Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, September 24, 2011

Insiden Isu Pasar Serasi: Memang Lidah Tak Bertulang

ORANG-ORANG bijak yang mencipta pepatah adalah mereka yang mampu membaca dan meresap tanda-tanda zaman. ‘’Mulutmu adalah harimaumu’’ atau ‘’Karena mulut badan binasa’’ jelas kearifan yang mengingatkan kita menjaga lidah supaya tak keseleo. Terlebih, seperti yang didendangkan Bob Tutupoli, Memang Lidah Tak Bertulang.

Insiden berkaitan dengan isu relokasi Pasar Serasi yang melibatkan Ketua Komisi V DPR RI asal Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga warga Kota Kotamobagu (KK), Yasti S Mokoagow, pada 14 dan 15 September 2011 di dekat kompleks Pasar Serasi, Kelurahan Gogagoman, adalah kelindang dari peringatan yang sudah diarifi orang-orang bijak. Bukan hanya soal mulut dan lidah Yasti yang kini dianggap sebagai tokoh sentral masalah; tetapi juga mulut dan lidah Walikota KK serta para pendukungnya.

Menghina Anjing

Ada dua versi utama yang saya dengar dan baca berkaitan dengan insiden itu. Versi pertama dari kalangan pro Walikota KK, Djelantik Mokodompit, serta para pengecam Yasti (yang belum tentu pro Walikota) menyebutkan: Dalam orasinya, baik 14 Sepember maupun 15 September 2011, Yasti menyebut Walikota KK (dan Djelantik Mokodompit sebagai pribadi) penipu, pembohong, dan aneka kata tidak sedap lainnya. Menurut versi ini, Yasti juga menyebutkan Walikota KK dan pendukungnya sebagai ‘’anjing-anjing’’.

Versi kedua (masing-masing dari mereka yang pro Yasti, kelompok netral, dan Yasti sendiri) mengatakan: Benar Yasti –dalam konteks sebagai anggota DPR RI maupun warga KK-- mengkritik Walikota, Djelantik Mokodompit, dengan kata-kata yang dikategorikan ‘’kelas berat’’ –termasuk melakukan kebohongan dan penipuan publik--; serta menyatakan bahwa kritik Yasti akan ditanggapi oleh ‘’anjing-anjing yang menggonggong’’.

Saya, yang hanya mendengar dan membaca dua versi utama itu, ingin bersikap adil terhadap kedua pihak. Terhadap versi pertama, menurut saya:

Pertama, untuk kata-kata seperti penipu, pembohong, dan sebagainya; sebaiknya Walikota KK dan para pendukungnya mengevaluasi kembali seluruh konteks isu terkait Pasar Serasi, apakah tudingan itu memiliki dasar atau tidak? Jangan sampai keburu marah dan kalap lalu telunjuk yang diarahkan ke Yasti Mokoagow ternyata mendarat di jidat sendiri.

Kedua, kata-kata ‘’anjing-anjing’’. Kalau kata ini dialamatkan pada mereka yang pro Walikota KK, pertanyaan saya adakah di antara mereka yang merasa sebagai ‘’anjing-anjing’’? Kalau ada dan itu menyinggung perasaan, melukai harga diri, yang dapat dikategorikan perbuatan tidak menyenangkan dan melawan hukum, maka laporkan ke polisi. Tapi masak ada orang bodoh yang bersukarela menempatkan dirinya masuk kategori ‘’anjing-anjing’’?

Akan halnya Walikota KK dan jajaran Pemkot KK, kalau ‘’anjing-anjing’’ itu dianggap menghina pejabat publik, laporkan pula ke polisi; baik dalam konteks jabatan formalnya maupun sebagai pribadi. Hanya saya harus mengingatkan, cek kembali kebenaran kata per kata, kalimat per kalimat, apakah benar eksplisit seperti itu yang dinyatakan.

Pisau hukum selalu bermata dua. Kalau apa yang dianggap sebagai perbuatan pidana (juga perdata) ternyata tidak terbukti; maka dia akan berbalik menusuk penuduh. Singkatnya, menurut saya, potensi pemelintiran terhadap pernyataan Yasti sulit dihindarkan karena ‘’memang lidah tidak bertulang’’. Apalagi lidah ular dan para penjilat.

Terhadap versi kedua, saya berpendapat:

Pertama, bukan rahasia lagi Walikota KK memang gemar berbohong, menipu, dan memanipulasi pernyataannya sendiri. Kasus rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) KK menjadi salah satu contoh yang bisa dirujuk. Orang banyak boleh beringatan pendek, tetapi tidak bisa diperbantahkan dia pernah mempertaruhkan jabatannya yang hingga kini tak terbukti. Hilang diterbangkan angin dan aneka pencitraan yang gemar dipertontonkan oleh Walikota (termasuk lewat akting pidato dengan meneteskan airmata).

Khusus isu Pasar Serasi, memang ada penipuan, kebohongan, dan manipulasi oleh Walikota KK. Seperti apa bentuknya, sebaiknya simak tulisan-tulisan lain di blog ini.

Kedua, kata-kata ‘’anjing-anjing menggonggong’’ menurut saya sungguh keterlaluan. Soalnya itu menghina para anjing. Dan sebagai penyayang hewan, saya keberatan Yasti menyamakan cecunguk dengan anjing. Anjing dalam banyak hal adalah hewan yang luar biasa dari sisi kecerdasan dan kesetiaan. Jadi mohon Saudari Yasti Mokoagow, besok-besok janganlah menghina anjing. Sebab kalau dilakukan lagi, saya akan turut di barisan yang menggugat Anda.

Dari sisi hukum, konsekwensi kata-kata ‘’anjing-anjing menggonggong’’ bisa dikategorikan sebagai gangguan terhadap ketertiban dan kenyamanan publik. Tapi (setahu saya) saat itu sejumlah polisi ada di tempat kejadian, hingga semestinya kalau ada gangguan ketertiban dan keyamanan umum, mereka sudah bertindak.

Dari sisi sosial dan budaya, kalau pun ada yang keberatan, tidak lebih dari gangguan yang diakibatkan oleh musik yang biasanya menggelegar dari bentor yang lalu-lalang di seantero jalan di KK. Kecuali, sebagaimana poin kedua di versi pertama, ada yang memang merasa sebagai ‘’anjing-anjing’’ dan karenanya pantas tersinggung dan mesti menuntut haknya.

Kembalikan Pada Proporsi

Lalu seperti apa orang banyak harus menyikapi insiden (kalau pun peristiwanya dikategorikan sebagai insiden) terkait isu Pasar Serasi itu?

Pertama, mari dudukkan masalah pada proporsinya. Kalau yang dinyatakan Yasti Mokoagow adalah fakta-fakta yang terbukti dan dapat dibuktikan, maka para pendukung Djelantik Mokodompit (baik sebagai Walikota KK maupun pribadi) tutuplah mulut dan dorong ‘’junjungannya’’ agar lebih bisa dipegang mulut dan lidahnya, kredibel, dan kompeten. Melakukan berbagai manuver hasilnya cuma memperbanyak tabungan kebodohan.

Pula untuk membuktikan versi mana yang benar dari simpang-siur yang marak, gampang belaka. Tinggal dicek lagi rekaman peristiwa tersebut serta didengarkan kesaksian dari orang-orang yang ada di tempat kejadian. Kita akan tahu lidah mana yang gemar berbohong dan memelintir; dan mana yang terjaga kata serta adabnya.

Dan kedua, terkait dengan poin pertama, kalau Yasti melakukan penghinaan, buktikan di depan hukum. Baik oleh pribadi-pribadi yang merasa terhina; maupun posisi formal yang diemban oleh yang merasa terhina. Tentu harus digaris-bawahi, kalau tuntutan dan gugatan tidak terbukti, waspadalah ada akibat ikutannya.

Secara pribadi, dengan mempertimbangkan secara adil fakta-fakta versi pihak-pihak yang berseberangan serta mereka yang netral, saya berkeyakinan bila isu Pasar Serasi ini terus dikembangkan, akhirnya yang paling dirugikan adalah Djelantik Mokodompit sebagai Walikota maupun pribadi.***