Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, March 30, 2011

Kerlap-Kerlip Birokrat Bolmong

ADA yang mengganjal di hati setelah keriuhan Pilkada Bolmong berlalu lebih sepekan. Hari ini, Rabu (30 Maret 2011), di perjalanan dari kantor untuk bertemu beberapa petinggi sebuah perusahaan asing di Financial Club, Graha Niaga, Jakarta, saya merenung-renungkan berbagai informasi yang lalu-lalang berkaitan dengan kelakuan pegawai negeri sipil (PNS) di Bolmong.

Kekalahan pasangan Didi Moha-Norma Makalalag yang ditopang Bupati incumbent serta sebagian jajaran birokrat Bolmong, dari cermatan saya, mendadak mengubah perilaku sejumlah besar birokrat. Tiba-tiba para birokrat tampak gamang. Tak tahu harus berpaling ke mana. Di saat yang sama mereka juga bagai lepas dari kerengkeng dan karenanya cenderung tak terkendali.

Muramnya upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Bolmong, Rabu (23 Maret 2011), menjadi petanda awal. Ketika itu, setidaknya dari informasi yang tiba di kuping saya, para jajaran teras birokrasi Bolmong sebagian besar tak nongol tanpa diketahui alasannya. Padahal Bupati Marlina Moha-Siahaan hadir dan langsung memimpin upacara dan serangkaian acara lanjutannya.

Ketidak-hadiran para pejabat itu mulanya saya tanggapi dingin-dingin saja. Bisa jadi mereka sedang ada urusan penting dan sudah mendapat izin dari Bupati. Pejabat tingkat Asisten, Kepala Dinas dan Kepala Badan kan bukan anak TK yang mesti diantar-jemput agar tak diculik "hoga". Dan Bupati, sekali pun sudah ada Bupati-Wabup terpilih 2011-2016, masih tetap atasan yang harus dipatuhi hingga hari terakhir masa jabatannya.

Tapi pikiran lain datang mendera batok kepala saya. Mangkirnya sejumlah pejabat teras di upacara HUT Bolmong itu (apalagi dengan sengaja dan terencana) dapat dimaknai dari berbagai sudut. Bahwa, mereka memang sadar sejak lama berada di bawah rezim yang harus dilawan, dan sudah tiba saatnya untuk menunjukkan pemberontakan itu; mereka --terutama yang berpolitik praktis-- ketakutan dan sibuk merumuskan cara menyelamatkan diri; atau karena mereka berhati-hati agar tidak diasosiasikan sebagai "orang dekat" Bupati Marlina Moha-Siahaan yang boleh jadi berkonsekwensi pahit di hadapan Bupati-Wabup terpilih.

Apa pun alasannya, saya mengecam (kecam-mengecam sebenarnya pekerjaan sia-sia, tapi biarlah) jenis pejabat seperti itu. Saya menyarankan pada Bupati Marlina Moha-Siahaan, kalau masih diizinkan oleh undang-undang dan peraturan, bersegeralah memberikan hukuman. Para pejabat itu, yang selama ini menunjukkan kepatuhan dan loyalitasnya, ternyata tak lebih dari komodo berkulit buaya (sama-sama reptil berbahaya, tetapi liur komodo jauh lebih beracun dan mematikan).

Lepas dari bertahun-tahun saya menjadi "musuh" politik Bupati Marlina Moha-Siahaan, memperlakukan dia dengan cara tidak terhormat (oleh mereka yang dia angkat dan beri jabatan --entah karena prestasi atau sekadar pertimbangan subjektif Bupati) sungguh bukan cara yang beradab. Tapi barangkali para pejabat itu pun tak sepenuhnya salah. Baik rumus eksata maupun sosial, sama belaka: aksi sama dengan reaksi. Artinya, perlakuan yang di luar adab, akan menerima respons yang sama tidak beradabnya.

Tapi saya buru-buru pula mengoreksi simpulan itu, setelah tahu pasca terpilihnya Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, kegamangan para birokrat di Bolmong ternyata juga diindap bukan hanya mereka yang ada di jajaran teras. Indikatornya adalah kehadiran para pegawai di apel pagi, yang tiba-tiba bagai enceng gondok disapu dari permukaan air.

Bila biasanya peserta apel pagi berbondong-bondong hadir, dari informasi yang saya terima (sekali lagi saya yakin terhadap akurasinya) mendadak menurun drastis. Meminjam omelan salah seorang pegawai menengah yang saya tanyai, "Mirip kunang-kunang. Kehadiran di apel pagi sekarang seperti kerlap-kerlip."

Birokrat di level teras, yang bersentuhan langsung dengan "politik kekuasaan" dan "politik praktis" mulai berulah demi mengamankan posisi, termasuk dengan membangkang pada atasan yang tinggal hitungan hari bakal lengser, bisa diterima akal sehat. Tapi kalau pegawai level staf juga turut berbuat semaunya, pasti ada yang salah dari seluruh sistem birokrasi di Bolmong. Perkara sistem birokrasi, apa boleh boleh, telunjuk ini harus diarahkan ke jidat Sekretaris Kabupatan (Sekab) yang berada di posisi tertinggi birokrasi.

Baiklah, dengan pemakluman, kita terima saja ada pembangkangan terhadap Bupati yang sudah pasti bakal kehilangan kekuasaan. Bagaimana dengan membangkang terhadap tanggungjawab dan kewajiban seorang PNS, yang diikat lewat sumpah, janji, dan kode etik? Saya kira mereka perlu didisiplinkan dengan cara yang revolusioner dan dapat segera mengubah kelakuan mura'bal menjadi tertib dan tertata sebagaimana seharusnya.

Kalau "panglima"-nya, dalam hal ini Sekab, tidak mampu; copot secepat-cepatnya dan ganti dengan pejabat yang lebih mampu. Agar menimbulkan efek jera, menurut saya, tak ada salahnya Salihi Mokodongan-Yani Tuuk mengadopsi disiplin sebagaimana yang diterapkan Bupati Bolmut, Hamdan Datungsolang.

Hamdan yang sepantasnya mendapat acungan dua jempol, berhasil mensiplinkan birokrasi tidak dengan pendekatan mengada-ada. Dia hanya mensyaratkan kemauan dan keseriusan untuk menerapkan sesuatu dengan konsisten; serta terbuka dan tak pandang bulu. Mau bulu angsa, bulu kucing, atau bulu kile'-kile', kalau cuma mengganggu dan tidak ada gunanya, memang sebaiknya dibului (kata ini dalam bahasa Indonesia kurang-lebih berarti ''dicabut'') saja.

Apa yang dilakukan Bupati Bolmut? Di apel pagi Senin pekan berjalan, Hamdan Datungsolang mengumumkan siapa-siapa saja pegawai yang mangkir, tak disiplin, atau ditemukan meninggalkan pekerjaannya. Lengkap dengan hari komulatif yang ditilep si oknum. Dia tak peduli apakah yang diumumkan itu seorang Kepala Dinas atau hanya staf biasa.

Kabarnya begitu disiplin sederhana yang dilaksanakan Bupati Bolmut, yang menurut pandangan saya efeknya di jangka panjang akan sangat luar biasa. Pegawai yang diawasi dengan ketat waktu kerjanya, segera menyadari bahwa kinerja mereka juga dipantau serius; dan akhirnya kalau mereka mencoba-coba curang (semisal manipulasi dan korupsi) juga mudah dideteksi sejak awal.

Birokrat yang tersingkir dari Bolmut, di bawah kepemimpinan spartan Hamdan Datungsolang, mudah ditebak adalah mereka yang kualitas "kuaci". Kelasnya cuma nomor dua atau nomor tiga. Birokrasi yang baik untuk daerah yang ingin tinggal landas (bukan ketinggalan landasan), membutuhkan birokrat kelas wahid. Yang cengeng, letoi, malas, korup, manipulator, tidak perlu segan dipecat saja. Masih banyak calon PNS yang benar-benar siap dan berdedikasi membangun Bolmong sepenuh hati.

Barangkali apa yang saya dengar tentang Hamdan dan praktek pemerintahan yang dia jalankan sudah bias kebanggaan lokal, karena info itu sepenuhnya saya dapatkan dari warga Bolmut. Tapi sekali pun demikian, menurut hemat saya, Kepala Daerah lain di wilayah Bolmong pantas mempelajari pendekatan yang diterapkan di sana. Lagipula, secara kasat mata kita bisa melihat Bolmut berkembangan sangat pesat di bahwa pemerintahan Hamdan Datungsolang-Depri Pontoh.

Kembali ke Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, bila tak ada aral melintang mereka segera dilantik sebagai Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016. Saya yakin berat nian tugas awal mereka menata "gerombolan" birokrat yang kelihatannya dipenuhi orang-orang tanpa disiplin dan nir-loyalitas. Untuk mempermudah, saya dengan sukarela akan membawa daftar siapa saja yang pantas dipangkas dalam tempo secepat-cepatnya setelah mereka dilantik.

Pohon, jenis apa pun, biasanya berkembang lebih sehat dan subur justru setelah dipangkas dan disiangi.***

Kronik Pilkada Bolmong (3): Kekalahan Konsultan dan Media


RUMUS memenangkan calon kepala daerah sejak era pemilihan langsung dimulai di Indonesia, sebenarnya sudah jadi resep generik yang dengan cepat dikuasai banyak aktivis politik.  Hanya dengan sekali-dua terlibat keramaian Pilkada, misalnya, seseorang dengan sedikit kreativitas bisa mendeklarasikan diri sebagai konsultan politik. Makin absah bila dia mendirikan pula lembaga lalu aktif mengomentari segala event politik, sembari menawarkan jasa yang diyakini mampu membuat seseorang terpilih sebagai kepala daerah.

Formula yang umum: calon ideal adalah yang punya kekuatan dana, dukungan partai politik, dikenal luas, dan bersedia dikemas sesuai teori dan pengalaman yang diyakini mujarab oleh sang konsultan. Untuk menggalang dukungan biasanya dibuat slogan (kerap dipas-paskan dengan nama pasangan calon yang hasilnya lebih banyak konyol dibanding efektif), road show, event-event publik, dan tentu iklan di media massa yang dikemas sedemikian rupa sehingga buaya pun tiba-tiba bisa bersulih jadi kucing Parsia yang lembut dan melelehkan hati.

Agar segala daya upaya itu terukur, tidak meleset dan terpeleset, setiap jangka waktu tertentu dilakukan survei mengukur keterkenalan (popularity), keterterimaan (acceptability) dan keterpilihan (electability). Di puncak seluruh proses, di hari pemilihan, dilakukan perhitungan cepat yang lalu diumumkan sebagai bukti seluruh resep jitu itu mujarab mendudukkan sang calon sebagai kandidat terpilih.

Bahwa di antara proses yang tampaknya sudah jadi ‘’ilmu pasti politik’’ itu ada sejumlah penyesuaian, semisal diperlukan ‘’insentif’’ untuk pemilih agar tidak berpaling ke lain hati, sudah galib dianggap bukan sebagai suap-menyuap tetapi biaya politik. Begitu lumrahnya sehingga saya tidak heran setiap kali menemukan ada item yang dapat ditafsir sebagai ‘’gizi’’, ‘’serangan fajar’’ dan sejenisnya dalam proposal yang diajukan konsultan pemenangan kandidat peserta Pilkada. Varian lain adalah iming-iming atau tekanan dengan menggunakan kekuasaan yang biasanya dilakukan calon incumbent .

Mayoritas pasangan calon yang berlaga di Pilkada Bolmong 2011-2016 menggunakan panduan itu, dengan beberapa penekanan pada aspek yang dianggap paling bisa mempengaruhi pemilih. Didi Moha-Norma Makalalag dan Limi Mokodompit-Meydi Pandeirot misalnya, patuh pada langkah-langkah itu dan mengesankan sangat ilmiah. Apalagi mereka (ditambah pasangan Samsurijal Mokoagow-Nurdin Mokoginta) juga massif menggunakan media massa sebagai wahana ‘’jual kecap’’.

Untuk lebih meyakinkan pemilih, mereka juga mempublikasi hasil survei yang dilakukan secara berkala (sesuatu yang menurut saya adalah pedang bermata dua. Di satu sisi bisa mengkonfirmasi pemilih bahwa pilihannya sudah tepat; di sisi lain justru memudahkan lawan melakukan evaluasi dan perbaikan metodologi mereka). Lucunya, dua survei dari dua pasangan kandidat berbeda, justru melahirkan hasil yang bertolak belakang.

Hasil seperti itu, bagi saya yang sedikit memahami metodologi penelitian dan statistik, bisa diartikan sebagai: dua-duanya benar karena menggunakan indikator berbeda;  salah satu keliru dan manipulatif; atau dua-duanya keliru dan manipulatif karena cuma di petik dari imaji tim pemenangan dan lembaga yang disewa kandidat.

Ironisnya media massa  (terutama cetak) di Sulut dengan sukarela memamah-biak apa saja yang digelontorkan calon-calon favorit --karena jumlah iklan yang mereka berikan signifikan. Saya dengan intens mengamati bahwa sepanjang proses Pilkada Bolmong kandidat seperti pasangan Didi Moha-Norma Makalalag dan Limi Mokodompit-Meydi Pandeirot menjadi lovely darling media. Media menelan mentah-mentah segala yang mereka publikasi, yang bukan iklan sekali pun. Sedangkan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk yang hanya beriklan di satu media, yaitu Radar Totabuan, tidak dianggap sama sekali.

Puncak dari pemihakan media –yang mengabaikan filosofi dasar jurnalistik— adalah ketika Salihi Mokodongan-Yani Tuuk berhasil menghimpun puluhan ribu massa di kampanye terbuka di Lolak. Hanya ada satu media yang menulis, yaitu Radar Totabuan. Media cetak lain di Sulut dengan sengaja tidak melihat momen itu sebagai ekspresi politik rakyat yang memenuhi kelayakan sebagai headline, minimal di halaman politik atau daerah.

Satu hari setelah kampanye spektakuler itu, saya mendapat beberapa telepon yang mengeluhkan sikap media terhadap pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk. Tanggapan saya terhadap keluhan itu adalah: pengecilan terhadap pasangan ini justru menempatkan mereka di posisi yang sangat menguntungkan. Psikologi masyarakat, di mana pun, selalu bersimpati pada mereka yang dikecilkan; apalagi bila fakta bicara sebaliknya.

Para jurnalis di daerah ini mungkin lupa, ini abad digital di mana setiap orang bisa memberi kabar pada orang banyak, lengkap dengan foto dan bukti-bukti penunjang lain, dalam hitungan detik. Telepon selular yang dilengkapi koneksi GPRS, EDGE, 3G, BB, dan sejenisnya, ribuan kali lebih cepat dibanding terbitnya koran sehari setelah sebuah peristiwa terjadi.

Begitu larutnya pada kandidat dan tim di belakangnya mengamini resep generik yang bagai titah dari kitab pusaka, membuat mereka melupakan aspek lokal yang khas Mongondow. Di Mongondow –dan beberapa budaya lain di Indonesia— dapur yang menjadi teritori ibu, istri, dan anak perempuan punya pengaruh maha sakti. Datangi orang Mongondow dan ketuk pintu depannya, maka Anda akan disambut sebagai tamu. Ketuk pintu samping, Anda akan diterima sebagai kerabat. Ketuk pintu dapur –dalam arti sebenarnya dan kiasan--, Anda adalah keluarga dekat. Intau bi’ in kombonu in baloi.

Aspek yang hanya dipahami dan diresapi orang Mongondow ini tak tercantum dalam kitab pegangan para konsultan politik hebat yang diimpor dari luar. Sebaliknya, Salihi Mokodongan --yang terang-terangan dicemooh sebagai orang kampung yang lebih cocok mengurusi laut dan ikan tude— dan timnya tahu persis, untuk merebut hati dan suara para pemilih, yang harus diketuk adalah pintu dapur.

Selasa malam (22 Maret 2011) ketika hasil Pilkada Bolmong, baik perhitungan cepat (yang batal diumumkan oleh dua lembaga survei yang salah satunya bahkan terlanjur mengundang media) maupun hasil tabulasi dari tim tiap kandidat sudah hampir selesai,  saya bercakap-cakap cukup lama dengan salah seorang pimpinan lembaga yang men-survei Pilkada Bolmong sejak masa kampanye hingga quick count. Ketika dia mengatakan bahwa kemenangan pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk terwujud karena topangan upaya besar-besaran membagikan ‘’pemanis’’ di dua hari menjelang Pilkada berlangsung, saya menyela dengan koreksi bahwa pendapat itu melecehkan orang Mongondow, juga akal sehat, pengetahuan dan keahlian mereka sendiri.

Saya tahu persis lembaga-lembaga survei yang dikontrak dua pasang kandidat lain memiliki peta pemilih lengkap, termasuk berapa persen yang akan berpaling dari pilihannya bila ada ‘’gizi’’, ‘’insentif’’, atau ‘’serangan fajar’’ yang terjadi. Artinya, dugaan (saya tidak menyebut tudingan) bahwa kemenangan pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk karena permainan politik uang,  sama dengan menampar wajah sendiri. Tak lebih dengan mengakui bahwa riset mereka tidak akurat dan asal-asalan belaka.

Jadi mengapa pasangan yang dari semua hasil riset selalu berada di urutan ketiga bisa dengan telak mengalahkan dua pesaing yang sebelumnya dipastikan bakal menang mutlak? Sembari terbahak saya menjawab: ‘’Sebab Salihi dan Yani mengetuk pintu dapur. Mereka datang bukan sebagai kandidat Bupati dan Wabup, tetapi sebagai keluarga.’’

Salihi Mokodongan (dan pasangannya), orang kampung yang hanya cocok mengurusi laut dan tude, tidak hanya berhasil mengungguli kandidat lain yang dianggap dan diklaim lebih pintar; tetapi juga mengalahkan para konsultan politik handal dan media massa. Di atas semua itu, para pemilih Bolmong juga berhasil mengajarkan hal penting: jangan pernah mengabaikan  aspek sederhana dan sepele yang justru adalah ruh satu entitas masyarakat.***


Artikel ini sudah dipublikasi di Harian Radar Totabuan, Rabu (30 Maret 2011).

Tuesday, March 29, 2011

Kronik Pilkada Bolmong (2): Membaca Strategi dan ‘’Jurus’’

PROSES pencalonan kandidat Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016 saya ikuti dengan keingintahuan membuncah, karena bisa menjadi indikator awal pemetaan terhadap peluang masing-masing kandidat.

Tatkala MS Binol dan Masni H Pomo mulai disebut-sebut memilih jalur independen, kemudian Limi Mokodompit dan Meidy Pandeirot resmi mendapatkan partai pengusung, saya menyimpulkan: Pertama, mereka solid dan sudah mempersiapkan diri sejak lama (termasuk sumber dana). Dan kedua, mereka jeli ‘’mencuri’’ waktu karena bisa lebih lama bersosialisasi ke konstituen.

Walau di sisi lain langkah cepat yang diambil oleh dua pasang kandidat itu juga bisa ditafsirkan sebagai ketergesa-gesaan dan kepercayaan diri berlebihan yang umum diidap politikus amatir di Indonesia. Biasanya politikus jenis ini seperti mesin yang cepat panas, tetapi juga bisa segera dingin dan bahkan mogok.

***

Salihi Mokodongan, seperti juga  Moha, adalah kandidat yang diuntungkan karena tidak terlampau sulit mendapatkan partai pengusung –kendati dalam konteks ini Limi Mokodompit yang paling unggul. Salihi yang dekat dengan berbagai kalangan, termasuk elit Partai Amanat Nasional (PAN) di Sulut, membuat dia segera dilirik sebagai alternatif utama. Setelah PAN, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Gerindra juga menyampaikan minat menjadi pengusung.

Di atas kertas suara PAN, PKS, dan Gerindra sudah mencukupi. Yang saya ketahui, berdasarkan berbagai pertimbangan yang tidak hanya bersifat politis, tokoh-tokoh di belakang Salihi juga mendekati PDI Perjuangan yang memberikan respons positif. Hanya diperlukan tiga-empat pertemuan sebelum diputuskan PAN, PKS, PDI Perjuangan, dan Partai Damai Sejahtera (PDS) yang bergabung setelah Gerindra batal, memutuskan mengusung  Salihi dan Yani Tuuk sebagai calon Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016.

Didi Moha sedikit lebih kompleks. Sekali pun sudah dipastikan akan diusung oleh PG (partai mayoritas di DPR Bolmong), hingga sepekan sebelum pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bolmong, sepengetahuan saya masih mempertimbangkan calon wakil yang akan dipilih.

Putusan yang diambil PG, Didi, dan tim di belakangnya sangat diluar dugaan. PG yang berkoalisi dengan Partai Demokrat (PD) secara mengejutkan memilih Norma Makalalag sebagai calon Wabup. Ada tiga aspek yang saya cermati: Pertama, Norma berlatar birokrat murni dengan rekam jejak yang relatif biasa saja. Kedua, dia tidak berasal dari daerah yang saat ini masuk wilayah Bolmong Induk. Dan ketiga, dia sama sekali tidak dikenal bergiat di aktivitas yang menghasilkan modal sosial dalam bentuk hubungan baik atau popularitas.

Calon terakhir yang kemudian lolos verifikasi KPU, Samsurijal Mokoagow dan pasangannya, Nurdin Mokoginta, adalah yang paling berat melalui tahapan pencalonan. Hingga mendaftar ke KPU, pasangan ini masih bersikutat dengan persyaratan dasar: dukungan partai pengusung.  Praktis saat pasangan lain sudah bekerja di tengah para pemilih, mereka masih disibukkan dengan pemenuhan kelengkapan administrasi.

***

Cermatan terhadap proses pencalonan lima pasang calon Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016 membuat kita bisa mengkonklusi beberapa simpulan: Pertama, ada calon yang sejak awal memang siap, solid, memiliki tim dan dilengkapi strategi memadai. Yang masuk kategori ini adalah (agar adil diurut berdasarkan alfabet) Didi Moha-Norma Makalalag, Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot, dan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk. Kedua, pasangan yang tergesa-gesa dan hanya berbekal keyakinan semata, yaitu MS Binol dan Masni H Pomo. Dan ketiga, pasangan yang kurang siap, kurang solid, serta tidak didukung tim dan strategi memadai, yaitu Samsurijal Mokoagow-Nurdin Mokoginta.

Dengan peta dasar seperti itu, pertanyaan kemudian, bagaimana para kandidat dan orang-orang di belakangnya merumuskan strategi dan implementasinya untuk memenangkan pilihan konstituen? Sejujurnya, hanya dengan melihat proses awal pencalonan masing-masing pasangan itu, sesaat setelah KPU selesai melakukan verifikasi, setiap kali membicarakan dinamika politik Pilkada Bolmong, saya mengatakan kompetisi ini boleh jadi hanya untuk tiga pasangan saja, yaitu: Didi Moha-Norma Makalalag, Limi Mokodompit-Meydi Pandeirot, dan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk. Itu pun dengan catatan tidak ada evaluasi dan re-organisasi radikal yang dilakukan Samsurijal Mokoagow-Nurdin Mokoginta terhadap tim pemenangannya.

Bagaimana kesiapan tiga pasangan itu dan tim di belakangnya? Mari kita lihat satu per satu.

Tim di belakang Didi Moha dan Norma Makalalag adalah sejumlah politikus dan anak-anak muda yang berpengalaman minimal sejak memenangkan Marlina Moha-Siahaan sebagai Bupati Bolmong di masa jabatan kedua (2006-2011), serta mengantar Didi Moha ke kursi DPR RI.

Selain tim kuat, Didi dan pasangannya juga memiliki modal politik dan sosial kokoh, karena posisinya Ibunya yang masih menjabat Bupati Bolmong. Serta, yang tak kurang penting, perolehan suaranya di Pemilu Legislatif 2009 lalu di wilayah Bolmong. Itu sebabnya tidaklah heran bila sejumlah survei awal yang dilakukan oleh beberapa lembaga kredibel menunjukkan Didi Moha didukung tak kurang 47 persen pemilih di Bolmong. Keunggulan ini masih ditopang dukungan konsultan politik yang punya nama besar.

Hanya dengan mempertahankan modal awal yang dia miliki, Didi Moha dan pasangannya sebenarnya sudah berada di ‘’jalan tol’’ ke kursi Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016.

Masalahnya, strategi yang akan diimplementasinya oleh pasangan ini dan timnya sudah bisa diduga sejak awal. Mereka pasti menggunakan ‘’jurus’’ yang sama, yang sudah terbukti ampuh di Pilkada 2006 dan Pemilu Legislatif 2009.

Sayangnya strategi dan ‘’jurus’’ yang sama juga khatam diketahui tim di balik pasangan Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot. Pitres Sombowadile yang kerap dikutip selama tiga bulan terakhir sebagai konsultan pasangan ini, adalah mantan ‘’orang dekat’’ Bupati Marlina Moha-Siahaan, yang juga terlibat intens saat Didi Moha mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI.

Faktanya, diakui atau tidak, dua pasangan itu dan tim-nya nyaris merumuskan dan mempraktekkan strategi yang sama. Bahwa strategi dan implementasi tim di belakang Limi dan pasangannya lebih efektif, sesungguhnya bukan karena orang-orang di balik pasangan ini lebih baik; tapi karena faktor lain yang akan kita bahas kemudian.

Berbeda dengan dua pasangan itu, tim di balik pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk adalah orang-orang yang sejak lama diketahui berada di jalur yang berbeda dengan mainstream politik  di Bolmong yang dilembagakan oleh tokoh seperti Marlina Moha-Siahaan dan sejumlah elit politik lain dari generasi di atasnya. Mereka umumnya adalah politikus muda atau sejumlah praktisi dan pemikir yang lebih independen; berpengalaman memenangkan kompetisi politik di luar arus utama praktek politik di Bolmong; dan yang terpenting: mereka umumnya adalah orang-orang dengan latar belakang lokal yang kuat.

Keunggulan lain yang kurang diperhitungkan (atau diperhitungkan tetapi tidak dengan sangat serius) oleh kandidat lain adalah basis massa riil Salihi Mokodongan yang sangat kuat di Lolak dan sekitarnya; serta Yani Tuuk di wilayah Dumoga, lebih khusus lagi di kalangan warga Kristiani. Apalagi Salihi, basis massanya terbentuk bukan karena sentimen politik, melainkan atas kekuatan aktivitas dan hubungan sosialnya sebagai pribadi, di mana daya rekat dan solidaritasnya tidak mudah digoyahkan.***

Artikel ini sudah dipublikasi di Harian Radar Totabuan, Selasa (29 Maret 2011).

Kisah Ketololan, Ikan Paus dan Tude'


HARIAN Radar Totabuan Selasa (29 Maret 2011) menurunkan setidaknya dua berita yang saling terkait. Pertama, dugaan penculikan terhadap salah seorang pengelola Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Monompia, Maryani Masagu. Kedua, pernyataan Ketua Forum Pemuda Peduli Bolmong (FP2BM), Roni F Mokoginta, berkaitan dengan ‘’kejahatan ijazah’’ dari salah satu calon Bupati Bolmong 2011-2016, yang Senin (28 Maret 2011) lewat pleno KPU sudah ditetapkan sebagai Bupati terpilih.

Mari kita taruh saja masalah ini di atas meja. Ijazah yang dipersoalkan adalah tanda lulus Paket B dan C milik Salihi Mokodongan, yang sangkarutnya sebenarnya sudah mulai berkelindang sejak sebelum pendaftaran resmi calon Bupati-Wabub Bolmong 2011-2016 berlangsung.

Muasalnya adalah: Apakah ijazah itu benar dan didapat sesuai dengan semua aturan yang disyaratkan? Pertanyaan lanjutannya adalah: Apakah Salihi Mokodongan mengikuti pendidikan luar sekolah untuk mendapatkan ijazah itu demi mencalonkan diri sebagai Bupati; atau karena dia memang terpanggil menyelesaikan pendidikan yang terputus di masa kecil dan remaja karena kehidupan yang tak ramah padanya?

Dua pertanyaan itu adalah akar soal yang harus dijawab sebelum siapa pun berspekulasi sesuka-suka mimpinya sendiri hingga berliur-liur.

Tanpa bermaksud membela Salihi Mokodongan, ijazahnya tentu didapat sesuai proses dan aturan yang benar. Saya langsung menyakini itu saat melihat yang menanda-tangani ijazahnya adalah Hamri Manoppo yang saya kenal bukan hanya sebagai guru (wali kelas malah) di SMA, tetapi juga seorang Paman dari sisi Ibu saya.

Saya percaya Hamri bukan jenis orang yang mudah makan suap dan kemudian memelintir sesuatu yang melawan aturan, apalagi yang berkaitan dengan pendidikan –ruh yang menyertainya sejak lahir, sebagai anak seorang guru yang menyelesaikan pendidikan guru di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Manado, lalu melanjutkan tradisi ayahnya, menjadi guru, sebelum pindah ke birokrasi pemerintahan. Saya percaya Hamri yang kini jadi birokrat teras di Kota Kotamobagu masih seperti yang saya kenal sejak masa kanak, yang bisa memberikan nilai rendah bila saya sedang keluar tololnya, padahal sehari-hari kami bukan hanya bertemu di sekolah tapi ngelayap bersama-sama hingga ke kebunnya di Tumuyu’.

Akan halnya apakah Salihi ‘’mengurus’’ ijazah demi mencalonkan diri jadi pejabat publik, melihat tahun dia mengikuti pendidikan di Monompia, kita semua bisa mengambil simpulan: ketika itu mimpi jadi Bupati pun saya kira masih dianggap inimbalu’ belaka. Di 2008 lalu siapa yang berani meramal tukang jual tude’ seperti Salihi Mokodongan bisa diusung jadi Bupati Bolmong?

Karenanya, tibalah kita pada dua hal yang menjadi pokok dari tulisan ini. Pertama, dugaan penculikan Maryani Masagu. Apa pun alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang terkait dengan masalah ini, substansi masalahnya adalah ‘’cari perkara’’ dan kebodohan seorang Kepala Dinas Pendidikan (Diknas) Bolmong.

Kalau Maryani ‘’diundang’’ (paksa atau sukarela) menemui Bupati Bolmong untuk mengklarifikasi ijazah Salihi Mokodongan, mengapa baru setelah dia menang mutlak di Pilkada Selasa (22 Maret 2011) lalu? Kemana saja Kepala Diknas dan seluruh aparatnya selama ini? Apa sibuk berkampanye mendukung salah satu calon seperti kebiasaan yang dia praktekkan sejak Pemilu Legislatif 2009 lalu?

Saya sedih membayangkan bagaimana Bupati Marlina Moha-Siahaan dijerumuskan oleh orang seperti Kepala Diknas. Orang-orang seperti inilah yang saya caci sejak Sembilan tahun lalu. Mereka yang mengambil keuntungan dari Bupati dengan segala cara. Orang-orang yang tidak punya niat baik, terhadap Bupati dan orang lain –andai ijazah Salihi Mokodongan bermasalah sejak awal, mengapa dia sebagai Kepala Diknas tidak bertindak untuk mengingatkan sejak mula? Utamanya sebagai pengejawantahan (kata ini adalah sebenar-benar bahasa para birokrat) pertanggungjawaban terhadap tugas dan kewajibannya.

Etika, moralitas, dan profesionalitas-nya sebagai pribadi dan Kepala Diknas jelas bukan hanya nol, tapi minus. Dan birokrat jenis ini hanya cocok berada di dua tempat: penjara atau dilempar ke tong sampah. Sebab selain tak becus, dia juga korup. Sudah pengetahuan umum dua aspek ini sangat karib. Jadi, Kadis Diknas, tunggu saja giliran Anda.

Bagaimana dengan Ketua Forum Pemuda Peduli Bolmong (FP2BM), Roni F Mokoginta? Begini saudara, saya hanya ingin menyampaikan sedikit saja, sebab saya tidak yakin keluasan pengetahuan Anda cukup untuk menangkap hal yang lebih banyak dan kompleks.

Asumsikan saja bahwa ijazah Salihi Mokodongan pantas dipertanyakan; lalu bagaimana dengan hal segawat PNS yang diterima dengan status sarjana, sementara dua tahun sebelumnya dia baru menyelesaikan pendidikan SMU? Setahu saya untuk menyelesaikan SD cukup banyak anak Indonesia yang hanya memerlukan waktu 4-5 tahun, SMP cukup dua tahun, dan SMU juga dua tahun, karena kepintaran dan pendidikan di Indonesia memberi peluang lewat akselerasi. Tapi  apakah mungkin menyelesaikan pendidikan sarjana ekonomi dalam dua tahun? Pemenang Nobel Ekonomi seperti John Forbes Nash, Jr pun barangkali angkat tangan bila dicecoki 143 SKS hanya dalam waktu dua tahun.

Saya berani bertaruh dengan Anda, Ketua FP2BM, sarjana ekonomi yang kini PNS di Bolmong itu (dan Anda, yang ‘’katanya’’ memantau Bolmong, pasti tahu persis siapa yang saya maksudkan) pasti kebingungan bila saya tanyakan siapa Adam Smith atau Maltus. Bisa jadi dia mengira itu sejenis merek pakaian atau shampoo keluaran terbaru.

Jadi ketimbang Anda sibuk mengurusi tude yang jauh di ujung horizon,  sementara ikan paus di depan mata pura-pura tak tampak, yang terbaik adalah menutup mulut dan minta maaf. Sebab bila segala cacian dan tuduhan yang sudah disemburkan tidak terbukti, bukankah ada pasal pidana yang bisa menjerat Anda?***

Monday, March 28, 2011

Yusuf Mooduto dan Ironi Kesetiaan

RIBUAN kata ingin tercetus dari mulut saya tatkala melihat satu gambar di Harian Manado Post, Sabtu (26 Maret 2011). Gambar itu mencantumkan keterangan bahwa Ketua PPP Bolmong, Yusuf Mooduto, sedang berteriak di pembukaan Musyawarah Wilayah (Muswil) PP di Hotel Sintesa Peninsula.

Lalu bibir saya mendesak menyemburkan ribuan kata lagi ketika bercakap-cakap per telepon dengan seorang kerabat di Kota Kotamobagu dan mengetahui detil kejadian yang melibatkan Yusuf itu. Yakni ketika itu dia bukan hanya cekcok mulut dengan Satgas Pengamanan Muswil, tapi bahkan ada adu jotos segala (tanpa dijelaskan lebih jauh, tulang tua Yusuf --seperti juga saya yang kian gampang keseleo walau hanya dicolek-- tentu kalah sakti dibanding otot, urat, dan tulang muda para Satgas).

Saya ingin mengatakan banyak hal. Bukan soal benar atau salah apa yang dia lakukan; bukan pula pantas atau tidak dia beraksi bagai koboi kehilangan kuda; melainkan tentang Yusuf Mooduto yang saya kenal.

Si Tukang Gertak

Beberapa tahun silam Institut Bakid in Totabuan bekerjasama dengan Centre for Electoral Reform (Cetro) berkenaan dengan kesadaran masyarakat terhadap partisipasi politiknya (di masa itu, seingat saya, semua orang sedang berada di puncak gairah reformasi). Salah satu yang disodorkan oleh teman-teman di Bakid sebagai nara sumber adalah Yusuf Mooduto. Mulanya saya kasak-kusuk mempertanyakan pilihan itu, mengingat reputasinya yang bagai Samudera Indonesia: lebih banyak bergolaknya ketimbang teduh.

Tapi akhirnya saya paham mengapa Yusuf menjadi salah satu nara sumber yang ideal, baik sebagai ketua partai, anggota DPR Bolmong, dan sebagai pribadi. Sebagai ketua partai dan anggota DPR Bolmong, Yusuf terkenal ceplas-ceplos, cenderung seenaknya, dan tidak kalah gertak --kerap bahkan dengan provokasi fisik. Temperamen Yusuf yang mudah ''naik'' itu sering membuat saya tertawa, mengingat badannya yang relatif tidak kekar --kurang lebih sama dengan sosok. Bukan sekali-dua saya mendengar Yusuf adu mulut hingga menjurus ke fisik, terutama dengan sesama politikus. Sebagai pribadi (bagian ini sungguh segar), Yusuf sebenarnya tidak mudah tersinggung, apalagi kalau disentuh di tempat yang tepat.

Saya ingat persis ketika itu dia baru saja mempersunting seorang gadis muda --saya lupa apakah itu istri kedua atau ketiganya. Yusuf yang datang bersama dengan sang istri sewaktu tampil di talk show di radio milik Pemda Bolmong, sama sekali tidak tersinggung, marah, apalagi menghunus kepalan diledek dan digoda oleh teman-teman yang sebagian berusia jauh di bawahnya. Dia malah ikut terlibat dalam percakapan ramai dan penuh tawa, hingga kami tertahan cukup lama di pelataran dan baru bubar begitu adzan magrib berkumandang.

Jauh sebelumnya saya sudah mengenal Yusuf, yang sebenarnya masih kerabat dari sisi ayah. Mungkin karena kekerabatan itu saya bisa tetap mengapresiasi sepak-terjangnya di satu sisi, dan tanpa takut bebas mengkritisi di sisi lain. Termasuk tidak merasa gentar ketika Tabloid Totabuan masih terbit dan mempublikasi sebuah tulisan yang membuat dia naik darah. Saya dan teman-teman di Totabuan diingatkan berkali-kali bahwa Yusuf ''konon'' berencana menggeruduk kantor kami di Kotamobagu, dengan membawa orang dilengkapi aneka senjata.

Nyatanya hingga Totabuan berhenti terbit hubungan Yusuf dengan saya dan teman-teman baik-baik saja. Bila bertemu kami masih tetap berpelukan, bertukar cerita lucu, dan terbahak bersama-sama. Saya juga masih setia mengikuti ''persilatannya'' di DPR Bolmong dan di PPP, termasuk ketika dia mendudukkan semua kerabat sebagai pengurus teras partai yang akhirnya bermuara konflik dan pencopotannya sebagai Ketua DPC PPP Bolmong.

Mengartikan Kesetiaan

Namun, bukan paparan di atas yang menjadi subtansi dari tulisan ini. Yang ingin saya ungkapkan adalah bagaimana sebagai politikus dan pribadi Yusuf Mooduto mengekspresikan kesetiaan dan ''rasa terima kasih'' terhadap orang yang menjadi patronnya, yaitu Bupati Marlina Moha-Siahaan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dia adalah salah seorang yang berada di lingkaran dalam Bupati, loyal, dan berani mengambil risiko tinggi dalam menunjukkan loyalitasnya. Di saat yang sama, terutama berkaitan dengan sikap politik, Yusuf juga bisa tiba-tiba mempertanyakan, mengkritik, atau mengecam kebijakan yang diambil Bupati.

Bisa jadi sikap kritis Yusud sudah ''diatur'' terlebih dahulu di balik meja dengan Bupati. Bila dugaan ini benar, justru disitulah letak keunggulan dan kepiawaiannya sebagai politikus: mampu menjaga keseimbangan dan mengambil manfaat di saat yang sama. Untuk bisa melakukan itu, seorang politikus harus cerdas, berpengalaman, serta trampil dari sisi taktik dan strategi.

Sekadar bermimpi-mimpi, bila saya seorang polikus yang menduduki jabatan Bupati, Walikota, atau Gubernur, saya ingin mengumpulkan orang-orang seperti Yusuf Mooduto di sekitar; dan agar mereka tidak lepas kendali, dipagari dengan komitmen yang jelas dan tegas. Aspek ini penting, menurut saya, karena faktanya Yusuf  ''terpeleset'' tatkala dia menjadikan PPP Bolmong sebagai organisasi keluarga. Andai sosok yang menjadi panutan Yusuf cukup jeli menjaga kebermanfaatan jangka panjangnya, seharusnya dia dinasehati (atau bahkan diinstruksikan) untuk berhati-hati dalam mengambil tindakan politik penting seperti mengurus PPP. Bila tak ada badai yang kemudian menjungkalkan Yusuf Mooduto dari PPP Bolmong, saya kira hasil Pilkada 22 Maret 2011 lalu bisa jadi berbeda dengan yang kita lihat hari ini.

Terjungkal dari partai yang menjadi pondasi politiknya, tak menggoyahkan Yusuf dan kemudian membuat dia buru-buru menyelamatkan diri. Masih segar di kepala saya, di malam pendaftaran Didi Moha-Norma Makalalag sebagai kandidat peserta Pilkada Bolmong 2011-2016, saya diundang ke kediaman pribadi Bupati Marlina Moha-Siahaan. Orang pertama yang berdiri, menyambut saya, dan memeluk adalah yusuf Mooduto. Di tengah pandangan mata puluhan orang, Yusuf dengan lantang berkata, ''Biar so bagini, nyanda mo ka mana-mana. Tetap di sini.''

Malam itu, tanpa terucapkan, saya memuji Yusuf Mooduto. Dia, dengan caranya sendiri yang ugal-ugalan dan beresiko tinggi, berhasil mengartikan kesetiaan politik yang mengundang kagum.

Itu sebabnya, ketika tahu dia ditolak masuk Muswil PPP dan kemungkinan ''tak bakal dipakai'' lagi oleh PPP Sulut, saya justru berpendapat lain. Bila seluruh jajaran PPP tahu mengapresiasi dan menggendalikan dia, maanfaatnya akan sangat luar biasa bagi kepentingan partai di masa datang. Masalahnya apakah mereka mampu membaca apa yang saya maksudkan; dan bersedia meluaskan hati?***

Kronik Pilkada Bolmong (1): Mereka yang Bertekad Bertarung

DI SATU malam yang sudah lama, tapi belum terlalu lampau, saya mengetuk kediaman Salihi Mokodongan di Motabang, Lolak. Saya tiba selepas Isya, yang semestinya menjadi waktu istirahatnya.

Om Salihi –begitu saya menyapa dia—dan istrinya, Mama Da’a, segera menghidangkan kopi; dan (saya tahu belakangan) diam-diam meminta disiapkan makan malam untuk saya dan sejumlah adik-adik yang datang tanpa. Saya bertamu tidak dengan agenda khusus, kecuali ingin menyampaikan terima kasih atas ‘’kebesaran hati’’Om Salihi, langsung atau tidak, yang dia lakukan pada saya dan adik-adik dalam hampir tiga tahun terakhir.

Malam itu kami ngalor-ngidul belaka sambil menyantap ikan bakar dan kangkung cah. Sempat pula disinggung sesuatu yang pernah saya cetuskan begitu saja, bahwa dengan modal sosial, pengalaman sebagai entrepreneur otodidak, dan  kapital yang dia miliki, harusnya Om Salihi bisa diusung menjadi salah satu calon Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) 2011-2016.

Seingat saya malam itu Om Salihi hanya tertawa dan berulangkali mengatakan ‘’Insya Allah’’ ketika saya menyampaikan bahwa dia lebih dari amat sangat layak untuk menjadi salah satu calon Bupati Bolmong. Rekam jejaknya mumpuni: dia ‘’anak orang susah’’ yang merintis usaha dengan dengkul berdarah-darah hingga memiliki puluhan kapal penangkap ikan sendiri. Dia aktif di organisasi kemasyarakatan (terutama Nahdlatul Ulama). Dia aktif di partai politik sebagai pengurus Partai Golkar (PG). Dan dia aktif menjadi aktor politik di setiap event politik di wilayah Bolmong.

Sebagai mahluk sosial, dia dikenal murah hati. Orang-orang tua yang saya temui di Lolak suka mengatakan bahwa setiap kali kapal penangkap ikan milik Om Salihi merapat, siapa pun boleh datang mengambil ikan untuk konsumsi di rumah. Itu cuma contoh kecil di mana dia mudah menerima siapa saja; dan mudah diterima oleh siapa saja.

Nah, sebelum saya terjebak memuji-muji Om Salihi setinggi langit –sembari merasa lidah saya mulai bercabang dan suara saya mendesis-desis--, kita hentikan saja daftar yang baik-baik itu. Sebab salah satu kelemahan fundamental dari Om Salihi justru adalah ‘’kebesaran’’ dan ‘’kebaikan hati’’-nya. Bukan sekali-dua dia menjadi tokoh yang sangat dibutuhkan di saat-saat tertentu oleh para politikus di Bolmong, setelah itu dilupakan dan diingat lagi bila diperlukan. Dan dia sama sekali tidak merasa dikecilkan.

***

Satu hari yang lain, juga di waktu yang belum terlalu lampau, saya makan malam dengan Didi Moha. Ketika itu dia sudah dilantik dan resmi menjadi anggota DPR RI dari Sulawesi Utara (Sulut). Di saat itu pula saya sudah dipersepsikan sebagai public enemy number one dari Bupati Bolmong, Marlina Moha-Siahaan, yang tak lain Ibu Kandung Didi Moha.

Yang mengagumkan dari Didi –yang saya kenal sebagai teman main adik-adik saya—dan almarhum ayahnya, Kuji Moha, adalah mereka terus menjaga silahturahmi dan tetap baik, kendati saya tanpa segan mengkritik ibu dan istri mereka. Saya menghormati sikap Didi dan almarhum ayahnya dengan tidak pula mencampur-adukkan urusan politik dan hubungan kekeluargaan antara kami.

Sebagai mahluk politik, Didi tentu bicara tentang dinamika politik; sedangkan saya sebagai mahluk yang ‘’sok tahu’’ politik, asyik mendebat dan sesekali ‘’berkhotbah’’ tentang situasi politik, terutama di Bolmong. Malam itu sungguh luar biasa, karena kami sempat memperbincangkan kemungkinan adanya orang muda –dalam konteks usia—maju sebagai kandidat Bupati Bolmong 2011-2016. Tentang hal ini sikap saya tegas: Saya mendukung 100 persen.

Kalau itu adalah Didi Moha, saya katakan, dukungan saya (sebagai anak Mongondow) tidak perlu diragukan. Dalam banyak hal saya mungkin berbeda pendapat dengan Ibunya, dalam posisinya sebagai Bupati Bolmong. Namun saya harus berpikir dan bersikap adil, bahwa Didi dan Ibunya adalah dua generasi yang berbeda. Dua orang yang sama sekali berbeda. Ibunya (sebagaimana ibu-ibu yang lain) mungkin memberikan sumbangsih besar terhadap prestasi politik Didi. Tapi pada akhirnya, Didi harus diberi kesempatan sebagai pribadi yang punya jalan pikiran, sikap, dan impian sendiri.

Pikiran dan sikap itu yang juga saya sampaikan pada Ibunya dalam dua kesempatan berbeda. Pertama, makan siang bersama, yang harus saya akui sebagai momen rekonsiliasi penuh kekeluargaan antara saya dan Bupati Bolmong setelah tidak bersepakat selama hampir 9 tahun. Dan kedua, makan malam bersama Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehang Salim Landjar, yang ketika itu baru dilantik.

***

Di malam yang lain, juga di waktu yang belum terlalu lampau, saya makan malam dengan Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Samsurijal Mokoagow, yang berniat pula mencalonkan diri sebagai Bupati Bolmong 2011-2016. Begitu Ka’ Sam (demikian saya memanggilnya) menyampaikan niatnya, saya bereaksi dengan sangat hati-hati.

Ada sejumlah alasan: Pertama, usianya masih muda dan karirnya di kepolisian cukup baik. Sebentar lagi, kalau tak ada aral melintang, Ka’ Sam sudah menyandang Komisaris Besar (Kombes). Kedua, dengan pengetahuan (sembari menjalankan tugas dia gigih menyelesaikan studi S1 dan S2) dan pengalamannya, masih dibutuhkan di ranah pengabdiannya saat ini, dan itu membanggakan orang Mongondow. Dan ketiga, di kalangan tertentu (terutama perkotaan Bolmong), Ka’ Sam bukan sosok asing. Namun untuk menjadi Bupati Bolmong, konstituen terbesar  yang harus dia rangkul berada di kawasan pedesaan yang tersebar di areal yang luas. Waktu yang dia butuhkan untuk mensosialisasikan diri sangat ketat dan melelahkan, bahkan bila dia didukung tim pemenangan yang kuat sekali pun.

Yang saya kagumi dari Samsurijal adalah sikapnya yang pantang menyerah ketika sudah mengambil keputusan. Lagipula, setelah menimbang-nimbang dengan saksama, tidak ada salahnya bila warga Bolmong umumnya akhirnya mengenal sosok-sosok Mongondow yang pantas dibanggakan karena kemampuan, prestasi, dan kontribusi mereka di luar daerahnya asal.

***

Akan halnya MS Binol dan Limi Mokodompit, saya tidak mengenal mereka secara pribadi. MS Binol saya ketahui sebagai mantan birokrat yang juga ayah kandung dari sahabat adik bungsu saya dan mertua dari seorang sahabat saya. Limi Mokodompit lebih sedikit lagi yang saya ketahui. Bahwa dia putra Mongondow yang jadi birokrat sukses di Papua. Itu saja.

Belakangan ketika ‘’musim kampanye’’ calon Bupati-Wakil Bupati Bolmong 2011-2016 berlangsung, saya kian mengenal dua sosok itu (dengan wakil yang mereka pilih). Kendati tidak pernah bertemu dan berkomunikasi langsung, saya akhirnya bisa membangun gambaran seperti apa para kandidat itu dipersepsikan oleh masyarakat Bolmong Induk.

Gambaran di benak saya tentu subyektif dan tak pantas dijadikan referensi. Tidak banyak jenius seperti penulis petualangan Winnetou dan Old Shatterhand di Amerika, Karl May, yang bisa meceritakan satu tempat atau sosok yang nyaris sempurna, padahal dia belum pernah menyambangi wilayah itu.***

Tulisan ini sudah dipublikasi di Harian Radar Totabuan, Senin (28 Maret 2011).

Sunday, March 27, 2011

Tiga Perkara dari Para Pecundang

SUNGGUH mengejutkan perkembangan Bolmong setelah Pilkada Selasa, 22 Maret 2011.

Di akhir pekan ini, sejak Jumat (25 Maret 2011) saya menerima sejumlah SMS dan telepon yang menginformasikan dinamika terakhir di tengah masyarakat, terutama berkaitan dengan manuver tim pemenangan dan pendukung kandidat yang kalah. Di sisi lain, masyarakat banyak yang terlibat sebagai pemilik suara, justru umumnya menerima hasil Pilkada tanpa banyak cingcong, apalagi mengancam-ngancam bakal menggungat dan bikin rusuh.

Ada setidaknya tiga isu yang menarik perhatian saya (walau sebenarnya tidak penting dan tak perlu ditanggapi. Tapi karena ini libur akhir pekan, apa salahnya saya meluangkan sedikit waktu untuk ''menunjukkan jalan yang benar'' pada beberapa orang yang patut dikasihani karena membodoh-bodohi diri sendiri). Di luar itu, isu sepele yang disampaikan, yang segera saya lepehkan adalah gigihnya salah satu anggota tim pemenangan pasangan Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot, Pitres Sombowadile, menuduh pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk melakukan kecurangan lewat politik uang.

Sekadar memuaskan ego (sebagai orang Mongondow, saya berhak bicara. Pitres saja yang entah orang apa boleh bicara, masak saya tidak?), saya ingin memberikan sedikit saran pada Limi Mokodompit. Pertama, anggap saja Pitres sedang mengigau. Dia masih mencari-cari celah untuk membenar-benarkan kekeliruannya memberikan saran (atau apapun itu) dengan menyalahkan pasangan lain, dan di saat bersamaan mempertahankan pekerjaan sebagai ''konsultan''. Pak Limi, Anda hanya akan keluar biaya semakin banyak dengan hasil yang mungkin sama: Nol. Dua, saya kagum pada Pitres yang bisa tanpa tahu malu menuding kiri-kanan, sementara di saat bersamaan lupa bahwa dia pernah bersama-sama dengan sebuah tim yang secara terang-terangan dan brutal melakukan kecurangan (yang saat ini dia persoalkan --kalau pun itu benar) di masa lalu.

Dan ketiga, saya kagum pula pada pasangan Limi Mokodompit-Meydi Pandeirot yang sepengetahuan saya berpendidikan cukup tinggi, karena percaya pada orang yang track record-nya tidak lebih dari seorang tukang klaim. Saya bisa menunjukkan dalam sejarah saya mengenal Pitres, hampir tidak ada capaian yang benar-benar datang dari ide dan kerja kerasnya. Dan memang, untuk perkara ''curi-mencuri prestasi'' saya belum pernah mengenal sosok lain yang lebih hebat dari Pitres.

Urusan Pitres yang sangat tidak penting sampai di situ saja. Sebab kalau saya berpanjang-panjang, nanti dia merasa besar kepala dan mencari-cari cara pula agar kami bisa berpolemik (yang tentu saja tidak bakal dia menangkan).

Kembali pada tiga isu yang menarik perhatian saya, agar jangan jadi tanda-tanya, yang dimaksudkan adalah: Pertama, kabar bahwa seorang Kepala Dinas di Bolmong melakukan berbagai aksi (bahkan sudah patut diduga masuk kategori pidana) berkaitan dengan membangun opini bahwa ijazah Paket C Salihi Mokodongan tidak sah. Dua, demonstrasi menuntut Pilkada ulang di Bolmong yang dipimpin Effendi Abdul Kadir dan adanya laporan soal ijazah Salihi Mokodongan ke Polres Bolmong seorang PNS yang ''katanya' eks aktivis. Dan ketiga, bisik-bisik adanya upaya menggerakkan demonstrasi yang akan dipimpin oleh Benny Rhamdani.

Mari kita bahas urusan ini satu per satu, dimulai dengan isu pertama. Saya percaya sepenuhnya bahwa informasi yang saya terima benar adanya, apalagi orang yang ''diculik'' dan diancam oleh sang Kepala Dinas sudah menjalani pemeriksaan polisi pada Sabtu (26 Maret 2011). Saya bersimpati pada orang yang dianiaya itu, tetapi saya juga tiba-tiba merasa amat sangat kasihan pada si Kepala Dinas yang dikenal sebagai salah satu orang sangat dekat Bupati Bolmong saat ini.

Saya tidak tahu apakah yang dia lakukan adalah ekspresi kesetiaan pada Bupati Marlina Moha-Siahaan, dan karenanya si Kepala Dinas merasa harus berbuat sesuatu untuk menunjukkan dukungannya terhadap kekalahan putra junjungannya; atau memang pada dasarnya si Kepala Dinas cuma punya satu resep ampuh hingga mencapai jenjang karir saat ini, yaitu menjilat dengan membabi-buta. Mempersoalkan ijazah Salihi Mokodongan jelas tidak akan mengubah hasil Pilkada. Saya hampir yakin bahwa setelah KPU melakukan pleno, bila ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi, maka yang akan diterima hanyalah yang berkaitan dengan proses Pilkada. Urusan ijazah, bisa ke pengadilan pidana, perdata, atau PTUN. Di saat yang sama, bila Pilkada tidak diulang atau dibatalkan, Bupati-Wabup terpilih pasti akan dilantik.

Seperti apa nasib si Kepala Dinas nanti? Saya serahkan pada kreativitas imajinasinya untuk membayangkan apa yang akan dia pikul. Yang jelas, menurut informasi yang saya dapatkan, pelanggaran si Kepala Dinas sebagai birokrat sudah bertumpuk-tumpuk dan cukup untuk menyeret dia ke penjara. Bupati-Wabup terpilih tentu akan bekerja dengan profesional, adil, dan bijaksana; terutama mengusut semua kutu dan bangsat di dalam birokrasi Bolmong, saat mereka mulai menjalankan tugasnya.

Yang dilupakan pula oleh si Kepala Dinas yang --apa boleh buat dengan sedih saya harus bilang-- berotak udang itu adalah: memangnya cuma dia dan para pendukung calon yang kalah yang punya amunisi. Setahu saya hanya tinggal menunggu waktu akan ada laporan ke polisi bahwa ada konspirasi ijazah sarjana palsu dan penerimaan PNS dengan ijazah abal-abal di Bolmong. Yang terlibat adalah seorang PNS yang lulus SMU pada 2008 dan kemudian diterima sebagai PNS di 2010 untuk formasi sarjana.

Di belahan dunia mana pun, sejenius-jeniusnya seseorang hampir mustahil dia bisa menyelesaikan gelar sarjana hanya dalam waktu dua tahun.

Saya sebenarnya menuliskan informasi itu dengan kesedihan, karena betapa teganya orang membuka ''kotak pandora'' yang justru bisa membuat Bupati saat ini, Marlina Moha-Siahaan, kehilangan muka dan kredibilitas. Padahal, dalam pandangan saya, adalah sangat terhormat bila kita mengakhiri masa kepemimpinannya dengan mendudukkan dia sebagai tokoh yang patut diberi kehormatan.

Isu pertama itu terkait dengan isu kedua, tetapi dengan penekanan pada aspek lain, yaitu betapa tidak tahu dirinya orang-orang yang ge-er  mencari-cari muka ke Bupati Marlina Moha-Siahaan. Demo yang meminta Pilkada Bolmong diulang, yang dipimpin orang yang bukan penduduk Kabupaten Bolmong, cuma menunjukkan bahwa kelompok ini sudah kehabisan cara yang lebih pintar dalam menjilat. Sama halnya dengan PNS yang ''gatal'' melaporkan masalah ijazah Salihi Mokodongan ke polisi. Tidakkah terpikirkan di kepalanya yang berisi kacang polong itu, bahwa dia bisa terkena sanksi berlipat-lipat, termasuk pidana? Sebagai PNS dia bisa terkena sanksi karena terlibat politik praktis; dan sebagai pribadi bisa terkena ancaman pidana.

Dan isu ketiga, ancaman demo yang akan dipimpin Benny Rhamdany, sebenarnya juga terkait dengan isu kedua. Siapa Benny Rhamdani? Apakah dia penduduk Bolmong yang punya dan menggunakan hak pilih di Pilkada lalu; atau sekadar anggota tim pemenangan? Kalau karena sekadar anggota tim pemenangan, saya hanya bisa menasehati: ''Sudahlah, Ben, kalah memang pahit. Tapi itulah pilihan orang banyak. Tidak usah pakai ancam-ancaman dan demo segala, sebab kalau pengaruh Anda sehebat yang Anda kira, kandidat yang Anda dukung pasti menang.''

Yang menguatirkan saya, kalau sesumbar omong-kosong seperti yang suka dilakukan Benny Rhamdani tidak di-rem, bagaimana bila sekitar 50 ribu orang yang mendukung Salihi Mokodongan-Yani Tuuk marah dan juga ingin melakukan aksi tandingan? Lebih penting lagi, sebagai orang yang dalam status tahanan luar karena perkara pidana SPPD fiktik yang masih dalam proses, Benny tentu tidak bodoh hukum dan tahu pasti, polisi sebenarnya sudah berhak menjobloskan dia ke dalam penjara bahkan sekali pun baru menggumbar ancaman.***

.

Dan Pemenangnya adalah...: Tukang Jual Tude'!

''I was so naive as a kid I used to sneak behind the barn and do nothing.''
(Johnny Carson)


DINASTI politik yang berjaya di Bolmong selama hampir 10 tahun terakhir, Selasa (22 Maret 2011), tumbang sudah. Putra Bupati incumbent, Marlina Moha Siahaan, Didi Moha dan pasangannya, Norma Makalalag, yang berkompetisi untuk kursi Bupati-Wakil Bupati 2011-2016, secara mengejutkan berada di urutan ketiga (di semua versi perhitungan tidak resmi, sebab yang resmi adalah hasil pleno Komisi Pemilihan Umum --KPU) di bawah Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot dan ''sang juara'' Salihi Mokodongan-Yani Tuuk.

Pilkada Bolmong 2011-2016 sejatinya diikuti lima pasang: Salihi Mokodongan-Yani Tuuk yang diusung PAN, PKS, PDI Perjuangan, dan PDS; Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot yang diusung PKB, Barnas, Hanura, dan PKPB; MS Binol-Masni H Pomo dari independen; Didi Moha-Norma Makalalag (Partai Golkar dan Partai Demokrat); serta Samsurijal Mokoagow-Nurdin Mokoginta yang diusung PPP, Gerindra, dan sejumlah partai non parlemen. Di antara kelima pasang kandidat ini, hingga tiga hari menjelang Pilkada dilaksanakan, dua diantaranya --Limi-Meidy dan Didi-Norman-- dengan lantang sesumbar bakal jadi pemenang lewat pernyataan dan iklan di media massa terbitan Sulut. Angka kemenangan yang diramalkan pun tak main-main: di atas 40 persen.

Begitu yakinnya dua pasangan ini hingga konsultan pemenangan salah satu kandidat bahkan berani menjamin hanya ''tsunami politik-lah'' yang bisa mengubah hasil yang mereka prediksi. Keyakinan ini, dari sudut pandang ilmu politik dan fakta permukaan, tidak berlebihan (walau terlampau sombong dan menganggap remeh) karena hasil survei yang dilakukan berulang kali memang demikian adanya. Sebagai konsultan yang menggunakan metode, indikator, dan tata cara ilmiah lainnya; tentu mereka mendapatkan angka-angka prediksinya bukan dari tuyul (untunglah kebanyakan tuyul di Bolmong saat ini sedang sibuk beroperasi di Kota Kotamobagu) atau terawangan ''tukang ba obat'' di Pasar 23 Maret.

Saya, yang terus mengikuti hiruk-pikuk Pilkada Bolmong kendati tak berada di Indonesia, awalnya sama percaya dengan para konsultan politik itu. Walau dengan perkiraan yang lebih konservatif dan hati-hati, bahwa pasangan mana pun yang menang, selisih dengan pesaing terdekatnya tidaklah besar.

Belakangan saya merevisi keyakinan itu, terutama tiga pekan menjelang Pilkada berlangsung. Saya berubah pandangan setelah menemukan bahwa warga Bolmong Induk, yang mayoritas sebenarnya sudah menjatuhkan pilihan, cenderung men-service konsultan politik yang menyambangi mereka. Dengan kata lain mereka memberikan jawaban yang ingin di dengar oleh para surveyor dan menyembunyikan jawaban yang memang mereka inginkan.

Maka itulah yang terjadi. Kandidat yang sebenarnya memiliki modal politik sangat kuat seperti pasangan Didi Moha-Norma Makalalag (kurang apa pasangan ini? Didi adalah anggota DPR RI dari PG yang mendapat suara sangat besar di Pemilu Legislatif 2009 lalu; dan dia adalah pula putra Bupati incumbent). Ditebas hanya satu putaran oleh pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, yang sejak awal dianggap sekadar ''anak bawang'' yang maju ke Pilkada karena punya uang (anggapan yang sepenuhnya keliru).

Adalah sangat menarik mencermati pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk. Menurut pandangan saya, mereka (sama dengan Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot) merepresentasi Bolmong Induk saat ini yang kaya nuansa. Ada orang Mongondow, ada keturunan Minahasa, Bali dan Jawa (yang umumnya bermukim di wilayah Dumoga dan Pesisir Utara), ada Bugis, dan aneka etinis lain yang sudah melebur menjadi Mongondow. Lebih menarik lagi terutama karena sejak awal Salihi Mokodongan telah menjadi bahan spekulasi dan cemooh tim pemenang kandidat yang lain.

Tak perlu ditutup-tutupi, selama sebelum pencalonan dan masa kampanye (bahkan setelah terpilih dengan angka mutlak), Salihi selalu dianggap sebagai nelayan bodoh (yang hanya lulus Paket C), yang lebih tepat mengurusi pajeko dan ikan tude' saja daripada jadi calon Bupati. Orang-orang pintar dan para aktivis itu lupa, dibanding empat pasangan calon yang lain, Salihi sebenarnya yang sudah terbukti sebagai sosok pekerja paling keras, jujur, dan pintar.

Salihi yang menyelesaikan pendidikan SMU-nya belakangan, setelah sudah memiliki kehidupan mapan, adalah pekerja keras karena merangkak dari buruh angkut hingga menjadi juragan armada kapal penangkap ikan. Jujur karena yang paham dunia bisnis tahu persis, hanya mereka yang bisa dipercaya yang mampu mengembangkan usahanya dari modal dengkul. Dan pintar sebab bukan urusan sepele memimpin puluhan kapal penangkap ikan dan ratusan pekerjanya; serta memenej produksi ikan yang menuntut kehati-hatian sebab lengah sedikit ratusan ton tangkapan bisa busuk dan cuma berakhir jadi makanan kucing atau campuran pakan ayam.

Yang menyedihkan saya, pandangan remeh terhadap Salihi Mokodongan-Yani Tuuk berlanjut bahkan setelah terbukti bahwa mereka berhasil meraup suara pemilih di atas 40 persen (bandingan dengan Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot yang berada di kisaran 26-27 persen serta Didi Moha-Norma Makalalag yang memperoleh24-25 persen). Pasangan ini dituduh mempraktekkan politik uang (money politic) secara massif dan terstruktur.

Kali ini izinkan saya membela Salihi Mokodongan-Yani Tuuk (yang ingin berdebat silakan, tetapi hati-hati agar jangan sampai telunjuk berakhir di biji mata sendiri).

Diperlukan infra struktur sosial seperti apa untuk mendistribusikan uang kepada sekitar 20-30 ribu pemilih bahkan bila itu dilakukan satu pekan sebelum Pilkada? Kalau satu orang bisa mendekati 100 orang, maka paling tidak perlu 200-300 orang untuk melakukan itu. Tentu ini perkara gampang bila semua orang dikumpulkan di lapangan sepakbola atau di Balai Desa dan duit dibagikan. Beres. Tapi kalau itu dilakukan, saya bisa membayangkan bagaimana senangnya wajah anggota Panwas, polisi yang aktif mengawasi pelaksanaan Pilkada, aparat birokrasi yang jelas-jelas dibawah tekanan incumbent, serta tentu saja tim pemenangan kandidat lain yang bagai mendapat durian runtuh.

Jadi tuduhan money politic jelas alasan orang kalah yang berusaha menutup malu dengan menuding-nuding jidat sendiri.

Perkara massif dan terstruktur, ini lebih tidak masuk akal lagi. Siapa Salihi Mokodongan? Siapa Yani Tuuk? Yang bisa melakukan kecurangan massif dan terstruktur hanyalah kandidat atau orang-orang di belakangannya yang memiliki kendali langsung dan penuh terhadap mesin sosial paling efektif: birokrasi dan perangkatnya. Kita semua tahu siapa kandidat yang didukung oleh mesin tersebut.

Sebab itu, salah seorang elit Partai Golkar, Jumat (25 maret 2011), mengakui bahwa kemenangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk sulit untuk diperdebatkan. Bahkan bila ada gugatan, dengan alasan yang hanya dicari-cari dan dikais-kais, dampaknya justru bukan pada pasangan ini. ''Kalau yang terburuk adalah Pilkada ulang, hasilnya bisa jadi Salihi-Yani malah akan menang di atas 75 persen,'' katanya.***