bahkan cemohan terhadap keriuhan gelar adat untuk Pejabat Gubernur Sulut ini melahirkan dua isu utama.

Pertama, kalangan yang menganggap Amabom adalah lembaga representasi adat Mongondow menyoal, mengapa tokoh-tokoh (paling tidak) yang pernah memimpin Sulut dan punya perhatian terhadap Bolmong seperti E. E. Mangindaan atau Sinyo Sarundajang tak ‘’dianggap’’ oleh orang Mongondow, setidak dengan penghormatan gelar adat?

Bahkan, yang lebih dekat lagi, sesungguhnya ada sentimen apa hingga tokoh yang jelas-jelas anak-temurun Mongondow seperti mantan Wagub Sulut, Abdullah Mokoginta, juga tidak ‘’direken’’ dengan gelar—minimal lebih rendah—seperti yang diberikan pada Pejabat Gubernur. Kurang apa ketokohan dan sumbangsih Om Dula’—demikian dia dikenal akrab di kalangan dekatnya—setidaknya terhadap kebanggaan masyarakat Bolmong?

Sebab itu, sungguh aneh tanpa mendung dan angin, Pejabat Gubernur Sulut yang masa berkuasanya baru berbilang hari, tiba-tiba dianugerahi gelar adat sangat tinggi oleh orang segerombolan orang atas nama Mongondow. Pasti ada sesuatu yang amis dan menjijikkan dari yang tontonan ‘’mendadak gelar adat Mongondow’’ dari Amabom itu.

Dan kedua, mereka yang lebih paham tata-aturan dan seluk-beluk berorganisasi memperkuat kejengkelan (yang sudah saya tuliskan) terhadap tabiat bengkok segelintir orang yang menjual-jual budaya, adat, dan tradisi Mongondow. Penganugerahan gelar dari satu entitas masyarakat, terlebih berlabel adat, semestinya adalah peristiwa budaya yang khimat. Kecuali kalau anugerah itu sekadar tontonan hiburan atau konsumsi pariwisata demi memuaskan keingintahuan turis asing terhadap eksotisme Indonesia, khususnya Mongondow.

Pendek kata, gerundelan terhadap anugerah ‘’Punu’ Molantud’’ atas nama adat Mongondow itu hingga menyerempet aspek yang agak segan saya ungkap lebih jauh, terlebih anak-temurun (langsung) pewaris darah biru Kerajaan Bolmong masih dengan mudah bisa kita temui. Lagipula, harus diakui pertanyaan semacam ‘’Siapa itu Jemmy Lantong? Siapa Muliadi Mokodompit? Anak-cucu raja yang mana? Siapa yang memberikan hak pada mereka mempermain-mainkan adat Mongondow?’’ tidaklah mengada-ada dilontarkan orang banyak yang masih punya kewarasan.

Tapi kita memang tidak sedang bicara kewarasan. Melihat rekam jejak beberapa nama yang terlibat di pusaran anugerah gelar adat itu, semestinya mereka sudah berakhir di RS Ratumbuysan atau kantor polisi. Dan kalau cecuguk macam Muliadi Mokodompit—yang tampaknya kian tidak punya tempat di luar Mongondow—tersinggung dengan yang saya tuliskan ini, mari kita berperkara. Inta! Sin tua bi’ in ta inolatku.

Agar tak mengulang-ngulang lagu yang sama, isu kedua tentu tak perlu dibahas lagi.

Akan halnya isu pertama, jika pun diperbincangkan pasti berakhir sebagai spekulasi dan duga-duga. Apalagi anugerah adat semestinya bukan sekadar ‘’penghargaan’’, terlebih cuma upaya politik murahan. Dia adalah simbol penerimaan sebuah entitas terhadap seseorang, baik sebagai tokoh maupun pribadi, yang memberikan lebih dari sekadar pelaksanaan tugas karena tuntutan kewajiban.

Anugerah adat bicara tentang rasa dan penerimaan, hormat yang tulus, yang sesungguhnya dapat ditakar di keseharian masyarakat Bolmong. Siapakah yang akan mendebat jika E. E. Mangindaan dan Sinyo Sarundajang (yang orangtuanya bahkan cukup lama bermukim di Mongondow) telah dengan konsisten menunjukkan penghormatan, penghargaan, dan sumbangsih untuk Mongondow. Juga Om Dula’ yang bahkan masih harus menunda bersenang-senang dengan cucu karena di usia senjanya tetap didaulat memimpin P3BMR.

Atau barangkali mereka memang tidak perlu diberi gelar adat Mongondow yang oleh Amabom diperlakukan tidak lagi dengan dengan kontes kecantikan produk pupur.  Toh masyarakat Mongondow sudah menerima mereka dengan penghormatan tulus dan tinggi.

Maka tak terelakkan, syak yang paling mungkin adalah anugerah gelar adat itu cuma didasari motif ‘’dagang politis atas nama orang ramai di Bolmong’’. Pengakuan Muliadi Mokodompit adanya permintaan dan rapat di Kantor Gubernur Sulut di Harian Sindo Manado, Selasa, 24 November 2015 (Gelar Adat Gubernur Dipolemikkan), menunjukkan mentalitas calo dan tukang jual apa saja yang sudah lama saya tahu menjadi tabiat khas orang-orang sejenis.

Pembaca, Anda yang mengikuti dinamika politik Sulut umumnya dan BMR khususnya, tak perlu pura-pura kaget. Ada seseorang di Kantor Gubernur yang tengah mempermainkan orang Mongondow, bersekongkol dengan Jemmy Lantong, Muliadi Mokodompit, dan kawan-kawan, menipu Pejabat Gubernur dengan gelar pepesan kosong. Targetnya? Apalagi kalau bukan kursi Pejabat Gubernur BMR—jika Insya Allah provinsi ini terwujud. Akan halnya Jemmy Lantong, (terutama) Muliadi Mokodompit yang beberapa waktu tertangkap tangan mengeruk keuntungan pribadi dari P3BMR, dan kawan-kawan, punya celah turut menepuk dada sebagai pahlawan pemekaran.

Melihat kegigihan banyak orang yang bekerja tanpa pamrih dan berisik ,serta janji Pejabat Gubernur yang juga Dirjen Otda, ada atau tidak ada ‘’gelar ketoprak
 ‘’Punu’ Molantud’’, PBMR tinggal menunggu waktu direlisasi. Karenanya, sungguh hanya para bedebah dia’ ko opoyu yang punya nyali mengail keuntungan untuk pribadi dan kelompoknya. Dengan menjual-jual adat Mongondow pula.

Dengan riuhnya tanggapan negatif orang banyak, dari awam yang bingung hingga tokoh-tokoh yang khatam budaya, adat, dan tradisi Mongondow—termasuk di Harian Radar Bolmong yang sebelumnya ‘’memuji’’ tinggi ‘’Punu’ (keptoprak Amabom) Malantud’’ untuk Pejabat Gubernur (Rabu, 25 November 2015, https://radarbolmongonline.com/polemik-gelar-adat-punu-molantub-hanya-untuk-raja/13541/) saya kira pentas Jemmy Lantong, Muliadi Mokodompit, dan kawan-kawan, serta dalang di balik mereka justru baru dimulai. Akal bulus dan pencatutan terhadap adat Mongondow pasti telah tiba di meja Pejabat Gubernur Sulut.

Sungguh terlalu jika Soni Sumarsono tidak mengambil tindakan apapun terhadap penipuan yang dilakukan terhadap dia. Sekalipun dengan cara yang santun, halus, dan diam-diam mengingat latar budaya Jawa-nya; tetapi sekaligus kerap lebih perih dibanding kemarahan yang dinyatakan terbuka.

Kita boleh bertaruh, sembari—jika perlu—mengambil tindakan hukum dan adat terhadap Jemmy Lantong, Muliadi Mokodompit, and the gank. Yang jelas, nujuman saya pasti: apa yang dilakukan Amabom akan berlabuh sebagaimana sinisme ‘’mo cari muka, eh, ternyata cuma dapa panta’’. ***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Amabom: Aliansi Masyarakat Adat  Bolaang Mongondow; AMAN: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara; BBM: BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Ormas: Organisasi Kemasyarakatan; P3BMR: Presidium Panitia Pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow; PBMR: Provinsi Bolaang Mongondow Raya; SMS: Short Message; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wagub: Wakil Gubernur.