Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, March 30, 2011

Kerlap-Kerlip Birokrat Bolmong

ADA yang mengganjal di hati setelah keriuhan Pilkada Bolmong berlalu lebih sepekan. Hari ini, Rabu (30 Maret 2011), di perjalanan dari kantor untuk bertemu beberapa petinggi sebuah perusahaan asing di Financial Club, Graha Niaga, Jakarta, saya merenung-renungkan berbagai informasi yang lalu-lalang berkaitan dengan kelakuan pegawai negeri sipil (PNS) di Bolmong.

Kekalahan pasangan Didi Moha-Norma Makalalag yang ditopang Bupati incumbent serta sebagian jajaran birokrat Bolmong, dari cermatan saya, mendadak mengubah perilaku sejumlah besar birokrat. Tiba-tiba para birokrat tampak gamang. Tak tahu harus berpaling ke mana. Di saat yang sama mereka juga bagai lepas dari kerengkeng dan karenanya cenderung tak terkendali.

Muramnya upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Bolmong, Rabu (23 Maret 2011), menjadi petanda awal. Ketika itu, setidaknya dari informasi yang tiba di kuping saya, para jajaran teras birokrasi Bolmong sebagian besar tak nongol tanpa diketahui alasannya. Padahal Bupati Marlina Moha-Siahaan hadir dan langsung memimpin upacara dan serangkaian acara lanjutannya.

Ketidak-hadiran para pejabat itu mulanya saya tanggapi dingin-dingin saja. Bisa jadi mereka sedang ada urusan penting dan sudah mendapat izin dari Bupati. Pejabat tingkat Asisten, Kepala Dinas dan Kepala Badan kan bukan anak TK yang mesti diantar-jemput agar tak diculik "hoga". Dan Bupati, sekali pun sudah ada Bupati-Wabup terpilih 2011-2016, masih tetap atasan yang harus dipatuhi hingga hari terakhir masa jabatannya.

Tapi pikiran lain datang mendera batok kepala saya. Mangkirnya sejumlah pejabat teras di upacara HUT Bolmong itu (apalagi dengan sengaja dan terencana) dapat dimaknai dari berbagai sudut. Bahwa, mereka memang sadar sejak lama berada di bawah rezim yang harus dilawan, dan sudah tiba saatnya untuk menunjukkan pemberontakan itu; mereka --terutama yang berpolitik praktis-- ketakutan dan sibuk merumuskan cara menyelamatkan diri; atau karena mereka berhati-hati agar tidak diasosiasikan sebagai "orang dekat" Bupati Marlina Moha-Siahaan yang boleh jadi berkonsekwensi pahit di hadapan Bupati-Wabup terpilih.

Apa pun alasannya, saya mengecam (kecam-mengecam sebenarnya pekerjaan sia-sia, tapi biarlah) jenis pejabat seperti itu. Saya menyarankan pada Bupati Marlina Moha-Siahaan, kalau masih diizinkan oleh undang-undang dan peraturan, bersegeralah memberikan hukuman. Para pejabat itu, yang selama ini menunjukkan kepatuhan dan loyalitasnya, ternyata tak lebih dari komodo berkulit buaya (sama-sama reptil berbahaya, tetapi liur komodo jauh lebih beracun dan mematikan).

Lepas dari bertahun-tahun saya menjadi "musuh" politik Bupati Marlina Moha-Siahaan, memperlakukan dia dengan cara tidak terhormat (oleh mereka yang dia angkat dan beri jabatan --entah karena prestasi atau sekadar pertimbangan subjektif Bupati) sungguh bukan cara yang beradab. Tapi barangkali para pejabat itu pun tak sepenuhnya salah. Baik rumus eksata maupun sosial, sama belaka: aksi sama dengan reaksi. Artinya, perlakuan yang di luar adab, akan menerima respons yang sama tidak beradabnya.

Tapi saya buru-buru pula mengoreksi simpulan itu, setelah tahu pasca terpilihnya Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, kegamangan para birokrat di Bolmong ternyata juga diindap bukan hanya mereka yang ada di jajaran teras. Indikatornya adalah kehadiran para pegawai di apel pagi, yang tiba-tiba bagai enceng gondok disapu dari permukaan air.

Bila biasanya peserta apel pagi berbondong-bondong hadir, dari informasi yang saya terima (sekali lagi saya yakin terhadap akurasinya) mendadak menurun drastis. Meminjam omelan salah seorang pegawai menengah yang saya tanyai, "Mirip kunang-kunang. Kehadiran di apel pagi sekarang seperti kerlap-kerlip."

Birokrat di level teras, yang bersentuhan langsung dengan "politik kekuasaan" dan "politik praktis" mulai berulah demi mengamankan posisi, termasuk dengan membangkang pada atasan yang tinggal hitungan hari bakal lengser, bisa diterima akal sehat. Tapi kalau pegawai level staf juga turut berbuat semaunya, pasti ada yang salah dari seluruh sistem birokrasi di Bolmong. Perkara sistem birokrasi, apa boleh boleh, telunjuk ini harus diarahkan ke jidat Sekretaris Kabupatan (Sekab) yang berada di posisi tertinggi birokrasi.

Baiklah, dengan pemakluman, kita terima saja ada pembangkangan terhadap Bupati yang sudah pasti bakal kehilangan kekuasaan. Bagaimana dengan membangkang terhadap tanggungjawab dan kewajiban seorang PNS, yang diikat lewat sumpah, janji, dan kode etik? Saya kira mereka perlu didisiplinkan dengan cara yang revolusioner dan dapat segera mengubah kelakuan mura'bal menjadi tertib dan tertata sebagaimana seharusnya.

Kalau "panglima"-nya, dalam hal ini Sekab, tidak mampu; copot secepat-cepatnya dan ganti dengan pejabat yang lebih mampu. Agar menimbulkan efek jera, menurut saya, tak ada salahnya Salihi Mokodongan-Yani Tuuk mengadopsi disiplin sebagaimana yang diterapkan Bupati Bolmut, Hamdan Datungsolang.

Hamdan yang sepantasnya mendapat acungan dua jempol, berhasil mensiplinkan birokrasi tidak dengan pendekatan mengada-ada. Dia hanya mensyaratkan kemauan dan keseriusan untuk menerapkan sesuatu dengan konsisten; serta terbuka dan tak pandang bulu. Mau bulu angsa, bulu kucing, atau bulu kile'-kile', kalau cuma mengganggu dan tidak ada gunanya, memang sebaiknya dibului (kata ini dalam bahasa Indonesia kurang-lebih berarti ''dicabut'') saja.

Apa yang dilakukan Bupati Bolmut? Di apel pagi Senin pekan berjalan, Hamdan Datungsolang mengumumkan siapa-siapa saja pegawai yang mangkir, tak disiplin, atau ditemukan meninggalkan pekerjaannya. Lengkap dengan hari komulatif yang ditilep si oknum. Dia tak peduli apakah yang diumumkan itu seorang Kepala Dinas atau hanya staf biasa.

Kabarnya begitu disiplin sederhana yang dilaksanakan Bupati Bolmut, yang menurut pandangan saya efeknya di jangka panjang akan sangat luar biasa. Pegawai yang diawasi dengan ketat waktu kerjanya, segera menyadari bahwa kinerja mereka juga dipantau serius; dan akhirnya kalau mereka mencoba-coba curang (semisal manipulasi dan korupsi) juga mudah dideteksi sejak awal.

Birokrat yang tersingkir dari Bolmut, di bawah kepemimpinan spartan Hamdan Datungsolang, mudah ditebak adalah mereka yang kualitas "kuaci". Kelasnya cuma nomor dua atau nomor tiga. Birokrasi yang baik untuk daerah yang ingin tinggal landas (bukan ketinggalan landasan), membutuhkan birokrat kelas wahid. Yang cengeng, letoi, malas, korup, manipulator, tidak perlu segan dipecat saja. Masih banyak calon PNS yang benar-benar siap dan berdedikasi membangun Bolmong sepenuh hati.

Barangkali apa yang saya dengar tentang Hamdan dan praktek pemerintahan yang dia jalankan sudah bias kebanggaan lokal, karena info itu sepenuhnya saya dapatkan dari warga Bolmut. Tapi sekali pun demikian, menurut hemat saya, Kepala Daerah lain di wilayah Bolmong pantas mempelajari pendekatan yang diterapkan di sana. Lagipula, secara kasat mata kita bisa melihat Bolmut berkembangan sangat pesat di bahwa pemerintahan Hamdan Datungsolang-Depri Pontoh.

Kembali ke Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, bila tak ada aral melintang mereka segera dilantik sebagai Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016. Saya yakin berat nian tugas awal mereka menata "gerombolan" birokrat yang kelihatannya dipenuhi orang-orang tanpa disiplin dan nir-loyalitas. Untuk mempermudah, saya dengan sukarela akan membawa daftar siapa saja yang pantas dipangkas dalam tempo secepat-cepatnya setelah mereka dilantik.

Pohon, jenis apa pun, biasanya berkembang lebih sehat dan subur justru setelah dipangkas dan disiangi.***