Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, September 25, 2011

Boleh Pesan 15 Sanksi Adat? (Bagian II)

KEMBALI pada substansi utama: Apakah Yasti Mokoagow perlu dan layak disidang secara adat? Jawaban saya tegas. Ya, bila dia memang melanggar sistem dan nilai yang secara sosial dan budaya disepakati di Mongondow. Apakah derajat kesalahannya lebih besar atau lebih kecil dari, misalnya, kebanyakan pilot bentor yang gemar membombardir keyamanan kita dengan musik bagai gemuruh jet tempur di seantero jalan di KK, mari disidang dengan tata cara yang benar dan seadil-adilnya.

Apakah pula derajat kesalahannya secara sosial dan budaya lebih kecil dari Djelantik Mokodompit yang terbukti kerap berdusta (sekali lagi dan lagi, kasus calon pegawai negeri sipil –CPNS—KK adalah contoh yang tak perlu diperdebatkan lagi)?

Saya haqul yakin bahwa belum ada satu pun laporan yang diterima para pemangku adat berkaitan dengan jenis pelanggaran yang dilakukan Yasti Mokoagow. Sama halnya dengan saya meyakini bahwa para pemangku adat (terutama Kepala Desa dan Lurah, termasuk Walikota) sudah sering menerima keluhan gangguan musik diskotik ala bentor. Pernahkah ada sidang adat untuk pilot bentor yang mengganggu keyamanan umum itu?

Sama halnya, apakah pula pernah ada sidang oleh para pemangku adat untuk Djelantik Mokodompit, padahal yang menjadi korban dari kasus CPNS adalah warga KK yang semestinya turut dilindungi oleh sistem dan nilai yang disepakati bersama oleh orang Mongondow.

Adat Mongondow yang luhur sangat menjaga tenggang rasa dan keharmonisan. Yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan dua aspek ini, silahkan keluar dari kampung. Kalau adat ini ditegakkan, minimal kita bisa mendisiplinkan para pilot bentor yang kian hari perilakunya kian sukar dikontrol. Dan, tentu saja, membuat Ki Sinungkudan yang sekarang ini ber-dodandian- dengan warga KK tidak menggunakan tungkud-nya sesuka hati. Sebab, Kota Kotamobagu na’a in budel bi’ i nanton komintan, de’eman tonga’ budel in guranga i Walikota.

Alhasil, hukuman yang diputuskan lewat sidang adat itu terhadap Yasti Mokoagow (yaitu permintaan maaf kepada Walikota KK di media selama tujuh hari berturut, membayar denda sebesar Rp 1 miliar, atau diusir dari KK), menurut hemat saya pantas dicatat sebagai joke of the year di KK. Jenius benar para tetua, tokoh, dan pemangku adat mencairkan suhu sosial dan politik di KK dengan lelucon kualitas tinggi seperti sanksi yang mereka putuskan.

15 Sanksi Adat

Bila sidang adat dan sanksi yang dijatuhkan kepada Yasti Mokoagow tetap dianggap serius dan sungguh-sungguh dilaksanakan (apalagi putusan sidang para tetua, tokoh, dan pemangku adat itu sudah diserahkan ke DPR KK; dan bahkan sudah ada anggota DPR yang buru-buru meng-amin-kan keabsahannya –aneh benar, darimana orang itu belajar tentang adat-istiadat Mongondow?), sebagai warga biasa saya juga 100 persen setuju saja. Namun, mengingat adat harus berlaku sama, dengan ini saya memesan 15 sanksi adat kepada para tetua, tokoh, dan pemangku adat di KK, di luar satu paket sanksi yang sudah dijatuhkan pada 19 September 2011 lalu.

Satu: Sanksi tambahan untuk Yasti Mokoagow karena telah menghina hewan tak bersalah, anjing. Di pidatonya Yasti Mokoagow telah menyeret-nyeret anjing yang tidak tahu duduk-perkara ke dalam isu Pasar Serasi, serta menyamakan cecunguk tukang jilat Walikota dengan anjing. Padahal, anjing jelas lebih terhormat dari cecunguk.

Dua: Sanksi untuk Djelantik Mokodompit sebagai pribadi maupun Walikota karena selama ini kata-katanya tak bisa lagi dipegang. Buktinya, salah satu adalah kasus CPNS KK. Bukti lain adalah isu Pasar Serasi.

Tiga: Sanksi untuk Djelantik Mokodompit sebagai Walikota karena menyengsarakan pedagang Pasar Serasi akibat kebijakannya yang tidak lagi sejalan dengan dodandian.

Empat: Sanksi untuk Razky Mokodompit, terutama sebagai anak kandung Djelantik Mokodompit, juga sebagai anggota DPR Sulut dari Bolmong (di mana KK menjadi bagiannya) maupun sebagai pribadi, karena membawa aib orang Mongondow ke publik lebih luas dengan apa yang dilakukannya pada Sidang Paripurna Istimewa Hari Ulang Tahun (HUT) Sulut ke-47, 23 September 2011.

Lima: Sanksi untuk Razky Mokodompit, baik sebagai anggota DPR Sulut dari Bolmong maupun sebagai pribadi, karena tidak berlaku sebagaimana tuan rumah dalam adab, adat, dan istiadat Mongondow sebagaimana yang dilakukannya pada Sidang Paripurna Istimewa Hari Ulang Tahun (HUT) Sulut ke-47, 23 September 2011.

Enam: Sanksi untuk Razky Mokodompit, baik sebagai anggota DPR Sulut dari Bolmong maupun sebagai pribadi, karena mempertontonkan kebodohannya pada Sidang Paripurna Istimewa Hari Ulang Tahun (HUT) Sulut ke-47, 23 September 2011, yang mengakibatkan seluruh orang Mongondow turut menanggung malu.

Tujuh: Satu paket sanksi untuk para pilot bentor yang memutar lagu sekeras musik diskotik di seantero jalan di KK.

Delapan: Satu paket sanksi untuk mereka yang membuang sampah sembarangan, karena kotor selain tidak sesuai dengan perintah agama, juga tidak sejalan dengan adat orang Mongondow.

Sembilan: Sanksi untuk tetua, tokoh dan para pemangku adat yang melaksanakan sidang adat tidak sesuai dengan sistem sosial dan budaya yang disepakati turun-temurun oleh orang Mongondow.

Sepuluh: Sanksi untuk tetua, tokoh dan para pemangku adat yang tidak lagi menjadi penjaga dan penegak nilai-nilai luhur, tetapi telah berubah menjadi pemilik dan penafsir mutlak. Perilaku ini tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan, dipelihara, dan dianut orang Mongondow.

Sebelas: Sanksi untuk saya karena menulis tulisan ini. Alasannya tulisan ini beroptensi merendahkan sidang adat yang dilaksanakan para tetua, tokoh dan pemangku adat pada 19 September 2011, serta putusan sanksi terhadap Yasti Mokoagow.

Dua Belas: Sanksi untuk siapa saja yang membaca tulisan ini, terutama mereka yang bersetuju dengan isinya. Karena yang membaca dan bersetuju berpotensi turut serta merendahkan sidang adat yang dilaksanakan para tetua, tokoh dan pemangku adat pada 19 September 2011, serta putusan sanksi terhadap Yasti Mokoagow.

Tiga sanksi yang tersisa tolong disiapkan sebagai cadangan demi menghemat pikiran, tenaga, dan waktu para tetua, tokoh dan pemangku adat, karena saya yakin dalam waktu dekat semakin banyak kejadian yang melibatkan mereka yang pantas diberi sanksi adat.

Wahai para arif-bijaksana penjaga sistem dan nilai-nilai luhur Mongondow, apa yang saya sampaikan ini tidaklah main-main. Saya takut (demikian pula orang Mongondow yang lain) pada odi-odi: Dumarag na’ kolawag, rumondi na’ buing, motatom na’ simuton, tumonop na’ lanag.***