Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, September 25, 2011

Boleh Pesan 15 Sanksi Adat? (Bagian I)

SARAPAN telah terhampar di hadapan saya, Senin (19 September 2011), ketika foto yang disebut-sebut sebagai ‘’Sidang Adat’’ di Kota Kotamobagu (KK) berturutan masuk lewat BlackBerry Massanger (BBM). Di salah satu foto tampak jelas yang memimpin sidang adalah Lurah Mogolaing, Ati Ginoga yang bukan hanya sangat saya kenal (sejak masa kanak) tapi juga salah seorang yang berjasa mengajari saya ilmu beladari.

Saya menyapa Ati Ginoga dengan ‘’Om Ati’’ –sesekali kalau sedang dalam situasi formal dengan panggilan ‘’Papa Chan’’ atau ‘’Ama i Chan’’. Walau Om Ati tergolong sosok yang cair dan santun dengan siapa pun, saya tak pernah berani berlaku sesuka hati di hadapannya, Memori masa kecil dan remaja saya masih lekat dengan kepretannya yang bisa membuat pingsan hanya sekali dilayangkan. Pendeknya untuk urusan perilaku humble dan tonjok-menonjok, Om Ati adalah salah seorang –dari amat sedikit— hero dan idola di Mogolaing masa itu.

Tulisan ini saya lanjutkan didahului permintaan maaf sebesar-besarnya pada Om Ati, para tetua, tokoh serta pemangku adat yang bersidang itu. Secara pribadi, kepada Om Ati, saya menyampaikan hormat dan respek saya tidak berkurang sedikit pun kendati apa yang dituliskan di sini mungkin bakal memerahkan kupingnya. Bagi saya tak banyak sosok seperti Om Ati, yang selain menyenangkan sebagai pribadi, juga cool sebagai Lurah dan panutan warga di Mogolaing. Kalau pun ada satu-dua kekeliruan, demikianlah manusia yang manusiawi.

Adat Apa?

Apa itu adat? Dari sejumlah pengertian dan difinisi kita bisa menyimpulkan yang dimaksud dengan adat (kurang-lebih) adalah aturan, perbuatan, atau kebiasaan yang lazim dilaksanakan dan disepakati bersama oleh kelompok masyarakat atau masyarakat secara luas. Karena kesepakatan itu maka adat juga dapat diartikan sebagai sistem (sosial, ekonomi, hukum, dan budaya) yang dianut bersama.

Pemahaman terhadap pengertian adat seperti itu, sejujurnya membuat saya terhenyak tatkala mengetahui bahwa sidang yang diikuti seluruh pranata adat dari 33 desa dan kelurahan se-KK, tak lain membahas perilaku dan sanksi yang akan dijatuhkan terhadap anggota DPR RI asal Sulut dari Partai Amanat Nasional (PAN), Yasti Mokoagow, yang juga warga KK.

Musabab sidang maha penting (orang Mongondow hanya menggunakan ‘’pakaian adat’’ saat menghadapi momen yang dianggap istimewa) itu karena Yasti Mokoagow, baik dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR RI maupun sebagai pribadi, telah menghina Walikota KK Djelantik Mokodompit (sebagai Walikota dan pribadi) saat berpidato 14 dan 15 September 2011 di sekitar kompleks Pasar Serasi, Kelurahan Gogagoman. Pidato yang diperdugakan telah melecehkan Djelantik Mokodompit itu terkait dengan isu pemindahan pedagang Pasar Serasi dan perubahan peruntukan pasar ini menjadi pusat belanja modern.

Mengapa pula harus dengan sidang adat oleh para tetua, tokoh dan pemangku adat dari seluruh KK? Dugaan saya, tersebab Walikota KK adalah pemangku adat tertinggi. Ki Sinungkudan.

Sampai di sini saya bersetuju 100 persen. Bahkan bersyukur karena tiba-tiba sekelompok orang arif-bijaksana di KK sadar ada sistem yang disepakati yang bernilai luhur dan sakral bagi orang Mongondow; yang selama ini diabaikan dan terabaikan. Pelanggaran (pidana maupun perdata) berkonsekwensi hukum formal. Tetapi masyarakat dengan budaya tinggi punya pula konsekwensi dalam bentuk lain, yaitu hukum non formal yang disepakati dan dianut bersama. Di wilayah inilah adat berdiri dan ditegakkan.

Kendati demikian, saya mengingatkan pada para arif-bijaksana di KK itu, bahwa mereka adalah ‘’pemangku adat’’, bukan ‘’pemilik dan satu-satunya penafsir adat’’. Sebagai pemangku adat mereka adalah orang-orang yang menjaga sistem yang disepakati dan dianut, juga menegakkan setegak dan seadil-adilnya, termasuk pada para ‘’pemangku adat’’ yang melanggar adat. Tidak terkecuali terhadap Ki Sinungkudan yang menggunakan tungkud-nya secara semena-mena.

Terlampau jumawa kalau saya harus mengurai akar adat Mongondow, yang berakar hingga dodandian antara Paloko dan Kinalang. Bahwa (sebagaimana yang kita percayai), Kinalang berkata: ‘’Obagai in aku’oi ba’ mo’ iko in bibitonku  (Dukung aku dan aku akang mengangkatmu).’’ Lalu dijawab oleh Paloko:  “Iko in kuntungon nami, yo kami in bibitonmu (Kami akan mendukungmu, agar engkau mengangkat kami).’’

Para arif-bijaksana yang bersidang hari itu bukan hanya tahu persis, tapi saya yakin khatam hingga ke titik-koma peradatan Mongondow.

Jadi, tafsir saya terhadap sidang luar biasa itu adalah: Adat yang digunakan tentu adat Mongondow, yang tak lain perlakuan sama dan adil, tanpa pandang bulu dan tak peduli apakah yang melakukan pelanggaran dan mendapat sanksi adalah pejabat atau tokoh publik (termasuk pemangku adat) atau rakyat biasa yang berprofesi pilot bentor. Adat yang memandang bulu dan pilih-pilih mutlak bukan sistem yang berakar di Mongondow yang kita sepakati bersama. Dia boleh jadi tafsir suka-suka yang lebih pantas dilempar ke got ketimbang di-amin-kan.

Layakkah Yasti Mokoagow Disidang?

Kebanyakan kita yang awam tak tahu bagaimana sidang adat itu berlangsung, apa pertimbangan dan perdebatan yang terjadi di antara para tetua, tokoh, dan pemangku adat KK dalam membahas perilaku Yasti Mokoagow. Bahkan dasar digelarnya sidang itu, yang kita ketahui dari media massa, juga hanya karena pidato yang dianggap menghina Walikota KK.

Sidang adat hanya dengan dasar sepele seperti itu, menurut hemat saya, sudah satu pelanggaran adat tersendiri. Terlebih karena tidak didahului rembuk (bakid) dengan warga di setiap desa atau kelurahan. Tidak pula sedikit pun saya dengar warga di Kelurahan Gogagoman berkumpul dan bermufakat bahwa Yasti telah melanggar sistem anutan umum di kelurahan itu dan karenanya perlu diberi sanksi.

Ah, para pemangku adat tampaknya Anda-Anda mulai tergelincir dari penjaga dan penegak nilai-nilai menjadi pemilik dan penafsir mutlak.

Kalau pidato Yasti Mokoagow menghina Walikota Djelantik Mokodompit, dan yang bersangkutan tersinggung harga diri dan kehormatannya, maka sidang adat boleh dilakukan dengan (minimal) dua syarat: Pertama, yang menjadi korban melapor dan meminta keadilan sacara sosial dan budaya. Kedua, sistem yang dijaga dan ditegakkan (dalam hal ini adat) bersidang dengan menghadirkan masing-masing pihak, meletakkan bukti-bukti dan kesaksian secara seimbang, memperdebatkan, lalu memutuskan apakah kejadian itu tergolong penghinaan yang menyinggung harga diri dan kehormatan atau bukan. Setelah itu barulah ada hukuman atau bahkan pengabsahan bahwa yang dinyatakan adalah benar adanya.

Apakah  Djelantik Mokodompit (sebagai Walikota dan pribadi) melaporkan adanya pelanggaran yang dicakup sistem sosial dan budaya Mongondow terhadap dia oleh Yasti Mokoagow? Ke tokoh, tetua, pemangku adat mana laporan itu dilakukan? Apakah pula Djelantik Mokodompit (yang konon terhina harga diri dan kehormatannya) serta Yasti Mokoagow dihadirkan dalam sidang adat?

Kita semua tahu jawabannya. Dan artinya, mohon maaf sebesar-besarnya wahai para arif-bijaksana, izinkan saya bertanya: Anda-Anda yang bersidang itu sedang main teater atau berikhtiar menjaga dan menegakkan nilai-nilai luhur Mongondow? Kalau main teater, selayaknya ada karcis yang dijual, siapa tahu bisa sedikit menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) KK yang hanya Rp 7 miliar per tahun. Sedang bila sidang itu ikhtiar luhur, mengapa dilakukan dengan menerabas hampir seluruh tata cara bermartabat yang diajarkan turun-temurun oleh para pendahulu Mongondow?***(Bersambung ke Bagian II)