Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, October 15, 2011

Benar Adanya ‘’Anjing-Anjing Menggonggong’’ Itu

TRENYUH saya membaca tulisan Sofian Bede, SE (catat saudara-saudara, Sofian ini Sarjana Ekonomi, jadi dia mutlak paham apa yang disebut ekonomi) yang dipublikasi Harian Manado Post, Kamis (13 Oktober 2011), “Sudah Bohong, Pahit Pula”. Kasihan betul saya pada Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Kabag Humas) Pemerintah Kota (Pemkot) Kotamobagu, Agung Adati, yang kewenangannya menjelaskan segala kebijakan Pemkot telah benar-benar dirampok.

Perampokan pertama oleh Mulia Ando Lobud, ST, lewat artikel yang dipublikasi Harian Radar Totabuan, Rabu (28 September 2011), Antara Ghibah dan Fitnah. Dan yang kedua oleh Sofian Bede yang mengatributi dirinya dengan dua gelar mantan, masing-masing Mantan Ketum HMI Kotamobagu dan Mantan Caleg Partai Amanat Nasional Kotamobagu. Mantan saja kok dibanggakan, apalagi salah satunya adalah ‘’mantan’’ yang berarti dia sama sekali tidak dianggap penting. Cuma ‘’calon legislatif’’, bukan ‘’anggota legislatif’’.

Selain Kabag Humas, saya juga kasihan pada Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit, yang tampaknya sedang sakit sehingga tak bisa membela dirinya sendiri. Karenanya diperlukan orang-orang seperti Mulia Ando Lobud (yang dengan hormat saya sebut ‘’Om’’) dan Sofian Bede untuk menyuarakan pembelaan. Sedihnya, alih-alih meluruskan masalah, baik Om Ando maupun Sofian justru mempernyata fakta: Orang pandir memang hanya bisa mengumpulkan para idiot di sekitarnya. Di tengah para idiot, si pandir tak terbantahkan pintarnya.

Tong Kosong yang Berbunyi

Sebagai pembela Yasti Mokoagow (saya mendaulat diri sendiri, tanpa bayaran atau kepentingan apa pun dengan yang bersangkutan –gaji saya sebagai profesional sudah cukup berlimpah), saya merasa perlu menanggapi Sofian Bede. Sesekali Sofian Bede yang tidak penting ini ditempeleng agar akal sehat pulang ke batok kepalanya yang sebenarnya kosong. Dan saya tidak akan berbasa-basi.

Pertama, logika dasar apa yang Anda gunakan, wahai Sofian Bede yang Sarjana Ekonomi, ketika menguliahi para membaca berkaitan dengan fungsi Pemerintah Kota, Walikota KK, DPR KK, dan Yasti Mokoagow sebagai anggota DPR RI? Tahukah Anda bahwa isu-isu yang dia angkat berkaitan dengan kebijakan Djelantik Mokodompit (baik sebagai Walikota maupun pribadi), terkecuali legalisasi minuman beralkohol –untuk isu ini saya (sekali lagi) sependapat dengan Pemkot KK--, memang berada di bawah yuridiksinya sebagai anggota DPR RI, lebih khusus lagi Ketua Komisi V?

Membaca tulisan Anda, jelas sekali ketidak-tahuan itu berserak di mana-mana dan hanya menunjukkan bahwa Yang Mulia Sofian Bede sedang berimajinasi dengan pikiran-pikirannya sendiri. Repotnya, imajinasi itu terlampau rendah karena demikianlah kepala yang kosong memang hanya memproduksi  bunyi tong.

Kedua, mendudukkan Yasti Mokoagow dan Djelantik Mokodompit sebagai negarawan jelas karang-karangan dan penjilatan pantat politikus dengan cara yang tak elegan. Sekali pun Yasti Mokoagow anggota DPR RI, bahkan Ketua Komisi V, dia belum menjadi negawaran. Pejabat negara, ya, tapi negarawan tunggu dulu. Ada banyak ujian yang harus dia lewati sebelum berhak disebut dan menyandang sebutan ‘’negarawan’’.

Akan halnya Djelantik Mokodompit, kebiasaan (dan kesukaannya) berdusta di mana-mana, cukup membuktikan kelasnya bahkan tidak pantas sekadar dihormati sebagai Walikota KK. Terpilihnya Djelantik Mokodompit sebagai Walikota KK, bagi saya, adalah musibah yang apa boleh buat harus ditanggung seluruh warga KK, termasuk Yasti Mokoagow yang bersikukuh membubuhkan tanda-tangannya sebagai Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Amanat Nasional (PAN) Sulut ketika itu.

Kalau Djelantik Mokodompit tersinggung dengan pernyataan itu dan akan menggugat, saya akan sangat senang menghadirkan bukti-bukti dan para saksi apa saja yang patut disebut sebagai dusta yang selama ini dia nyatakan di mana-mana. Termasuk dusta dalam soal perubahan peruntukkan Pasar Serasi.

Jadi, Saudara Sofian Bede yang mantan ini-itu, menyebut Djelantik Mokodompit sebagai negawaran harus kami (saya khususnya) maknai sebagai ‘’penistaan terhadap kecerdasan dan akal sehat’’. Sayangnya, karena Anda tidak cerdas dan tidak punya akal sehat, tentu yang saya sampaikan ini cuma akan menjadi tanda-tanya. Nah, silahkan bertanya-tanya dulu atau belilah cermin ukuran jumbo dan lihat diri Anda sebaik-baiknya.

Ketiga, di salah satu bagian tulisannya Sofian Bede dengan bangga menyatakan dia dan ‘’teman-teman pedagang’’ mengunjungi fasilitas pasar modern milik Lippo, bahkan bertemu dengan petinggi kelompok usaha ini. Atas kapasitas apa? Anda pedagang di Pasar Serasi, pegawai Pemkot KK yang mengurusi masalah ini, atau apa?

Setiap rezim punya kelompok pendukung dan lingkaran ‘’tukang’’ yang dipelihara sebagai pembisik, penjilat atau penggonggong. Anda harus saya kelompokkan di mana? Pembisik, penjilat atau tukang gonggong?

Kebodohan Perencanaan

Agar tidak melebar kemana-mana, mari kita kembali ke isu perubahan peruntukkan Pasar Serasi. Saudara Sofian Bede yang Sarjana Ekonomi, mudah-mudahan ada sedikit bahan kuliah yang masuk ke kepala Anda sebelum menyandang gelar itu. Sedikit saja untuk menyadarkan bahwa mengubah Pasar Serasi menjadi pasar modern, apalagi dengan memasukkan jaringan usaha besar sebagai pengelola, berimplikasi tidak sederhana.

Pertama, yang paling dasar: Seperti apakah fasilitas itu akan dibangun? Bagaimana pula penyediaan fasilitas pendukungnya seperti areal parkir dan akses jalan ke pasar modern itu?

Kedua, kalau para pedagang yang warga sekitar (dan memang berdagang di Pasar Serasi saat ini) mendapat kesempatan meneruskan usahanya di fasilitas yang baru, siapa pesaing mereka?

Ketiga, bagaimana nasib para pedagang (pemilik tokoh dan usaha kecil lainnya) yang berserak di Pusat Kota KK, bila yang mereka hadapi adalah raksasa retail yang menerapkan konsep one stop shopping?

Dan keempat, tak kurang pentingnya, bagaimana perjanjian antara Pemkot KK dan investor yang akan menanamkan uangnya?

Sebab Anda telah mengambil alih tugas Kabag Humas KK, juga berdiri sebagai ‘’penyambung lidah’’ Walikota, maka jawablah empat pertanyaan itu dengan sebenar-benar dan sesegera mungkin. Sekadar mengingatkan, untuk urusan investasi perubahan peruntukkan Pasar Serasi, kebijakannya memang hanya dan dimonopoli oleh Djelantik Mokodompit (sebagai pribadi dan Walikota). DPR KK kan sama pengapnya dengan kami yang warga biasa dalam urusan kerjasama Pemkot-calon investor di areal Pasar Serasi.

Mohon jawabannya segera. Kalau tidak, apa boleh buat, Anda cuma salah seorang dari ‘’anjing-anjing yang menggongggong’’ setiap kali ada kritik yang dialamatkan ke Walikota Djelantik Mokodompit. Walau saya menyukai anjing, tapi jenis ‘’anjing menggonggong’’ yang sekadar menggonggong, jelas bukan favorit saya. Anjing jenis ini cuma pantas ditendang hingga terkaing-kaing.***

Thursday, September 29, 2011

Olalah…, Ini Dia Satu Lagi Peracau dari KK (Bagian II)

(Tanggapan untuk Artikel Mulia Ando Lobud, ST, Antara Ghibah dan Fitnah,
Harian Radar Totabuan, Rabu, 28 September 2011)

BUAL-BUAL pembuka usai. Mari kita ke menu utama, yang harus dimulai dengan pertanyaan: Dalam kapasitas apakah Om Ando menulis artikel itu?

Apakah dia sudah dilantik menggantikan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Kabag Humas) Pemerintah Kota Kotamobagu (Pemkot KK), Agung Adati? Sudah pulakah ditunjuk sebagai juru bicara Djelantik Mokodompit dan keluarganya? Ataukah barangkali telah diangkat sebagai penasihat utama dengan tugas menyampaikan kebijakan Pemkot KK sekaligus sikap Walikota dan keluarganya?

Tiga pertanyaan itu terpaksa saya lontarkan karena Om Ando sungguh fasih menjabarkan kebijakan Pemkot KK (lebih fasih dari kebanyakan Kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah/SKPD), yang diseminasinya menjadi tugas Walikota dan Kabag Humas. Termasuk piawai pula mengungkapkan hal-ihwal yang mestinya berada di ranah pribadi keluarga Djelantik Mokodompit.

Sembari menunggu perumusan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu, mari kita bahas poin demi poin yang disampaikan Om Ando dalam tulisannya (yang jumlahnya lebih dari lima buah, kecuali kalau logika matematika yang kami pelajari di fakultas teknik berbeda).

Satu: O, jadi tidak ada rencana penghapusan bentor? Yang ada adalah penataan? Saya kira kalau pernyataan ini benar, Yasti Mokoagow memang keliru besar. Tapi apakah dengan demikian dia serta-merta berubah jadi provokator? Jangan lebay, Om Ando. Jangan pula menegatifkan kata yang sebenarnya berarti netral. Provokasi tidak berarti sesuatu yang salah kalau diletakkan ke dalam konteks tertentu, semisal ‘’provokasi agar berpikir kritis’’ atau ‘’provokasi agar belajar dengan giat’’.

Pertanyaan lain, ‘’Apakah pula rencana penataan bentor itu sudah disosialisasikan oleh Walikota dan jajarannya? Seperti apa bentuknya?’’ Dan, bagaimana Om Ando bisa lebih tahu kebijakan ini dibanding (mungkin) bahkan Walikota sendiri?

Dua: Legalisasi minuman beralkohol (saya lebih suka menggunakan istilah ini ketimbang ‘’minuman keras’’ –lagipula apanya yang keras). Saya sepenuhnya berbeda dengan Yasti Mokoagow dalam isu ini. Memang yang benar adalah melakukan kontrol, bukan melarang secara membabi-buta. Tak ada perdebatan. Saya mendukung Walikota KK.

Tiga: Kasus CPNS KK 2009. Ah, ini kasus tuyul berketiak ular. Sudah tidak jelas makluknya, tak ketahuan pula juntrungannya. Tapi saya setuju dengan pernyataan bahwa masalanya sudah di ranah hukum. Maka mari kita dukung proses hukumnya, termasuk perlu diusut pula dugaan penyuapan terhadap Sekretaris Kota (Sekkot) dengan menggunaan uang yang konon berasal dari Yasti Mokoagow. Apa motifnya dan menggapa mesti ada (rencana) tindak penyuapan itu?

Namun, jangan lupakan pula janji Walikota Djelantik Mokodompit yang akan mempertaruhkan jabatannya berkaitan dengan masalah CPNS itu. Mana pemenuhan janji itu? Apa pula namanya orang yang tak bisa dipegang janjinya, kalau bukan pembohong, penipu, dan sejenisnya?

Empat: Rencana pembongkaran Mesjid Baitul Makmur. Alasan KK perlu Mesjid yang representatif, landmark, penyelamatan karena usianya yang sudah 30 tahun, jelas racauan tidak bertanggungjawab. Kalau ingin membangun sesuatu yang lebih representatif dan menjadi landmark, cari saja lokasi baru yang lebih luas dan multi fungsi: ya, tempat ibadah, ya taman, ya pusat pendidikan dan kebudayaan Islam. Akan halnya usianya yang sudah 30 tahun, jelas menunjukkan saat kuliah bahan dan struktur bangunan Om Ando pasti bolos. Atau Om Ando ingin menuduh dalam proses pembangunannya ada korupsi yang menggerogoti Mesjid Baitul Makmur hingga usia konstruksi tidak sebagaimana disain teknisnya?

Intinya, yang ingin saya katakan, kalau cuma urusan usia, mana yang lebih tua: gedung yang digunakan sebagai Kantor Walikota, rumah jabatan Walikota saat ini, atau gedung Universitas Dumoga Kotamobagu (UDK, dibanding dengan Mesjid Baitul Makmur?

Mohon janganlah menganggap kebanyakan orang di KK terkebelakang, terutama mereka yang pernah mencicipi pendidikan teknik dan perencanaan kota, bahkan seperti saya yang pensilnya patah di tengah masa kuliah. Kami mungkin tak selesai sekolah, tapi bukan karena bodoh, apalagi pandir.

Lima: Pendirian Hypermart di atas lahan (yang akan menjadi bekas) Pasar Serasi. Di sini Om Ando benar-benar tidak terjaga kelurusan tulisannya. Menjadikan KK sebagai pusat perdagangan regional dengan mengumpulkan pusat dinamika ekonomi di satu titik jelas hanya direncanakan idiot yang tidak pantas lulus jurusan mana pun di fakultas teknik atau perencanaan wilayah dan ekonomi. Apalagi dikontekskan dengan Pasar Serasi yang posisinya telah dikepung infrastruktur transportasi yang hampir mustahil dikembangkan lagi.

Yang lebih rasional adalah menyebarkan titik-titik yang bakal menjadi pusat ekonomi baru ke wilayah lain KK yang masih lebih lapang. Misalnya membangun Hypermart di ruas jalan Amurang-Kotamobagu-Doloduo (AKD), katakanlah di areal ke arah Dumoga.

Manakah pula grand design KK, sebagaimana yang dituliskan oleh Om Ando? Saya ingatkan sekali lagi, ketiadaan grand design inilah yang sejak berbulan lalu saya persoalkan. Itu sebabnya DPR KK juga terheran-heran karena sama sekali tak tahu adanya rencana pembangunan pusat belanja modern menggantikan Pasar Serasi.

Enam: Tolong Om Ando cek apakah Yasti Mokoagow menyatakan Pasar Serasi memberikan kontribusi PAD ke KK sebesar Rp 7 milyar per tahun; atau (yang benar) PAD KK adalah Rp 7 milyar per tahun. Saya kira untuk urusan angka PAD Yasti pasti tidak salah. Yang keliru adalah kuping Om Ando.

Sama halnya dengan Rp 1,2 triliun ke KK yang tidak sebanding dengan pembangunan. Lho, kalau mayoritas dana APBD dan APBN yang mengucur ke KK  habis hanya untuk anggaran rutin, artinya kota ini tak punya masa depan  sebagai satu daerah otonom. Dengan kata lain, otoritas yang sedang memimpin KK (Walikota dan jajaran serta DPR) tak lebih dari mereka yang memanfaatkan kesempatan di kesempitan.

Tujuh: Dukungan Djelantik Mokodompit terhadap Yasti ke DPR RI. Apa yang Om Ando tahu berkaitan dengan masalah ini? Sebaiknya berhati-hatilah sebelum ada yang menempeleng dengan setumpuk bukti yang menunjukkan bahwa apa yang dinyatakan Yasti Mokoagow benar adanya.

Delapan: Tanpa PAN Djelantik Mokodompit memang tidak akan pernah terpilih sebagai Walikota KK. Dan jangan bicara hasil survei. Om Ando, dalam perkara ini Anda tidak tahu apa-apa. Saya dan beberapa orang tahu persis apa yang terjadi.

Sembilan: Berkaitan dengan pendidikan putri Djelantik Mokodompit di Malaysia. Saya sependapat masalah ini adalah urusan pribadi yang tak boleh diumbar ke ruang publik, kecuali bila sekolahnya dibiayai dengan dana yang dikorupsi dari hak orang banyak. Tentu saja ini dugaan dan tuduhan serius yang harus dibuktikan oleh siapa pun yang menyoal.

Akan halnya kapan dia mulai menempuh pendidikan di luar negeri itu, perkara amat sangat sepele dibuktikan. Cukup tunjukkan tahun pertama kali dia mengantongi paspor dan record penggunaannya sebagai dokumen resmi warga Indonesia di luar negeri. Apakah Om Ando sudah melakukan pemeriksaan dengan saksama?

Sepuluh: Sanksi tetua, tokoh, dan para pemangku adat terhadap Yasti Mokoagow karena dianggap melanggar adat Mongondow. Ah, Om Ando, kita semua tahu pertemuan yang katanya adalah ‘’sidang dewan adat’’ itu kan sekadar lucu-lucuan. Menganggap serius sesuatu yang sekadar lelucon bisa-bisa jadi pelanggaran adat sungguhan.

Sebelas: Dugaan Yasti Mokoagow menerima dana dari tersangka kasus korupsi yang kini ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saya harus mengingatkan Anda, Om Ando, periksa lagi kalimat-kalimat yang dituliskan di Antara Ghibah dan Fitnah. Anda jelas memfitnah. Yasti Mokoagow diduga menerima grativikasi, bukan melakukan korupsi APBN Proyek Perhubungan.

Akhirnya, dengan mencermati satu per satu 11 poin yang dituliskan itu, saya menyimpulkan: Om Ando memang harus minta maaf, berlindung dan mohon pertolongan dari Yang Maha Besar. Terlalu banyak yang lurus yang dibengkokkan. Pula, Om Ando lebih banyak cuma ber-ghibah dan akhirnya berujung fitnah.***

Olalah…, Ini Dia Satu Lagi Peracau dari KK (Bagian I)

(Tanggapan untuk Artikel Mulia Ando Lobud, ST, Antara Ghibah dan Fitnah,
Harian Radar Totabuan, Rabu, 28 September 2011)

MEMBELA yang keliru memang merepotkan. Apalagi kalau kekeliruan itu seterang matahari siang bolong. Yang terjadi adalah silat duga-duga, spekulasi, dan bahkan manipulasi; juga ghibah dan fitnah.

Tulisan Mulia Ando Lobud, ST di Harian Radar Totabuan, Rabu, 28 September 2011 (Antara Ghibah dan Fitnah) mencerminkan susah-payahnya membenar-benarkan sesuatu yang salah. Memang ada bengkok yang lurus, tetapi sisanya malah patah dan malimbuku.

Pembaca, sebelum mulai buka jurus, kembangannya, dan pukulan, saya harus membuat pengakuan ini: Mulia Ando Lobud, ST adalah Paman saya (dengan ‘’P’’) dari garis Ibu. Dia adalah salah seorang putra dari saudara kandung Nenek saya almarhumah. Jadi, dalam hubungan sosial dan budaya Mongondow, saya harus menyapa yang bersangkutan –tentu harus penuh hormat-- dengan sebutan ‘’Om Ando’’.

Tapi berkata (dan menulis) yang benar harus dilakukan (termasuk pada Om Ando), sekali pun pahit akibatnya. Maka biarkan saya menyampaikan pendapat terhadap racauannya di tulisan itu.

Duga-Duga Berujung Fitnah

Sudah menjadi pengetahuan umum Om Ando saya tercinta ini adalah pembela Walikota Kota Kotamobagu, Djelantik Mokodompit, baik dalam posisinya sebagai pejabat publik maupun pribadi. Sudah pula menjadi pemahfuman orang banyak bahwa saya adalah tukang kritik paling gigih terhadap Djelantik Mokodompit, khususnya dalam posisinya sebagai Walikota. Sebagai pribadi, saya tidak punya masalah.

Karena sudah jadi pengetahuan umum, sekalian saya umumkan juga: Dalam konteks perseteruan Yasti Mokoagow-Walikota KK berkenaan dengan isu Pasar Serasi, saya sepenuhnya akan membela Yasti. Di luar konteks itu, Yasti Mokoagow sangat mampu dan kompeten membela dirinya sendiri.

Baiklah, mari kita bahas urusan tulisan Om Ando. Tulisan itu dimulai dengan duga-duga bahwa penulisanya adalah orang yang energinya selama ini dihabiskan untuk mengkritisi Walikota KK. Setelah saya cek bolak-balik, eh, ternyata yang tiada henti mengkritisi sebagaimana yang digambarkan hanya saya seorang. Apakah itu artinya Om Ando ingin mengatakan sayalah yang menuliskan Katakan yang Benar Walau pun Pahit (yang dimuat diberbagai media cetak terbitan Sulut, Senin, 26 September 2011) atas nama Yasti Mokoagow?

Mengapa repot-repot menyindir-nyindir dengan dengan dugaan? Kenapa tidak disebutkan nama sekalian. Duga-duga seolah-olah ini urusan intelejen kelas wahid yang top secret, justru jadi berujung fitnah. Yang tertulis saja Om Ando tak bisa jaga kelurusannya, bagaimana dengan yang lisan?

Yang benar adalah bukan saya yang menulis artikel atas nama Yasti Mokoagow. Dan itu amat saya sesali. Andai saya yang menuliskan, kadar pedas dan sakitnya bisa 10 kali lipat. Sasaran yang dituju bukan hanya sembelit, tapi merasa bak diterjang chikungunya: Seluruh persendian lotoi, tidur tak nyaman, makan tak enak, kepala sakit, mual menyerang, dan demam menggoyang.

Jadi, Om Ando, tolong jagalah tulisan Anda (sebagaimana Anda mengingatkan orang lain untuk menjaga lisannya). Sebut saja siapa ‘’si tersangka’’ yang patut diduga menjadi penulis di balik tulisannya Yasti (yang di beberapa bagian berserak salah ketik dan penempatan koma serta titik –tentu tidak separah kesalahan di tulisan atas nama Om Ando). Saya menjamin tidak ada gugatan pencemaran nama baik atau sejenisnya. Kalau ada, saya akan turut membela Om Ando habis-habisan. Tulisan toh selayaknya dibalas dengan tulisan; sama sebagaimana kata-kata galibnya juga dibalas dengan kata-kata.

Dengan menunjukkan siapa yang patut diduga sebagai penulis di belakang Yasti, Om Ando juga terjaga kredibilitasnya. Cuma jangan sembarangan menuduh, salah-salah urusannya tak hanya malu tapi berakhir pidana dan perdata. Sebagai kemanakan saya risih bila orang mengatakan, ‘’Ah, ngana pe Om kua’ cuma mengarang-ngarang. Kurang itu yang dia boleh bekeng.’’ Bukankah malu Om Ando adalah malu kita sekeluarga juga.

Dalil Agama yang Mana?

Di awal tulisan Antara Ghibah dan Fitnah, Om Ando juga menyitir bahwa tulisan Yasti menggunakan pembenaran dengan dalil agama, berkaitan dengan ‘’praktek ibadah Ubudiyah dan ibadah syar'ih’’ (saya memperpendek kutipan dari tulisan aslinya, tapi pengertiannya kurang-lebih demikian). Dari mana Om Ando menarik simpulan yang justru menunjukkan ketidak-pahamannya terhadap riwayat ‘’katakan yang benar walau pahit’’ itu?

Begini, izinkan kemanakan yang tidak pintar agama ini memberi sedikit tausiah. Secara filosofis dan praktis kalimat yang dijadikan judul tulisan Yasti Mokoagow itu berakar jauh di masa sebelum Islam, tepatnya di zaman Yunani Kuno.

Alkisah, sebagaimana yang dituliskan sejarah, Socrates (470-399 SM) adalah ahli filsafat yang meletakkan dasar epistemologi dan etika, juga guru dari pemikir besar Plato, serta kakek guru dari pemikir yang sama besarnya, Aristoteles. Karena pikiran dan kata-katanya, Socrates yang dianggap menjadi racun bagi masyarakat, akhirnya diadili dan dihukum minum racun. Hukuman ini, yang seharusnya dapat dengan mudah dielakkan (tapi Socrates menolak melakukan pembelaan diri) dia jalani di usia 70 tahun.

Socrates yang diakui sebagai Bapak Para Filsuf bersedia mati karena menyakini: katakan (dan lakukan) yang benar, walau pahit akibatnya.

Lalu datangnya zaman Islam, berabad-abad setelah Yunani Kuno. Kalimat yang dijadikan judul tulisan Yasti Mokoagow itu bukan hanya kata-kata dari Sahabat Nabi, melainkan pesan Rasulullah yang disampaikan pada Abu Dzar Al Ghifari (nama aslinya adalah Jundub bin Junadah bin Sakan), agar mencintai orang miskin dan lemah, serta mengatakan yang benar meski pun pahit (akibatnya).

Untuk memperjelas duduk-soal Abu Dzar Al Ghifari dan Sabda Rasullah itu, saya sarankan kunjungilah rujukan yang lumayan ‘’pop’’, masing-masing http://mta-online.com/v2/2010/01/09/katakan-yang-benar-meskipun-pahit/ dan http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Dzar_Al-Ghifari. Singkatnya, apa yang Om Ando tuliskan berkaitan dengan kalimat ‘’katakan yang benar walau pahit’’, dari riwayatnya dalam pemahaman Islam, keliru se-keliru-kelirunya.

Sebagai tambahan, setelah memeluk Islam, Abu Dzar Al Ghifari dikenal sebagai penyayang kaum dhuafa serta sosok pelurus penguasa. Begitu kukuhnya dia bersikap hingga Ali bin Abi Thalib konon pernah berkata: ‘’Saat ini tidak ada satu orang pun di dunia, kecuali Abu Dzar, yang tidak takut kepada semburan tuduhan yang diucapkan oleh penjahat agama, bahkan saya sendiri pun bukan yang terkecuali.’’***(Bersambung ke Bagian II)

Sunday, September 25, 2011

Boleh Pesan 15 Sanksi Adat? (Bagian II)

KEMBALI pada substansi utama: Apakah Yasti Mokoagow perlu dan layak disidang secara adat? Jawaban saya tegas. Ya, bila dia memang melanggar sistem dan nilai yang secara sosial dan budaya disepakati di Mongondow. Apakah derajat kesalahannya lebih besar atau lebih kecil dari, misalnya, kebanyakan pilot bentor yang gemar membombardir keyamanan kita dengan musik bagai gemuruh jet tempur di seantero jalan di KK, mari disidang dengan tata cara yang benar dan seadil-adilnya.

Apakah pula derajat kesalahannya secara sosial dan budaya lebih kecil dari Djelantik Mokodompit yang terbukti kerap berdusta (sekali lagi dan lagi, kasus calon pegawai negeri sipil –CPNS—KK adalah contoh yang tak perlu diperdebatkan lagi)?

Saya haqul yakin bahwa belum ada satu pun laporan yang diterima para pemangku adat berkaitan dengan jenis pelanggaran yang dilakukan Yasti Mokoagow. Sama halnya dengan saya meyakini bahwa para pemangku adat (terutama Kepala Desa dan Lurah, termasuk Walikota) sudah sering menerima keluhan gangguan musik diskotik ala bentor. Pernahkah ada sidang adat untuk pilot bentor yang mengganggu keyamanan umum itu?

Sama halnya, apakah pula pernah ada sidang oleh para pemangku adat untuk Djelantik Mokodompit, padahal yang menjadi korban dari kasus CPNS adalah warga KK yang semestinya turut dilindungi oleh sistem dan nilai yang disepakati bersama oleh orang Mongondow.

Adat Mongondow yang luhur sangat menjaga tenggang rasa dan keharmonisan. Yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan dua aspek ini, silahkan keluar dari kampung. Kalau adat ini ditegakkan, minimal kita bisa mendisiplinkan para pilot bentor yang kian hari perilakunya kian sukar dikontrol. Dan, tentu saja, membuat Ki Sinungkudan yang sekarang ini ber-dodandian- dengan warga KK tidak menggunakan tungkud-nya sesuka hati. Sebab, Kota Kotamobagu na’a in budel bi’ i nanton komintan, de’eman tonga’ budel in guranga i Walikota.

Alhasil, hukuman yang diputuskan lewat sidang adat itu terhadap Yasti Mokoagow (yaitu permintaan maaf kepada Walikota KK di media selama tujuh hari berturut, membayar denda sebesar Rp 1 miliar, atau diusir dari KK), menurut hemat saya pantas dicatat sebagai joke of the year di KK. Jenius benar para tetua, tokoh, dan pemangku adat mencairkan suhu sosial dan politik di KK dengan lelucon kualitas tinggi seperti sanksi yang mereka putuskan.

15 Sanksi Adat

Bila sidang adat dan sanksi yang dijatuhkan kepada Yasti Mokoagow tetap dianggap serius dan sungguh-sungguh dilaksanakan (apalagi putusan sidang para tetua, tokoh, dan pemangku adat itu sudah diserahkan ke DPR KK; dan bahkan sudah ada anggota DPR yang buru-buru meng-amin-kan keabsahannya –aneh benar, darimana orang itu belajar tentang adat-istiadat Mongondow?), sebagai warga biasa saya juga 100 persen setuju saja. Namun, mengingat adat harus berlaku sama, dengan ini saya memesan 15 sanksi adat kepada para tetua, tokoh, dan pemangku adat di KK, di luar satu paket sanksi yang sudah dijatuhkan pada 19 September 2011 lalu.

Satu: Sanksi tambahan untuk Yasti Mokoagow karena telah menghina hewan tak bersalah, anjing. Di pidatonya Yasti Mokoagow telah menyeret-nyeret anjing yang tidak tahu duduk-perkara ke dalam isu Pasar Serasi, serta menyamakan cecunguk tukang jilat Walikota dengan anjing. Padahal, anjing jelas lebih terhormat dari cecunguk.

Dua: Sanksi untuk Djelantik Mokodompit sebagai pribadi maupun Walikota karena selama ini kata-katanya tak bisa lagi dipegang. Buktinya, salah satu adalah kasus CPNS KK. Bukti lain adalah isu Pasar Serasi.

Tiga: Sanksi untuk Djelantik Mokodompit sebagai Walikota karena menyengsarakan pedagang Pasar Serasi akibat kebijakannya yang tidak lagi sejalan dengan dodandian.

Empat: Sanksi untuk Razky Mokodompit, terutama sebagai anak kandung Djelantik Mokodompit, juga sebagai anggota DPR Sulut dari Bolmong (di mana KK menjadi bagiannya) maupun sebagai pribadi, karena membawa aib orang Mongondow ke publik lebih luas dengan apa yang dilakukannya pada Sidang Paripurna Istimewa Hari Ulang Tahun (HUT) Sulut ke-47, 23 September 2011.

Lima: Sanksi untuk Razky Mokodompit, baik sebagai anggota DPR Sulut dari Bolmong maupun sebagai pribadi, karena tidak berlaku sebagaimana tuan rumah dalam adab, adat, dan istiadat Mongondow sebagaimana yang dilakukannya pada Sidang Paripurna Istimewa Hari Ulang Tahun (HUT) Sulut ke-47, 23 September 2011.

Enam: Sanksi untuk Razky Mokodompit, baik sebagai anggota DPR Sulut dari Bolmong maupun sebagai pribadi, karena mempertontonkan kebodohannya pada Sidang Paripurna Istimewa Hari Ulang Tahun (HUT) Sulut ke-47, 23 September 2011, yang mengakibatkan seluruh orang Mongondow turut menanggung malu.

Tujuh: Satu paket sanksi untuk para pilot bentor yang memutar lagu sekeras musik diskotik di seantero jalan di KK.

Delapan: Satu paket sanksi untuk mereka yang membuang sampah sembarangan, karena kotor selain tidak sesuai dengan perintah agama, juga tidak sejalan dengan adat orang Mongondow.

Sembilan: Sanksi untuk tetua, tokoh dan para pemangku adat yang melaksanakan sidang adat tidak sesuai dengan sistem sosial dan budaya yang disepakati turun-temurun oleh orang Mongondow.

Sepuluh: Sanksi untuk tetua, tokoh dan para pemangku adat yang tidak lagi menjadi penjaga dan penegak nilai-nilai luhur, tetapi telah berubah menjadi pemilik dan penafsir mutlak. Perilaku ini tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan, dipelihara, dan dianut orang Mongondow.

Sebelas: Sanksi untuk saya karena menulis tulisan ini. Alasannya tulisan ini beroptensi merendahkan sidang adat yang dilaksanakan para tetua, tokoh dan pemangku adat pada 19 September 2011, serta putusan sanksi terhadap Yasti Mokoagow.

Dua Belas: Sanksi untuk siapa saja yang membaca tulisan ini, terutama mereka yang bersetuju dengan isinya. Karena yang membaca dan bersetuju berpotensi turut serta merendahkan sidang adat yang dilaksanakan para tetua, tokoh dan pemangku adat pada 19 September 2011, serta putusan sanksi terhadap Yasti Mokoagow.

Tiga sanksi yang tersisa tolong disiapkan sebagai cadangan demi menghemat pikiran, tenaga, dan waktu para tetua, tokoh dan pemangku adat, karena saya yakin dalam waktu dekat semakin banyak kejadian yang melibatkan mereka yang pantas diberi sanksi adat.

Wahai para arif-bijaksana penjaga sistem dan nilai-nilai luhur Mongondow, apa yang saya sampaikan ini tidaklah main-main. Saya takut (demikian pula orang Mongondow yang lain) pada odi-odi: Dumarag na’ kolawag, rumondi na’ buing, motatom na’ simuton, tumonop na’ lanag.***

Boleh Pesan 15 Sanksi Adat? (Bagian I)

SARAPAN telah terhampar di hadapan saya, Senin (19 September 2011), ketika foto yang disebut-sebut sebagai ‘’Sidang Adat’’ di Kota Kotamobagu (KK) berturutan masuk lewat BlackBerry Massanger (BBM). Di salah satu foto tampak jelas yang memimpin sidang adalah Lurah Mogolaing, Ati Ginoga yang bukan hanya sangat saya kenal (sejak masa kanak) tapi juga salah seorang yang berjasa mengajari saya ilmu beladari.

Saya menyapa Ati Ginoga dengan ‘’Om Ati’’ –sesekali kalau sedang dalam situasi formal dengan panggilan ‘’Papa Chan’’ atau ‘’Ama i Chan’’. Walau Om Ati tergolong sosok yang cair dan santun dengan siapa pun, saya tak pernah berani berlaku sesuka hati di hadapannya, Memori masa kecil dan remaja saya masih lekat dengan kepretannya yang bisa membuat pingsan hanya sekali dilayangkan. Pendeknya untuk urusan perilaku humble dan tonjok-menonjok, Om Ati adalah salah seorang –dari amat sedikit— hero dan idola di Mogolaing masa itu.

Tulisan ini saya lanjutkan didahului permintaan maaf sebesar-besarnya pada Om Ati, para tetua, tokoh serta pemangku adat yang bersidang itu. Secara pribadi, kepada Om Ati, saya menyampaikan hormat dan respek saya tidak berkurang sedikit pun kendati apa yang dituliskan di sini mungkin bakal memerahkan kupingnya. Bagi saya tak banyak sosok seperti Om Ati, yang selain menyenangkan sebagai pribadi, juga cool sebagai Lurah dan panutan warga di Mogolaing. Kalau pun ada satu-dua kekeliruan, demikianlah manusia yang manusiawi.

Adat Apa?

Apa itu adat? Dari sejumlah pengertian dan difinisi kita bisa menyimpulkan yang dimaksud dengan adat (kurang-lebih) adalah aturan, perbuatan, atau kebiasaan yang lazim dilaksanakan dan disepakati bersama oleh kelompok masyarakat atau masyarakat secara luas. Karena kesepakatan itu maka adat juga dapat diartikan sebagai sistem (sosial, ekonomi, hukum, dan budaya) yang dianut bersama.

Pemahaman terhadap pengertian adat seperti itu, sejujurnya membuat saya terhenyak tatkala mengetahui bahwa sidang yang diikuti seluruh pranata adat dari 33 desa dan kelurahan se-KK, tak lain membahas perilaku dan sanksi yang akan dijatuhkan terhadap anggota DPR RI asal Sulut dari Partai Amanat Nasional (PAN), Yasti Mokoagow, yang juga warga KK.

Musabab sidang maha penting (orang Mongondow hanya menggunakan ‘’pakaian adat’’ saat menghadapi momen yang dianggap istimewa) itu karena Yasti Mokoagow, baik dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR RI maupun sebagai pribadi, telah menghina Walikota KK Djelantik Mokodompit (sebagai Walikota dan pribadi) saat berpidato 14 dan 15 September 2011 di sekitar kompleks Pasar Serasi, Kelurahan Gogagoman. Pidato yang diperdugakan telah melecehkan Djelantik Mokodompit itu terkait dengan isu pemindahan pedagang Pasar Serasi dan perubahan peruntukan pasar ini menjadi pusat belanja modern.

Mengapa pula harus dengan sidang adat oleh para tetua, tokoh dan pemangku adat dari seluruh KK? Dugaan saya, tersebab Walikota KK adalah pemangku adat tertinggi. Ki Sinungkudan.

Sampai di sini saya bersetuju 100 persen. Bahkan bersyukur karena tiba-tiba sekelompok orang arif-bijaksana di KK sadar ada sistem yang disepakati yang bernilai luhur dan sakral bagi orang Mongondow; yang selama ini diabaikan dan terabaikan. Pelanggaran (pidana maupun perdata) berkonsekwensi hukum formal. Tetapi masyarakat dengan budaya tinggi punya pula konsekwensi dalam bentuk lain, yaitu hukum non formal yang disepakati dan dianut bersama. Di wilayah inilah adat berdiri dan ditegakkan.

Kendati demikian, saya mengingatkan pada para arif-bijaksana di KK itu, bahwa mereka adalah ‘’pemangku adat’’, bukan ‘’pemilik dan satu-satunya penafsir adat’’. Sebagai pemangku adat mereka adalah orang-orang yang menjaga sistem yang disepakati dan dianut, juga menegakkan setegak dan seadil-adilnya, termasuk pada para ‘’pemangku adat’’ yang melanggar adat. Tidak terkecuali terhadap Ki Sinungkudan yang menggunakan tungkud-nya secara semena-mena.

Terlampau jumawa kalau saya harus mengurai akar adat Mongondow, yang berakar hingga dodandian antara Paloko dan Kinalang. Bahwa (sebagaimana yang kita percayai), Kinalang berkata: ‘’Obagai in aku’oi ba’ mo’ iko in bibitonku  (Dukung aku dan aku akang mengangkatmu).’’ Lalu dijawab oleh Paloko:  “Iko in kuntungon nami, yo kami in bibitonmu (Kami akan mendukungmu, agar engkau mengangkat kami).’’

Para arif-bijaksana yang bersidang hari itu bukan hanya tahu persis, tapi saya yakin khatam hingga ke titik-koma peradatan Mongondow.

Jadi, tafsir saya terhadap sidang luar biasa itu adalah: Adat yang digunakan tentu adat Mongondow, yang tak lain perlakuan sama dan adil, tanpa pandang bulu dan tak peduli apakah yang melakukan pelanggaran dan mendapat sanksi adalah pejabat atau tokoh publik (termasuk pemangku adat) atau rakyat biasa yang berprofesi pilot bentor. Adat yang memandang bulu dan pilih-pilih mutlak bukan sistem yang berakar di Mongondow yang kita sepakati bersama. Dia boleh jadi tafsir suka-suka yang lebih pantas dilempar ke got ketimbang di-amin-kan.

Layakkah Yasti Mokoagow Disidang?

Kebanyakan kita yang awam tak tahu bagaimana sidang adat itu berlangsung, apa pertimbangan dan perdebatan yang terjadi di antara para tetua, tokoh, dan pemangku adat KK dalam membahas perilaku Yasti Mokoagow. Bahkan dasar digelarnya sidang itu, yang kita ketahui dari media massa, juga hanya karena pidato yang dianggap menghina Walikota KK.

Sidang adat hanya dengan dasar sepele seperti itu, menurut hemat saya, sudah satu pelanggaran adat tersendiri. Terlebih karena tidak didahului rembuk (bakid) dengan warga di setiap desa atau kelurahan. Tidak pula sedikit pun saya dengar warga di Kelurahan Gogagoman berkumpul dan bermufakat bahwa Yasti telah melanggar sistem anutan umum di kelurahan itu dan karenanya perlu diberi sanksi.

Ah, para pemangku adat tampaknya Anda-Anda mulai tergelincir dari penjaga dan penegak nilai-nilai menjadi pemilik dan penafsir mutlak.

Kalau pidato Yasti Mokoagow menghina Walikota Djelantik Mokodompit, dan yang bersangkutan tersinggung harga diri dan kehormatannya, maka sidang adat boleh dilakukan dengan (minimal) dua syarat: Pertama, yang menjadi korban melapor dan meminta keadilan sacara sosial dan budaya. Kedua, sistem yang dijaga dan ditegakkan (dalam hal ini adat) bersidang dengan menghadirkan masing-masing pihak, meletakkan bukti-bukti dan kesaksian secara seimbang, memperdebatkan, lalu memutuskan apakah kejadian itu tergolong penghinaan yang menyinggung harga diri dan kehormatan atau bukan. Setelah itu barulah ada hukuman atau bahkan pengabsahan bahwa yang dinyatakan adalah benar adanya.

Apakah  Djelantik Mokodompit (sebagai Walikota dan pribadi) melaporkan adanya pelanggaran yang dicakup sistem sosial dan budaya Mongondow terhadap dia oleh Yasti Mokoagow? Ke tokoh, tetua, pemangku adat mana laporan itu dilakukan? Apakah pula Djelantik Mokodompit (yang konon terhina harga diri dan kehormatannya) serta Yasti Mokoagow dihadirkan dalam sidang adat?

Kita semua tahu jawabannya. Dan artinya, mohon maaf sebesar-besarnya wahai para arif-bijaksana, izinkan saya bertanya: Anda-Anda yang bersidang itu sedang main teater atau berikhtiar menjaga dan menegakkan nilai-nilai luhur Mongondow? Kalau main teater, selayaknya ada karcis yang dijual, siapa tahu bisa sedikit menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) KK yang hanya Rp 7 miliar per tahun. Sedang bila sidang itu ikhtiar luhur, mengapa dilakukan dengan menerabas hampir seluruh tata cara bermartabat yang diajarkan turun-temurun oleh para pendahulu Mongondow?***(Bersambung ke Bagian II)

Saturday, September 24, 2011

‘’Ya Allah, Jauhkan Kami dari Anggota DPR dan Walikota Pandir’’

POLITIKUS bertindak bodoh dan mempermalukan dirinya sudah galib dipertontonkan di negeri ini. Tapi apa yang dilakukan anggota DPR Sulut asal Partai Golkar (PG), Rasky Mokodompit, di Sidang Paripurna Istimewa Hari Ulang Tahun (HUT) Sulut ke-47, Jumat (23 September 2011), benar-benar kebodohan menjijikkan.

Peristiwa yang saya maksudkan bahkan ditulis dalam dua berita di Harian Manado Post (Sabtu, 24 September 2011), masing-masing halaman 1 (Duel Yasti v Djelantik: Skor Sementara 1-1) dan halaman 4 (Hujan Intrupsi di Paripurna: Diusir Raski, Yasti Siap Menggugat); serta tak kalah bombastis di Harian Komentar yang bahkan diturunkan sebagai headline (Raski Permalukan Yasti di SPI HUT Propinsi Sulut). Catatan tambahan saya, dua media ini menggunakan panggilan ‘’Rasky’’ dan ‘’Raski’’. Saya akan merujuk pada sebutan versi pertama: Rasky Mokodompit.

Ringkasnya, di Sidang Paripurna Istimewa itu, sebelum hadirin --yang dipenuhi para tokoh antaranya Gubernur Sulut, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men-PAN dan RB) EE Mangindaan, anggota DPR RI Yasti Mokoagow, Olly Dondokambey, dan Vanda Sarundajang, serta para Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota se Sulut— menyanyikan Indonesia Raya, tiba-tiba Rasky Mokodompit melakukan intrupsi menuduh Yasti sebagai provokator dan meminta agar yang bersangkutan diusir keluar ruang sidang. Kalau tidak, maka Rasky akan walk out.

Di blog ini saya pernah menulis tentang anggota DPR Sulut yang saat menempuh ujian sarjana (ketika itu yang bersangkutan sudah menjadi anggota DPR) cengok bagai ayam kena teluh tersebab tak mampu menjelaskan apa itu Tupoksi. Pembaca, anggota DPR tersebut –yang anehnya tetap diluluskan sebagai sarjana—adalah Rasky Mokodompit.

Apa yang dia lakukannya di Sidang Paripurna Istimewa HUT Sulut itu adalah bukti terbaru betapa pandirnya yang bersangkutan. DPR punya Tata Tertib dan berbagai aturan dalam bersidang; dan salah satunya adalah tidak ada intrupsi dalam Sidang Paripurna Istimewa untuk HUT Sulut. Apalagi intrupsi tersebut dilakukan sesaat sebelum Indonesia Raya dinyanyikan. Sebagai anggota DPR Rasky bukan cuma tidak tahu aturan internal, tapi juga secara sengaja melakukan penghinaan terhadap salah satu simbol negara: Lagu Kebangsaan.

Tapi saya tidak heran dengan ketidak-tahuannya. Tupoksi saja yang sudah menjadi kosakata amat sangat umum tak mampu mampir di kepalanya, apalagi tata, aturan dan adab yang lebih tinggi dan kompleks.

Yang lebih memuakkan, apa yang dilakukan sama sekali tidak memiliki relevansi dengan tugasnya dan tanggungjawabnya sebagai anggota DPR; melainkan berdasar persoalan antara Yasti Mokoagow dan Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit, yang juga ayah kandung si pandir ini. Kalau sekadar adu-aduan dan klaim penting, tanpa bermaksud membela Yasti, Rasky adalah anggota DPR Sulut asal Bolmong, sedangkan Yasti Mokoagow adalah anggota DPR RI asal Sulut yang warga Bolmong.

Faktanya: lebih banyak konstituen yang memilih Yasti menjadi wakil mereka ketimbang Rasky, bahkan sekali pun suara milik Rasky digabung dengan suara yang memilih ayahnya sebagai Walikota KK. Mengatas-namakan warga Bolmong demi membenarkan kedunguannya, buat saya adalah penghinaan yang keterlaluan. Bung, Anda boleh dungu, tapi jangan mengajak-ngajak orang lain turut terlibat!

Mempermalukan Mongondow

Orang Mongondow pantas malu terhadap perilaku wakil rakyat model Rasky Mokodompit. Saya bisa menuliskan 100 alasan di sini, tetapi dua yang terpenting adalah:

Pertama, kebodohan dan privatisasi jabatan. Rasky Mokodompit dipilih oleh sebagian warga Bolmong mewakili mereka di DPR Sulut. Artinya, dia bukan wakil ayah, ibu, atau keluarganya di DPR. Membela ayahnya (dalam perseturuan Yasti Mokoagow-Walikota KK terkait isu Pasar Serasi), Rasky –barangkali ini yang dia pelajari dari sekolah dan lingkungan rumahnya— secara terbuka mempertontonkan politik yang dipraktekkan segelintir politikus di Mongondow: menjadikan jabatan publik sebagai ‘’aku’’ pribadi.

Saya tidak menyalahkan seorang anak membela ayahnya (sesuatu yang mutlak harus dilakukan semua anak), tetapi dengan tidak membedakan konteks, tempat, dan waktu, tindakan yang dia lakukan sama sekali tidak mencerminkan keterdidikan, integritas, kehormatan, dan keberadaban.

Mungkin kebanyakan orang melewatkan sesuatu yang maha penting bagi seseorang: integritas dan kehormatan. Ketika Rasky melakukan instrupsi dan mengancam walk out bila Yasti Mokoagow tak dikeluarkan dari ruang sidang DPR Sulut, saat itu pula dia mempertaruhkan integritas dan kehormatannya. Sampai sidang selesai, sepengetahuan saya yang bersangkutan tetap duduk di ruangan. Di mana integritas dan kehormatannya?

Kalau kemudian, sebagaimana yang dikutip Harian Manado Post, Walikota KK Djelantik Mokodompit mengomentari peristiwa itu sebagai skor 1-1 antara dia dan Yasti; menurut saya itu pendapat super pandir. Skor perseturuan antara kedua tokoh ini justru menjadi 3-0, karena Rasky Mokodompit-lah yang mempermalukan dirinya; dan Djelantik Mokodompit menyetujui aib itu. Lain soal kalau dia dengan kepala tegak keluar dari ruang sidang.

Artinya, pembaca blog ini dapat pula menilai sejauh mana kredibilitas Harian Komentar (yang selama ini memang cenderung – bahkan sengaja—pro Djelantik Mokodompit) dalam menuliskan peristiwa tersebut. Headline ‘’Raski Permalukan Yasti di SPI HUT Propinsi Sulut’’ jelas mengada-ada dan mengaburkan konteks kejadiannya.

Lebih mengherankan, PG sebagai partai berusia tua yang matang dalam segala tindak politik menganggap apa yang dilakukan Rasky sebagai sesuatu yang ‘’sah’’. Aimak, tak heran PG kian kehilangan atensi publik di Sulut, terbukti dari gagalnya banyak tokoh partai ini di pemilihan Bupati-Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. Bagaimana ini, Ketua PG Sulut? Apa sebenarnya yang diajarkan oleh PG dalam mendidik kader-kadernya?

Kedua, adab orang beradab.  Adab umum di negeri ini (dan terlebih di Mongondow), tamu harus diperlakukan dengan hormat sekali pun dia musuh besar yang kita benci sebenci-bencinya. Yasti Mokoagow hadir sebagai tamu Pemerintah Provinsi dan DPR Sulut di Sidang Paripurna Istimewa HUT Sulut ke-47. Rasky sebagai salah seorang anggota DPR Sulut adalah bagian dari kelompok ‘’tuan rumah’’.

Intrupsi mengusir Yasti yang hadir sebagai tamu, sungguh telah mempermalukan Gubenur Sulut dan jajarannya serta DPR Sulut sebagai satu institusi. Saya tidak heran bila Gubernur SH Sarundajang merasa ditampar di depan tokoh-tokoh Sulut yang hadir dalam acara itu. Saya justru mengherankan sikap Ketua DPR, Meiva Salindeho-Lintang, yang pasrah menerima turut dipermalukan dengan alasan apa yang sudah diputuskan partai telah benar adanya.

Malu Gubernur adalah malu warga Sulut, termasuk warga Bolmong. Terlebih yang jelas-jelas mempermalukan Gubernur adalah wakil rakyat dari Bolmong. Itu sebabnya ketika beberapa orang menanyakan pendapat saya terhadap peristiwa itu, sembari menghela nafas panjang, saya hanya melafaskan doa: ‘’Ya Allah, jauhkan kami dari anggota DPR dan Walikota pandir.’’***

Insiden Isu Pasar Serasi: Memang Lidah Tak Bertulang

ORANG-ORANG bijak yang mencipta pepatah adalah mereka yang mampu membaca dan meresap tanda-tanda zaman. ‘’Mulutmu adalah harimaumu’’ atau ‘’Karena mulut badan binasa’’ jelas kearifan yang mengingatkan kita menjaga lidah supaya tak keseleo. Terlebih, seperti yang didendangkan Bob Tutupoli, Memang Lidah Tak Bertulang.

Insiden berkaitan dengan isu relokasi Pasar Serasi yang melibatkan Ketua Komisi V DPR RI asal Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga warga Kota Kotamobagu (KK), Yasti S Mokoagow, pada 14 dan 15 September 2011 di dekat kompleks Pasar Serasi, Kelurahan Gogagoman, adalah kelindang dari peringatan yang sudah diarifi orang-orang bijak. Bukan hanya soal mulut dan lidah Yasti yang kini dianggap sebagai tokoh sentral masalah; tetapi juga mulut dan lidah Walikota KK serta para pendukungnya.

Menghina Anjing

Ada dua versi utama yang saya dengar dan baca berkaitan dengan insiden itu. Versi pertama dari kalangan pro Walikota KK, Djelantik Mokodompit, serta para pengecam Yasti (yang belum tentu pro Walikota) menyebutkan: Dalam orasinya, baik 14 Sepember maupun 15 September 2011, Yasti menyebut Walikota KK (dan Djelantik Mokodompit sebagai pribadi) penipu, pembohong, dan aneka kata tidak sedap lainnya. Menurut versi ini, Yasti juga menyebutkan Walikota KK dan pendukungnya sebagai ‘’anjing-anjing’’.

Versi kedua (masing-masing dari mereka yang pro Yasti, kelompok netral, dan Yasti sendiri) mengatakan: Benar Yasti –dalam konteks sebagai anggota DPR RI maupun warga KK-- mengkritik Walikota, Djelantik Mokodompit, dengan kata-kata yang dikategorikan ‘’kelas berat’’ –termasuk melakukan kebohongan dan penipuan publik--; serta menyatakan bahwa kritik Yasti akan ditanggapi oleh ‘’anjing-anjing yang menggonggong’’.

Saya, yang hanya mendengar dan membaca dua versi utama itu, ingin bersikap adil terhadap kedua pihak. Terhadap versi pertama, menurut saya:

Pertama, untuk kata-kata seperti penipu, pembohong, dan sebagainya; sebaiknya Walikota KK dan para pendukungnya mengevaluasi kembali seluruh konteks isu terkait Pasar Serasi, apakah tudingan itu memiliki dasar atau tidak? Jangan sampai keburu marah dan kalap lalu telunjuk yang diarahkan ke Yasti Mokoagow ternyata mendarat di jidat sendiri.

Kedua, kata-kata ‘’anjing-anjing’’. Kalau kata ini dialamatkan pada mereka yang pro Walikota KK, pertanyaan saya adakah di antara mereka yang merasa sebagai ‘’anjing-anjing’’? Kalau ada dan itu menyinggung perasaan, melukai harga diri, yang dapat dikategorikan perbuatan tidak menyenangkan dan melawan hukum, maka laporkan ke polisi. Tapi masak ada orang bodoh yang bersukarela menempatkan dirinya masuk kategori ‘’anjing-anjing’’?

Akan halnya Walikota KK dan jajaran Pemkot KK, kalau ‘’anjing-anjing’’ itu dianggap menghina pejabat publik, laporkan pula ke polisi; baik dalam konteks jabatan formalnya maupun sebagai pribadi. Hanya saya harus mengingatkan, cek kembali kebenaran kata per kata, kalimat per kalimat, apakah benar eksplisit seperti itu yang dinyatakan.

Pisau hukum selalu bermata dua. Kalau apa yang dianggap sebagai perbuatan pidana (juga perdata) ternyata tidak terbukti; maka dia akan berbalik menusuk penuduh. Singkatnya, menurut saya, potensi pemelintiran terhadap pernyataan Yasti sulit dihindarkan karena ‘’memang lidah tidak bertulang’’. Apalagi lidah ular dan para penjilat.

Terhadap versi kedua, saya berpendapat:

Pertama, bukan rahasia lagi Walikota KK memang gemar berbohong, menipu, dan memanipulasi pernyataannya sendiri. Kasus rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) KK menjadi salah satu contoh yang bisa dirujuk. Orang banyak boleh beringatan pendek, tetapi tidak bisa diperbantahkan dia pernah mempertaruhkan jabatannya yang hingga kini tak terbukti. Hilang diterbangkan angin dan aneka pencitraan yang gemar dipertontonkan oleh Walikota (termasuk lewat akting pidato dengan meneteskan airmata).

Khusus isu Pasar Serasi, memang ada penipuan, kebohongan, dan manipulasi oleh Walikota KK. Seperti apa bentuknya, sebaiknya simak tulisan-tulisan lain di blog ini.

Kedua, kata-kata ‘’anjing-anjing menggonggong’’ menurut saya sungguh keterlaluan. Soalnya itu menghina para anjing. Dan sebagai penyayang hewan, saya keberatan Yasti menyamakan cecunguk dengan anjing. Anjing dalam banyak hal adalah hewan yang luar biasa dari sisi kecerdasan dan kesetiaan. Jadi mohon Saudari Yasti Mokoagow, besok-besok janganlah menghina anjing. Sebab kalau dilakukan lagi, saya akan turut di barisan yang menggugat Anda.

Dari sisi hukum, konsekwensi kata-kata ‘’anjing-anjing menggonggong’’ bisa dikategorikan sebagai gangguan terhadap ketertiban dan kenyamanan publik. Tapi (setahu saya) saat itu sejumlah polisi ada di tempat kejadian, hingga semestinya kalau ada gangguan ketertiban dan keyamanan umum, mereka sudah bertindak.

Dari sisi sosial dan budaya, kalau pun ada yang keberatan, tidak lebih dari gangguan yang diakibatkan oleh musik yang biasanya menggelegar dari bentor yang lalu-lalang di seantero jalan di KK. Kecuali, sebagaimana poin kedua di versi pertama, ada yang memang merasa sebagai ‘’anjing-anjing’’ dan karenanya pantas tersinggung dan mesti menuntut haknya.

Kembalikan Pada Proporsi

Lalu seperti apa orang banyak harus menyikapi insiden (kalau pun peristiwanya dikategorikan sebagai insiden) terkait isu Pasar Serasi itu?

Pertama, mari dudukkan masalah pada proporsinya. Kalau yang dinyatakan Yasti Mokoagow adalah fakta-fakta yang terbukti dan dapat dibuktikan, maka para pendukung Djelantik Mokodompit (baik sebagai Walikota KK maupun pribadi) tutuplah mulut dan dorong ‘’junjungannya’’ agar lebih bisa dipegang mulut dan lidahnya, kredibel, dan kompeten. Melakukan berbagai manuver hasilnya cuma memperbanyak tabungan kebodohan.

Pula untuk membuktikan versi mana yang benar dari simpang-siur yang marak, gampang belaka. Tinggal dicek lagi rekaman peristiwa tersebut serta didengarkan kesaksian dari orang-orang yang ada di tempat kejadian. Kita akan tahu lidah mana yang gemar berbohong dan memelintir; dan mana yang terjaga kata serta adabnya.

Dan kedua, terkait dengan poin pertama, kalau Yasti melakukan penghinaan, buktikan di depan hukum. Baik oleh pribadi-pribadi yang merasa terhina; maupun posisi formal yang diemban oleh yang merasa terhina. Tentu harus digaris-bawahi, kalau tuntutan dan gugatan tidak terbukti, waspadalah ada akibat ikutannya.

Secara pribadi, dengan mempertimbangkan secara adil fakta-fakta versi pihak-pihak yang berseberangan serta mereka yang netral, saya berkeyakinan bila isu Pasar Serasi ini terus dikembangkan, akhirnya yang paling dirugikan adalah Djelantik Mokodompit sebagai Walikota maupun pribadi.***

Pasar, Walikota KK dan Yasti Mokoagow

TAHUN sungguh cepat berlalu. Mari sejenak kita segarkan ingatan. Tercatatlah pada Sabtu, 26 April 2008, saya mempublikasi dua tulisan (Berpolitik Tanpa Investasi Politik –terdiri dari Bagian I dan II) di blog http://orangmongondow.blogspot.com/.

Di dua tulisan itu, pendek kata, saya tidak bersetuju dengan Dewan Pimpinan Wilayah Partai Amanat Nasional (DPW PAN) Sulut, Yasti S Mokoagow. Ketika itu Yasti bersikukuh hanya bersedia menanda-tangani nama calon Walikota-Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu (KK) bila yang diajukan adalah Djelantik Mokodompit sebagai calon Walikota. Ketidak-setujuan itu berkali-kali saya sampaikan pula dalam pertemuan pribadi dengan Yasti (yang tidak pernah saya tutup-tutupi dekat, baik sebagai kawan maupun sesama anak temurun Mokoagow).

Berbagai pertimbangan saya beberkan dari sisi politik hingga perilaku personal Djelantik Mokodompit yang menurut pendapat saya perlu dipertimbangkan dengan cermat. Secara pribadi saya tidak punya masalah dengan Djelantik. Namun sebagai bagian dari masyarakat Mongondow, lebih khusus KK; serta pengetahuan terhadap sosoknya, pendapat saya (dan saya ulangi sekali lagi di sini): Pertama, Djelantik hanya menggunakan PAN sebagai alat, setelah itu ‘’selamat jalan dan sampai bertemu kembali di Pilkada berikut’’. Ramalan ini ternyata benar.

Kedua, berkaitan dengan ramalan pertama, Tatong Bara yang disandingkan sebagai Wawali dari PAN untuk mendampingi Djelantik akan ‘’ditendang’’ dan dimarjinalisasi se-marjinal-marjinalnya. Ramalan ini juga ternyata terbukti, bahkan lebih cepat dari yang saya duga.

Dan ketiga, Djelantik dan tokoh-tokoh PAN (serta partai politik yang memberikan dukungan pencalonannya sebagai Walikota) akan terjebak konflik, lebih dari sekadar ketidak-sepakatan politik. Konflik antara mereka meledak karena ada yang sudah mencurahkan sumberdaya politik (dan juga sumber dana) untuk yang lain; sementara ‘’si yang lain’’ ini jangankan berterima kasih, tapi justru menikam dengan darah dingin. Ramalan ini terbukti setengah benar, setengah lebih buruk lagi.

Setelah lebih tiga tahun berlalu, di hari-hari ini saya muak membaca ‘’persilatan’’ antara Walikota KK dan para pendukungnya (termasuk anak kandungnya, anggota DPR Sulut Razky Mokodompit, yang belakangan ikut campur dengan cara memalukan –peristiwa ini akan saya bahas di tulisan yang lain) dengan Yasti Mokoagow. Apalagi isu yang hulunya semata soal kompetensi, transparansi, dan profesionalisme seorang pejabat publik (dalam hal ini Walikota) telah berubah menjadi seolah-olah keterhinaan semua orang Mongondow.

Pengalihan Semata

Menengok kembali sejarah terpilihnya Djelantik Mokodompit sebagai Walikota KK dan perilakunya dalam menjalankan fungsi sebagai pejabat publik tiga tahun terakhir, warga KK yang sedikit memiliki kewarasan semestinya bisa mengkongklusi: Ketidak-puasan terhadap Djelantik Mokodompit, baik sebagai Walikota maupun pribadi, sewaktu-waktu bisa meledak. Dengan penyebab apa pun.

Relokasi pedagang Pasar Serasi (terminologi ini sebenarnya juga keliru karena Pasar Genggulang dan Poyowa Kecil tidak direncanakan sebagai tempat pemindahan para pedagang ini) hanya salah satu penyebab yang secara kebetulan sedang jadi sorotan dan melibatkan banyak kepentingan –dari politik, sosial-ekonomi, hukum, bahkan juga budaya dan tradisi dalam pengertian luas. Saya ingin mengulang kembali sederet pertanyaan yang hingga kini tak pernah jelas dijawab oleh Walikota dan jajarannya (termasuk DPR KK) berkaitan dengan isu Pasar Serasi (yang telah ditulis di blog ini berkali-kali).

Pertama, untuk kepentingan siapakah Pasar Serasi akan disulap menjadi pasar modern bekerjasama dengan pemilik kapital raksasa?

Dua, bagaimana sesungguhnya bentuk kerjasama antara Pemkot KK dan investor yang akan membangun pasar modern di atas (bekas) Pasar Serasi?

Tiga, siapakah yang memutuskan kerjasama tersebut dilakukan? Atas dasar apa? Dan apakah diketahui oleh DPR KK mengingat setiap kebijakan besar yang melibatkan orang banyak dan asset daerah harus atas persetujuan legislatif.

Dan empat, apakah kerjasama tersebut sudah mengindahkan seluruh pra-syarat dan syarat paling dasar, terutama berkaitan dengan perencanaan jangka pendek, menengah, dan panjang KK serta Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) KK? Pun melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan Pasar Serasi?

Mungkin saya melewatkan informasi-informasi penting itu; yang siapa tahu sudah disampaikan oleh Pemkot KK dan jajarannya, tetapi media massa sebagai salah satu rujukan mendapatkan informasi kinerja publik tidak tertarik memberitakan. Sayangnya, setelah berhari-hari menelisik kiri-kanan, bertanya ke mana-mana, informasi itu tetap sebagaimana lobang hitam jagad raya versi Stephen Hawking.

Apa boleh buat pula, tanpa bermaksud membela Yasti Mokoagow yang terkesan –dan dituduh-- menjadi provokator (setelah pidatonya di sekitar kompleks Pasar Serasi, Kelurahan Gogagoman, pada 14 dan 15 September 2011 lalu), saya sependapat bahwa ada yang tidak benar dengan Walikota KK. Sebagai pejabat publik dia pantas dicaci pembohon, penipu, manipulator, tidak kompoten, hingga lebay dan sese’ (dua yang terakhir ini bisa diterjemahkan menjadi apa saja oleh para pembaca).

Tuduhan provokator (serta yang paling ramai ‘’pelanggar adat’’) menurut hemat saya cuma pengalihan isu dari Walikota yang kompetensi dan integritasnya memang mengundang malu, menjadi persoalan antara warga pendukung Walikota (tanpa reserve) dan pengkritik Walikota. Kritik yang dilontarkan Yasti, lepas dari penyampaiannya yang keras –mungkin pula brutal--, punya pijakan yang kokoh. Sekarang Walikota-lah, bila benar-benar punya tanggungjawab dan tahu tugas serta fungsinya sebagai pejabat publik, yang menyampaikan bantahan yang sulit diperdebatkan.

Kalau tidak, setelah ramai-ramai hujatan terhadap Yasti Mokoagow oleh sejumlah cecunguk (yang itu-itu juga dan bukan rahasia lagi adalah mereka yang mendapatkan berbagai keuntungan dari Djelantik Mokodompit) berlalu, orang banyak yang berpendapat berbeda bisa pula kehilangan kesabaran. Di titik ini, saya ingin menegaskan: Walikota dan para pendukungnya-lah yang memprovokasi konflik vertikal dan horisontal bukan hanya di KK, tetapi di Mongondow.

Maka jawab saja pertanyaan-pertanyaan dasar soal perubahan peruntukan Pasar Serasi. Setelah itu beres, kalau memang Yasti Mokoagow melanggar hukum, kepatutan sosial, atau bahkan adat, mari kita urus dengan adil dan sebenar-benarnya.***

Thursday, July 7, 2011

Demonstrasi dan Langit Setinggi Lemparan Tomat

KERIUHAN bermain Uno –sejenis permainan kartu—bersama anak-anak, Rabu malam (6 Juli 2011) berulang kali berhenti karena diintrupsi beberapa pesan pendek yang  masuk ke telepon genggam saya. Di antara banyak pesan pendek itu, beberapa yang berkaitan dengan pelantikan Bupati-Wakil Bupati (Wabup) Bolaang Mongondow (Bolmong) 2011-2016 yang harus direspons dengan hati-hati.

Salah satu pesan pendek itu berbunyi: ‘’Penguluran-nguluran pelantikan Bupati-Wabup terpilih yang sudah lima kali terjadi adalah bukti Gubernur Sulut dengan sengaja mengabaikan warga Bolmong. Apalagi alasannya karena Gubernur sedang ada acara di luar negeri.’’ Tak lama kemudian, disambung dengan, ‘’Warga Bolmong akan menggelar demo mempertanyakan masalah ini.’’

Waduh, saya yang kebetulan pernah sekali-dua ikut demonstrasi di masa kuliah (ketika itu masih zaman reformasi), kini mudah terkaget-kaget dengan kebiasaan demo yang semudah jamur tumbuh di musim hujan. Masalah apa saja, terutama politik dan sosial, dituntut –juga dijawab—dengan demonstrasi. Mungkin karena demo kian mudah dilakukan, terlebih aparat keamanan juga semakin lembek menanggapi tersebab macam-macam ‘’ancaman’’, terutama tuduhan melanggara hak asasi manusia (HAM).

Padahal tak sedikit demo yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu di Mongondow didasarkan pada alasan yang tak masuk akal, bahkan jelas-jelas dapat dikategorikan ‘’mengurusi urusan dan rumah tangga pihak lain’’. Pihak berwenang, khususnya kepolisian, semestinya menindak jenis demo seperti ini sebab dia bukanlah saluran aspirasi, tapi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum.

Di Harian Tribun Manado, Kamis (7 Juli 2011), halaman Kotamobagu-Totabuan, dipublikasi berita Lempar Batu Paris Superstore: Polisi Tangkap 10 Pendemo. Menurut yang saya baca, demo yang digelar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) ini antaranya menuntut menejemen Paris Superstore membuat serikat pekerja dan membayar kelebihan jam kerja (lembur) karyawannya. Demi menunjukkan keseriusan tuntutannya, para pendemo melempari Paris Superstore dengan tomat, lalu kemudian (menurut keterangan polisi) batu.

Menurut pendapat saya polisi bertindak terlampau lembek menangani para pendemo itu, yang hanya ‘’diundang’’ ke Polres Bolmong, diajak berdialog, dan diminta membuat pernyataan tertulis agar tidak berbuat anarki dan menjaga keamanan bersama pihak aparat. Harusnya mereka dihukum dengan cara yang lebih serius, misalnya dengan mengenakan Peraturan Daerah (Perda) Kebersihan, di mana pelanggar dijerat dengan sanksi tertentu (dalam bentuk uang) atau kurungan. Rumput liar harus dicabut hingga akar sedini mungkin sebelum beranak-pinak dan jadi hama yang bikin pening.

LMND dan anggota-anggotanya di wilayah Mongondow khususnya tentu bakal meradang membaca pernyataan saya bahwa aksi mereka liar belaka. Untuk itu argumen saya: Pertama, adakah di antara para pendemo yang menjadi karyawan Paris Superstore? Kalau ada, apakah dia mahasiswa yang kuliah sambil bekerja?

Kedua, membuat serikat kerja adalah hak para pekerja, diinisiasi dan diurus oleh para pekerja. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan sekelompok mahasiswa yang barangkali kurang kerjaan. Alangkah lucunya bila sekelompok karyawan Paris Superstore mengusung spanduk dan berkoar-koar (misalnya) di depan Universitas Dumoga Kotamobagu (UDK), menuntut agar universitas mendirikan organisasi mahasiswa.

Ketiga, kelebihan upah atau upah lembur adalah pula urusan antara perusahaan dan karyawannnya, yang bila terjadi ketidak-sepakatan harus dibawa ke panitia –kemudian pengadilan-- penyelesaian perselisihan perusahaan-karyawan (buruh). Kalau pun ada pihak yang bersimpati dan ingin membantu, itu dilakukan lewat proses pembelajaran, pendampingan dan advokasi yang sifatnya tidak ikut campur.

Tiga argumen itu memperlihatkan bahwa tak ada alasan kokoh dan masuk akal LMND menggelar demo, kecuali mereka ‘’gatal’’, kurang kerjaan, dan tak paham mekanisme perjanjan (atau kontrak kerja) antara perusahaan dan karyawannya. Mereka tidak pula menghormati pranata hukum dan peraturan berkaitan dengan perusahaan dan karyawannya, yang berada di bawah juridiksi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans).

Tulisan ini tidak bermaksud membela pemilik dan menejemen Paris Superstore, yang juga sangat pantas dikritik sebab pembangunannya tidak mengindahkan (terutama) tata lalu lintas di pusat Kota Kotamobagu. Anehnya, Pemerintah Kota (Pemkot) juga sepertinya tak berdaya meluruskan, semisal dengan mensyaratkan setiap bangunan komersil yang berpotensi menjadi tujuan orang banyak harus dibangun dengan jarak tertentu dari bahu jalan, menyediakan lahan parkir yang cukup, serta jalur hijau sebagai kawasan pendukung.

Bahkan bila ditelisik lebih jauh, kondisi yang sama dengan Paris Superstore terserak di mana-mana di Kota Kotamobagu (KK). Karena itu pula tampaknya percuma ada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Tata Kota (apakah sudah ada lembaga ini di KK?), hingga Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Di saat Pemkot asyik dengan mimpi menata kota, bersamaan pula kita melihat dari hari ke hari bangunan-bangunan yang bertumbuhan didirikan dengan mengabaikan aspek paling dasar perencanaan kota.

Mendemo Paris Superstore karena bangunannya mengganggu kenyamanan lalu lintas pusat kota Kotamobagu, saya kira masih masuk akal sebagai bentuk konsern mahasiswa terhadap penataan kota. Kalau pun itu yang dilakukan, maka yang pantas didemo adalah Pemkot dan DPR KK, bukan pemilik dan menejemen Paris Superstore yang hanya hilir dari seluruh proses panjang. Muara dari proses yang melibatkan aspek administrasi dan teknis perizinan ini adalah Pemkot.

Jadi, adik-adik, sebaiknya kalau Anda-Anda benar mahasiswa, kembalilah ke kampus dan tekun belajar agar bisa menunjukkan kualitas kecerdasan memadai sebelum melakukan sesuatu yang justru lebih terlihat konyol ketimbang heroik. Demo saja masih keliru, apalagi hal lain yang lebih dari sekedar koar-koar, mengusung spanduk, melempar tomat, lalu batu.

Bukankah sungguh bikin malu bila langit pengetahuan Anda (yang katanya mahasiswa) akhirnya hanya diukur dari seberapa tinggi tomat atau batu yang dilemparkan?***

Thursday, June 30, 2011

Doa untuk Elvira Mokoginta

HATI saya serasa meleleh seperti malam yang turun dengan cepat. Di luar deru lalu-lalang kendaraan terdengar nyaring, tapi udara bagai digantungi senyap yang sungguh.

Saya menggigil dengan hati teraduk-aduk saat membaca serangkaian berita dugaan pemerkosaan, pembunuhan, lalu pembakaran terhadap bocah perempuan, Elvira Mokoginta (11 tahun), yang ditayang situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com/), Rabu (29 Juni 2011). Hanya ada dua kata yang seketika tercetus di benak: biadab dan terkutuk!

Elvira, anak kelima dari enam bersaudara yang lahir dari pasangan Aleng Mokoginta dan Suriati Modeong, pasti hanya kanak-kanak dengan mimpi, ingin, dan dunia sendiri; sembari memahami demi family survival dia mesti melakukan sesuatu untuk ayah-ibu dan saudara-saudaranya. Sayang membayangkan di saat anak-anak seusianya dari kalangan mapan asik bermain masak-memasak, boneka-bonekaan, gadget terbaru, berkeliling mall dan wahana hiburan modern, atau mematut teve, dia menelusuri jalanan Desa Paret, Kotabunan (Bolaang Mongondow Timur) dan sekitarnya, menjajakan kue sembari tak kehilangan dunia masa kecil.

Dengan kegembiraan anak-anak seusianya, Sabtu (26 Juni 2011) Elvira Mokoginta meninggalkan rumah orangtuanya, mengusung kue yang dijajakan dari rumah ke rumah, bahkan hingga ke kampung tetangga. Lalu dia menghilang…. Kabar yang simpang-siur datang menyatakan dia terakhir terlihat bersepeda motor bersama seorang laki-laki. Tatkala ditemukan di perkebunan Soyowan, Ratatotok (Minahasa Tenggara), Elvira sudah pralaya dengan kondisi jasad yang mematahkan hati siapa pun yang masih punya rasa.

Di situs Harian Manado Post (http://www.manadopost.co.id/), Kamis (30 Juni 2011), bermenit-menit saya menatap foto bocah berparas ayu dan ringkih ini dengan dada yang luka digenangi kepedihan. Lahir, jodoh dan mati adalah rahasia Yang Maha Kuasa, tetapi tetap saja sulit bahkan sekadar membayangkan anak perempuan yang rela dan sepenuh hati ikut meringankan beban orangtuanya ini akhirnya menanggung nasib seperti yang dia alami.

Ada setimentil personal yang mendera-mendera, tersebab saya lahir dari keluarga besar dengan hanya ada dua perempuan di dalam rumah: Ibu dan adik bungsu. Namun di tengah keluarga pula kami, sebarisan laki-laki yang semaunya bukanlah anak-anak manis sejak usia belia, lebih dari sekadar belajar memperlakukan perempuan (siapa pun dia) dengan penuh hormat dan sayang.

Sembari menjalani hari-hari di bawah disiplin dan kecerewetan Ibu, juga belakangan sifat yang sama tampaknya sukses diwarisi adik bungsu, kami meresapi kisah perempuan-perempuan Mongondow luar biasa, termasuk mitologi Inde’ Dou’ yang perkasa dari wilayah Kotabunan.

Di Mongondow perempuan bukanlah sekadar pelengkap. Di saat etnis dan komunitas lain di negeri ini masih bersikutat dengan isu-isu gender dan emansipasi, sejak masa kanak saya menyaksikan dan mengalami betapa perempuan didudukkan di posisi terhormat. Mereka bukan hanya sejajar dengan kaum lelaki, tetapi dalam banyak keluarga ibu atau saudara perempuan adalah ‘’Jenderal Besar’’ (dengan ‘’J’’ dan ‘’B’’). ‘’Bobai bi’ mongompig ko’i natong.’’

Kesejajaran dan tuntutan dijunjungnya perempuan dalam khasanah Mongondow yang paling sederhana diekspresikan di upacara pernikahan. Hanya di Mongongondow-lah salah satu harta yang biasanya disediakan mempelai lelaki (yang mampu) adalah pitou. Di masa kini kian banyak tafsir terhadap penyertaan pitou dalam mas kawin, tapi interpretasi favorit saya adalah: kalau seorang suami berani macam-macam terhadap perempuan yang dia minta menjadi istri, maka di titik yang tak tertahankan dan terkompromikan, si perempuan berhak menuntut, termasuk dengan menggunakan pitou.

Barangkali hanya di Mongondow pula dikenal budaya mogama’, yang substansinya bukan membawa anak perempuan keluar dari rumah keluarga setelah resmi menjadi seorang istri. Mogama’ adalah simbol penghormatan terhadap perempuan, yang tidak hanya diminta direlakan oleh keluarganya, tetapi juga keikhlasannya menjadi bagian dari anggota keluarga suami. Pernikahan Mongondow tanpa mogama’, sesederhana apa pun pelaksanaannya, seperti menyantap goroho goreng tanpa dabu-dabu.

Kita Pantas Marah

Sukar menggambarkan, sembari menyimak berita-berita tentang Elvira Mokoginta, apakah saya berpasrah meneteskan airmata atau mengasah parang dan turut dalam rombongan orang-orang yang tengah mendidih oleh amarah. Andai tak berpikir kita hidup di negara hukum dengan adab-adab yang mengatur perilaku manusia agar tak tergelincir menjadi segerombolan buduk, saya serta-merta bersetuju terhadap hukuman primitif: nyawa dibayar nyawa.

Dua orang laki-laki bertarung hingga salah seorang tumbang berlumur darah masih dapat dipahami sebagai tindakan bela diri, mempertahankan pendapat dan sikap, atau mungkin kekalapan sesama ‘’penaik darah’’. Tapi memperkosa seorang anak berusia 11 tahun, membunuh, dan bahkan mencoba menghilangkan jasadnya dengan membakar, tak mungkin bisa kita terima sekali pun di tengah masyarakat yang baru belajar arti beradab.

Kita semua, tak hanya orang Mongondow atau yang ada di Mongondow, lebih dari amat sangat pantas murka terhadap musibah yang menimpah Elvira Mokoginta dan keluarganya. Tanpa berpasrah, mari kita serahkan ke tangan hukum dan menuntut agar keadilan ditegakkan. Hukuman mati mungkin pantas ditimpahkan pada pelaku, tetapi biarkan itu dijatuhkan oleh hakim tanpa tekanan kemarahan massa, melainkan sebab para pengadil memang punya nurani.

Di saat yang sama saya pribadi menghatur mohon pada Yang Maha Esa, semoga Dia melapangan sorga untuk Elvira Mokoginta, bocah 11 tahun yang tak pernah saya kenal secara pribadi. Anak perempuan yang mengingatkan saya di tengah pikuk modernisasi ini betapa ada nilai-nilai luhur di Mongondow yang perlahan mungkin kian kita pinggirkan.

Saya sungguh berdoa semoga kepergiannya memberi arti dan kesadaran pada kita semua, orang Mongondow.***

Wednesday, June 29, 2011

Pemimpin atau Cuma Biduan Paksa?

MENYEMPIT di sudut salah satu bangunan agar tak diguyur hujan yang mendadak tercurah, saya menonton orang-orang berlarian di Plaza Dam, depan Meseum Madema Tussauds Amsterdam. Jumat (24 Juni 2011) yang basah, saya mengigil karena dingin dan lapar. Sudah begitu, celakanya yang terbayang-bayang di kepala adalah katang binango’an.

Baru beberapa waktu lalu saya menyantap kepiting dimasak dengan santan (dibumbui aneka rempah dan cabe) saat berada di Mongondow, tepatnya di Restoran Tanjung, Kotabunan. Harus diakui, di antara banyak kekayaan kuliner Mongondow, salah satu yang paling menggoda adalah katang binango’an. Bahwa jenis sajian ini berpotensi menaikkan tekanan darah, asam urat, atau apalah, nanti kita urus belakangan.

Saya sedang menimbang-nimbang merebos hujan, menyeberangan ke arah Damstraat dimana berjejer aneka tempat makan (salah satunya restoran Argentina yang menyajikan makanan lumayan lezat), ketika pesan pendek itu masuk. Yang tiba adalah kabar dari kampung di Kotamobagu yang dimulai dengan: ‘’Ironi hari ini….’’

Lanjutan kabar itu adalah cerita bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Kotamobagu dan seluruh jajaran Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) diundang menghadiri kegiatan olah raga dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara. Nah, kata sanga kabar, hal pertama yang dilakukan setelah acara olah raga dalam bentuk jalan sehat adalah: Walikota Kota Kotamobagu (KK) diundang menyanyikan beberapa lagu.

Lagu yang dinyanyikan Walikota pun bisa ditebak pasti berbau ‘’pesan sponsor’’. Tentu bukan tentang HUT Bhayangkara, melainkan ‘’curahan hati’’ dan sindir-sindiran terkait dinamika politik terkini KK yang mulai memanas (padahal pemilihan Walikota-Wakil Walikota –Wawali—baru 2013 mendatang), lebih khusus lagi rivalitasnya dengan Wawali.

Dendang selesai, Walikota segera melaksanakan tugas protokoler sebagaimana yang umum dijalani tokoh politik atau birokrasi teras di Mongondow: menarik door prize untuk hadiah yang disediakan panitia. Usai tak-tek-tok undian, Walikota KK langsung cabut meninggalkan arena.

Saya terbahak-bahak membaca pesan pendek itu. Tak peduli beberapa pasang spontan menatap saya dengan kening berkerut. E, stau lei. Nyanda ada yang kanal ini.

Sudah lama saya mendengar, di mana-mana --tak hanya di hajatan pernikahan-- seperti telah menjadi salah satu protokol tetap (Protap), Kepala Daerah, Kepala SKPD, atau tokoh penting di Mongondow harus tampil bernyanyi. Kalau kemudian lagunya itu-itu juga dari satu event ke event yang lain, dengan suara dan olah vokal yang sepertinya cuma pas mengusir burung di sawah, orang banyak harap memaklumi.

Jangan pula tidak memberikan kesempatan bernyanyi pada para tokoh tertentu bila mereka diundang hadir di hajatan, sebab itu dapat dianggap pelanggaran kesopanan dan tak menghargai martabat yang bersangkutan. Dengan kata lain, boleh tidak pidato (toh pidato pun isinya juga ngalor-ngidul tidak karuan), tapi haram hukumnya kalau alpa diundang menyanyi.

Begitu pentingnya menyanyi sebagai ekspresi eksistensi seorang pejabat publik, politisi, atau birokrasi di Mongondow, hingga lama-kelamaan saya membiasakan diri tak berkomentar setiap kali pulang berlebaran di Kotamobagu. Musababnya, hampir di setiap kediaman pejabat atau politisi yang saya datangi untuk silahturrahmi, pasti tersedia organ dan microphone. Setelah ritual salaman, peluk-pelukkan, maaf-maafkan, biasanya tamu dipersilahkan mencicip hidangan. Setelah itu, ini dia: sabet microphone, pilih lagu dan action!

Mengingat saya sama sekali tak bisa menyanyi, sedapat mungkin saya berusaha memaklumi tradisi yang berkembang pesat itu dan berupaya keras turut menikmati. Di banyak kesempatan saya akui gagal menjadi penikmat yang baik. Selain pilihan lagunya umumnya bukan tergolong selera saya, suara si penyanyi pun bukannya menghibur tapi justru membangkitkan kemarahan.

Artis yang Digaji Negara

Apa yang seharusnya dilakukan seorang politikus, Bupati, Walikota, Gubernur, atau bahkan Presiden ketika dia berkesempatan tampil di depan orang banyak? Kita bisa berdebat panjang-pendek, tetapi yang paling utama adalah menyampaikan gagasan, pikiran, dan gambaran yang ada di kepalanya, agar terkomunikasi dengan publik.

Di pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau Pemilihan Presiden-Wakil Presiden (Pilpres), rakyat tidak sedang menonton kompetisi nyanyi atau pidato. Mereka semestinya melakukan seleksi terhadap seseorang yang menjadi tokoh di depan, mengajak orang banyak meletakkan ide-ide besar kemudian mewujudkan sebagai sesuatu yang hidup dan dinikmati bersama.

Kesadaran bahwa ketika seseorang diamanati orang banyak sebagai pemimpin –karenanya dia harus pula bersikap dan laku sebagai pemimpin—di Mongondow, tampaknya mesti selalu diingat-ingatkan. Menjijikkan betul melihat seorang Bupati atau Walikota yang diberi kesempatan bicara di depan masyarakatnya justru tidak berlaku sebagai pemimpin, melainkan sekadar remaja puber yang curhat kesana-kemari, menyindir ini-itu, atau justru bergaya bak penyanyi populer menghibur penggemar dan penggilanya.

Kemana pikiran, ide-ide, dan arahan yang menunjukkan bahwa secara kualitatif orang banyak tidak salah memilih? Curhat, sindir-sindiran atau menyanyi boleh saja, tapi ditakar secukupnya dan seperlunya. Di luar itu, lebih baik tak usah jadi Bupati atau Walikota. Beralih sajalah mengelolah bisnis salon atau karaoke. Pasti tak ada seorang pun (terutama saya yang gemar mengejek dan mencaci ketololan) yang berkeberatan.

Kalau kebisaan Bupati atau Walikota hanya menyanyi, tak bedanya dengan kita semua merelakan uang negara digunakan menggaji artis amatir.

Lagipula orang di Mongondow pasti muak bila Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu; Bupati Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Hamdan Datunsolang; atau Bupati Bolmong Induk, Salihi Mokodongan, juga ikut-ikutan jadi biduan paksa. Bisa-bisa Provinsi Bolaang Mongondow Raya yang dicita-citakan, justru terwujud dalam bentuk ‘’Provinsi Biduan Mongondow’’.

Mengapa saya tak menyinggung Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar? Aha, kalau urusan menyanyi dan Eyang (sapaan akrabnya), saya mesti mengakui: suara dan oleh vokalnya lebih dari lumayan. Lagipula untuk pidato (walau pun isinya mungkin kerap berbeda dengan apa yang dilakukan), Eyang  juga tergolong ‘’oke banget’’.***

Surat untuk Pembaca: Maafkan Saya….

ARTIKEL terakhir yang diunggah di blog ini adalah pada Rabu, 22 Juni 2011 (Walikota KK dan Selamat HUT untuk Dirinya Sendiri). Saya menulis artikel itu dalam perjalanan dari Amsterdam ke Den Haag sembari menjagakan mata dari siksaan kantuk.

Bersigegas ke stasiun mengejar kereta subuh di bawah guyuran hujan dan angin dingin akhir musim semi membuat di mana pun berada saya selalu merindukan Tanah Air. Omong kosong bila ada yang mengatakan hidup di negeri maju seperti di Eropa Barat, di mana hampir segalanya tertata, tertib, dan berbudaya, lebih indah dari dunia ketiga yang tropis, panas, penuh keringat, tak disiplin dan kacau-balau.

Seorang kawan dari Kotamobagu yang menelepon beberapa hari sebelumnya, saat saya yang sedang kedinginan dan terburu-buru mau menghadiri satu pertemuan di Munich, spontan berkomentar, ‘’Oh, di luar negri, dang. Pe sadap skali kang….’’ Aimak, kawan ini tak tahu bahwa satu-satunya kenikmatan ke luar negeri adalah menjadi turis untuk sepekan-dua pekan. Kalau setiap bulan pindah dari satu negara ke negara lain, terutama di akhir musim gugur, musim dingin, atau awal dan akhir musim semi, bagi makluk tropis seperti saya yang terasa adalah tak beda dengan hukuman.

Belum lagi bila penerbangan yang ditempuh tergolong jarak jauh, setidaknya lebih dari 12 jam non stop (atau bahkan hampir 30 jam seperti Jakarta-Lima –ibukota Peru). Tiba di tempat tujuan dijemput jet lag, pulang ke rumah (di Jakarta atau Manado) disambut rasa yang sama. Bahkan duduk manis di pesawat, tidur-tiduran, menonton film, mendengar musik, makan dan minum (dan sesekali ke kamar kecil) pun bisa berakhir sebagai siksaan.

Dan perjalanan jauh, berpindah-pindah dengan jadwal kerja yang padat, sungguh mengguras energi. Itu pula yang mengherankan saya setiap kali membaca anggota DPR atau pejabat tinggi yang studi banding (utamanya) keluar negeri dan masih berkesempatan belanja serta ber-entertainment sepuas-puasnya. Mereka pergi studi banding, lengkap dengan membaca dan menelisik apa yang akan dipelajari, atau berwisata dengan alasan yang seolah-olah cerdas?

Bahkan sekadar berwisata pun orang-orang penting di negeri ini (atau khusus di Mongondow yang kian doyan berbondong ke Singapura) semestinya bisa memetik pelajaran penting. Katakanlah bagaimana kota-kota yang baik menata kawasan pemukiman, ekonomi, penyangga, serta yang dicadangkan untuk pengembangan jangka panjang. Atau yang lebih sepele, bagaimana menyediakan tempat bagi pejalan kaki, menanam pohon dan menata fasilitas umum hingga orang betah berada di ruang terbuka.

Pepohonan tidaklah mudah tumbuh di kawasan-kawasan tertentu di luar sana, namun di hampir semua kota (termasuk kota sangat kecil) penduduknya punya kesadaran menanam sesuatu. Salah satu perbedaan paling menggelikan adalah melihat jendela apartemen (nama Indonesianya adalah ‘’rumah susun’’, tapi jarang digunakan sebab kurang keren kecuali untuk kelas menengah-bawah) di negeri ini yang dihiasi jemuran, sementara di luar dipenuhi bunga (alamiah) aneka warna.

Kalau ada yang mengatakan saya gegar dan berkiblat ke negara-negara maju, maka pergilah ke Afrika, di mana di banyak kotanya jalanan kiri-kanan diteduhi pepohonan sepelukan dua orang dewasa. Tayangan televisi yang meracuni kita dengan gurun pasir atau sabana yang dipenuhi rumput dan sesekali sepokok pohon raksasa, bukanlah Afrika yang utuh. Menelusuri jalanan di kota seperti Acra (Ghana) atau Lome (Togo) kita perlu ekstra waspada agar tidak dikucuri tai burung atau kelelawar yang hidup di rindangan pepohonan.

Apa susahnya membuat kota-kota di Mongondow diteduhi pepohonan? Sungguh memalukan alasan Kota Kotamobagu (KK) gagal meraih Adipura karena salah satu aspek, penghijauan kota, mendapat nilai sangat rendah. Padahal di seantero Mongondow pohon apa saja (kecuali pohon duit), sangat mudah tumbuh.

Barangkali karena kebanyakan kita, terutama para pemimpin yang menduduki posisi elit politik dan birokarasi, terbiasa berpikir sempit dan demi keuntungan pribadi. Soal apa yang akan diwarisi anak cucu, cuma sampai ke rumah besar (yang saking besarnya hingga sulit dirawat), mobil, dan harga-benda artifisial lainnya. Bukan tentang gagasan dan ide menjadi lebih baik dari satu generasi ke generasi berikut.

Maafkan Saya

Tapi kali ini bukan soal bagaimana kita belajar dari komunitas yang minimal sudah menunjukkan keberhasilan menata kota mereka dengan baik, menghormati manusia pemukimnya dan lingkungan yang mendukung. Yang ingin saya tulisakan adalah permintaan maaf pada para penikmat blog ini yang selama lebih sepekan kecewa (mungkin pula jengkel) karena tak ada tulisan baru yang diunggah.

Permintaan maaf ini terlebih pada 117 pengakses yang telah meluangkan waktunya memilih ‘’pembaharuan setiap hari’’ di survei yang hasilnya masih terpampang hingga artikel ini ditulis. Survei itu tidaklah main-main dan karenanya saya harus bertanggungjawab memenuhi harapan yang sudah dimintakan pendapat pada para pembaca.

Demikian pula terhadap mereka yang meluangkan waktu mengirimkan tulisan memperkaya blog ini. Saya tidak bersengaja belum memampang, tapi karena memang selama dua pekan terakhir jadwal kerja benar-benar padat dan melelahkan.

Maka, walau tak ada yang menangih (barangkali pula ini hanya ‘’ke-ge-er-an’’ dan perasaan bahwa banyak orang yang menunggu pembaharuan blog ini), saya ingin menegaskan: Maafkan saya. Walau barangkali tak banyak yang sesungguhnya secara rutin mengakses blog ini, membaca dan memperhatikan isinya, komitmen terus-menerus memperbaharui dan berbagi pikiran, gagasan, ide, atau sekadar repeten orang yang jengkel terhadap satu isu, sedapatnya akan saya tegakkan.***